Tinjauan Kekafiran Demokrasi
Demokrasi  diambil dari bahasa Latin, demos yang berarti rakyat dan kratos yang  berarti hukum atau kekuasaan. Jadi demokrasi adalah hukum dan kekuasaan  rakyat, dan dibahasakan dalam Undang Undang Dasar RI dengan “Kedaulatan  berada di tangan rakyat”.
Demokrasi memiliki beberapa ajaran, di antaranya:
•      Sumber hukum bukan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala, akan tetapi rakyat
• Hukum yang dipakai bukanlah hukum Allah, akan tetapi hukum buatan
• Memberikan kebebasan berkeyakinan dan mengeluarkan fikiran dan pendapat
• Kebenaran adalah suara terbanyak
• Tuhannya banyak dan beraneka ragam
• Persamaan hak
Ajaran-ajaran  demokrasi atau dien (agama) demokrasi ini semuanya kontradiktif dengan  dien kaum muslimin, Al Islam. Sebagian manusia merasa aneh saat kami  menyebut demokrasi sebagai dien (agama) padahal Allah Subhanahu Wa  Ta’ala mengatakan:
“Tidaklah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja (dien al malik)…” (QS. Yusuf [12]: 76)
Undang-undang  telah Allah Subhaanahu Wa Ta’ala namakan sebagai dien (agama/jalan  hidup yang ditempuh), sedangkan demokrasi itu memilliki undang-undang  selain Islam. Jadi dien (agama) kafir itu bukan hanya Nashrani, Yahudi,  Hindu, Budha, Konghucu, Shinto, dan Majusi saja…, akan tetapi Demokrasi  adalah dien, Nasionalisme adalah dien, Kapitalisme adalah dien,  Sekulerisme adalah dien.
Islam adalah dien kaum muslimin, sedangkan  Demokrasi adalah dien kaum musyrikin, baik kaum musyrikin yang mengaku  Islam atau yang mengaku bukan Islam. Untuk benar-benar mengetahui  kekufuran dien Demokrasi ini, maka mari kita kupas ajaran-ajarannya itu  dengan membandingkannya dengan ajaran Islam.
1.   Sumber hukum bukan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, akan tetapi rakyat.
Dikarenakan  rakyat adalah yang berdaulat dan yang berkuasa, maka sumber hukumnya  pun adalah rakyat yang diwakili oleh wakil-wakil mereka di Parlemen  (MPR/DPR). Dan bila anda membuka Konstitusi (Undang Undang Dasar) semua  negara yang bersistem Demokrasi, maka pasti mendapatkan bahwa kekuasaan  Legislatif (tasyri’iyyah/pembuatan hukum) ada di tangan majelis rakyat,  ada juga yang ‘bebas’ seperti di negara-negara barat, dan ada yang  terbatas seperti di negara-negara Arab dan negara timur yang mana Raja,  Amir, dan Presiden sangat menentukan, dan tidak lupa juga bahwa  demokrasi atau aspirasi rakyat ini tidak semuanya digulirkan, kecuali  bila sesuai dengan thaghut Latta mereka yaitu Undang Undang Dasar.
Padahal  sumber/kekuasaan/wewenang hukum itu di dalam dien Al Islam ada di  Tangan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sebagaimana firman-Nya:
“…keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah…” (QS. Yusuf [12]: 40)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
“…menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah…” (QS. Al An’am [6]: 57)
Setelah  Allah Subhaanahu Wa Ta’ala menjelaskan bahwa Dia-lah yang menciptakan  dan yang memilih apa yang Dia kehendaki serta bahwa manusia tidak punya  hak untuk memilih setelah Allah menentukan, Dia Subhanahu Wa Ta’ala  berfirman:
“Dan Dia-lah Allah, tidak ada Tuhan yang berhak diibadati  melainkan Dia, bagiNya-lah segala puji di dunia dan di akhirat, dan  bagiNya-lah segala penentuan dan hanya kepadaNya-lah kamu dikembalikan”  (QS. Al Qashash [28]: 70)
Dan Dia Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman:
“Dan  janganlah sekali-kali mereka dapat menghalangimu dari (menyampaikan)  ayat-ayat Allah, sesudah ayat-ayat itu diturunkan kepadamu, dan serulah  mereka kepada (jalan) Tuhanmu, dan janganlah sekali-sekali kamu termasuk  orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. Janganlah kamu sembah di  samping (menyembah) Allah, tuhan apapun yang lain, tidak ada Tuhan (yang  berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali  Allah. bagi-Nyalah segala penentuan, dan Hanya kepada-Nyalah kamu  dikembalikan”. (QS. Al Qashash [28]: 87-88)
Ayat-ayat lainnya yang  menjelaskan bahwa hak menentukan hukum dan putusan serta penetapan  hanyalah milik Allah dan hak khusus rububiyyah serta uluhiyyah-Nya,  Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah-lah  yang memutuskan dan hanya kepada-Nyalah putusan itu (disandarkan)”
Ini  adalah dienullah yang dianut oleh kaum muslimin, sedangkan yang tadi  adalah dien Demokrasi yang dianut oleh kaum musyrikin. Allah Subhanahu  Wa Ta’ala berfirman:
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam,  maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan  dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (QS. Ali Imran [3]: 85)
Apakah sama antara dua dien ini wahai manusia…?
Dan apa yang anda pilih, Islam ataukah Demokrasi…?
Bayangkan  saja… bila yang menjadi sumber hukum itu adalah manusia yang sangat  penuh dengan kekurangan dan keterbatasan, apa jadinya hukum yang  diundang-undangkan itu? Bulan ini dibuat dan diibadati, namun beberapa  bulan berikutnya dihapuskan (baca: dimakan) atau direvisi, karena sudah  tidak relevan lagi, tidak ada bedanya dengan tuhan (berhala) dari adonan  roti yang mereka (kafir Arab dahulu) buat dan mereka ibadati, namun  ketika lapar mereka santap habis.
Sedangkan bila yang menjadi sumber hukum itu hanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka Dia-lah Dzat Yang Maha Mengetahui segalanya.
“Apakah  Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau  rahasiakan); dan dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?” (QS. Al Mulk  [67]: 14)
2.   Hukum yang dipakai bukan hukum Allah tapi hukum buatan
Tadi  telah dijelaskan bahwa sumber hukum agama Demokrasi adalah rakyat, maka  sudah pasti hukum yang dipakai adalah bukan hukum Allah, tapi hukum  rakyat (wakilnya) atau hukum yang disetujui oleh mereka, juga  dikarenakan dien Demokrasi ini adalah menyatukan semua pemeluk dien yang  beraneka ragam dan mengakuinya serta menampung semua aspirasinya,  sedangkan untuk kesatuan mereka ini dibutuhkan hukum yang mengikat semua  dan disepakati bersama, padahal para pemeluk dien selain Al Islam tidak  akan rela dengan hukum Islam sehingga disepakatilah hukum yang  menyatukan mereka, dan itu bukan hukum Allah, tapi hukum wali-wali  syaitan.
Sungguh ini adalah kerusakan yang besar, kekafiran yang  nyata serta kemurtadan yang nampak jelas bagi pemeluk Islam yang ridha  dengannya atau mendukungnya apalagi menerapkan atau melindunginya.  Padahal Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
“…barangsiapa yang  tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu  adalah orang-orang yang kafir”. (QS. Al Maidah [5]: 44)
Sekutu dengan hukum buatan itu syirik akbar, Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan  janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah  ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah  suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada  kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti  mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”.  (QS. Al An’am [6]: 121)
Tentang ayat ini Al Hakim dan yang lainnya  meriwatkan dengan sanad yang shahih dari Ibnu ‘Abbas: Bahwa orang-orang  membantah kaum muslimin tentang sembelihan dan pengharaman bangkai,  mereka berkata: “Kalian makan apa yang kalian bunuh dan tidak makan dari  apa yang Allah bunuh” yaitu bangkai, maka Allah berfirman “Dan jika  kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang  yang musyrik”
Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsir ayat ini:  “Dimana kamu berpaling dari perintah Allah dan aturan-Nya kepada yang  lainnya, terus kamu mendahulukan terhadap aturan Allah yang lainnya,  maka inilah syirik itu”
Memakai hukum selain hukum Allah adalah syirik akbar…
Bila  saja orang yang menuruti atau meridhai satu hukum yang menyelisihi  aturan Allah, telah Dia Subhanahu Wa Ta’ala vonis musyrik, maka apa  gerangan dengan Demokrasi yang seluruhnya adalah bukan hukum Allah.  Kalau memang ada satu macam atau beberapa macam hukum yang ada dalam  Demokrasi itu serupa dengan ajaran Islam, tetap saja itu tidak disebut  hukum Allah dan tidak merubah kekafiran penganut dien Demokrasi. Andai  ada orang Nashrani yang jujur dan amanah, apakah itu bisa menyebabkan  dia itu disebut muslim karena jujur dan amanah itu ajaran Islam? Sama  sekali tidak, karena jujur dan amanahnya itu bukan atas dorongan tauhid,  tapi kepentingan lain, maka begitu juga dengan Demokrasi.
Oleh  sebab itu para ulama tetap ijma atas kafirnya orang yang menerapkan  kitab Undang-undang hukum Tartar (Yasiq/Ilyasa) yang dibuat oleh Jengis  Khan, padahal sebagiannya diambil dari syari’at Islam.
Ibnu Katsir  rahimahullah berkata: “Siapa yang meninggalkan syari’at paten yang  diturunkan kepada Muhammad Ibnu Abdillah penutup para nabi, dan dia  malah merujuk hukum kepada yang lainnya berupa hukum-hukum (Allah) yang  sudah dinasakh (dihapus), maka dia kafir. Maka apa gerangan dengan orang  yang berhukum kepada Ilyasa dan lebih mengedepankannya atas hukum  Allah? Siapa yang melakukannya maka dia kafir dengan ijma kaum  muslimin”. [Al Bidayah Wan Nihayah: 13/119].
Ibnu Katsir rahimahullah  berkata tentang Yasiq/Ilyasa: “Ia adalah kitab undang-undang hukum yang  dia (Raja Tartar, Jengis Khan) kutip dari berbagai sumber ; dari  Yahudi, Nashrani, Millah Islamiyyah, dan yang lainnya, serta di dalamnya  banyak hukum yang dia ambil dari sekedar pandangannya dan keinginannya,  lalu (kitab) itu  bagi keturunannya menjadi aturan yang diikuti yang  lebih mereka kedepankan dari pada al hukmu bi Kitabillah wa sunnati  Rasulillah shalallahu ‘alaihi wasallam. Siapa yang melakukan itu, maka  wajib diperangi hingga kembali kepada hukum Allah dan Rasul-Nya,  selainnya tidak boleh dijadikan acuan hukum dalam hal sedikit atau  banyak”.
Ini dikarenakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan  hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang  diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan  berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan  kamu dari sebahagian apa yang Telah diturunkan Allah kepadamu…” (QS. Al  Maidah [5]: 49)
Dalam ayat itu, Allah mengatakan “menurut apa yang  diturunkan Allah”, dan tidak mengatakan “menurut seperti apa yang  diturunkan Allah”. Dalam ajaran Demokrasi hukum yang berlaku adalah  hukum jahiliyyah:
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki…” (QS. Al Maidah [5]: 50)
Dalam  ajaran tauhid, orang tidak dikatakan muslim, kecuali dengan kufur  kepada thaghut yang di antaranya berbentuk undang-undang buatan manusia,  sedangkan Demokrasi mengajak orang-orang untuk beriman kepada thaghut,  padahal Allah berfirman:
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang  yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu  dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? mereka hendak berhakim  kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut  itu…” (QS. An Nisa [4]: 60)
Lihatlah realita para demokrat serta para pendukungnya justeru adalah sebagaimana yang Allah Subhaanahu Wa Ta’ala firmankan:
“Apabila  dikatakan kepada mereka: “Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah  telah turunkan dan kepada hukum Rasul”, niscaya kamu lihat orang-orang  munafiq menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati)  kamu”. (QS. An Nisa [4]: 61)
Jika ada yang serupa dengan ajaran Islam  dalam hukum mereka itu, tidak lebih dari apa yang tidak bertentangan  dengan selera dan kepentingan mereka, dan itu setelah proses tarik  menarik dan diskusi panjang antara mengiakan dengan tidak, tak ubahnya  dengan orang-orang yang Allah firmankan:
“Dan apabila mereka  dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya, agar Rasul menghukum (mengadili)  di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang.  Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, mereka datang  kepada Rasul dengan patuh. Apakah (ketidakdatangan mereka itu karena)  dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena) mereka ragu-ragu ataukah  (karena) takut kalau-kalau Allah dan Rasul-Nya berlaku zhalim kepada  mereka? Sebenarnya, mereka Itulah orang-orang yang zhalim”. (QS. An Nur  [24]: 48-50)
Apakah anda masih meragukan bahwa Demokrasi itu dien kufriy…?
Apakah Islam atau Ad Dimoqrathiyyah…?
“Maka  apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal  kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi,  baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka  dikembalikan”. (QS. Ali Imran [3]: 83)
3.      Memberikan kebebasan berkeyakinan dan mengeluarkan fikiran dan pendapat
Demokrasi  adalah dien yang melindungi semua agama, mengakui serta menjamin  kebebasannya. Orang Nashrani bila mau masuk Islam maka Demokrasi  mempersilahkan dan mengakuinya, dan begitu juga orang Islam jika ingin  masuk Nashrani atau agama lainnya, maka dien Demokrasi tidak  mempersalahkannya apalagi memberikan sanksi terhadapnya.
Dari itu  berarti dien Demokrasi telah menghalalkan pintu-pintu kemurtadan serta  menggugurkan hukum-hukum yang berkaitan denganya, padahal Rasulullah  shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang mengganti agamanya,  maka bunuhlah”.
Andai seorang muslim karena ghirahnya sangat tinggi  lalu dia membunuh orang murtad, maka tentulah dia mendapat hukuman.  Begitu juga dien demokrasi memberikan kebebasan untuk mengeluarkan  fikiran dan pendapat, walaupun fikiran dan pendapat itu adalah  kekufuran.
Jadi Demokrasi membuka pintu kekufuran dari berbagai sisi.  Dari sinilah rahasia kenapa sanksi-sanksi yang bersifat keagamaan  ditiadakan dan tidak diberlakukan, karena itu bertentangan dengan  kebebasan berkeyakinan.
Saat seorang bapak meninggal dunia dan si anak telah murtad, maka hukum demokrasi masih menetapkan warisan baginya.
Saat  si suami murtad, sedangkan isteri masih muslimah…, namun dien Demokrasi  tidak mengharuskan pisah (fasakh) di antara keduanya.
Allah dan  Rasul-Nya dibiarkan dihina siang dan malam, dan ajaran Islam dicemoohkan  dan dilecehkan dengan dalih kebebasan mengeluarkan fikiran dan  pendapat. Memang Demokrasi itu memberikan kebebasan yang seluas-luasnya  bagi semua faham dan aliran kecuali Tauhid, karena seandainya ada  muwahhid yang mencela dan menghina atau berupaya membunuh thaghut  mereka, tentulah dia dikenakan pasal hukuman, padahal itu ajaran Tauhid.
Begitulah kebebasan yang dimaksud oleh dien Demokrasi…
Kebebasan kufur, syirik, ilhad, zandaqah, dan riddah… bukan kebebasan Tauhid…!
4.      Kebenaran adalah suara terbanyak
Hal  yang tidak bisa dipungkiri lagi adalah bahwa dien Demokrasi memiliki  ajaran bahwa al haq itu bersama suara rakyat atau mayoritasnya. Adapun  yang diinginkan oleh mayoritas, maka itu adalah kebenaran yang harus  diterima dan diamalkan meskipun jelas-jelas bertentangan dengan Tauhid.
Oleh  karena itu setiap partai politik yang ingin menguasai Parlemen dan  Pemerintahan pasti dia mencari dukungan sebanyak-banyaknya dari rakyat,  kemudian setelah itu mereka bisa menerapkan putusan apa saja meskipun  melanggar aturan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya shalallahu  ‘alaihi wasallam, asal tidak melenceng dari Tuhan mereka tertinggi yang  padahal mereka sendiri yang membuatnya, yaitu Undang Undang Dasar.
Padahal  kebenaran itu hanyalah bersumber dari Allah, baik mayoritas menyukainya  atau tidak. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Kebenaran itu datang dari Tuhanmu, Karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu”. (QS. Ali Imran [3]: 60)
Juga firman-Nya Subhaanahu Wa Ta’ala:
“Kebenaran itu datang dari Tuhanmu, Karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu”. (QS. Al Baqarah [2]: 147)
Dikarenakan  kebenaran adalah datang dari Allah Subhaanahu Wa Ta’ala lewat lisan  Rasul-Nya, maka bila Allah dan Rasul-Nya menetapkan suatu putusan atau  hukum, tidak boleh manusia mempertimbangkan antara menerima atau tidak  serta tidak ada pilihan lain kecuali menerima dan tunduk kepadanya.
“Dan  tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi  perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan  suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan  mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah  dia telah sesat, sesat yang nyata”. (QS. Al Ahzab [33]: 36)
Dan firman-Nya Subhaanahu Wa Ta’ala:
“…sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka…” (QS. Al Qashash [28]: 68)
Para  ahli tafsir menyatakan bahwa bila Allah telah menentukan sesuatu, maka  manusia tidak dapat memilih yang lain lagi dan harus mentaati dan  menerima apa yang telah ditetapkan Allah.
Namun agama Demokrasi  mengatakan lain, rakyat bebas memilih apa yang mereka inginkan dan  mereka memiliki pilihan. Tapi bila rakyat (wakil-wakil mereka tentunya)  atau mayoritasnya menentukan sesuatu, maka tidak ada pilihan lagi  kecuali mengikutinya, karena Tuhan yang berhak menetapkan ketentuan  dalam ajaran Demokrasi adalah para wakil rakyat itu, bukannya Allah  Subhaanahu Wa Ta’ala.
Bila dien Demokrasi memiliki tolak ukur  kebenaran itu berdasarkan pada suara aghlabiyyah (mayoritas), sehingga  apapun yang disuarakan oleh mereka, maka itulah kebenaran yang mesti  diikuti, padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menghati-hatikan dari  mengikuti keinginan mayoritas manusia…
“Dan jika kamu menuruti  kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan  menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti  persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap  Allah)” (QS. Al An’am [6]: 116)
Ini dikarenakan mayoritas (manusia) musyrik…
“Dan  sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan  dalam keadaan mempersekutukan Allah”. (QS. Yusuf [12]: 106)
Mayoritasnya tidak beriman…
“Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya”. (QS. Yusuf [12]: 103)
Mayoritasnya benci akan kebenaran…
“…dan kebanyakan mereka benci kepada kebenaran itu”. (QS. Al Mukminun [23]: 70)
Mayoritasnya tidak mengetahui kebenaran…
“…akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. Al Jaatsiyah [45]: 26)
Mayoritasnya tidak memahami kebenaran…
“…tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya)”. (QS. Al Ankabut [29]: 63)
Mayoritas mereka itu kaum yang tidak beriman…
“…akan tetapi kebanyakan manusia tidak beriman”. (QS. Al Mukmin/Ghafir [40]: 59)
Mayoritas mereka itu tidak bersyukur…
“…akan tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur”. (QS. Al Mukmin/Ghafir [40]: 61)
Itulah  sifat-sifat orang yang dijadikan Tuhan (arbab) dalam agama Demokrasi ;  musyrik, kafir, sesat, bodoh, kurang akal, benci terhadap kebenaran,  tidak mau bersyukur lagi menyesatkan.
Orang yang ridha dan beribadah kepada tuhan-tuhan itu, maka ia lebih sesat dan lebih bodoh dari kerbau piaraannya…!
“…mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi…” (QS. Al A’raf [7]: 179)
Enyahlah kalian dan apa yang kalian ibadati selain Allah. Maka apakah kamu tidak berakal…??!
5.      Tuhannya banyak dan beraneka ragam
Sudah  dijelaskan di awal pembahasan ini bahwa hukum adalah hak khusus Allah  Subhaanahu Wa Ta’ala dan ia adalah ibadah, bila ia disandarkan kepada  selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala maka itu adalah syirik, dan yang  menerima penyandarannya itu adalah Tuhan (arbab) selain Allah.
Sudah  diketahui bahwa rakyat (wakil-wakilnya) adalah pemegang kewenangan  hukum, itu dalam dien Demokrasi, sedangkan wakil-wakil rakyat itu  jumlahnya sangat banyak, berarti tuhan-tuhan mereka itu beraneka ragam.  Ada tuhan yang katanya mengaku Islam, ada yang Nashrani, ada yang dari  Budha, Hindu, Dukun, Paranormal, Tentara, Polisi, dan lain sebagainya.
Sedangkan  Tauhid mengajarkan bahwa sumber yang berwenang menentukan hukum  hanyalah Allah Subhaanahu Wa Ta’ala Yang Maha Mengetahui…
“…manakah  yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah yang Maha  Esa lagi Maha Perkasa?” (QS. Yusuf [12]: 39)
Di dalam Al  Qur’an, para pembuat hukum itu diberi beberapa nama oleh Allah:  Arbaab,  thaghut, syuraka, auliaa-usy syaithan (wali-wali syaitan).
Dia Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Mereka  menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Arbaab  (Tuhan) selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera  Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada  Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang  mereka persekutukan”. (QS. At Taubah [9]: 31)
Dalam ayat ini Allah  menamakan orang-orang alim dan para rahib Yahudi dan Nashrani sebagai  ARBAAB, saat ayat ini dibacakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi  wasallam di hadapan ‘Adiy Ibnu Hatim ~saat itu asalnya Nashrani kemudian  masuk Islam~, maka dia langsung mengatakan: “Kami tidak pernah sujud  dan shalat kepada mereka…”, maka Rasulullah menjelaskan makna “mereka  menjadikan para rahib dan alim itu sebagai Arbab”: “Bukankah mereka  menghalalkan apa yang Allah haramkan kemudian kalian ikut  menghalalkannya, dan bukankah mereka mengharamkan apa yang telah Allah  halalkan terus kalian ikut mengharamkannya?”,maka ‘Adiy menjawab: “Ya,  benar”. Dan Rasulullah berkata: “Itulah bentuk ibadah kepada mereka”.  [Atsar ini dihasankan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah]
Syaikh  Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata: ”Bab: Orang yang  mentaati ulama dan penguasa dalam mengharamkan apa yang Allah haramkan  atau (dalam) menghalalkan apa yang Allah haramkan”, maka ia telah  menjadikan mereka sebagai Arbaab selain Allah”.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Apakah  kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman  kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan  sebelum kamu? mereka hendak berhakim kepada thaghut…” (QS. An Nisa [4]:  60)”
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata tentang  beberapa tokoh thaghut: “Penguasa yang zhalim yang merubah  ketentuan-ketentuan Allah”, terus beliau tuturkan ayat di atas.
Mujahid  rahimahullah berkata: “Thaghut adalah syaitan berwujud manusia yang  mana orang-orang berhakim kepadanya sedang dia adalah pemegang kendali  mereka”
Dalam catatan kaki Terjemahan Mushhaf Departemen “Agama” RI:  “Termasuk thaghut juga adalah; orang yang menerapkan hukum secara curang  menurut hawa nafsu”. Ketahuilah… sesungguhnya selain aturan Allah  adalah curang lagi bersumber dari hawa nafsu…!!!
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Apakah  mereka mempunyai syurakaa (sembahan-sembahan) selain Allah yang  mensyariatkan untuk mereka dien (aturan) yang tidak diizinkan Allah?”  (QS. Asy Syuura [42]: 21)
Anda harus ingat dalam memahami ayat ini dan yang lainnya bahwa hukum/aturan adalah dien.
Kemudian  tentang penamaan para pembuat hukum selain Allah sebagai wali-wali  syaitan, Dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman tentang upaya kaum musyrikin  mendebat kaum muslimin supaya setuju dengan aturan yang menyelisihi  aturan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Dia berfirman:
“…Dan sesungguhnya  syaitan-syaitan itu membisikkan kepada wali-wali mereka agar membantah  kamu; dan jika kamu menuruti mereka, maka sesungguhnya kamu adalah  benar-benar musyrik”. (QS. Al An’am [6]: 121)
Bisikan syaitan kepada  mereka adalah ucapan yang mereka lontarkan kepada kaum muslimin “Kalian  makan apa yang kalian bunuh (maksudnya sembelihan) dan tidak makan apa  yang dibunuh Allah (maksudnya bangkai)”.
Jadi para pembuat hukum dan  undang-undang itu adalah wali-wali syaitan, dan sedangkan undang-undang  dan hukumnya itu adalah syari’at syaitan.
Syaikh Muhammad Al Amin Asy  Syinqithiy berkata: “Sesungguhnya orang-orang yang mengikuti qawanin  wadl’iyyah (undang-undang) yang disyari’atkan oleh syaitan lewat lisan  wali-walinya…”
Jadi, Demokrasi adalah ajaran syaitan, sedangkan para penganutnya adalah para penyembah syaitan…
6.      Persamaan Hak
Di  dalam ajaran Demokrasi, semua rakyat dengan berbagai macam agama dan  keyakinannya adalah sama, tidak ada perbedaan antara muslim dengan  kafir, juga antara orang yang taat dengan yang fasiq. Padahal Allah  Subhanahu Wa Ta’ala membedakan di antara mereka:
“Katakanlah: “Tidak  sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu  menarik hatimu…” (QS. Al Maidah [5]: 100)
Orang kafir adalah yang buruk sedangkan orang muslim adalah yang baik…
“Tidaklah sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni jannah…” (QS. Al Hasyr [59]: 20)
“Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasiq?” (QS. As Sajdah [32]: 18)
Dan ayat-ayat lainnya…
Dengan  risalah ini kami bermaksud untuk menggugah anda agar mengetahui bahwa  Demokrasi itu adalah agama kafir lagi syirik, sedang para pengusungnya  serta para penganutnya adalah kaum musyrikin walau mereka menyatakan  bahwa dirinya muslim, shalat, zakat, shaum, haji dan yang lainnya.
Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Muhammad, keluarga, dan para shahabat. Wal hamdu lillaahi rabbil ‘aalamin….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar