Perang Intelegen (Infiltrasi BIN di gerakan Jihad)
Oleh Abu Azzam di NII News · Sunting Dokumen
Ditulis oleh: Shiro Kosmos Jannaholic Hellphobia
Intel Nabi dan Intel Komji
Intel di era Nabi jauh berbeda dengan intel di saat kasus Komji. Meski  masa itu sudah berusia lebih dari 1400 tahu, intel Nabi jauh lebih  berakhlak dan lebih manusiawi
--Juni tahun 2002, sebuah  peristiwa penting terjadi di Masjid Raya Bogor. Seorang pria keturunan  Timur Tengah, ditangkap karena pelanggaran dokumen imigrasi. Pria  bernama Umar al Faruq, yang pernah tercatat sebagai penduduk Desa  Cijambu, Kecamatan Cijeruk, Jawa Barat, disebut-sebut TIME , punya  hubungan dengan petinggi Al-Qaidah untuk kawasan Asia Tenggara.
Ia bahkan ikut dikait-kaitkan dengan rencana pembunuhan Megawati,  dianggap terlibat dalam peledakan bom di sejumlah kota di Indonesia pada  malam Natal tahun 2000, serta merencanakan peledakan sejumlah sarana  milik AS di Singapura dan Indonesia. Siapa sesungguhnya Umar al Faruq?  Tidak jelas hingga sekarang.
Selain Umar al Faruq, dalam kasus  penangkapan tujuh tahun silam itu, tersangkut pula nama Abdul Haris,  yang kemudian ikut dibebaskan oleh pihak intelijen.
Kepada  Majalah TEMPO, Haris mengaku bahkan sempat ikut mengurus paspor. "Saya  mengenal Faruq karena membantu menguruskan paspor isterinya, Mbak Mira,"  ujarnya.
Namun, penelusuran TEMPO menemukan indikasi kuat  bahwa dia bukan sekadar "calo paspor": dia orang BIN yang ditanam dalam  Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).
Siapa Abdul Haris? Haris tak  lain adalah pengurus di Departemen Hubungan Antar-Mujahid, sebuah  posisi strategis yang mengatur hubungan antar-organisasi Islam di dalam  dan di luar negeri.
Sebagaimana dikutip TEMPO dalam Edisi 25  November-1 Desember 2002, menyebutkan, Muchyar Yara, Asisten Kepala BIN  Bidang Hubungan Masyarakat, mengaku Haris tak lain adalah seorang agen  BIN yang telah "ditanamkan" untuk mengawasi gerak-gerik berbagai  jaringan Islam, termasuk MMI.
“Haris adalah teman lama  Hendropriyono sejak masih menjadi Panglima Daerah Militer Jaya, bahkan  mungkin sejak masih kolonel. Hubungan antara Haris dan Pak Hendro  (Jenderal TNI (Purn) Abdullah Mahmud Hendropriyono, red) sebatas teman.  Tapi, tidak benar Haris ikut ditangkap bersama Al-Faruq,” ujar Muchyar  Yara kepada TEMPO.
Pria bernama lengkap Muhammad Abdul Haris  adalah lulusan IAIN, pernah menempuh pendidikan di Madinah untuk meraih  gelar Lc. Ia adalah perwira sebuah angkatan di lingkungan TNI dan  melanjutkan studi ke Madinah, sebagai salah salah satu tugas yang harus  ia jalankan.
Selama di MMI, Haris mengurusi pusat informasi. Ia  kerap menyerahkan catatan yang disebutnya sebagai ‘info intelijen’  mengenai kasus Maluku dan Poso. Ia juga mengetahui aktivis Islam  Indonesia yang pernah ikut berperang di Afghanistan. Meski aktif,  anehnya, Haris selalu menghindar jika difoto. Karena itu, dalam  dokumentasi MMI, gambar Haris tak pernah ada.
Soal Abdul Haris  ini diakui pernah diakui Ketua Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Irfan S  Awwas, suatu kali. Menurut Irfan, keberadaan Haris tiba-tiba hilang  seiring ditangkapnya Umar al-Faruq dan dijebloskannya Ustad Abubakar  Ba’asyir ke penjara.
"Sudah sekitar enam bulan Haris tidak  aktif. Kami memang mendapat kabar bahwa dia seorang agen yang  disusupkan, tapi kami tidak gegabah mempercayainya sebelum  diklarifikasi," ujarnya.
Rekayasa
Sejarah hubungan  intelijen Indonesia dengan kelompok-kelompok rekaan dalam Islam bukan  sesuatu yang baru. Dan bukan hal baru kalangan intelijen menanam agennya  ke organisasi Islam dengan tujuan melumpuhkannya. Pernyataan ini pernah  disampaikan Profesor Emiritus dari Universitas Washington, AS, Prof.  Dr. Daniel S Lev.
"Sejak masa Orde Baru, kelompok Islam selalu  dipermainkan," kata Daniel Lev. "Dari sudut pandang intelijen seperti  BIN –dulu Bakin-- orang-orang radikal Islam berguna sekali karena  gampang digerakkan dan dipakai," ujarnya dikutip TEMPO suatu ketika.
Dalam buku “Pangkopkamtib Jenderal Soemitro Dan Peristiwa 15 Januari  1974”, oleh Heru Cahyono, (Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1998), secara  rinci menjelaskan bagaimana peran-peran intelijen memainkan peran  terhadap kaum Muslim.
Permainan intelijen terhadap kalangan  Islam cukup terkemuka, ketika Opsus (Operasi Khusus) melalui Ali  Moertopo melakukan rekayasa terhadap Parmusi (Partai Muslimin  Indonesia), wadah aspirasi politik golongan Islam modernis yang berbasis  masa bekas partai Masjumi. Sementara terhadap Islam tradisional  dilakukan penggalangan melalui organisasi massa GUPPI (Gabungan Usaha  Pembaharuan Pendidikan Islam), yang mana selanjutnya secara efektif  menggarap massa Islam tradisional untuk ditarik masuk Golkar.
Terhadap Islam, pemerintah Orde Baru dan Angkatan Darat khususnya, sejak  awal menyadari mengenai kemungkinan naiknya pamor politik kekuatan  Islam. Jatuhnya kekuatan ekstrim kiri PKI –yang kemudian secara formal  diperkuat dengan keputusan pembubaran PKI—secara politis mengakibatkan  naiknya pamor politik Islam sehingga terjadilah ketidakseimbangan  (imbalance). Sayap Islam yang sedang mendapat angin, kemudian cenderung  hendak memperkuat posisinya. Padahal disadari oleh Angtakan Darat ketika  itu bahwa di dalam sayap Islam dinilai ada bibit-bibit “ekstrimisme”  yang potensial.
Intelijen ketika itu berusaha ‘menghancurkan’  PKI, menekan sayap Soekarno, dan ‘mencegah’ naiknya pamor Islam. Tugas  Opsus kala itu adalah menyelesaikan segala sesuatu dengan cara mendobrak  dan “merekayasa”.
Dalam buku “Konspirasi Intelijen dan  Gerakan Islam Radikal”, (penyunting Umar Abduh 2003), kebijakan  intelijen yang berpijak pada prinsip "kooptasi, konspirasi dan  kolaborasi (galang, rektrut, bina, tugaskan, dan binasakan)" telah mampu  'menjebak' anggota NII. Intelijen juga berhasil melakukan ‘pembusukan’  Islam tahun 1977 dengan merekrut Danu Moh. Hasan dan Ateng Djaelani  sebagai agen, yang akhirnya memunculkan kasus Komando Jihad (Komji).  Danu yang semula divonis 10 tahun, dinyatakan bebas tahun 1979. Namun  dikabarkan tewas diracun arsenikum. Intel juga dianggap menyusupkan  Hasan Baw ke gerakan Warman tahun 1978-1979.
“Komando Jihad  adalah hasil penggalangan Ali Moertopo melalui jaringan Hispran di  Jatim. Tapi begitu keluar, langsung ditumpas oleh tentara, sehingga  menjelang akhir 1970-an ditangkaplah sejumlah mantan DI/TII binaan Ali  Moertopo seperti Hispran, Adah Djaelani Tirtapradja, Danu Mohammad  Hasan, serta dua putra Kartosoewiryo, Dodo Muhammad Darda dan Tahmid  Rahmat Basuki.
Kelak ketika pengadilan para mantan tokoh DI/TII  itu digelar pada tahun 1980, terungkap beberapa keanehan. Pengadilan  itu sendiri dicurigai sebagai upaya untuk memojokkan umat Islam. Dalam  kasus persidangan Danu Mohammad Hassan [tds] umpamanya, dalam  persidangan ia mengaku sebagai orang Bakin. “Saya bukan pedagang atau  petani, saya pembantu Bakin.” [Pangkopkamtib Jenderal Soemitro Dan  Peristiwa 15 Januari 1974, Tahun 1998].
Tahun 1981 Bakin  (Sekarang BIN) sukses menyusupkan salah satu anggota kehormatan intelnya  (berbasis Yon Armed) bernama Najammudien ke dalam gerakan Jama'ah Imran  yang dikenal kasus pembacajakan pesawat Woyla.
"Pancingan"  intel juga dianggap melahirkan kasus pembunuhan massal umat Islam yang  dikenal “Peristiwa Tanjung Priok”, 12 September 1984. Tahun 1986, intel  kembali dinilai melakukan rekayasa dengan memasukkan agennya bernama  Syhahroni dan Syafki, mantan preman Blok M, dalam gerakan Usrah NII  pimpinan Ibnu Thayyib. Alhasil, gerakan-gerakan "rekayasa" yang  dimunculkan itulah yang akhirnya melahirkan stigma kekerasan dan gerakan  ekstrim di kalangan Islam.
Penyusupan
Intel di zaman  Nabi juga mirip intel-intel zaman sekarang. Al kisah, setelah Kabilah  Hauzan mendengar bahwa Mekah sudah dikuasai oleh kaum Muslimin, Malik  bin Auf An Nashri, salah satu pemuka kabilah mengumpulkan para pemuka  lainnya. Mereka sepakat melakukan penyerangan terhadap Rasulullah SAW  dan kaum Muslimin. Seperti biasanya, sebelum berangkat mereka mengirim  beberapa mata-mata. Akan tetapi, mata-mata itu gagal dan tercerai berai,  karena berhadapan dengan seorang penunggang kuda yang tidak mereka  kenal.
Sebaliknya, Rasulullah SAW telah mengirim Abdullah bin  Abi Hadrad Al Aslami, untuk menyusup, dan bermukim di Hauzan. Selama  tinggal di sana, beliau berhasil mendapatkan informasi yang berasal dari  pembesar Hauzan, Malik bin Aufah An Nashri. Informasi itu menyangkut  semua hal yang terjadi di sana, termasuk kesepakatan mereka untuk  melakukan serangan kepada Rasulullah SAW.
Akhirnya,  Rasulullah SAW memutuskan membawa 12 ribu pasukan menuju Hauzan.  Sesampai di lembah Hunain, ternyata pasukan Musyrikin sudah menunggu  terlebih dahulu, hingga berkecamuklah Perang Hunain pada tahun ke-8  setelah hijrah, pasca Fathu Mekah. Yang membedakan, intelijen di zaman  Nabi tak pernah merekayasa untuk menjatuhkan reputasi seseorang –apalagi  terhadap kelompok kaum Muslim— dibanding intelijen masa kini. Mungkin,  itu adalah cerminan intel berakhlak dan tidak berakhlak.[cha/tho/Hdytlla
h/Iqraku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar