PENGGABUNGAN LASYKAR-LASYKAR MUSLIM DI LUAR
JAWA-BARAT
Pimpinan Pimpinan Amir Fatah Wijaya Kusumah dan beberapa Batalyon TNI. Semasa perjanjian
Renville di Jawa Tengah khususnya daerah Tegal-Brebes kesatuan TNI pimpinan
Wongso Atmojo membentuk sub wehrkreise III disingkat menjadi SWKS III, sebagai
bagian dari struktur komando Tentara Republik. Kedalam kesatuan inilah
didatangkan seorang yang bernama Bapak Amir Fatah W untuk menjabat sebagai
ketua Koordinator kepala keamanan SWKS III. Disini Bapak Amir Fatah W membawahi
3 kompi:
1. Kompi Irfan Mustafa
2. Kompi Dimyati
3. Kompi Syamsuri
2. Kompi Dimyati
3. Kompi Syamsuri
Mereka adalah dari
batalyon V Brig. IV Div. III (pasukan bekas Hisbullah) skup Bataliyon daerah
Pekalongan yang tidak bersedia di TNI kan. Sementara di Tegal - Brebes telah
ada organisasi Masyumi. Bapak Amir Fatah W pun ikut aktif didalamnya dan
ternyata dia mampu memegang peranan hingga tingkat desa lengkap dengan program
pemerintahannya. Dalam suatu rapat para pemimpin MI memutuskan untuk membentuk
kekuasaan daerah yang bernama Darul Islam, memberlakukan Hukum Islam
sebagaimana yang terselenggara di Jawa Barat, maka pasukan MI (peleburan
Hisbullah dan GPII) dirubah menjadi TII, BKN dan PADIsetelah ada kontak dengan
Pemerintah Negara Islam Indonesia NII Jawa Barat.
16 Pebruari 49 Kunjungan utusan Pemerintah NII yang bernama
Kamran Cakra Buana Panglima Divisi I/Syarif Hidayatullah TII Jawa Barat ke Jawa
Tengan untuk bertemu dengan Bapak Amir Fatah W dalam rangka memadukan azzam
atau kebulatan tekad dengan kesepakatan:
1. melanjutkan
(mempertahankan) proklamasi 17 Agustus 1945 dengan sistem NII
2. NII pekalongan dan Banyumas ditugaskan untuk menjalankan organisasi serta alatnya sebagai persiapan NII
2. NII pekalongan dan Banyumas ditugaskan untuk menjalankan organisasi serta alatnya sebagai persiapan NII
Akhir april 49 Proklamasi NII Jawa Tengah yang merupakan bagian
dari NII. juga diangkat Bapak Amir Fatah W sebagai panglima NII wilayah Jawa
Tengah.
5 Mei 49 Penyerbuan pertama TII Jateng ke markas komandan
Wongso Atmojo SWKS III (bekas komandan dan kesatuan Bapak Amir Fatah W) di desa
bantar sari. Dalam waktu yang relatif singkat markas ini dapat dikuasai, namun
sayang tak lama kemudian terjadi pengkhianatan 2 orang Kapten, yaitu Kapten
Suja’i dan Kapten Mustafa. Kebocoran informasi dengan ditangkapnya seorang
kurir istimewa yang membawa amanat tentang diumumkannya tentang permakluman
jihad keseluruh MI didaerah SWKS III yaitu Banyumas, Majenang, Probolinggo dan
Kroya. Namun demikian penyebaran perjuangan Islam ini terus menjalar dalam
masyarakat juga organisasi AUI serta pasukan Batalyon 423 dan batalyon 426
namun batalyon 423 gagal ditarik untuk bergabung. Penggabungan batalyon TNI
diatas, diawali dengan pemberontakan Kapten Sofyansetelah komandan batalyon 426
Mayor Munawar ditarik. Penarikan ini spontan menjadikan Kapten Sofyan memegang
pimpinan terhadap 3 kompi di asrama jati kudus dan 2 kompi dibawah pimpinan
Kapten Muhammad Alit Cs, yang waktu itu menempati asrama Depo Pendidikan
(DODIK) Magelang. Namun kabur dan menggabungkan diri dengan induknya Batalyon
426 namun pemberontakan ini gagal, untuk selanjutnya Yon 426 menggabungkan diri
pada NII wilayah Jawa Tengah sekitar akhir tahun 1952, maka pertempuran di Jawa
Tengah semakin menggelora hingga pada tahun 1954. Kemudian terjadi
kemunduran-kemunduran hingga menurut suatu kabar terjadi pembunuhan terhadap
beberapa komandan III termasuk panglima Amir Fatah W yang dilakukan oleh
pengkhianat.
Secara singkat
perjalanan perjuangan NII Jawa Tengah sbb: 1952 - 1954 Merupakan tahap
konsolidasi kekuatan konfrontasi fisik 1954 - 1955 Merupakan taraf konsolidasi
taktik menghindari benturan 1955 - 1961 Merupakan tahap konsolidasi teritorial
melebur dengan massa
SISA-SISA LASYKAR AUI KEBUMEN
11 September 45 Berdiri AUI (Angkatan Umat Islam) di Kebumen
yang diketuai oleh seorang ulama pondok pesantren, bernama Kyai Somalangu. Pada
dekade awalnya AUI sangat akrab dengan TNI dalam menghadapi penjajah dan sangat
terkenal sekali akan kesatriaan para lasykarnya.
Oktober 45 AUI menyatakan dirinya menjadi satu partai yang
beraliran islam dimana kerjasama dengan organisasi-organisasi lainnya cukup
terjalin dengan baik. Namun pada kelanjutannya AUI melepaskan diri dari
komitmen terhadap RI , kemudian menyusun badan-badan kelasykaran bersenjata
sendiri yang dinamakan lasykar AUI untuk mewujudkan cita-cita moyangnya Kyai
Somalangu yang berasal dari Yaman bernama Syekh Abdul Kahfi Awwal (ratusan
tahun yang silam) yaitu untuk mempertahankan dan menegakkan Indonesia menurut
jalan Allah yang ditunjukkan oleh utusannya, maka tujuan AUI yang sekarangpun
adalah berusaha keras untuk memperjuangkan desa Somalangu kepada Pemerintah RI
setempat agar dapat dijadikan tanah “Keputihan”, yaitu suatu daerah yang bebas
dari pajak RI dan mempunyai peraturan pemerintahan sendiri. Namun hal ini
tercetusnya masih ditengah-tengah perang mempertahankan kemerdekaan 17 Agustus 45
melawan Belanda, maka untuk sementara waktu segala sesuatunya masih
terkonsentrasikan pada hal itu
15 Pebruari 50 Berangkat dari kasus Perjanjian Renville, AUI
mengirimkan surat terbuka kepada Pemerintahan RIS, isinya menyatakan:” .....
bahwa kemerdekaan itu artinya bebas dan bersih dari campur tangan bangsa asing
pada kepentingan masyarakat suatu bangsa yang lain dalam segala hal mengenai
perhubungan luar negeri, pertahanan, keuangan, ekonomi, budaya dll. Sebaliknya
bilamana lain bangsa dapat campur tangan pada masyarakat bangsa lain maka
kemerdekaan itu adalah kemerdekaan yang tidak ada artinya ......”. Jelaslah
disini politik AUI sekarang adalah menentang KMB dan menghendaki terwujudnya
suatu negara yang utuh bahkan menurut Islam. Melihat gelagat seperti yang
demikian maka, Pemerintah RIS mengajak kepada AUI untuk mengadakan kerjasama
dengan penarikan seluruh lasykar AUI digabungkan kedalam tubuh TNI. Kyai
Somalangu menolak pengangkatan ini namun adiknya yang bernama Haji Nur Syadiq
menerima peleburan ini, maka H Nur Syadiq pun beserta pasukannya dileburkan
kedalam pasukan TNI Surengpati dan pasukannya diberi nama Batalyon Lemah
Lanang.
27 Mei 50 Kyai Somalangu membentuk pasukannya dalam satu
batalyon dengan nama batalyon Khimayatul Islam.
1 Agustus 50 Batalyon Khimayatul Islam mengadakan
pemberontakan, terjadilah pertempuran diseluruh kota Kebumen.
26 Agustus 50 Setelah pertempuran berjalan H. Nur Syadiq yang
memimpin batalyon Lemah Lanang akhirnya bergabung dengan kakaknya karena
batalyon Lemah Lanang lasykarnya akan dilebur untuk masuk Diklat Militer, hal
ini tidak bisa diterima oleh H Syadiq Namun penggabungan ini boleh dikatakan
terlambat, maka pemberontakan di Kebumen dapat dipatahkan oleh pasukan kafir
TNI. Terjadilah pengejaran-pengejaran lasykar AUI yang hendak mundur untuk
mengatur strategi.
26 September 50 Dipegunungan Srandil (Kroya) terjadi pertempuran
habis-habisan. Dan akhirnya Kyai Somalangupun gugur pada awal bulan Oktober.
Sepeninggalan pemimpinnya lasykar AUI tetap mendapat pengejaran-pengejaran,
namun dengan takdir Allah banyak lasykar AUI yang dapat bertemu dengan para
Mujahid NII kemudian mereka meleburkan diri kedalam TII/NII. Setelah mereka
sampai ke daerah-daerah basis Cilacap, Tegal dan Jawa-Barat.
SULAWESI PIMPINAN KAHAR MUZAKAR
Bulan Oktober 50 Setelah pengakuan kemerdekaan dan pembentukan RI
yang bersifat federal (Desember 50) telah timbul berbagai ketegangan di
Sulawesi Selatan. Salah satunya ialah pertentangan yang ditimbulkan oleh para
gerilyawan menuntut penggabungan secara menyeluruh dengan tentara Nasional,
namun Kolonel Kawilarang sebagai komandan disana hanya menerima sedikit karena
pada kebanyakan terkena seleksi dan selebihnya dibubarkan. Hal ini yang menjadi
awal permasalahan. Untuk menyelesaikan masalah ini ada seorang teman Bapak
Kahar Muzakar yang bernama Bahar Mattaliu mengajukan usulan kepada Presiden di
Jakarta lewat surat yang isinya menjelaskan bahwa yang akan dapat menyelesaikan
kerusuhan itu hanyalah Bapak Kahar Muzakar karena dialah yang telah membentuk
mereka. Usulan tersebut diterima Presiden, maka diutuslah bakak Kahar Muzakar
ke Sulawesi. Sampai disana Bapak Kahar Muzakar mulai menemui para gerilyawan
dan sebagai hasilnya Bapak Kahar Muzakar mengusulkan kepada Kolonel Kawilarang
bahwa untuk menanggulangi dan mengendalikan para gerilyawan adalah dengan cara
mereka dikoordinir dan dijadikan pasukan berupa satu brigade dibawah pimpinan
Bapak Kahar Muzakar secara langsung. Usulan itu ditolak oleh Kolonel
Kawilarang, maka Bapak Kahar Muzakar meninggalkan Makasar tanggal 5 Juli 50;
kemudian bergabung dengan gerilyawan di hutan untuk berhadapan dengan TNI.
Dengan para gerilyawan inilah Bapak Kahar Muzakar leluasa membentuk dan
mengarahkan pasukan kepada suatu arahan jelas menurut prinsip yang beliau anut
yaitu prinsip-prinsip Islam. Dalam kurun waktu yang singkat terbentuk suatu
pasukan yang kuat dan terus berkembang dengan cepat. Perjuangan di Sulawesipun
mendapat tembusan dari Jawa Barat yang mengajak bergabung dalam suatu naungan
yang sama yaitu dibawah bendera perjuangan Negara Islam Indonesia.
20 Januari 50 Bapak Kahar Muzakar menulis jawaban kepada Bapak
Imam SMK yang menyatakan bahwa Bapak Kahar Muzakar menerima pengangkatan
sebagai Panglima TII untuk Sulawesi dan pelantikan para gerilyawan menjadi TII
pada tanggal 7 Agustus 53 juga sebagai ulang tahun proklamasi NII dan
dinyatakan bahwa Sulawesi merupakan bagian dari NII. Peristiwa ini terjadi
didaerah sekitar Maklus (sulsel) dari sini lahirlah “piagam Maklus”.
BEBERAPA PIAGAM MAKLUS
YANG TERKUMPUL
Pasal 12 : Partai PNI, Murba dan PKI adalah munafik dan tidak bertuhan dan karena itu harus dihancurkan.
Pasal 13 : Partai-partai Islam seperti Masyumi, NU dan PSII dinilai kontra revolusioner dan harus ditiadakan.
Pasal 16 : Semua orang feodal yang gemar memakai gelar dan perkataan seperti Opu, Karaeng, Andi, Daeng, Haji, Gede, Bagus, Sayyid, Teuku atau Raden harus ditawan
Beberapa pasal
disediakan untuk mengatur santunan bagi korban revolusi (para janda, anak yatim
piatu dan penyandang cacat)
Pasal 44 : pembatasan biaya
perkawinan
Pasal 45 : Peraturan tentang perkawinan poligami, bagi mereka yang menentang akan diadili. Peraturan ini adalah merupakan bentuk pemecahan masalah penanggulan janda korban perang.
Pasal 49 : Pembelian dan pemilikan ternak dan tanah, demikian pula kedai, pabrik, kedaraan sewaan, perahu layar dilarang kecuali dengan izin organisasi Revolusioner.
Pasal 50 : Dilarang memiliki atau memakai emas dan permata, mengenakan pakaian yang terbuat dari bahan mahal seperti wall atau sutra, menggunakan minyak rambut, pemerah bibir dan bedak, makanan-makanan atau minuman yang dibeli dari kota yang dikuasai musuh, seperti: susu, coklat, mentega, keju, daging atau ikan kaleng, biscuit, gandum gula, tebu dan teh.
Pasal 52 : Bila barang-barang ini dengan syah telah dalam penguasaan pemilik yang sekarang, maka Organisasi Revolusioner akan membeli atau meminjamnya; bila sebaliknya barang-barang ini diperoleh melalui “penipuan moral”, maka barang-barang ini akan disita.
Jadi untuk daerah yang
dikuasai oleh Panglima Kahar Muzakar telah diberlakukan Hukum Islam sebagaimana
mestinya; tegasnya Hukum Islam ini mendapat dukungan kuat dari masyarakat
lingkungannya apalagi mengingat citra kepemimpinan didalam Islam merupakan
Uswatun Hasanah . Begitupun dengan Panglima Kahar Muzakar dapatlah kiranya
beliau mewakili Islam dan Imam di Sulawesi khususnya. Namun akhirnya keagungan
yang ada di Sulawesi mengalami kemunduran dan kerusakan dengan berkhianatnya
seorang rekannya yang sebagai wakilnya juga ialah Bahar Mattaliu. Dia membelot
ke TNI karena faktor ketidak setujuan akan beberapa putusan Panglima Kahar
Muzakar, padahal keputusan tersebut bernafaskan syari’at Islam. Panglima Kahar
Muzakar tertangkap oleh pasukan TNI di sungai Laslo, menurut kabar beliau
ditembak ditempat.
SUMATRA (ACEH) PIMPINAN TEUKU DAUD BEUREUH
Tahun 46 Sejak semula di Aceh ada kekuatan yang merupakan
dwi-tunggal, yaitu antara para ulama yang memegang dan memerankan Hukum Islam
dan Ulee Balang (Hulu Balang) sebagai pemegang Hukum Adat. Ada seorang Sultan
yang mampu memadukan dua kekuatan ini menjadi satu. Namun sejak tanggal 10
Januari 1903 Sultan tertawan, maka Dwi-tunggal pun terpecah dengan ditariknya
Ulee Balang pada pemerintahan sipil Kolonial. Senantiasa terjadi pertikaian
antar ulama dan Ulee Balang hingga tahun 1939. Para Ulama bersatu dalam PUSA
(Persatuan Ulama Seluruh Aceh) dan diakhiri tahun 1945; singkatan tersebut
menjadi singkatan slogan “Pembasmian Uleebalang-Uleebalang Seluruh Aceh”, maka
pada awal tahun 46 terjadi pembantaian sebahagian besar Uleebalang, keluarganya
dibunuh dan sisanya ditawan PUSA dipimpin oleh 4 Ulama dan sebagai Ketuanya
ialah Teuku Muhammad Daud Beureuh. Organisasi perjuangan PUSA seperti halnya
perujangan yang terdapat di pulau-pulau lainnya, yaitu perang sabil melawan
Belanda.
Tahun 50 Sekembali nya Yogya ke tangan Sukarno Hatta maka
PBB menuntut dikembalikannya akan segala sesuatu mengenai De Facto dan De Jure
RIS begitupun De Factonya propinsi Aceh. Namun hal ini mendapatkan penentangan
dari orang-orang Aceh sendiri akan rencana peleburan kedalam kekuasaan RIS
dengan daerah lainnya. Sikap Aceh ini dijadikan oleh orang-orang komunis
sebagai sasaran empuk untuk difitnah. Disukan bahwa Aceh sedang mempersiapkan
pemberontakan untuk memisahkan diri dari RIS, maka Pemerintah Pusat mengambil
Langkah. Awalnya adalah dengan pengangkatan seorang Panglima untuk daerah
Sumatra Timur dan langkah berikutnya, tepatnya Bulan Oktober 50 Pemerintah
pusat di Jakarta memutuskan tentang penyatuan Aceh dengan Tapanuli dan Sumatra
Timur menjadi satu propinsi yaitu menjadi Propinsi Sumatra Utara; Dengan
pelebuaran ini otomatis Abu Daud menjadi tidak berfungsi lagi. Untuk lebih
menguasai lagi kekuasaan/keadaan, Pemerintah Pusat menawarkan jabatan yang ada
di Jakarta tapi Abu Daud menolak dan mengundurkan diri dari pemerintahan hal
ini menimbulkan ketegangan disemua pihak terutama para pendukung PUSA. Adapun
yang diangkat menjadi Panglima di Sumatra Utara oleh Pemerintah RI bernama
Nazir seorang Aceh juga namun dikhabarkan dia telah menaruh simpati pada
komunisme. Pribadi Abu Daud sendiri dalam menghadapi konflik ini nampak
tenang-tenang saja beliau punya prinsip akan tetap sabar selama Pemerintahan
dipimpin oleh Muslim atau orang-orang Masyumi yang memegang peranan.
Awal Tahun 53 Orang-orang sayap kiri (komunis) kembali
menyebarkan desas-desus bahwa Aceh benar-benar sedang mempersiapkan
pemberontakan, maka Pemerintah di Jakarta menyusun perencanaan penangkapan
kepada 190 orang tokoh Aceh yang terkemuka, namun rencana tersebut bocor
mengakibatkan putus sama sekali hubungan Aceh dengan Jakarta memang Abu Daud
sendiri akhir-akhir ini telah banyak bersikap meremehkan penguasa karena
boneka-boneka RI di Aceh semakin hari semakin terlihat belangnya. Abu Daud
mawas diri dalam menghadapi kecurangan penguasa, maka rencana penguasa RI yang
akan mengadakan penangkapan terhadap 190 orang tokoh Aceh tidak terjadi, namun
yang timbul adalah bentrokan karena terjadinya perlawanan dari tokoh tadi yang
dipimpin oleh Abu Daud. Dalam penangguhan dan pemantapan pergerakan yang di
pimpinnya, Abu Daud mengadakan kontak dengan Imam SMK (jawa Barat) dengan cara
tidak langsung atau lewat utusan. Pada waktu ada rencana pengadaan penggabungan
wilayah Aceh untuk menjadi bagian NII haruslah dilaksanakan oleh KUKT (Kuasa
Usaha Komandemen Tertinggi), cuma tidak dapat dilaksanakan karena mengingat
kesibukan di Pusat yang kurang memungkinkan untuk ditinggalkan. Disodorkanlah
kepada Bapak Imam SMK seorang yang dapat mengganti/mewakili KUT KT dalam
mengemban tugas ini, yaitu bernama Mustafa Rasyid atau Abdul Fatah
Wirananggapati yang dikenal sebagai seorang Anshar yang sudah terbiasa
berkeliaran di kota dan dapat dipercaya oleh Panglima Agus Abdullah tetapi
Bapak Imam SMK sendiri baru kali itu saja bertemu dan langsung diberi mandat untuk
mengadakan pembai’atan sekaligus menyampaikan kebakuan kebijaksanaan yang
sedang berlangsung. Akhirnya berangkatlah AFW ke Aceh.. Namun sangat sayang
sewaktu hendak kembali dari Aceh ia tertangkap pada Bulan Mei 1953 yang belum
sempat melaporkan hasil tugasnya pada waktu itu pula seorang utusan Abu Daud
dilaporkan tertangkap juga akibatnya rencana pergerakan yang akan dilaksanakan
tanggal 7 Agustus 53 diundurkan, bahkan menurut informasi terjadi penyerangan
dari TNI secara mendadak, maka semakin gagal saja rencana penggabungan kekuatan
dengan Jawa Barat, padahal disana telah ada kekuatan kapal terbang walau begitu
dengan rahmat Allah kekuatan di Aceh dapat dipulihkan kembali.
Tanggal 19 September 53 Diawali dengan proklamasi Aceh dan daerah-daerah
sekitarnya menjadi bagian dari NII diserukanlah komando dimulainya pergerakan
seluruh Aceh. Kemenangan-kemenangan diraih selain persiapannya yang juga mapan
juga adanya dukungan dari masyarakat pada umumnya. Juga hubungan Diplomatik
dengan luar negeri dengan negara-negara Islam maupun dengan fihak PBB sendiri
terjalin baik. Yang menjadi konsultannya adalah Hasan Muhammad Tiro yang
berdomisili di Amerika.
Tahun 53 Pemilu RI yang pertama, Masyumi menang mutlak,
maka di Pemerintahan Pusat semakin gencar pengajuan penyelesaian masalah di
Aceh dengan cara perundingan.
Antara 55 - 56 Kebusukan tentara Republik: 1. Perlakuan tak
senonoh (asusila) prajurit TNI Minangkabau yang masuk ke sebuah desa dekat
Banda Aceh dan mengumpulkan seluruh wanitanya. Kemudian para prajurit itu semua
memperlihatkan kemaluannya kepada para wanita tadi juga beberapa tawanan dari
Aceh (prajurit NII) dipaksa untuk sama-sama memperlihatkan kemaluannya. Para
prajurit RI mengatakan kepada para wanita bahwa dia dengan orang Aceh tidak ada
perbedaan, yaitu telah sama-sama disunat, karena itu agar tidak dicap kafir. 2.
Perampokan dan pembakaran rumah-rumah penduduk yang dicurigai pro Panglima Daud
3. Di desa Cot Jeumpa dan Pulot Leupang pasukan Republik mengumpulkan semua
penduduk tak terkecuali anak-anak, perempuan dan orang tua renta yang kemudian
tanpa ragu dan belas kasihan mereka dibantai semuanya.
Tahun 59 Didalam penyelesaian konflik Aceh maka
Pemerintah Pusat RI di Jakarta mengadakan pertemuan-pertemuan dengan Pemerintah
NII di Aceh guna perundingan yang juga dihadiri oleh antek-antek Aceh yang pro
penguasa RI hal ini sebenarnya adalah rencana Thaghut memasang politik mengadu
domba seperti sebelumnya (1956). Aceh sendiri telah diakui dan disetujui
sebagai propinsi tersendiri. Hasil pertemuan ini diangkatlah Hasymi sebagai
Gubernur dan Syamaun Gaharu sebagai Panglimanya. Hal ini setelah adanya ide
yang disampaikan kepada Pemerintah RI dari Syamaun Gaharu, bahwa untuk
penyelesaian Aceh adalah mesti dengan orang Aceh, dengancara Aceh pula, karena
Aceh adalah daerah yang memiliki adat yang benar-benar eksklusif. Kemudian pada
tanggal 26 Mei 1959 Aceh diakui sebagai daerah Istimewa dengan otonomi
khususnya dalam masalah keagamaan, adat dan pendidikan, namun dengan catatan
tidak bertentangan dengan UUDS RI.
Tanggal 15 Maret 59 Bagi orang-orang yang berjuangnya karena
kesukuan dan ambisi, dengan adanya pengakuan dan hak otonomi dari penguasa RI
dianggap sebagai sesuatu alternatif yang baik untuk diambil sehingga terjadilah
perpecahan dalam tubuh NII Aceh, banyak orang terasnya yang mengundurkan diri
untuk bergabung dengan antek thaghut dan ada juga yang membentuk Pemerintahan
sendiri dengan nama Gerakan Revolusioner Islam Indonesia (GRII), diketuai oleh
Abdul Ganu Utsman dan wakilnya Hasan Saleh. GRII selanjutnya mengumumkan
penghentian pemberontakan dan menyatakan berunding dengan Pemerintah RI, maka
diadakanlah perundingan GRII, Gubernur Aceh RI dan seorang Panglima utusan dari
Pemerintah Pusat RI dengan keputusan memberikan peluang yang semakin besar pada
otonomi Aceh, walaupun Panglima Daud dan Hasan Ali tetap melakukan
pemberontakan nemun pada akhirnya beliau menghentikan sikap frontal mengingat
suasana Aceh sudah banyak berubah dengan banyaknya perundingan yang dilakukan
oleh para pembelot dengan thaghut yang mengakibatkan kesamaran pemandangan
masyarakat Aceh hingga sulitnya mereka untuk diarahkan pada cita-cita
penegakkan Islam yang murni maka Panglima Daud mengambil sikap diam. Terlebih
dengan adanya kegagalan salah satu pecahan PRRI yang dipimpin Natsir dan
Burhanuddin Harahap memproklamasikan diri menjadi bagian NII.
KALIMANTAN PIMPINAN IBNU HAJAR
Bermula dari kehadiran
kelompok-kelompok kecil orang-orang asal Kalimantan yang ada di Pulau Jawa juga
kelompok-kelompok kecil di Kalimantan itu sendiri yang bergerilya melawan
Belanda yang perjuangannya jelas sempalan dan tak terkoordinir, maka Pemerintah
RI membentuk ALRI Div. IV untuk mempersatukan gerilyawan tadi dalam
mempertahankan Republik di Kalimantan serta hendak menjadikan Kalimantan
sebagai wilayah republik ALRI Div. IV dipimpin oleh Hasan Basri dan wakilnya
Gusti Aman.
Tahun 1947 Pelantikan ALRI Div. IV resmi menjadi bagian
dari jajaran militer Pemerintah RI setelah terjadinya Perjanjian Linggar Jati,
maka hal ini sebenarnya untuk pengendalian ALRI Div. IV yang senantiasa
mengadakan aksi yang merepotkan Belanda hingga kewalahan. Sementara Pemerintah
buatan Belanda yang bernama daerah Otonomi Kalimantang Tenggaradan Banjar tak
dapat berkutik juga menghadapi massa yang dikendalikan oleh ALRI Div. IV.
Padahal kalau melihat Perjanjian linggar Jati ALRI Div. IV harus tunduk kepada
penjajah Belanda karena Kalimantan merupakan De Facto Belanda, hal ini berlarut
hingga 2 tahun lamanya.
25 November 1949 ALRI Div. IV dirubah namanya menjadi Divisi
Lembu Mangkurat yang mulai berada dibawah yuridisi Dewan Banjar dengan
banyaknya campur tangan Pemerintah Pusat RI yang didominasi oleh orang-orang
Jawa hingga banyak sekali penjahat-penjahat dari Jawa mengambil alih peranan
orang-orang Kalimantan sendiri. Kenyataan seperti ini membawa dampak cukup
tajam ditengah-tengah ketidak setujuan pengintegrasian ALRI Div. IV pada TNI,
juga meningkat antipati kesukuan karena keserakahan pejabat-pejabat Jawa dan
orang-orang Kalimantan sendiri sangat dilecehkan padahal mereka adalah bekas
gerilyawan sejati. Melihat kenyataan ini Pemerintah Pusat RI semakin khawatir,
maka ALRI Div. IV semakin dirobek-robekkesatuan orang-orangnya dilumatkan sama
sekali dari arena yang ada dengan alasan arena yang ada dengan alasan
penyebaran atau menempati bagian lain di Indonesia dengan ditariknya 40 s.d 50
orang para perwira bekas ALRI Div. IV untuk menempati krusus-kursus khusus
Akademi Nasional di Yogyakarta. Padahal di Yogya sendiri sebetulnya telah
ditutup setahun silam pendidikan ini. Maka sebagian besar masuk ke Surabaya dan
ikut pendidikan disana namun ternyata cuma satu orang yang menyelesaikan
pendidikannya, selebihnya kembali ke Kalimantan sebagian lagi bergabung dengan
Divisi Lembung Mangkurat dan sebagian lagi bergabung kembali dengan para
gerilyawan dihutan untuk melawan tentara Republik sendiri. Dihutan itulah para
gerilyawan membentuk KRIyT (Kesatuan Rakyat Indonesia Yang tertindas) yang
memang penduduk desa-desa disana mendapat perlakuan yang menindas dari
Pemerintah Republik dan yang terutama tujuannya adalah untuk membela keutuhan
Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 Pemerintah Kolonial. KRIyT dirintis dan
dipimpin oleh Bapak Ibnu Hajar (bekas Letnan Dua ALRI Div. IV), dimana ALRI
Div. IV sejak semula terkenal dengan kepribadiannya yang baik dengan
kekonsekwenannya terhadap ajaran Islam yang begitu tinggi hingga pengaruhnya
melahirkan kekuatan massa yang besar di Kalimantan. Maka dengan berdirinya
KRIyT warna Islam semakin nampak sebagai yang melandasi perjuangannya. Sering
terjadi berbagi pertempuran melawan pasukan-pasukan TNI pimpinan Hasan Basri
sebagai kepercayaan Pemerintah RI untuk mengadakan penumpasan KRIyT, padahal
Hasan Basri dulunya pimpinan ALRI Div. IV. Namun berbagai harapan dan impian
jabatan dan kekayaan yang membawa dia menjual akherat untuk dunia. Upaya-upaya
Hasan Basri tidak begitu banyak membawa hasil, maka diganti oleh Sitompul
seorang Batak untuk memimpim penyerangan terhadap pemberontak KRIyT. Sementara
Hasan Basri sendiri ditarik ke Jakarta kemudian oleh Pemerintah RI diberikan
bea siswa untuk sekolah ke Mesir memperdalam ilmu agama Islam dan kemiliteran
selama 4 tahun (1951 - 1955).
Pebruari 54 Konsolidasi erat terjalin antara Pemerintah NII
dengan Pimpinan KRIyT dengan hadirnya seorang utusan utama dari Pemerintah NII
yang bernama Sanusi Partawijaya, dalam perbincangannya membicarakan upaya-upaya
tentang penggabungan Kalimantan kedalam wilayah De Facto Negara Islam dan
membentuk komando Teritorial VI TII
Akhir 54 Proklamasi NII
Kalimantan dan pelantikan Ibnu
Hajar sebagai Panglima Komando Teritorial VI TII. Mulai saat inilah nama KRIyT
menjadi APTI (Angkatan Perang Tentara Islam) yang markas besarnya di Hulu
Sungai, maka muncullah para pejuang Kalimantan ini dengan identitas kemusliman
dan kemujahidannya, terlebih dengan telah ditetapkannya beberapa
kebijaksanaannya yang menghapus ciri-ciri sekuler pada sistem dan
operasionalnya baik dibidang sipil ataupun dibidang militer. Berbagai upaya
dilancarkan oleh Pemerintah Pusat RI baik secara militer ataupun secara politis
hingga Sukarno turun ke Kalimantan dengan propaganda akan memberikan amnesti
umum kepada semua pemberontak yang menyerah pada akhir tahun 55, namun hasilnya
Nol besar karena kegiatan APTI tidak berkurang, maka Pemerintah pusat RI
membuat planning baru yang sifatnya mengulang kembali politik yang sudah baku
yaitu politik adu domba dengan mengandalkan ras kesukuan untuk menjadikan
transparan kekuatan religius dengan kembali menarik Hasan Basri sepulang dari
Mesir untuk diberi kepercayaan dan mandat untuk memimpin pasukan untuk menumpas
APTI yang dipandang semakin kuat, karena daerah teritorialnya makin luas.
Langkah awalnya Hasan Basri melakukan teror mental dan bujuk rayu dengan
menggunakan potensi para Ulama yang pro pada penguasa hingga mengakibatkan 2
komandan APTI membelot, juga menyerahkan 400 orang gerilyawan namun hal ini
tidak berkelanjutan karena Ibnu Hajar dapat memanfaatkan situasi umum yang
sedang terjadi berupa konflik kesukuan antara Jawa dan Kalimantan. Maka
Panglima Ibnu Hajar dapat memulihkan bahkan mengembangkan lebih jauh lagi
pasukannya hingga mampu mempertahankan perjuangannya sampai 7 tahun. Namun
akhirnya terjadi kemunduran-kemunduran dengan terjadinya
pengkhianatan-pengkhianatan dan kepandaian penguasa yang senantiasa memakai politik
adu domba serta kesulitan menjalin kerjasama dengan kekuatan lainnya yang juga
dalam kondisi sulit.
Awal September 65 Ibnu Hajar tertangkap kemudian disidangkan pada
pengadilan militer dengan vonis dihukum mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar