Masihkah Engkau Ragu...?
Oleh Muhammad Iqbal Fatahillah di NII News · Sunting Dokumen
(Bantahan bagi mereka yang mengatakan NKRI adalah Negara Islam)
Jika  orang kafir ragu atau tidak mengetahui kekafiran dirinya sendiri, maka  itu bisa kita maklumi. Namun sangatlah tidak wajar kalau orang yang  mengaku bara’ dari orang kafir, namun tidak mengetahui bahwa orang yang  di hadapannya adalah kafir, padahal segala tingkah laku, keyakinan dan  ucapannya sering dia lihat dan dia dengar.
Banyak  orang yang mengaku Islam bahkan mengaku dirinya bertauhid tidak  mengetahui bahwa negara tempat ia hidup dan pemerintah yang yang  bertengger di depannya adalah kafir. Ketahuilah, sesungguhnya keIslaman  seseorang atau negara bukanlah dengan sekedar pengakuan, tapi dengan  keyakinan, ucapan dan perbuatannya.
Sesungguhnya  kekafiran Negara Indonesia ini bukanlah hanya dari satu sisi yang bisa  jadi tersamar bagi orang yang rabun. Perhatikanlah, sesungguhnya  kekafiran negara ini adalah dari berbagai sisi, yang tentu saja tidak  samar lagi, kecuali atas orang-orang kafir. Inilah sisi-sisi kekafiran  Negara Indonesia dan pemerintahnya:
- Berhukum dengan selain hukum Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa
 
Indonesia tidak berhukum dengan hukum Allah, tetapi berhukum dengan qawanin wadl’iyyah (undang-undang  buatan) yang merupakan hasil pemikiran setan-setan berwujud manusia,  baik berupa kutipan atau jiplakan  dari undang-undang penjajah (seperti  Belanda, Portugis, dll) maupun undang-undang produk lokal. Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa berfirman:
“…barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (Al Maidah: 44)
Ayat  ini sangat nyata, meskipun kalangan Murji-ah yang berkedok Salafiy  ingin memalingkannya kepada kufur asghar dengan memelintir tafsir  sebagian salaf yang mereka tempatkan bukan pada tempatnya.
Negara  dan pemerintah negeri ini lebih menyukai undang-undang buatan manusia  daripada Syari’at Allah, maka kekafirannya sangat jelas dan nyata.  Kekafiran undang-undang buatan ini sangat berlipat-lipat bila dikupas  satu per satu, di dalamnya ada bentuk penghalalan yang haram,  pengharaman yang halal, perubahan hukum/ aturan yang telah Allah  tetapkan dan bentuk kekafiran lainnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Seseorang  di kala menghalalkan keharaman yang sudah di-ijma-kan, atau  mengharamkan kehalalan yang sudah di-ijma-kan, maka dia kafir murtad  dengan kesepakatan fuqaha”. (Majmu Al Fatawa 3/267)
Bahkan Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab rahimahullah menyebutkan bahwa di antara pentolan thaghut adalah: Orang yang memutuskan dengan selain apa yang Allah turunkan. Kemudian beliau menyebutkan dalilnya, yaitu Surat Al Maidah: 44 tadi.(Risalah fie Ma’na Thaghut, lihat dalam Majmu’ah At Tauhid).
Al Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata: “Tidak  ada perselisihan di antara dua orang pun dari kaum muslimin bahwa orang  yang memutuskan dengan Injil dari hal-hal yang tidak ada nash yang  menunjukkan atas hal itu, maka sesungguhnya dia itu kafir musyrik lagi  keluar dari Islam.” (Dari Syarh Nawaqidul Islam ‘Asyrah, Syaikh Ali Al Khudlair)
Bila saja memutuskan dengan hukum Injil yang padahal itu adalah hukum Allah -namun sudah dinasakh-,  merupakan kekafiran dengan ijma kaum muslimin, maka apa gerangan bila  memutuskan perkara dengan menggunakan hukum buatan setan (berwujud)  manusia, sungguh tentu saja lebih kafir dari itu…
Syaikh Abdurrahman ibnu Hasan rahimahullah berkata: “Siapa  yang menyelisihi apa yang telah Allah perintahkan kepada Rasul-Nya  shallallaahu ‘alaihi wasallam dengan cara ia memutuskan di antara  manusia dengan selain apa yang telah Allah turunkan atau ia meminta hal  itu (maksudnya minta diberi putusan dengan selain hukum Allah) demi  mengikuti apa yang dia sukai dan dia inginkan, maka dia telah melepas  ikatan Islam dan iman dari lehernya, meskipun dia mengaku sebagai  mukmin.” (Fathul Majid: 270)
Apakah  presiden, wakilnya, para menterinya, para pejabat, para gubernur hingga  lurah, para hakim dan jaksa, apakah mereka memutuskan dengan hukum  Allah atau dengan hukum buatan? Apakah mereka mengamalkan amanat Allah  dan Rasul-Nya atau amanat undang-undang? Jawabannya sangatlah jelas.  Maka dari itu tak ragu lagi bahwa mereka itu adalah orang kafir.
Apakah RI ini berhukum dengan syari’at Allah? Jawabannya: TIDAK.
Apakah RI tunduk pada hukum Allah? Jawabannya: TIDAK.
Berarti  RI adalah negara jahiliyyah, kafir, zhalim dan fasiq, sehingga wajib  bagi setiap muslim membenci dan memusuhinya, serta haramlah mencintai  dan loyal kepadanya.
- Mengadukan kasus persengketaannya kepada thaghut
 
Di  antara bentuk kekafiran adalah mengadukan perkara kepada thaghut. Saat  terjadi persengketaan antara RI dan pihak luar, maka sudah menjadi  komitmen negara-negara anggota PBB adalah mengadukan kasusnya ke  Mahkamah Internasional yang berkantor di Den Haag Belanda. Maka inilah  yang dilakukan RI, misalnya saat terjadi sengketa dengan Malaysia  tentang kasus Pulau Sipadan dan Ligitan, mengadulah negara ini ke  Mahkamah Internasional. Sedangkan Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa berfirman:
“Apakah engkau tidak memperhatikan orang-orang yang mengklaim bahwa dirinya beriman kepada apa yang telah Allah turunkan kepadamu dan apa yang telah diturunkan sebelum kamu, seraya mereka ingin merujuk hukum kepada thaghut,  padahal mereka telah diperintahkan untuk kafir terhadapnya. Dan syaitan  ingin menyesatkan mereka dengan kesesatan yang sangat jauh”. (An Nisaa: 60)
Yang  jelas sesungguhnya negara ini pasti mengadukan kasus sengketanya dengan  negara lain kepada Mahkamah Internasional, padahal AllahSubhaanahu Wa Ta’aalaa berfirman:
“Wahai  orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul serta ulil ‘amri di  antara kalian. Kemudian bila kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya bila kalian memang beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu adalah lebih baik dan lebih indah akibatnya”. (An Nisaa: 59)
Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “(Firman  Allah) ini menunjukkan bahwa orang yang tidak merujuk hukum dalam kasus  persengketaannya kepada Al Kitab dan As Sunnah serta tidak kembali  kepada keduanya dalam hal itu, maka dia bukan orang yang beriman kepada  Allah dan hari Akhir.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Adhim: 346)
Hukum  internasional adalah rujukan negara-negara yang tergabung dalam  Perserikatan Bangsa-Bangsa, sedangkan itu adalah salah satu bentuk  thaghut dan merujuk kepadanya adalah kekafiran dengan ijma ‘ulama.
Ibnu Katsir rahimahullah  berkata: “Siapa  yang meninggalkan hukum paten yang diturunkan kepada Muhammad ibnu  ‘Abdillah –sang penutup para Nabi- dan ia justeru merujuk hukum kepada  yang lainnya berupa hukum-hukum yang sudah dinasakh (dihapus), maka dia  kafir. Maka apa gerangan dengan orang yang merujuk hukumkepada ILYASA dan ia lebih mendahulukannya daripada hukum (yang dibawa Rasulullah). Siapa yang melakukan itu, maka dia kafir dengan ijma’ kaum muslimin”. (Al Bidayah wan Nihayah: 13/119)
Ilyasa atau Yasiq adalah kitab  yang memuat hukum-hukum yang dicuplik (diadopsi .ed) oleh Jengis Khan  dari berbagai hukum, yaitu dari Yahudi, Nasrani, Islam dan hukum-hukum  hasil pemikirannya sendiri yang dijadikan rujukan oleh anak cucunya.  (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Adhim 3/131 dalam penafsiran Al Maaidah: 50
Jadi ‘konstruksi’ Ilyasa atau Yasiq tersebut adalah sama persis dengan kitab-kitab hukum yang dipakai di negara ini dan yang lainnya
- Negara dan pemerintah ini berloyalitas kepada orang-orang kafir, baik yang duduk di PBB atau yang ada di Amerika, Eropa dll, serta membantu mereka dalam rangka membungkam para muwahhidin mujahidin
 
Bukti  atas hal ini sangatlah banyak. Salah satunya yang paling menguntungkan  kaum kuffar barat dan timur, yang banyak menjebloskan para mujahidin ke  dalam sel-sel besi adalah diberlakukannya Undang-undang Anti Jihad  (menurut bahasa mereka Undang-undang Anti Terorisme), dan tentu saja  negara ini pun ikut aktif dalam hal itu dengan memberlakukan UU Anti  Terorisme.[1] Sedangkan Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaaberfirman:
“…Dan siapa yang tawalliy (memberikan loyalitas) kepada mereka di antara kalian, maka sesungguhnya dia tergolong bagian mereka”. (Al Maaidah: 51)
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz ibnu Baz berkata: “Dan  para ‘ulama Islam telah ijma’ bahwa orang yang menopang orang-orang  kafir dan membantu mereka atas kaum muslimin dengan bentuk bantuan apa  saja, maka dia kafir seperti mereka”. (Majmu’ Al Fatawaa 3/994, Cet I Th. 1416 H. Darul Wathan.)
Sebelumnya Syaikhul Islam Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah telah menyebutkannya dalam risalah beliau tentangPembatal Keislaman.
- Memberikan atau memalingkan hak dan wewenang membuat hukum dan undang-undang kepada selain Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa
 
Telah kita ketahui bahwa hak menentukan hukum atau aturan atau undang-undang adalah hak khusus bagi Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa, jika itu dipalingkan kepada selain Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa maka menjadi salah satu bentuk dari syirik akbar. Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa berfirman:
“…Dan Dia tidak menyertakan seorangpun dalam hukum-Nya.”
Dalam qiro’ah Ibnu ‘Amir yang mutawatir:
”Dan janganlah kamu sekutukan seorang pun dalam hukum-Nya.” (Al Kahfi: 26)
“Hukum (keputusan) itu hanyalah milik Allah.” (Yusuf: 40)
Tasyri’ (pembuatan hukum) adalah hak khusus Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa, sehingga  pelimpahan sesuatu darinya kepada selain Allah adalah syirik akbar,  sedangkan di NKRI hak dan wewenang pembuatan hukum/ aturan diserahkan  kepada banyak sosok dan lembaga, yaitu kepada MPR, DPR, DPD, Presiden  dll.
Inilah bukti-buktinya:
- UUD 1945 Bab II Pasal3 ayat 1: “Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang Undang Dasar”. Ini artinya MPR adalah arbab (tuhan-tuhan) selain Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa. Orang-orang yang duduk sebagai anggotanya adalah orang-orang yang mengaku sebagai ilah (tuhan), sedangkan orang-orang yang memilihnya dalam Pemilu adalah orang-orang yang mengangkat ilah yang mereka ibadati. Sehingga ucapan setiap anggota MPR: “Saya adalah anggota MPR” bermakna “Saya adalah tuhan selain Allah”.
 - UUD 1945 Bab VII Pasal 20 ayat 1: “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang undang”. Padahal dalam Tauhid pemegang kekuasaan Undang-undang/hukum/aturan tak lain hanyalah Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa.
 - UUD 1945 Bab VII Pasal 21 ayat 1: Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan undang-undang”.
 - Bab III PAsal 5 ayat 1: “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.
 - Bahkan kekafirannya tidak terbatas pada pelimpahan wewenang hukum kepada para thaghut itu, tapi semua diikat dengan hukum yang lebih tinggi, yaitu UUD. Rakyat lewat lembaga MPR-nya boleh berbuat apa saja TAPI harus sesuai dengan UUD, sebagaimana dalam UUD 1945 Pasal 1 (2): “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar”.
 
Presiden  pun kekuasaannya dibatasi oleh UUD sebagaimana diatur dalam UUD 1945  Bab III Pasal 4 (1): “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan  pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”.
Jadi  jelaslah, BUKAN menurut Al Qur’an dan As Sunnah, tetapi menurut  Undang-Undang Dasar Thaghut. Apakah ini Islam atau kekafiran…?!
Bahkan bila ada perselisihan kewenangan antar lembaga pemerintahan, maka putusan final diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi,  sebagaimana dalam Bab IX Pasal 24c (1): “Mahkamah Konstitusi berwenang  mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat  final untuk menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar,  memutuskan pembubaran Partai Politik dan memutus perselisihan tentang  hasil Pemilihan Umum”.
Perhatikanlah, padahal dalam ajaran Tauhid, semua harus dikembalikan kepaa Allah dan Rasul-Nya:
“…….Kemudian  bila kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah  dan Rasul-Nya, bila kalian (memang) beriman kepada Allah dan Hari  Akhir”. (An Nisaa: 59)
Dalam tafsir ayat ini Ibnu Katsir rahimahullah berkata:  “(Ini) menunjukkan bahwa orang yang tidak merujuk dalam hal sengketa  kepada Al Kitab dan As Sunnah dan tidak kembali kepada keduanya dalam  hal itu, maka dia tidak beriman kepada Allah dan Hari Akhir ”. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Adhim 2/346)
Demikianlah, dalam Islam Al Qur’an dan As Sunnah adalah tempat untuk mencari keadilan, tetapi dalam ajaran thaghut RI keadilan ada pada hukum yang mereka buat sendiri.
- Pemberian hak untuk berbuat syirik, kekafiran dan kemurtadan dengan dalilh kebebasan beragama dan HAM
 
Undang  Undang Dasar Thaghut memberikan jaminan kemerdekaan penduduk untuk  meyakini ajaran apa saja, sehingga pintu-pintu kekafiran, kemusyrikan  dan kemurtadan terbuka lebar dengan jaminan UUD. Orang yang murtad  dengan masuk agama lain merupakan hak kemerdekaannya dan tak ada sanksi  hukum atasnya, padahal dalam ajaran Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa orang yang murtad hanya memiliki dua pilihan: Kembali pada Islam atau menerima sanksi bunuh, sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam: “Siapa yang mengganti dien-nya, maka bunuhlah dia”. (Muttafaq ‘Alaih)
Berhala-berhala yang disembah baik yang berbentuk batu atau selainnya dan budaya syirik dalam  berbagai bentuk, seperti meminta-minta ke kuburan, membuat sesajen,  memberikan tumbal, mengkultuskan sosok dan bentuk-bentuk syirik lainnya  mendapatkan jaminan perlindungan sebagaimana tercantum dalam:
a)      Bab  XI Pasal 28 I (3): “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional  dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
b)     Bab  XI Pasal 29 (2): “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk  memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan  kepercayaannya itu“.
Mengeluarkan pendapat, pikiran dan sikap, meskipun berbentuk kekafiran adalah hak yang dilindungi negara:
a)      Bab  X A Pasal 28E (2): “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini  kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati  nuraninya”.
b)     Bab X A Pasal 28E (3): “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.
- Menyamakan antara orang kafir dengan orang muslim
 
Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa telah membedakan antara orang kafir dengan orang muslim dalam ayat-ayat yang sangat banyak.
 “Tidaklah sama (calon) penghuni neraka dengan penghuni surga…” (Al Hasyr: 20)
Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa berfirman seraya mengingkari orang yang menyamakan antara dua kelompok dan membaurkan hukum-hukum mereka:
“Apakah Kami menjadikan orang-orang muslim seperti orang-orang mujrim (kafir)”. (Al Qalam 35-36)
“Dan apakah orang-orang yang beriman itu seperti orang-orang yang fasiq? ” (As Sajdah: 18)
“Katakanlah: Tidak sama orang yang busuk dengan orang yang baik”. (Al Maaidah: 100)
Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa ingin memilah antara orang kafir dengan orang mukmin: “Agar Allah memilah orang yang buruk dari orang yang baik”.
Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa menginginkan  adanya garis pemisah syar’i antara para wali-Nya dengan musuh-musuh-Nya  dalam hukum-hukum dunia dan akhirat. Namun orang-orang yang mengikuti  syahwat dari kalangan budak undang-undang negeri ini ingin menyamakan  antara mereka, sehingga termaktub dalam UUD 1945 Bab X Pasal 27 (1):  “Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan  dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada  kecualinya”. Maka dari itu mereka MENGHAPUS segala bentuk pengaruh agama dalam hal pemilahan dan perbedaan di antara masyarakat.  Mereka sama sekali tidak menerapkan sanksi yang bersifat agama dalam UU  mereka. Mereka tidak menggunakan sanksi yang telah Allah turunkan, dan  yang paling fatal adalah tak ada sanksi bagi orang yang murtad. Karena  mereka menyamakan semua pemeluk agama dalam hal darah dan kehormatan,  kemaluan dan harta, serta mereka menghilangkan segala bentuk konsekuensi  hukum akibat kekafiran dan kemurtadan.
Renungkanlah, Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa membedakan  antara muslim dan kafir, tapi hukum thaghut justeru menyamakannya. Maka  siapakah yang lebih baik? Tentulah aturan Allah Yang Maha Esa.
- Sistem yang berjalan adalah demokrasi
 
“Kekuasaan  (hukum) ada di tangan rakyat” (bukan di Tangan Allah), itulah  demokrasi, dan sistem inilah yang berjalan di negara ini. Dalam UUD 1945  Bab I Pasal 1(2): “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan  menurut UUD”. Sehingga disebutkan juga dalam Bab X A Pasal 28 I(5):  “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip  negara hukum yang demokratis, maka……”dll.
Kedaulatan,  kekuasaan serta wewenang hukum dalam ajaran dan dien (agama) demokrasi  ada di tangan rakyat atau mayoritasnya. Sedangkan Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa berfirman:
“Dan apa yang kalian perselisihkan di dalamnya tentang sesuatu, maka putusannya (diserahkan) kepada Allah”. (Asy Syura: 10)
“Kemudian  bila kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah  dan Rasul, bila kalian memang beriman kepada Allah dan Hari Akhir”. (An Nisaa: 59)
“(Hukum) putusan itu hanyalah milik Allah”. (Yusuf: 40)
Namun para budak UUD mengatakan: “Putusan  itu hanyalah milik rakyat lewat wakil-wakilnya, apa yang ditetapkan  oleh Majelis Rakyat ‘boleh’, maka itulah yang halal, dan apa yang  ditetapkan ‘tidak boleh’, maka itulah yang haram”. Inilah yang dimaksud oleh pasal di awal pembahasan point ini.
Dalam  agama demokrasi, keputusan yang benar yang mesti dijalankan adalah  hukum atau putusan mayoritas, sebagaimana yang dinyatakan UUD 1945 Bab  II Pasal 2(3): “Segala putusan Majelis Permusyawaratan rakyat ditetapkan  dengan suara terbanyak”. Padahal AllahSubhaanahu Wa Ta’aalaa menyatakan:
“Dan bila kamu mentaati mayoritas orang yang ada di bumi, tentulah mereka menyesatkan kamu dari jalan Allah”. (Al An’am: 116)
“Dan tidaklah mayoritas manusia itu beriman, meskipun kamu menginginkannya”. (Yusuf: 103)
“…namun mayoritas manusia tidak mengetahuinya”. (Al Jatsiyah: 26)
“…namun mayoritas manusia itu tidak mensyukurinya”. (Ghafir: 61)
“…namun mayoritas manusia itu tidak beriman”. (Ghafir: 59)
“Dan mayoritas manusia tidak mau, kecuali mengingkari”.(Al Furqaan: 50)
“Dan mayoritas mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan mereka itu menyekutukan(Nya)”. (Yusuf: 106)
“Dan mayoritas mereka tidak suka pada kebenaran”. (Al Mu’minuun: 70)
“….Bahkan mayoritas mereka tidak memahami”. (Al ‘Ankabuut: 63)
Cobalah bandingkan dengan agama demokrasi yang dianut oleh pemerintah dan Negara Kafir Republik Indonesia (NKRI)…!!
Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa menyatakan:
“Dan  putuskan di antara mereka dengan pa yang telah Allah turunkan dan  jangan ikuti keinginan-keinginan mereka, serta hati-hatilah mereka  memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah Allah turunkan kepadamu”. (Al Maaidah: 49)
Tetapi dalam agama demokrasi: Putuskanlah  di antara mereka dengan apa yang mereka gulirkan dan ikutilah keinginan  mereka serta hati-hatilah kamu menyelisihi apa yang diinginkan rakyat…
Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa berfirman:
“Dan Dia tidak menyertakan seorangpun dalam hukum-Nya”. (Al Kahfi: 26)
Namun  dalam agama demokrasi, bukan sekedar menyekutukan selain Allah dalam  hukum, tetapi hak dan wewenang membuat hukum itu secara frontal dirampas  secara total dari Allah dan dilimpahkan kepada rakyat (atau wakilnya).
Rakyat atau wakil-wakilnya adalah tuhan dalam agama demokrasi, maka seandainya ada  orang yang mau menggulirkan hukum Allah (misalnya sebatas pengharaman  khamr atau penegakkan rajam) tentu saja harus disodorkan dahulu kepada  DPR untuk dibahas bersama presiden, demi mendapatkan persetujuan  bersama. (Betapa mengerikannya hal ini, karena wahyu Allah  -Tuhan alam semesta- harus terlebih dahulu mendapat persetujuan makhluk  bumi yang hina…ed)
Dalam  realitanya pengguliran hukum Allah itu tak mungkin terwujud, karena  setiap peraturan tak boleh bertentangan dengan konstitusi negara, yaitu  UUD 1945.
Agama  demokrasi menjamin bahwa rakyat memiliki hak untuk bebas memilih, bila  rakyat memilih kekafiran dan kemusyrikan, maka itulahkebenaran…
Enyahlah ajaran busuk ini dan enyahlah syaithan yang mewahyukannya…!!!
- NKRI berlandaskan Pancasila
 
Pancasila -yang notabene hasil pemikiran manusia-  adalah dasar negara ini, sehingga para thaghut RI dan aparatnya  menyatakan bahwa Pancasila adalah pandangan hidup, dasar negara RI serta  sumber kejiwaan masyarakat dan negara RI, bahkan sumber dari segala  sumber hukum yang berlaku di Indonesia. Oleh sebab itu pengamalannya  harus dimulai dari setiap warga negara Indonesia dan setiap  penyelenggara negara yang secara meluas akan berkembang menjadi  pengamalan Pancasila oleh setiap lembaga kenegaraan serta lembaga  kemasyarakatan, baik di pusat maupun di daerah. (Silahkan lihat  buku-buku PPKn atau yang sejenisnya).
Jadi dasar negara RI, pandangan hidup dan sumber kejiwaannya bukanlah Laa ilaaha illallaah, tapi falsafah syirik Pancasila thaghutiyyah syaithaniyyah yang digali dari bumi Indonesia bukan dari wahyu samawiy ilahiy.
Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa berfirman:
“Itulah Al Kitab (Al Qur’an) tidak ada keraguan di dalamnya, sebagai petunjuk (pedoman) bagi orang-orang yang bertaqwa”. (Al Baqarah: 2)
Tapi mereka mengatakan: Inilah  Pancasila, pedoman hayati bagi bangsa dan pemerintah Indonesia. (Inilah  Pancasila, tidak ada keraguan di dalamnya, sebagai petunjuk (pedoman)  bagi bangsa dan pemerintah Indonesia)
Kemudian kami katakan kepada mereka: Inilah Pancasila, sungguh tak ada keraguan, sebagai pedoman kaum musyrikin Indonesia.
Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa berfirman:
“……..Dan sesungguhnya ini adalah jalanku yang lurus, maka ikutilah ia..” (Al An’am: 153)
Tapi mereka mengatakan: Inilah Pancasila Sakti, maka hiasilah hidupmu dengan moral Pancasila.
Dalam  rangka menjadikan generasi penerus bangsa ini sebagai orang yang  Pancasilais (baca: musyrik), para thaghut menjadikan PPKn (Pendidikan  Pancasila dan Kewarganegaraan) atau Pendidikan Kewarganegaraan atau Tata  Negara atau Kewiraan sebagai mata pelajaran bagi para sisiwa atau mata  kuliah wajib bagi para mahasiswa. Siapa yang tak lulus dalam matpel atau matkul ini, maka jangan harap dia lulus dari lembaga pendidikan yang bersangkutan.
Dalam kesempatan ini, marilah kita kupas beberapa butir dari sila-sila Pancasila yang sempat (bertahun-tahun) wajib dihafal, diujikan dan dijadikan materi penataran P4 di era ORBA:
Sila ke-1 Butir ke-2:
Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya
Pancasila  memberikan kebebasan orang untuk memilih jalan hidupnya. Seandainya ada  muslim yang murtad dengan masuk Nasrani, Hindu atau Budha, maka  berdasarkan Pancasila itu adalah hak asasinya, kebebasannya, dan tidak  ada hukuman baginya, bahkan si pelaku mendapat jaminan perlindungan. Hal  ini jelas membuka lebar-lebar pintu kemurtadan, sedangkan dalam ajaran  Tauhid, Rasulullah bersabda: “Siapa yang merubah dien (agama)nya, maka bunuhlah dia” (Muttafaq ‘alaih)
Di  sisi lain banyak orang muslim tertipu, karena dengan butir ini mereka  merasa dijamin kebebasannya untuk beribadat, mereka berfikir toh bisa  adzan, bisa shalat, bisa shaum, bisa zakat, bisa haji, bisa ini bisa  itu, padahal kebebasan ini tidak mutlak, kebebasan ini tidak berarti  kaum muslimin bisa melaksanakan sepenuhnya ajaran Islam, lihatlah apakah  di Indonesia bisa ditegakkan had? Apakah kaum muslimin bebas  untuk ikut serta di front jihad manapun? Tentu tidak, karena dibatasi  oleh butir Pancasila yang lain.
Sila ke-1 Butir ke-1:
Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang beradab
Ya,  beradab menurut ukuran isi otak mereka, bukan beradab sesuai tuntunan  Allah dan Rasul-Nya. Contoh: Ada orang yang murtad dari Islam, lalu ada  muslim yang menegakkan hukum Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa dengan  membunuhnya, maka orang yang membunuh demi menegakkan hukum Allah ini  jelas akan ditangkap dan dijerat hukum thaghut lalu dijebloskan ke balik  jeruji besi.
Berdasarkan butir ini, seorang muslim pun tidak bisa nahyi munkar,  contoh: jika seorang muslim melihat syirik –sebagai kemunkaran  terbesar- dilakukan, misalnya ada yang menyembah batu atau arca,  minta-minta ke kuburan, mempersembahkan sesajen atau tumbal, maka bila  ia bertindak dengan mencegahnya atau mengacaukan acara ritual musyrik  itu, maka sudah pasti dialah yang ditangkap dan dipenjara (dengan  tuduhan mengacaukan keamanan atau merusak program kebudayaan dan pariwisata, ed ), padahal nahyi munkar adalah  ibadah yang sangat tinggi nilainya dalam agama Islam. Lalu apakah arti  kebebasan yang disebutkan itu? Bangunlah wahai kaum muslimin, jangan kau  terbuai sihir para thaghut…
Sila ke-2 Butir ke-1:
Mengakui persamaan derajat, hak dan kewajiban antara sesama manusia
Maknanya  adalah tidak ada perbedaan di antara mereka dalam status derajat, hak  dan kewajiban dengan sebab dien (agama), sedangkan AllahSubhaanahu Wa Ta’aalaa berfirman:
“Katakanlah: Tidak sama orang yang buruk dengan orang yang baik, meskipun banyaknya yang buruk menakjubkan kamu”. (Al Maaidah: 100)
“Dan  tidaklah sama orang yang buta dengan yang bisa melihat, tidak pula  kegelapan dengan cahaya, dan tidak sama pula tempat yang teduh dengan  yang panas, serta tidak sama orang-orang yang hidup dengan yang sudah  mati”. (Faathir: 19-22)
“Tidaklah sama penghuni neraka dengan penghuni surga”. (Al Hasyr: 20)
“Maka apakah orang yang mu’min (sama) seperti orang yang fasiq? (tentu) tidaklah sama…” (As Sajdah: 18)
(Sedangkan kaum musyrikin dan thaghut Pancasila menyatakan: “Mereka sama…”)
Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa berfirman:
“Maka  apakah Kami menjadikan orang-orang Islam (sama) seperti orang-orang  kafir. Mengapa kamu (berbuat demikian): Bagaimanakah kamu mengambil  keputusan? Atau adakah kamu memiliki sebuah Kitab (yang diturunkan  Allah) yang kamu baca, di dalamnya kamu benar-benar boleh memilih apa  yang kamu sukai untukmu?”. (Al Qalam: 35-38)
Sedangkan budak Pancasila menyamakan antara orang-orang Islam dengan orang-orang kafir.
Jika kita bertanya kepada mereka: Apakah kalian mempunyai buku yang kalian pelajari tentang itu?
Mereka menjawab: Ya,  tentu kami punya, yaitu buku PPKn dan buku-buku lainnya yang di  dalamnya menyebutkan: Mengakui persamaan derajat, hak dan kewajiban  antara sesama manusia.
Wahai orang yang berfikir, apakah ini Tauhid atau kekafiran….?
Sila ke-2 Butir ke-2
Saling mencintai sesama manusia
Pancasila  mengajarkan pemeluknya untuk mencintai orang-orang Nasrani, Budha,  Hindu, Konghucu, kaum sekuler, kaum liberal, para demokrat, para  quburiyyun, para thaghut dan orang-orang kafir lainnya. Sedangkan Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa menyatakan:
”Engkau  tidak akan mendapati orang-orang yang yang beriman kepada Allah dan  Hari Akhir berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan  Rasul-Nya, meskipun mereka itu adalah ayah-ayah mereka, atau anak-anak  mereka, atau saudara-saudara mereka, atau karib kerabat mereka” (Al Mujaadilah: 22).
Pancasila berkata: Haruslah saling mencintai, meskipun dengan orang non muslim (baca: Kafir).
Namun Allah memvonis: Orang yang saling mencintai dengan orang kafir, maka mereka bukan orang Islam, bukan orang yang beriman.
Jadi jelaslah bahwa Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa mengajarkan Tauhid, sedangkan Pancasila mengajarkan kekafiran. Dia berfirman:
“Wahai  orang-orang yang beriman, jangan kalian jadikan musuh-Ku dan musuh  kalian sebagai auliya yang mana kalian menjalin kasih sayag terhadap  mereka”. (Al Mumtahanah: 1)
“Sesungguhnya orang-orang kafir adalah musuh yang nyata bagi kalian”. (An Nisaa: 101)
Renungilah  ayat-ayat suci tersebut dan amati butir Pancasila di atas. Lihatlah,  yang satu arahnya ke timur, sedangkan yang satu lagi ke barat.
Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa berfirman tentang ajaran Tauhid yang diserukan oleh para Rasul:
“…Serta tampak antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja”. (Al Mumtahanah: 4)
Namun dalam ajaran thaghut Pancasila: Tidak ada permusuhan dan kebencian, tapi harus toleran dan tenggang rasa dengan sesama manusia apapun keyakinannya.
Apakah  ini tauhid atau syirik? Ya tauhid, tapi bukan tauhidullah, namun tauhid  (penyatuan) kaum musyrikin atau tauhidut thawaaghiit.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ikatan iman yang paling kokoh adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah”.
Namun seseorang yang beriman kepada Pancasila akan mencintai  dan membenci atas dasar Pancasila. Dia itu mu’min (beriman), tapi bukan  kepada Allah, namun iman kepada thaghut Pancasila. Inilah makna yang hakiki dari Ketuhanan Yang Maha Esa.Namun  Yang Maha Esa dalam agama Pancasila bukanlah Allah, tapi itulah Garuda  Pancasila yang melindungi pemuja batu dan berhala!!!
Enyahlah tuhan esa yang seperti itu…dan enyahlah pemujanya…
Sila ke-3 Butir ke-1
Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa di atas kepentingan pribadi atau golongan
Inilah  yang dinamakan dien (agama) nasionalisme yang juga merupakan salah satu  bentuk ajaran syirik, karena menuhankan negara (tanah air). Dalam butir  di atas disebutkan bahwa kepentingan nasional harus didahulukan atas  kepentingan apapun, termasuk kepentingan golongan (baca: agama). Jika  ajaran Tauhid (dien Islam) bertentangan dengan kepentingan syirik dan  kekufuran negara, maka Tauhid harus mengalah. Sedangkan Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa  berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya”. (Al Hujurat: 1)
“Katakanlah:  Bila ayah-ayah kalian, anak-anak kalian, saudara-saudara kalian,  isteri-isteri kalian, karib kerabat kalian, harta yang kalian usahakan,  perniagaan yang kalian khawatiri kerugiannya dan rumah-rumah yang engkau  sukai lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta dari jihad  di jalan-Nya, maka tunggulah….” (At Taubah: 24)
Maka  dari itu jika nasionalisme adalah segalanya, maka hukum-hukum yang  dibuat dan diterapkan adalah yang disetujui oleh kaum kafir asli dan  kaum kafir murtad. Syari’at Islam yang utuh tak mungkin ditegakkan,  karena menurut mereka syari’at (hukum) Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa sangat-sangat menghancurkan tatanan kehidupan yang berdasarkan paham nasionalis[2].
Sebenarnya  jika setiap butir dari sila-sila Pancasila itu dijabarkan seraya  ditimbang dengan Tauhid, tentulah membutuhkan waktu dan lembaran yang  banyak. Penjabaran di atas hanyalah sebagian kecil dari bukti kerancuan,  kekafiran, kemusyrikan dan kezindiqan Pancasila sebagai hukum buatan  manusia yang merasa lebih adil dari Allah. Uraian ini insya Allah telah  memenuhi kadar cukup sebagai hujjah bagi para pembangkang dan cahaya  bagi yang mengharapkan lagi merindukan hidayah.
Maka  setelah mengetahui kekafiran Pancasila ini, apakah mungkin bagi  seseorang yang mengaku sebagai muslim masih mau melantunkan lagu: “Garuda Pancasila… akulah pendukungmu…. sedia berkorban untukmu…?’ Sungguh,  tak ada yang menyanyikannya, kecuali seorang kafir mulhid atau orang  jahil yang sesat, yang tidak tahu hakikat Pancasila.
Pembaca  sekalian, demikianlah sebagian kecil dari sisi-sisi kekafiran NKRI. Ini  hanyalah ringkasan kecil dari kekafiran-kekafiran nyata yang beraneka  ragam. Setelah mengetahui hal ini, apakah mungkin seorang muslim:
·      Loyal (setia) kepada NKRI dan rela berkorban untuknya?
·      Melantunkan lagu: “Bagimu negeri…jiwa raga kami”
·      Bersumpah setia kepadanya hanya karena menginginkan harta dunia yang hina?
·      Menjadi aparat keamanan yang melindungi Negara Kafir Republik Indonesia?
Semoga Allah selalu memberikan hidayah, kekuatan dan kesabaran kepada kita untuk menegakkan Tauhid.
Nantikan penjabaran selanjutnya tentang:
·      Bagaimanakah status para aparat TNI, POLRI, intelejen dan SP mereka?
·      Bagaimana status rinci bagi PNS?
dalam Seri Materi Tauhid selanjutnya…
[1] Diantaranya  adalah: UU No.15 Th. 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme  dan Peraturan Pemerintah No.24 Th. 2003 tentang Tata Cara Perlindungan  terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam perkara Tindak  Pidana Terorisme.(ed.)
[2] Perhatikanlah,  demi Allah pada hakikatnya tak ada kaum nasionalis Islami atau yang  sering juga disebut  kaum nasionalis religius, karena Islam tak mengenal  cinta negara atau bangsa atau tanah air dengan membabi buta, yang  menjadi ukuran cinta dan benci adalah hanya keimanan. Islam mengajarkan  bahwa kepentingan agama adalah segalanya, jelaslah tak ada kepentingan  yang boleh didahulukan di atas kepentingan agama Allah, apalagi  kepentingan negara kafir ini. (ed.)
Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kelompok ini perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu
BalasHapus