Sistem Pemerintahan Islam Berbeda dengan Sistem Pemerintahan yang Ada di Dunia Hari ini
Oleh A Ady Generfile di NII News · Sunting Dokumen
Sesungguhnya sistem pemerintahan Islam (Khilafah)  berbeda dengan  seluruh bentuk pemerintahan yang dikenal di seluruh  dunia; baik dari  segi asas yang mendasarinya; dari segi pemikiran,  pemahaman, maqâyîs (standar), dan hukum-hukumnya untuk mengatur  berbagai urusan;  dari segi konstitusi dan undang-undangnya yang  dilegislasi untuk  diimplementasikan dan diterapkan; ataupun dari segi  bentuknya yang  mencerminkan Daulah Islam sekaligus yang membedakannya  dari semua  bentuk pemerintahan yang ada di dunia ini. Hal ini karena:
Sistem pemerintahan Islam bukan sistem kerajaan.   Islam tidak mengakui sistem kerajaan. Sistem pemerintahan Islam juga   tidak menyerupai sistem kerajaan. Hal itu karena dalam sistem kerajaan,   seorang anak (putra mahkota) menjadi raja karena pewarisan; umat tidak   ada hubungannya dengan pengangkatan raja. Adapun dalam sistem Khilafah   tidak ada pewarisan. Akan tetapi, baiat dari umatlah yang  menjadi metode untuk mengangkat khalifah.
Sistem  kerajaan juga  memberikan keistimewaan dan hak-hak khusus kepada raja  yang tidak  dimiliki oleh seorang pun dari individu rakyat. Hal itu  menjadikan raja  berada di atas undang-undang dan menjadikannya simbol  bagi rakyat,  yakni ia menjabat sebagai raja tetapi tidak memerintah,  seperti yang  ada dalam beberapa sistem kerajaan; atau ia menduduki  jabatan raja  sekaligus memerintah untuk  mengatur negeri dan penduduknya  sesuai  dengan keinginan dan kehendak hawa nafsunya, sebagaimana yang  ada dalam  beberapa sistem kerajaan yang lain. Raja tetap tidak tersentuh  hukum  meskipun ia berbuat buruk atau zalim. Sebaliknya, dalam sistem   Khilafah, Khalifah tidak diberi kekhususan dengan keistimewaan yang   menjadikannya berada di atas rakyat sebagaimana seorang raja.  Khalifah   juga tidak diberi kekhususan dengan hak-hak khusus yang   mengistimewakannya—di hadapan pengadilan—dari individu-individu umat.
Khalifah   juga bukanlah simbol umat dalam pengertian seperti raja dalam sistem   kerajaan. Akan tetapi, Khalifah merupakan wakil umat dalam menjalankan   pemerintahan dan kekuasaan. Ia dipilih dan dibaiat oleh umat untuk   menerapkan hukum-hukum syariah atas mereka. Khalifah terikat dengan   hukum-hukum syariah dalam seluruh tindakan, kebijakan, keputusan hukum,   serta pengaturannya atas urusan-urusan dan kemaslahatan umat.
Sistem  pemerintahan Islam juga bukan merupakan sistem imperium (kekaisaran).    Sebab, sesungguhnya sistem imperium itu sangat jauh dari Islam.   Berbagai wilayah yang diperintah oleh Islam—meskipun penduduknya   berbeda-beda suku dan warna kulitnya, yang semuanya kembali ke satu   pusat—tidak diperintah dengan sistem imperium, tetapi dengan sistem yang   bertentangan dengan sistem imperium. Sebab, sistem imperium tidak   menyamakan pemerintahan di antara suku-suku di wilayah-wilayah dalam   imperium. Akan tetapi, sistem imperium memberikan keistimewaan kepada   pemerintahan pusat imperium; baik dalam hal pemerintahan, harta, maupun   perekonomian.
Metode Islam dalam memerintah adalah menyamakan   seluruh orang yang diperintah di seluruh wilayah negara. Islam menolak   berbagai sentimen primordial (‘ashbiyât al-jinsiyyah). Islam   memberikan berbagai hak pelayanan dan kewajiban-kewajiban kepada   non-Muslim yang memiliki kewarganegaraan sesuai dengan hukum syariah.   Mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kaum Muslim secara   adil. Bahkan lebih dari itu, Islam tidak menetapkan bagi seorang pun di   antara rakyat di hadapan pengadilan—apapun mazhabnya—sejumlah hak   istimewa yang tidak diberikan kepada orang lain, meskipun ia seorang   Muslim. Sistem pemerintahan Islam, dengan adanya kesetaraan ini, jelas   berbeda dari imperium.
Dengan sistem demikian, Islam tidak   menjadikan berbagai wilayah kekuasaan dalam negara sebagai wilayah   jajahan, bukan sebagai wilayah yang dieksploitasi, dan bukan pula   sebagai “tambang” yang dikuras untuk kepentingan pusat saja. Akan   tetapi, Islam menjadikan semua wilayah kekuasaan negara sebagai   satu-kesatuan meskipun jaraknya saling berjauhan dan penduduknya   berbeda-beda suku. Semua wilayah dianggap sebagai bagian integral dari   tubuh negara.  Seluruh penduduk wilayah memiliki hak seperti penduduk   pusat atau wilayah lainnya. Islam menetapkan kekuasaan, sistem, dan   peraturan pemerintahan adalah satu untuk semua wilayah.
Sistem  pemerintahan Islam bukan sistem federasi.  Dalam sistem  federasi, wilayah-wilayah negara terpisah satu sama lain  dengan  memiliki kemerdekaan sendiri, dan mereka dipersatukan dalam  masalah  pemerintahan (hukum) yang bersifat umum. Sistem pemerintahan  Islam  adalah sistem kesatuan. Dalam sistem pemerintahan Islam, Marokes  di  barat dan Khurasan di timur dinilai sebagaimana Propinsi al-Fiyum  jika  ibukota negaranya di Kairo. Keuangan seluruh wilayah (propinsi)   dianggap sebagai satu-kesatuan dan APBN-nya juga satu, yang dibelanjakan   untuk kemaslahatan seluruh rakyat tanpa memandang propinsinya.   Seandainya suatu propinsi pemasukannya tidak mencukupi kebutuhannya,   maka propinsi itu dibiayai sesuai dengan kebutuhannya, bukan menurut   pemasukannya. Seandainya pemasukan suatu propinsi tidak mencukupi   kebutuhannya maka hal itu tidak diperhatikan, tetapi akan dikeluarkan   biaya dari APBN sesuai dengan kebutuhan propinsi itu, baik pemasukannya   mencukupi kebutuhannya ataupun tidak.
Sistem pemerintahan  Islam bukan sistem republik.  Sistem republik pertama kali  tumbuh sebagai reaksi praktis terhadap  penindasan sistem kerajaan  (monarki). Sebabnya, raja memiliki kedaulatan  dan kekuasaan sehingga ia  memerintah dan bertindak atas negeri dan  penduduk sesuai dengan  kehendak dan keinginannya. Rajalah yang  menetapkan undang-undang  menurut keinginannya. Lalu datanglah sistem  republik, kemudian  kedaulatan dan kekuasaan dipindahkan kepada rakyat  dalam apa yang  disebut dengan demokrasi. Rakyatlah yang kemudian membuat   undang-undang; yang  menetapkan halal dan haram, terpuji dan tercela.   Lalu pemerintahan berada di tangan presiden dan para menterinya dalam   sistem republik presidentil dan di tangan kabinet dalam sistem republik   parlementer. (Contohnya—menyangkut pemerintahan di tangan kabinet—ada  di  dalam sistem monarki yang kekuasaan pemerintahannya dicabut dari  tangan  raja;  ia hanya menjadi simbol: ia menjabat raja, tetapi tidak   memerintah).
Adapun dalam Islam, kewenangan untuk melakukan   legislasi (menetapkan hukum) tidak di tangan rakyat, tetapi ada pada   Allah. Tidak seorang pun selain Allah dibenarkan menentukan halal dan   haram.  Dalam Islam, menjadikan kewenangan untuk membuat hukum berada di   tangan manusia merupakan kejahatan besar.  Allah SWT berfirman:
Mereka  telah menjadikan para pembesar mereka dan rahib-rahib mereka sebagai  tuhan selain Allah. (QS at-Taubah [9]: 31).
Ketika  turun  ayat di atas, Rasulullah saw. menjelaskan bahwa sesungguhnya para   pembesar dan para rahib telah membuat hukum, karena mereka telah   menetapkan status halal dan haram bagi masyarakat, lalu mayarakat   menaati mereka. Sikap demikian dianggap sama dengan menjadikan para   pembesar dan para rahib itu sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Demikian   sebagaimana dijelaskan Rasulullah saw. ketika menjelaskan maksud ayat   tersebut. Penjelasan Rasul mengenai maksud ayat tersebut menunjukkan   betapa besarnya kejahatan orang yang menetapkan halal dan haram selain   Allah.  Imam at-Tirmidzi telah mengeluarkan hadis dari jalan Adi bin   Hatim yang  berkata:
Aku pernah datang kepada Nabi saw.,  sementara di leherku bergantung salib yang terbuat dari emas.  Nabi saw.  lalu bersabda, “Wahai Adi, campakkan berhala itu dari tubuhmu!” Aku  lalu mendengar Beliau membaca al-Quran surat at-Taubah ayat 31 (yang  artinya):  Mereka menjadikan para pembesar dan para rahib mereka  sebagai tuhan-tuhan selain Allah.  Nabi saw. kemudian bersabda, “Benar,   mereka tidak menyembah para pembesar dan para rahib itu. Akan tetapi,   ketika para pembesar dan para rahib itu menghalalkan sesuatu bagi   mereka,  mereka pun menghalalkannya, dan jika para pembesar dan para   rahib itu mengharamkan sesuatu, mereka pun mengharamkannya.” (HR  at-Tirmidzi).
Pemerintahan  dalam Islam juga tidak dengan metode  kabinet, yang mana setiap  departemen memiliki kekuasaan, wewenang, dan  anggaran yang terpisah satu  sama lain; ada yang lebih banyak dan ada  yang lebih sedikit.   Keuntungan satu departemen tidak akan ditransfer  ke departemen lain  kecuali dengan mekanisme yang panjang. Hal ini  mengakibatkan banyaknya  hambatan untuk mengatasi berbagai kepentingan  rakyat, karena banyaknya  intervensi dari beberapa departemen hanya  untuk mengurus satu  kemaslahatan rakyat saja. Padahal seharusnya  berbagai kemaslahatan  rakyat itu dapat ditangani oleh satu struktur  administrasi saja.
Dalam  sistem republik, pemerintahan  didistribusikan di antara departemen yang  disatukan dalam kabinet yang  memegang kekuasaan secara kolektif. Dalam  Islam tidak terdapat  departemen yang memiliki kekuasaan pemerintahan  secara keseluruhan  (menurut bentuk demokrasi). Akan tetapi, Khalifah  dibaiat oleh umat  untuk memerintah mereka menurut Kitabullah dan Sunnah  Rasul-Nya.  Khalifah berhak menunjuk para mu‘âwin (wazîr tafwîdh)  untuk  membantunya mengemban tanggung jawab kekhilafahan. Mereka adalah  para  wazîr—dalam makna bahasa—yaitu para pembantu (mu‘âwin) Khalifah  dalam  masalah-masalah yang ditentukan oleh Khalifah.
Sistem  pemerintahan Islam bukan sistem demokrasi menurut pengertian  hakiki demokrasi ini, baik dari segi bahwa kekuasaan  membuat  hukum—menetapkan halal dan haram, terpuji dan tercela—ada di  tangan  rakyat maupun dari segi tidak adanya keterikatan dengan  hukum-hukum  syariah dengan dalih kebebasan. Orang-orang kafir memahami  betul bahwa  kaum Muslim tidak akan pernah menerima demokrasi dengan  pengertiannya  yang hakiki itu. Oleh karena itu, negara-negara kafir  penjajah  (khususnya AS saat ini) berusaha memasarkan demokrasi di  negeri-negeri  kaum Muslim. Mereka berupaya memasukkan demokrasi itu ke  tengah-tengah  kaum Muslim melalui upaya penyesatan (tadhlîl), bahwa demokrasi  merupakan alat untuk memilih penguasa.
Anda  bisa melihat,  mereka mampu menghancurkan perasaan kaum Muslim dengan  seruan demokrasi  itu, dengan memfokuskan pada seruan demokrasi sebagai  pemilihan  penguasa. Tujuannya adalah untuk memberikan gambaran yang  menyesatkan  kepada kaum Muslim, yakni seakan-akan perkara yang paling  mendasar  dalam demokrasi adalah pemilihan penguasa.  Karena  negeri-negeri kaum  Muslim saat ini sedang ditimpa penindasan, kezaliman,  pembungkaman, dan  tindakan represif penguasa diktator, baik mereka  berada dalam sistem  yang disebut kerajaan ataupun republlik; sekali lagi  kami katakan,  karena negeri-negeri Islam mengalami semua kesengsaraan  tersebut maka  kaum kafir dengan mudah memasarkan demokrasi di  negeri-negeri kaum  Muslim sebagai aktivitas memilih penguasa.
Mereka  berupaya  menutupi dan melipat bagian mendasar dari demokrasi itu  sendiri, yaitu  tindakan menjadikan kewenangan membuat hukum serta  menetapkan halal dan  haram berada di tangan manusia, bukan di tangan  Tuhan manusia. Bahkan  sebagian aktivis Islam, termasuk di antaranya  adalah para syaikh (guru  besar), mengambil tipuan itu; baik dengan niat  yang baik maupun buruk.  Jika Anda bertanya kepada mereka tentang  demokrasi, mereka menjawab  bahwa demokrasi hukumnya boleh dengan  anggapan, demokrasi adalah  memilih penguasa. Adapun mereka yang memiliki  niat buruk berupaya  menutupi, melipat, dan menjauhkan pengertian hakiki  demokrasi  sebagaimana yang ditetapkan oleh penggagas demokrasi itu  sendiri.
Menurut  mereka, demokrasi bermakna: kedaulatan ada di  tangan rakyat—yang  berwenang membuat  hukum sesuai dengan kehendak  mereka berdasarkan  suara mayoritas, menghalalkan dan mengharamkan, serta  menetapkan status  terpuji dan tercela; individu memiliki kebebasan  dalam segala  perilakunya—bebas berbuat apa saja sesuai dengan  kehendaknya, bebas  meminum khamr, berzina, murtad, serta mencela dan  mencaci hal-hal yang  disucikan dengan dalih demokrasi dan kebebasan  individual. Inilah  hakikat demokrasi. Inilah realita, makna, dan  pengertian demokrasi.  Lalu bagaimana bisa seorang Muslim yang mengimani  Islam mengatakan  bahwa demokrasi hukumnya boleh atau bahwa demokrasi itu  berasal dari  Islam?
Adapun masalah umat memilih penguasa atau  memilih  Khalifah, hal itu merupakan perkara yang telah dinyatakan di  dalam  nash-nash syariah. Kedaulatan di dalam Islam ada di tangan  syariah.  Akan tetapi, baiat dari rakyat kepada Khalifah merupakan syarat   mendasar agar seseorang menjadi khalifah. Sungguh, pemilihan Khalifah   telah dilaksanakan secara praktis di dalam Islam pada saat seluruh dunia   masih hidup di bawah kegelapan, kediktatoran, dan kezaliman para  raja. 
Siapa yang mendalami tatacara pemilihan Khulafaur  Rasyidin—Abu  Bakar, Umar bin al-Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali  bin Abi Thalib;  semoga Allah meridhai mereka—maka ia akan dapat melihat  dengan jelas  bagaimana dulu telah sempurnanya pembaiatan kepada para  khalifah itu  oleh ahl al-halli wa al-‘aqdi dan para wakil kaum  Muslim.
Dengan  baiat itu, masing-masing dari mereka menjadi  khalifah yang ditaati oleh  kaum Muslim. Abdurrahman bin Auf, yang kala  itu telah diangkat menjadi  wakil atas sepengetahuan pendapat mereka  yang menjadi representasi kaum  Muslim (mereka adalah penduduk Madinah),  telah berkeliling di  tengah-tengah mereka; ia bertanya kapada si anu  dan si anu, mendatangi  rumah ini dan itu, serta menanyai laki-laki dan  perempuan untuk melihat  siapa di antara para calon khalifah yang ada,  yang mereka pilih untuk  menduduki jabatan khalifah. Pada akhirnya,  pendapat orang-orang mantap  ditujukan kepada Utsman bin Affan, lalu  dilangsungkanlah baiat secara  sempurna kepadanya.
Ringkasnya,  sesungguhnya demokrasi adalah  sistem kufur; bukan karena demokrasi  mengatakan tentang pemilihan  penguasa, dan hal itu juga bukan menjadi  masalah mendasar, tetapi karena  perkara mendasar dalam demokrasi adalah  menjadikan kewenangan untuk  membuat hukum berada di tangan manusia,   bukan pada Allah, Tuhan alam  semesta.  Padahal Allah SWT berfirman:
Menetapkan  hukum itu hanyalah milik Allah. (QS Yusuf [10]: 40).  
Demi   Tuhanmu, mereka hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu   hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak   merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan,   dan mereka menerimanya dengan sepenuhnya. (QS an-Nisa’ [4]: 65).
Terdapat   banyak dalil (selain ayat-ayat di atas, ed.) yang saling mendukung,   yang sudah diketahui bersama, yang menyatakan bahwa kewenangan   menetapkan hukum adalah milik Allah SWT.
Apalagi demokrasi juga   menetapkan kebebasan pribadi (personal freedom), yang menjadikan   laki-laki dan perempuan bebas melakukan apa saja yang mereka inginkan   tanpa memperhatikan halal dan haram. Demokrasi juga menetapkan kebebasan   beragama (freedom of religion), di antaranya berupa kebebasan   untuk murtad dan gonta-ganti agama tanpa ikatan.  Demokrasi juga   menetapkan kebebasan kepemilikan (freedom of ownership), yang   menjadikan pihak yang kuat mengeksploitasi pihak yang lemah dengan   berbagai sarana sehingga yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin   miskin.
Demokrasi pun menetapkan kebebasan berpendapat (freedom  of opinion),  bukan kebebasan dalam mengatakan yang haq, tetapi  kebebasan dalam  mengatakan hal-hal yang menentang berbagai kesucian  yang ada di  tengah-tengah umat. Bahkan mereka menganggap orang-orang  yang berani  menyerang Islam di bawah slogan kebebasan berpendapat  sebagai bagian  dari para pakar opini yang sering disebut sebagai para  pahlawan.
Atas  dasar ini, sistem pemerintahan Islam (Khilafah)  bukan sistem kerajaan,  bukan imperium, bukan federasi, bukan republik,  dan bukan pula sistem  demokrasi sebagaimana yang telah kami jelaskan  sebelumnya.
wallahu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar