Perbedaan Jama'ah Salafy Indonesia dengan Tandzim Salafy Jihadi dan NII dalam memahami Al Maidah:44
Oleh Karto Suwiryo di NII News · Sunting Dokumen
(di ambil dalam diskusi antara Alya Jazilah dengan Zaky Mutaqin)
Alya Jazilah (Mewakili Jama'ah Salafy Indonesia)
Kerancuan Seputar Berhukum Selain dengan Hukum Allah
وَمَن لَّمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُوْنَ
"Barangsiapa  yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah maka mereka  itulah orang-orang yang kafir." (Al-Maidah: 44)
Penjelasan mufradat ayat:
الْكَافِرُوْنَ
Asal  makna kufur adalah menutupi sesuatu. Dikatakan petani itu "kafir"  karena dia menutupi biji (dengan tanah) dan dinamakan malam dengan  "kafir" karena ia menutupi segala sesuatu (dengan kegelapan). Pengertian  kufur secara bahasa ini seperti yang terdapat dalam Surat Al-Hadid ayat  20.
Adapun makna secara istilah syar'i adalah bahwa kekafiran itu terbagi menjadi dua:
a. Kufur Akbar yaitu yang menyebabkan pelakunya kekal dalam neraka.
b.  Kufur Ashgar yaitu kekafiran yang menyebabkan pelakunya berhak  mendapatkan ancaman tanpa dikekalkan (dalam neraka). (Al-Qaulul Mufid,  103)
Sebab Turunnya Ayat
Al-Imam Ahmad dan Ath-Thabrani dalam  Al-Mu'jam Al-Kabir meriwayatkan dari Abdullah bin 'Abbas radhiallahu  'anhuma dan beliau menyebutkan sebab turunnya ayat ini:
Allah Ta'ala  menurunkan ayat ini berkenaan tentang dua kelompok di kalangan Yahudi di  masa jahiliyyah, di mana salah satu kelompok telah menguasai yang  lainnya sehingga mereka ridha. Mereka berdamai (mengikat perjanjian)  dengan ketentuan bahwa bila ada orang dari kelompok yang mulia membunuh  (seseorang) dari kelompok yang hina maka (dia) diharuskan membayar diyat  sebesar 50 wisq (1 wisq kurang lebih 130 kg ,pen). Sementara bila ada  orang dari kelompok yang hina membunuh (seseorang) dari kelompok yang  mulia maka diyat-nya sebesar 100 wisq.
Mereka tetap memegangi hukum  (perjanjian) ini sampai Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tiba di  Madinah. Kedua kelompok tersebut merasa hina dengan kedatangan  Rasulullah shallallahu alaihi wasallam (padahal) beliau belum mengetahui  di saat (mereka) melakukan perjanjian damai. (Suatu ketika) ada orang  dari kelompok yang hina membunuh seseorang dari kelompok yang mulia.
Maka  kelompok yang mulia mengirim utusan kepada kelompok hina agar mereka  membayar 100 wisq. Berkata yang hina: "Beginikah cara dua kampung yang  agamanya satu? Nasab keturunannya satu? Negerinya satu? Sedangkan diyat  sebagian mereka setengah diyat sebagian yang lain?! Sesungguhnya kami  hanya memberikan kamu (jumlah diyat tersebut) karena penganiayaan kalian  terhadap kami dan kami takut terhadap kalian. Adapun jika Muhammad  (shallallahu 'alaihi wasallam) telah datang maka kami tidak memberikan  ini kepada kalian."
(Sikap kelompok yang hina ini) hampir menyebabkan  berkobar peperangan di antara mereka. Kemudian mereka memutuskan untuk  menjadikan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam (sebagai hakim) di  antara mereka.
Kelompok mulia berkata: "Demi Allah, Muhammad tidak  akan memberikan kepada kalian dari mereka (kelompok hina) dua kali lipat  dari apa yang diberikan mereka dari kalian. Sungguh mereka telah benar,  mereka tidaklah memberikan kepada kita (diyat tersebut) melainkan  penganiayaan dari kami dan menguasai mereka. Maka hendaklah kalian  menyelidiki Muhammad untuk mengecek pendapatnya. Jika dia memberikan  kepada kalian apa yang kalian inginkan maka kalian boleh mengangkatnya  jadi hakim dan jika dia tidak memberikan kepadamu maka kalian waspada  dan jangan kalian jadikan dia sebagai hakim."
Maka mereka pun  menyusupkan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam beberapa orang  dari kalangan munafiqin untuk mengecek pendapat Rasulullah shallallahu  alaihi wasallam. Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam datang,  Allah mengabarkan Rasul-Nya tentang seluruh perkara mereka dan apa yang  mereka kehendaki. Allahpun menurunkan firman-Nya:
وَمَن لَّمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُوْنَ
"Barangsiapa  yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah maka mereka  itulah orang-orang yang kafir." (Al-Maidah: 44)  Ibnu 'Abbas  radhiallahu 'anhuma berkata: "Demi Allah, untuk mereka turun ayat ini  dan mereka yang dimaksud oleh Allah 'Azza wa Jalla." (Asy-Syaikh  Al-Albani rahimahullah menghasankannya dalam Ash-Shahihah, 6/109-110)
Penafsiran Ayat
Ayat  Allah yang mulia ini telah ditafsirkan oleh ahli tafsir dari kalangan  shahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yaitu Abdullah bin  'Abbas radhiallahu anhuma. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir At-Thabari  rahimahullah dengan sanad yang shahih dari Ibnu Abbas beliau berkata:  "Dengannya (perbuatan itu) adalah kekafiran, namun bukan kafir terhadap  Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan para Rasul-Nya."
Dalam  riwayat lain beliau berkata: "Bukan (yang dimaksud) adalah kekufuran  yang mereka inginkan. Sesungguhnya (ayat ini) bukan kekufuran yang  mengeluarkan dari agama, (namun) kufrun duna kufrin (kekufuran di bawah  kekufuran, yaitu tidak mengeluarkan dari Islam)." (Dikeluarkan oleh  Al-Hakim dan berkata: sanadnya shahih, dan disetujui oleh Adz-Dzahabi.  Terdapat jalan lain, silakan lihat dalam Silsilah Ash-Shahihah karangan  Al-'Allamah Al-Albani 6/113-114).
Berhukum dengan Hukum Selain Allah
Telah  menyebar di kalangan sebagian kaum muslimin dan orang-orang yang  terkena penyakit kelompok Hamas (semangat tanpa ilmu), suatu fikrah  (pemikiran) bahwa setiap yang berhukum dengan selain hukum Allah maka  dia kafir dan keluar dari Islam. Dengan alasan ini mereka berkesimpulan  bahwa mayoritas bahkan seluruh pemerintahan di negara-negara Islam  adalah pemerintahan kafir. Dengan demikian para pejabatnya pun kafir,  orang-orang (dalam hal ini rakyat) yang tidak turut mengkafirkan mereka  pun kafir.
Muncullah fitnah yang disebut dengan fitnah at-takfir  (fitnah pengkafiran) yang sampai kepada tingkat pengkafiran masyarakat  muslim. Kelompok ini yang masyhur sebagai kelompok Khawarij.
Terjerumusnya mereka ke dalam kesesatan ini disebabkan dua hal:
Pertama, sedikitnya ilmu.
Kedua,  mereka tidak memahami kaidah-kaidah syariat yang benar, yang merupakan  asas dakwah Islam. Setiap orang dari kalangan kelompok sesat, yang  keluar dari asas tersebut maka dia telah menyelisihi Allah dan  Rasul-Nya. Allah berfirman:
وَمَن يُّشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْ بَعْدِ  مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ  نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَساَءَتْ مَصِيْرًا
"Barang  siapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti  jalan selain jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa dalam  kesesatan yang telah ia kuasai itu, dan Kami masukkan ia ke dalam  Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (An-Nisa: 115)
Allah  memberikan penekanan yang sangat tegas dengan firman-Nya: "Mengikuti  selain jalan kaum mukminin." Kalimat ini merupakan poin yang sangat  penting untuk membedakan antara orang-orang yang betul-betul memiliki  komitmen dengan Al Qur'an dan As Sunnah, yaitu mereka yang senantiasa  mengikuti jalan kaum mukminin dari kalangan para shahabat, tabi'in dan  tabi'ut tabi'in yang mengikutinya dangan baik, dengan kelompok yang  "mengaku" berpegang di atas Al Qur'an dan As Sunnah padahal mereka  menyelisihi jalan kaum mukminin tersebut. Orang-orang demikian mendapat  ancaman kesesatan dan siksaan yang pedih.
Ayat ini menjadi pemisah  antara golongan yang jujur dengan kelompok sempalan yang menjadikan Al  Qur'an dan As Sunnah hanya sebagai slogan semata. Kandungan ayat  tersebut sangat mirip denga apa yang disabdakan Rasulullah shallallahu  alaihi wasallam dalam hadits perpecahan umat dan yang selamat hanya satu  yaitu "Siapa yang berjalan di atas jalanku dan jalan para shahabatku."  (lihat perkataan Al-'Allamah Al-Albani rahimahullah Ta'ala dalam kitab  Fitnatut Takfir, hal. 14-18).
Jikalau mereka memperhatikan dengan  seksama penafsiran dari Ibnu 'Abbas rahimahullah yang lalu, akan nampak  bagi mereka bahwa sesungguhnya orang yang berhukum dengan selain hukum  Allah tidaklah memiliki makna mutlak kafir yang mengeluarkan seseorang  dari Islam. Namun tergantung dari keadaan mereka ketika menjadikannya  sebagai hukum selain dari hukum Allah tersebut. Apakah mereka melakukan  hal tersebut karena menganggap halal berhukum dengan selain hukum Allah  atau disebabkan karena mereka hanya mengikuti hawa nafsu mereka?!
Fatwa Ulama tentang Berhukum dengan selain Hukum Allah
Al-'Allamah  Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah Ta'ala berkata setelah  menjelaskan sebab kesesatan: "Jika engkau telah mengetahui hal ini, maka  tidak boleh membawa ayat-ayat ini kepada sebagian pemerintah kaum  muslimin dan para hakim mereka yang berhukum dengan selain yang  diturunkan Allah berupa undang-undang buatan manusia. Saya berkata:  tidak boleh mengkafirkan mereka dan mengeluarkannya dari agama, jika  mereka beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.Walaupun mereka berdosa dengan  sebab berhukum dengan selain yang diturunkan Allah. Sebab walaupun  mereka seperti Yahudi dari sisi berhukum tersebut, namun mereka  menyelisihinya dari sisi yang lain, yaitu keimanan mereka dan pembenaran  mereka dengan apa yang diturunkan Allah. Berbeda dengan Yahudi yang  kafir, mereka mengingkari (hukum Allah)."
Beliau berkata pula:  "Kekufuran terbagai menjadi dua macam: kufur i'tiqadi dan amali. Adapun  i'tiqadi tempatnya di hati, sedangkan amali tempatnya di jasmani.  Barangsiapa yang amalannya kufur karena menyelisihi syariat dan sesuai  dengan apa yang diyakini dalam hatinya berupa kekafiran, maka itu kufur  i'tiqadi yang tidak diampuni Allah dan dikekalkan pelakunya dalam neraka  selamanya. Adapun bila perbuatan tersebut menyelisihi yang diyakini  dalam hati, maka dia mukmin dengan hukum Rabb-nya. Namun penyelisihannya  dalam hal amalan, maka kekafiran adalah amali saja dan bukan kufur  i'tiqadi. Dia berada di bawah kehendak Allah, jika Dia menghendaki maka  disiksa dan jika Dia menghendaki maka diampuni. (lihat Silsilah  Ash-Shahihah karya Al-'Allamah Al-Albani rahimahullah, 6/111-112)
Al-'Allamah Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah Ta'ala berkata:
"Barangsiapa  yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah karena meremehkan,  atau menganggap hina, atau meyakini bahwa yang lainnya lebih  mendatangkan kemaslahatan dan lebih bermanfaat bagi makhluk, atau yang  semisalnya, maka dia kafir dan keluar dari Islam. Di antara mereka  adalah orang yang membuat undang-undang untuk manusia yang menyelisihi  syariat Islam agar dijadikan sebagai metode yang manusia berjalan di  atasnya.
Karena mereka tidaklah meletakkan undang-undang yang  menyelisihi syariat Islam tersebut melainkan mereka meyakini bahwa hal  tersebut lebih bermaslahat dan bermanfaat bagi makhluk. Karena telah  diketahui secara akal yang pasti dan secara fitrah bahwa tidaklah  manusia berpaling dari suatu metode menuju metode yang lain yang  menyelisihinya, melainkan dia meyakini adanya keutamaan metode yang dia  condong kepadanya dan adanya kekurangan pada metode yang dia berpaling  darinya.
Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan  Allah namun dia tidak merendahkan dan meremehkannya, dan tidak meyakini  bahwa hukum yang selainnya lebih mendatangkan kemaslahatan bagi dirinya  atau yang semisalnya, maka dia dzalim dan tidak kafir. Dan berbeda  tingkatan kedzalimannya, tergantung yang dijadikan sebagai hukum dan  perantaraan hukumnya.
Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang  diturunkan Allah bukan karena merendahkan hukum Allah, tidak pula  meremehkan dan tidak meyakini bahwa hukum yang lainnya lebih  mendatangkan maslahat dan lebih manfaat bagi makhluknya atau semisalnya,  namun dia berhukum dengannya karena adanya nepotisme terhadap yang  dihukum, atau karena sogokan, atau yang lainnya dari kepentingan dunia  maka dia fasiq dan tidak kafir. Dan berbeda pula tingkatan kefasiqannya,  tergantung kepada ada yang dia jadikan sebagai hukum dan perantaraan  hukumnya."
Kemudian beliau berkata: "Masalah ini, yaitu masalah  berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah, termasuk permasalahan  besar yang menimpa para hakim (pemerintah) di jaman ini. Hendaklah  seseorang tidak terburu-buru dalam memberi vonis (kafir) kepada mereka  dengan apa yang mereka tidak pantas mendapatkannya, sampai jelas baginya  kebenaran, karena masalah ini sangatlah berbahaya –kita memohon kepada  Allah untuk memperbaiki pemerintahan muslimin dan teman dekat mereka–.  Sebagaimana pula wajib atas seseorang yang Allah berikan kepadanya ilmu,  untuk menjelaskan kepada mereka supaya ditegakkan kepada mereka hujjah  dan keterangan yang jelas, agar seseorang binasa di atas kejelasan dan  seseorang selamat di atas kejelasan pula. Jangan dia menganggap rendah  dirinya untuk menjelaskan dan jangan pula dia segan kepada seorang pun,  karena sesungguhnya kemuliaan itu milik Allah, Rasul-Nya dan milik kaum  mukminin." (Lihat Syarah Tsalatsatul Ushul, Asy-Syaikh Ibnu 'Utsaimin,  hal. 158-159. Lihat pula kitab Fitnatut Takfir, hal. 98-103)
Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah
Mereka  ditanya: "Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan  Allah apakah dia muslim atau kafir kufur akbar (yang mengeluarkan dari  Islam) dan tidak diterima amalannya?'
Mereka menjawab:
Allah berfirman:
وَمَن لَّمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُوْنَ
"Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang kafir." (Al-Maidah: 44)
وَمَن لَّمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْظَالِمُوْنَ
"Barangsiapa  tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka  adalah orang-orang yang dzalim." (Al-Maidah: 45)
وَمَن لَّمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُوْنَ
"Barangsiapa  tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka  itu adalah orang-orang yang fasik." (Al-Maidah: 47)
Namun apabila  dia meyakini halalnya hal tersebut dan meyakini bolehnya maka ini kufur  akbar, dzalim akbar dan fasiq akbar yang mengeluarkan dari agama.
Adapun  jika dia melakukan itu karena sogokan atau karena maksud lain, dan dia  meyakini haramnya hal tersebut, maka dia berdosa, termasuk kufur ashgar,  dzalim ashgar, dan fasiq ashgar yang tidak mengeluarkan pelakunya dari  agama. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama dalam  menafsirkan ayat-ayat tersebut.
Semoga Allah memberi taufiq, dan shalawat serta salam dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan para shahabatnya
.
Atas nama:
Ketua: Abdul 'Aziz bin Baz
Wakil ketua: Abdurrazzaq 'Afifi
Anggota: Abdullah Ghudayyan
(Lihat Fitnatut Takfir, hal. 104-105)
Wallahul muwaffiq
Zacky Muttaqin (Mewakili Salafy Jihadi dan NII)
Oleh Ikhwan at Tauhid
Assalamu alaikum warohmatullohi wabarokatuh.
Saudara kita dari golongan salafy telah menganggap atsar Ibnu Abbas sebagai satu-satunya pendapat salaf dan para ulama tafsir, bahkan pendapat seluruh firqah najiyah dalam masalah ini.
Namun realita berkata lain, karena telah nyata adanya perbedaan pendapat di antara ulama salaf dalam masalah ini. Sebagian di antara mereka membawanya kepada
kekufuran akbar tanpa merincinya.
Imam Ibnu Jarir telah meriwayatkan dalam tafsirnya
(12061) : menceritakan kepadaku Ya’qub bin Ibrahim ia berkata menceritakan kepadaku Husyaim ia berkata memberitakan kepadaku Abdul Malik bin Abi Sulaiman dari Salamah bin Kuhail dari Alqamah dan Masruq bahwa keduanya bertanya kepada Ibnu Mas’ud tentang uang suap, maka beliau menjawab,Harta haram. Keduanya bertanya,Bagaimana jika oleh penguasa? Beliau
menjawab,Itulah kekafiran.
Kemudian beliau membaca
ayat ini: Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir,
Atsar ini sanadnya shahih sampai Ibnu Mas’ud, para perawinya tsiqah para perawi kutubus sitah. [Tahdzibu Tahdzib VI/240,VI/41-42,III/497-49 8,II/380]
.
Abu Ya’la dalam musnadnya (5266) meriwayatkan dari Masruq,Saya duduk di hadapan Abdullah Ibnu Mas’ud, tiba-tiba seorang laki-laki bertanya,Apakah harta haram itu? Beliau menjawab,
Uang suap. Laki-laki tersebut bertanya lagi, bagaimana kalau dalam masalah hukum.”Beliau menjawab, Itu adalah kekufuran. kemudian beliau membaca ayat: Dan barang siapa tidak
memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir.
Atsar ini juga diriwayatkan oleh Al Baihaqi (X/139), Waki’ dalam Akhbarul Qudhat I/52, dan disebutkan Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Al Mathalibu Al ‘Aliyah II/250, beliau menisbahkannya kepada Al Musaddad. Syaikh Habibur Rahman Al A‘dzami menukil perkataan imam Al Bushairi
dalam komentar beliau atas kitab Al Mathalibu Al ‘Aliyah, Diriwayatkan oleh Al Musaddad, Abu Ya’la dan Ath Thabrani secara mauquf dengan sanad yang shahih, juga diriwayatkan oleh Al hakim dan Baihaqi dari sanad ini…
bahwasanya pendapat Ibnu Abbas dalam persoalan ini tidak mungkin dimaksudkan terhadap para penguasa hari ini yang menyingkirkan syariat Islam untuk menjadi hukum yang berlaku atas hamba-hamba Allah dan mereka menggantinya dengan hukum-hukum buatan manusia, mereka mewajibkan rakyat untuk tunduk dan berhukum dengannya. Sesungguhnya maksud dari perkataan beliau kufrun duna kufrin adalah seorang qadhi dan amir yang didorong oleh syahwat dan hawa nafsunya untuk menetapkan hukum di antara manusia dalam satu atau lebih kasus dengan selain hukum Allah, namun dalam hatinya ia masih mengakui bahwa dengan hal itu ia telah
berbuat maksiat. Saudara kita dari golongan salafy telah berpedoman dengan riwayat Ibnu Abbas
dalam menafsirkan firman Allah: Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir. [QS. Al Maidah :44]. Ibnu Abbas mengatakan,Kufrun duna kufrin atau, Bukan kufur yang kalian maksudkan.ana katakan ada beberapa atsar dari Ibnu
Abbas mengenai ayat ini, sebagiannya memvonis kafir secara mutlaq atas orang yang berhukum dengan selain hukum Allah, sementara sebagian atsar lainnya tidak menyebutkan demikian.
Karena itu, dalam menafsirkan ayat tersebut ada penjelasan rinci yang sudah terkenal.
Imam Waki’ meriwayat kandalam Akhbarul Qudhah I/41,menceritakan kepada kami Hasan bin Abi Rabi’ al Jurjani ia berkata, telah menceritakan kepada kami Abdu Razaq dari Ma’mar dari
Ibnu Thawus dari bapaknya ia berkata,Ibnu Abbas telah ditanya mengenai firman Allah, Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka merekaitulah orang-orang yang kafir.
Beliau menjawab, Cukuplah hal itu menjadikannya kafir. Sanad atsar ini shahih sampai kepada Ibnu Abbas, para perawinya adalah perawi Ash Shahih selain gurunya Waki’, yaitu Hasan bin Abi Rabi’ al Jurjani, ia adalah Ibnu Ja’d al ‘Abdi. Ibnu Abi hatim mengatakan perihal dirinya,Aku telah  mendengar darinya bersama ayahku, ia seorang shaduq.Ibnu Hiban menyebutkannya dalam Ats Tsiqat. [lihat Tahdzibu Tahdzib I/515], dalam At Taqrib I/505 Al Hafidz mengomentarinya, Shaduq.
Dengan sanad imam Waki’ pula imam Ath Thabari (12055) meriwayatkannya, namun dengan lafal, Dengan hal itu ia telah kafir.
Ibnu Thawusberkata, Dan bukan seperti orang yang kafir dengan Allah, malaikat dan kitab-kitab-Nya.Riwayat ini secara tegas menerangkan bahwa Ibnu Abbas telah memvonis kafir orang yang berhukum dengan selain hukum Allah tanpa merincinya, sementara tambahan Dan bukan seperti orang yang kafir dengan Allah, malaikat dan kitab-kitab-Nya” bukanlah pendapat Ibnu Abbas, melainkan pendapat Ibnu Thawus. Memang benar, ada tambahan yang dinisbahkan kepada Ibnu Abbas dalam riwayat yang lain, yaitu riwayat Ibnu Jarir Ath Thabari (12053) menceritakan kepada kami Waki’, telah menceritakan kepada kami Ibnu Waki’ ia berkata telah menceritakan kepada kami ayahku dari Sufyan dari Ma’mar bin Rasyid dari Ibnu Thawus, dari ayahnya dari Ibnu Abbas, Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir. Ibnu Abbas berkata, Dengan hal itu ia telah kafir, dan bukan kafir kepada Allah, Malaikat, kitab-kitab dan rasul-rasul-Nya.” Sanad atsar ini juga shahih, para perawinya adalah para perawi kutubus sitah selain Hanad dan Ibnu Waki’. Hanad adalah As Sariy al Hafidz al qudwah, para ulama meriwayatkan darinya kecuali imam Bukhari. [Tadzkiratul Hufadz II/507]. Adapun Ibnu Waki’ adalah Sufyan bin Waki’ bin Jarrah, Al Hafidz berkata dalam At Taqrib I/312, Ia seorang shaduq hanya saja ia mengambil hadits yang bukan riwayatnya, maka haditsnya dimasuki oleh hadits yang bukan ia riwayatkan. Ia telah dinasehati, namun ia tidak menerima nasehat tersebut sehingga gugurlah haditsnya.Hanya saja ini tidak membahayakan, karena Hanad telah menguatkannya. Kesimpulannya, tambahan ini dinisbatkan kepada Thawus dalam riwayat Abdu Razaq dan dinisbahkan kepada Ibnu Abbas dalam riwayat Sufyan Ats Tsauri. Akibatnya ada kemungkinan ini bukanlah perkataan Ibnu Abbas, tetapi sekedar selipan dalam riwayat Sufyan. Ini bisa saja terjadi, terlebih Waki’ dalam Akhbarul Qudhat telah meriwayatkan atsar ini tanpa tambahan. Namun demikian hal inipun belum pasti. Boleh jadi, tambahan ini memang ada dan berasal dari Thawus dan Ibnu Abbas sekaligus, dan inilah yang lebih kuat. Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar