NKA NII

NKA NII
Negara Karunia Allah Negara Islam Indonesia

Rabu, 19 Desember 2012

SYUBHAT 01 – Penguasa itu Tidak Kafir Kufrun Akbar Tapi Kufrun Duuna Kufrin

POKOK SYUBHAT-SYUBHAT

Syubhat-syubhat yang kami bantah dalam lembaran-lembaran ini adalah:
  • Penguasa itu tidak kafir kufrun akbar tapi kufrun duuna kufrin.
  • Sesungguhnya mereka itu mengucapkan laa ilaaha Illallah.
  • Sesungguhnya mereka itu shalat dan shaum
  • Siapa yang mengkafirkan orang Islam maka dia telah kafir.
  • Udzur jahil.
  • Terpaksa, tertindas, sumber pencaharian, dan mashlahat.

SYUBHAT PERTAMA
Penguasa itu Tidak Kafir Kufrun Akbar Tapi Kufrun Duuna Kufrin.

Al Mujaadiluun (orang-orang yang membela) bala tentara qawaaniin itu berkata: kami tidak sepaham dengan kalian dalam ashl (pokok) yang kalian jadikan sebagai landasan untuk mengkafirkan para pendukung penguasa/pemerintah dari kalangan intelejen, para tentara/polisi dan yang lainnya, karena kekafiran pemerintah-pemerintah ini menurut kami adalah sekedar kufrun duuna kufrin sebagaimana yang dikatakan Ibnu ‘‘Abbas radliyallahu ‘anhuma. Sehingga setiap cabang yang kalian bangun di atasnya untuk mengkafirkan para penguasa dengan kufrun akbar adalah tidak benar menurut hemat kami.[7]
Maka kita jawab: Tidak ada satu masalahpun melainkan pasti ada perselisihan pendapat manusia di dalamnya, akan tetapi hal itu tidak berarti boleh dipelintirkan dan tidak boleh mengetahui yang benar di dalamnya, sebab tidak setiap perbedaan itu bisa dianggap. Kebenaran itu hanyalah satu tidak berbilang, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلا الضَّلالُ
“Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan.” (QS. Yunus [10]: 32).
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلافًا كَثِيرًا
“Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya” (QS. An Nisa [4]: 82). 
Oleh sebab itu para ulama berkata bahwa ikhtilaf tanawwu’ itu bisa saja, karena itu adalah ikhtilaf dalam furuu’ yang bisa bersumber dari perbedaan dalam penilaian shahih atau dha’ifnya suatu hadits, atau karena tidak sampainya hadits itu kepada si ahli fiqh dan sebab-sebab lainnya.
Adapun ikhtilaf tadhaadd terutama dalam masalah yang paling penting dalam dien ini seperti syirik dan tauhid, iman dan kafir, maka tidak boleh dan tidak halal bagi seorangpun untuk rela dengannya, atau mengakuinya, atau menjadikannya sebagai jalan dan udzur/alasan untuk loyalitas kepada kaum murtaddin dan ahli syirik, atau membelanya, atau berkasih sayang dengannya. Dan justeru harus divonis tuntas dengan tegas dalam masalah-masalah yang dibangun di atas autsaqu ‘ural iimaan (ikatan iman yang paling kokoh), serta cepat sampai kepada kebenaran di dalamnya, karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak membiarkan kita begitu saja dan tidak menciptakan kita sia-sia belaka:
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لا تُرْجَعُونَ
“Maka Apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami?,” (QS. Al Mukminuun [23]: 115).
            Dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak mengalpakan sesuatupun dalam Al Kitab, Dia berfirman:
مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ث
“Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab,” (QS: Al An’aam: 38).
Tiada satupun kebaikan melainkan Allah telah memberikan petunjuk kita atas hal itu dan menganjurkan untuk meraihnya. Dan tidak ada satu keburukanpun melainkan Allah telah mengingatkan kita dari hal itu dan menghati-hatikan dari bahayanya:
لِيَهْلِكَ مَنْ هَلَكَ عَنْ بَيِّنَةٍ وَيَحْيَا مَنْ حَيَّ عَنْ بَيِّنَةٍ
“Yaitu agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata (pula).” (QS. Al Anfaal [8]: 42). 
Dan masalah ini –yaitu kafirnya para penguasa dan thaghut-thaghut itu– bagi orang yang telah paham terhadap diennya dan telah mengetahui tauhidnya adalah lebih terang daripada matahari di siang bolong. Akan tetapi tidak aneh apabila cahaya matahari itu menjadi tersamar atas orang yang ada penyakit belek di matanya.[8]
Dan maksud kami di sini –Insyaa Allah ta’ala– adalah mengobati belek itu dan menghilangkan apa yang mengaburkannya dengan pancaran tauhid dan dengan obat itsmid dari Al Kitab dan Assunnah.
Maka kami katakan: Ketahuilah terlebih dahulu bahwa sesungguhnya thaghut-thaghut itu tidak dikafirkan dari satu sisi saja sehingga pengkafirannya bisa dibantah dengan syubhat yang rapuh yang dibangun di atas ucapan yang dinisbatkan kepada Ibnu ‘‘Abbas radliyallahu ‘anhuma, kufrun duuna kufrin, akan tetapi thaghut-thaghut itu dikafirkan dari banyak sisi yang beraneka ragam:
  • Di antaranya: Sesungguhnya syahadat tauhid laa ilaaha Illallah itu memiliki dua rukun yang sangat mendasar yang di mana salah satunya tidak bisa berdiri sendiri tanpa yang satunya lagi.
Untuk diterima dan sahnya syahadat ini harus didatangkan kedua rukun itu seluruhnya, yaitu penafian (Laa ilaaha) dan penetapan (illaallaah) atau al kufru bith thaghut wal iimaan billah, sebagaimana yang telah Allah jelaskan dalam firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا
“Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus” (QS. Al Baqarah [2]: 256)
Siapa orang yang tidak menggabungkan antara dua rukun ini maka dia itu tidak berpegang pada al ‘urwah al wutsqaa (tauhid), dan sedangkan orang yang tidak berpegang kepada al ‘urwah al wutsqaa maka dia itu binasa bersama orang-orang yang binasa, karena dia bukan tergolong dalam jajaran kaum muwahhidiin, akan tetapi dia berada dalam deretan kaum musyrikin atau orang-orang kafir.
Para penguasa yang telah menjadikan bersama Allah tandingan-tandingan yang membuat hukum dan perundang-undangan itu, kalau seandainya kita percaya klaim mereka bahwa mereka itu beriman kepada Allah, tentu ini tidak cukup untuk masuk di dalam lingkaran tauhid, sebab masih ada satu rukun lain yang Allah sebutkan di dalam ayat itu sebelum rukun beriman kepada-Nya karena keberadaannya yang sangat penting, yaitu al kufru bith thaghut (kafir terhadap thaghut).
Jadi iman mereka terhadap Allah tanpa kufur terhadap thaghut adalah sama seperti imannya orang-orang kafir Quraisy terhadap Allah tanpa disertai kafir terhadap thaghut-thaghut mereka.
Dan merupakan suatu yang maklum bahwa iman semacam ini sama sekali tidak bermanfaat bagi orang-orang Quraisy, darah dan harta mereka tidak terjaga dengannya sehingga mereka menyertakan dengannya baraa’ah dan kafir terhadap thaghut-thaghut mereka. Dan adapun sebelum itu dilakukan maka keimanan mereka yang masih bercampur dengan kemusyrikan yang nyata itu sama sekali tidak berguna bagi diri mereka, baik di dunia[9] ataupun di akhirat[10], Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلا وَهُمْ مُشْرِكُونَ
Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS. Yusuf [12]: 106). 
Syirik itu membatalkan keimanan dan menghapuskan seluruh amalan, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu Termasuk orang-orang yang merugi” (QS. Az Zumar [39]: 65). 
Dan suatu yang maklum bahwa para penguasa itu tidak kafir terhadap thaghut-thaghut timur dan barat, serta mereka itu tidak berlepas diri darinya. Bahkan justeru mereka itu beriman kepada thaghut-thaghut itu, loyalitas terhadapnya, dan berhakim kepada mereka dalam menyelesaikan persengketaan dan perselisihan, mereka rela dengan hukum thaghut-thaghut yang kafir itu dan dengan undang-undang internasionalnya yang kafir itu.[11]
Dan begitu juga thaghut-thaghut arab dan perjanjian/kesepakatan mereka yang sama persis dengan kesepakatan internasional PBB yang mulhid lagi kafir.
Mereka (para penguasa) terhadap semua thaghut-thaghut itu adalah teman dekat, auliyaa, dan budak-budak yang tidak menjauhinya, dan tidak menjauhi pembelaan terhadap mereka dan dukungannya terhadap kemusyrikan mereka itu, sehingga mereka bisa keluar dari kemusyrikan yang dimana mereka telah masuk dikubangannya, dan setelah (melakukan) itu semua baru mereka bisa dihukumi sebagai orang Islam.
Bila saja status thaghut-thaghut arab itu masih samar/kabur di mata orang yang berbelek, akan tetapi status thaghut-thaghut kekafiran barat dan timur dari kalangan nasrani, budha, komunis, hindu, dan yang lainnya adalah tidak samar lagi demi Allah kecuali atas orang yang buta. Namun demikian para penguasa (thaghut-thaghut) arab[12] itu adalah saudara dan sahabat karib bagi thaghut-thaghut tadi, mereka tidak kafir terhadapnya, dan justeru mereka diikat dengan hubungan persaudaraan, kedekatan dan saling menyayangi, mereka diikat dengan perjanjian kafir PBB, dan saat terjadi persengketaan merekapun merujuk ke mahkamah kafir internasional yang bersarang di Denhag.[13]
Mereka tidak merealisasikan rukun tauhid yang paling pertama dan paling penting (al kufru bith thaghut) sehingga dengannya mereka bisa dihukumi muslim. Ini bila kita mengalah mau menerima bahwa mereka itu telah mendatangkan rukun tauhid yang lain yaitu (al iman billah), maka bagaimana keadaannya bila di samping itu semua sesungguhnya diri mereka itu juga adalah thaghut yang diibadati selain Allah,[14] mereka membuat hukum dan perundang-undangan bagi manusia, mereka mengajak rakyat untuk mentaatinya, serta memaksa mereka untuk mematuhi undang-undangnya yang bathil ini sebagaimana yang akan datang penjelasannya.
  • Mereka dikafirkan juga dari status istihzaa’ (perolok-olokan) mereka terhadap Allah dan syari’at-Nya.
Dan pelegalan yang mereka berikan kepada setiap orang yang memperolok-olok (syari’at) Allah lewat koran, siaran radio, atau televisi, dan yayasan-yayasan pemberitaan yang serba boleh dan bebas lagi kafir lainnya yang mereka lindungi dan mereka jaga dengan undang-undang dan aparat hukumnya.
Sedangkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengatakan:
قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (٦٥) لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
“Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok?” tidak usah kalian mencari-cari alasan, karena kalian kafir sesudah beriman“ (QS. At Taubah [9]: 66-65).
Ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang yang asalnya muslim, mereka shalat, shaum, zakat, dan keluar ikut dalam peperangan yang tergolong peperangan terbesar bagi kaum muslimin, namun demikian Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengkafirkan mereka tatkala muncul dari mereka ungkapan-ungkapan yang dengannya mereka memperolok-olok para penghapal Al Qur’an (para sahabat). Maka apa gerangan dengan makhluk-makhluk hina itu (para penguasa sekarang maksudnya) yang tidak menghargai keagungan agama Allah, dan mereka telah menjadikan dien ini sebagai mainan dan bahan perolok-olok bagi setiap orang hina, serta mereka meletakannya di belakang punggungnya.
Dan lebih dahsyat dari itu semua adalah mereka itu mensejajarkan dien ini dengan undang-undang dan hukum-hukum mereka yang hina. Mereka bertarung suara di atasnya, dan meminta pendapat dalam hal perintah-perintah dan larangan-larangannya bersama orang-orang sekuler, orang-orang nasrani, dan orang-orang mulhid. Maka apakah ada bentuk perolok-olokan dan penghinaan yang lebih besar dari ini???
  • Mereka dikafirkan juga dari sisi loyalitas mereka terhadap orang-orang musyrik barat dan timur, serta kerjasama mereka dengan orang-orang musyrik itu untuk menghabisi/membungkam kaum muwahhidiin.
Baik itu dengan akad kesepakatan keamanan yang dengan jalur ini mereka saling tukar menukar informasi tentang kaum muwahhidiin yang mereka cap sebagai teroris dan Islam militan (garis keras). Dan dengan jalur kesepakatan ini diserahkanlah kaum muwahhidiin dan mujahidin kepada musuh-musuh mereka dari kalangan thaghut-thaghut negara-negara lain.[15] Sedangkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman:
وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
“Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.” (QS. Al Maaidah [5]: 51) 
Oleh sebab itu Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam hal-hal yang membatalkan ke Islaman: Pembatalan yang ketiga: Mendukung dan bekerja sama dengan orang-orang musyrik untuk membinasakan/membabat kaum muwahhidiin adalah kekafiran.
Cucu beliau Syaikh Sulaiman Ibnu Abdillah Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam risalahnya Hukmu Muwaalaati Ahlil Isyraak saat menjelaskan firman-Nya:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ نَافَقُوا يَقُولُونَ لإخْوَانِهِمُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَئِنْ أُخْرِجْتُمْ لَنَخْرُجَنَّ مَعَكُمْ وَلا نُطِيعُ فِيكُمْ أَحَدًا أَبَدًا وَإِنْ قُوتِلْتُمْ لَنَنْصُرَنَّكُمْ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ
”Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang munafik yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir di antara ahli kitab: “Sesungguhnya jika kamu diusir niscaya Kamipun akan keluar bersama kalian; dan Kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapapun untuk (menyusahkan) kalian, dan jika kalian diperangi pasti Kami akan membantu kalian.” dan Allah menyaksikan bahwa Sesungguhnya mereka benar-benar pendusta.”  (QS. Al Hasyr [59]: 11) 
Sesungguhnya ayat-ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang yang mereka itu menampakan keislaman, dan hal itu diterima dari mereka di dunia ini sehingga mereka itu diperlakukan layaknya kaum muslimin, karena orang-orang muslim itu diperintahkan untuk menghukumi sesuai dhahir, akan tetapi tatkala mereka mengadakan kesepakatan kerjasama saling membantu bersama orang-orang yahudi untuk melawan kaum muwahhidiin –padahal Allah mengetahui bahwa mereka itu dusta dalam kesepakatan ini–, telah dijalin di antara mereka dengan ahli kitab kesepakatan ukhuwwah dan Allah mensifati mereka bahwa mereka itu adalah saudara-saudara ahli kitab, dan ini adalah takfir bagi mereka. Ini adalah makna ucapan beliau rahimahullah.
Maka apa gerangan dengan orang yang mengikat berbagai macam kesepakatan saling membantu dengan kaum musyrikin dari kalangan budak undang-undang, baik dari timur atau dari barat, dia memerangi kaum muwahhidiin, dan menyerahkan mereka kepada pemerintah-pemerintahnya? Maka tidak diragukan lagi, bahwa ini lebih utama untuk masuk dalam hukum tersebut.
  • Mereka dikafirkan dari sisi bawa mereka menjadikan demokrasi sebagai dien yang mereka anut pengganti dienullah.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإسْلامُ
 “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam” (QS: Ali Imran: 19)
Islam adalah dienullah yang haq yang dengannya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus.
Adapun demokrasi adalah dien yang telah diciptakan oleh orang-orang Yunani. Dan ini tidak diragukan lagi bukanlah bagian dari dienul Islam, sehingga secara pasti bukanlah bagian dari kebenaran.
فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلا الضَّلالُ
“Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan.” (QS. Yunus [10]: 32) 
Sedangkan para penguasa itu menyatakan dan selalu meneriakan dalam keadaan rela lagi tidak terpaksa, bahkan mereka merasa bangga dan girang bahwa demokrasi adalah pilihan mereka satu-satunya dan bukan Islam.
Demokrasi dengan Islam itu tidak bisa kedua-duanya bersatu,[16] sebab Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak akan menerima kecuali Islam yang khaalish (murni tidak bercampur syirik). Sedangkan Islam yang merupakan dienullah al khaalish telah menjadikan tasyrii’ (wewenang membuat aturan/perundang-undangan/hukum) serta putusan hanya milik Allah saja, sedangkan demokrasi adalah dien syirik lagi kafir yang telah menjadikan putusan tasyrii’ hanyalah milik rakyat bukan milik Allah, dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak menerima dan tidak rela bila seseorang menggabungkan antara kekafiran dengan Islam atau antara tauhid dengan syirik.
Bahkan Islam dan tauhid itu tidak sah kecuali bila seseorang kafir dan berlepas diri dari setiap paham (dien) selain dien Al Islam Al Khaalish.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman tentang yusuf ‘alaihissalam:
إِنِّي تَرَكْتُ مِلَّةَ قَوْمٍ لا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَهُمْ بِالآخِرَةِ هُمْ كَافِرُونَ (٣٧)وَاتَّبَعْتُ مِلَّةَ آبَائِي إِبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ مَا كَانَ لَنَا أَنْ نُشْرِكَ بِاللَّهِ مِنْ شَيْءٍ
“Sesungguhnya aku telah meninggalkan agama orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, sedang mereka ingkar kepada hari kemudian. Dan aku pengikut agama bapak-bapakku yaitu Ibrahim, Ishak dan Ya’qub. Tiadalah patut bagi Kami (para Nabi) mempersekutukan sesuatu apapun dengan Allah.” (QS. Yusuf [12]: 37-38).
Dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadist shahih yang diriwayatkan oleh Al Imam Muslim:
من قال لا إله إلا الله وكفر بما يُعبد من دون الله حرم ماله ودمه وحسابه على الله)، وفي رواية عند مسلم أيضاً: (من وحّد الله… الحديث).
“Siapa mengucapkan Laa ilaaha Illallah dan kafir terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah, maka haram harta dan darahnya, sedangkan penghisabannya adalah atas Allah”
Dan dalam riwayat Muslim yang lain: “siapa yang mentauhidkan Allah….”
Yang disebut agama itu bukanlah hanya Nasrani dan Yahudi saja, akan tetapi juga termasuk komunisme, demokrasi dan ajaran-ajaran serta paham-paham kafir yang ada di bumi ini. Wajib baraa’ah dari seluruh ajaran-ajaran, agama-agama, paham-paham yang bathil agar Allah menerima Dien Al Islam.
Sebagaimana tidak boleh dalam dienullah ini seseorang berstatus sebagai muslim Nasrani, atau muslim Yahudi, maka begitu juga Allah tidak rela bila seseorang berstatus sebagai muslim demokrat, karena Islam adalah dienullah, sedangkan demokrasi adalah agama kafir:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 85).
Ini bila mereka menggabungkan antara Islam dengan demokrasi, maka bagaimana halnya bila mereka itu telah meninggalkan Islam dan berpaling dari syari’atnya, hukum-hukumnya, huduudnya, dan mereka justeru memilih demokrasi, hukumnya dan tasyrii’nya.
  • Mereka dikafirkan dari keberadaan mereka yang mensetarakan diri mereka dan tuhan-tuhan mereka yang beragam itu dengan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.
Bahkan mereka itu dalam agama (paham) yang mereka anut tersebut lebih agung dari Allah. Hukum-hukum Allah ditelantarkan dan dilempar begitu saja, dan siapa orangnya yang menentang hukum-hukum Allah itu, atau menyalahinya, atau memeranginya, atau memperolok-oloknya, maka dia itu adalah kekasih mereka, wali mereka yang dilindungi undang-undang mereka. Dan undang-undang itu menjamin baginya kebebasan i’tiqad, dan hak hidup padahal orang itu adalah murtad dalam Agama Allah ini.
Adapun orang yang menyalahi undang-undang mereka atau mencaci dustuur-dustuurnya, atau mencela arbaab mereka yang beragam itu, maka orang itu adalah orang yang dibenci, disiksa, dipenjara, dan diintimidasi. Di antara fenomena-fenomena itu adalah banyak sekali:
Sesungguhnya orang yang mencela Allah dan Rasulullah dalam ajaran mereka bila orang itu diadukan kasusnya, maka sesungguhnya mahkamah yang menanganinya adalah mahkamah madaniyyah (perdata), dan hukumnya tidak lebih dari satu bulan atau dua bulan (penjara), berbeda dengan orang yang mencela/mencaci aalihah (tuhan-tuhan) mereka yang diada-adakan dan arbaab mereka yang beragam, dari kalangan raja (presiden/emir) atau para menteri-menterinya, atau para kaki tangannya, maka orang yang mencacinya itu akan disidang di mahkamah keamanan Negara, dan biasanya dipenjara sampai tiga tahun.
Mereka itu tidak mensetarakan diri mereka dan para arbaabnya dengan Allah saja, akan tetapi mereka berbuat lebih dari itu dan mengagungkannya lebih dari pengagungan terhadap Allah –ini bila memang itu adalah bentuk pengagungan mereka terhadap Allah–.
Sungguh kemusyrikan orang-orang musyrik terdahulu adalah bahwa mereka itu mencintai tuhan-tuhan mereka sama seperti kecintaan mereka kepada Allah, atau mereka mensetarakan para tuhan tersebut dengan Allah dalam hal ta’dhim, tasyrii’, hukum, atau ‘ibadah, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah” (QS. Al Baqarah [2]: 165)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
تَاللَّهِ إِنْ كُنَّا لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ (٩٧) إِذْ نُسَوِّيكُمْ بِرَبِّ الْعَالَمِينَ
“Demi Allah: Sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata, karena kita mempersamakan kamu dengan Tuhan semesta alam”. (QS. Asy Syu’araa’ [26]: 97-98).
Adapun orang-orang musyrik zaman kita sekarang ini, maka sesungguhnya mereka itu sudah kelewatan, dan aniaya, mereka mencintai aalihah dan arbaab mereka dan mengangkatnya di atas kedudukan Allah, maha suci Allah dari apa yang mereka katakan, Dia Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Ini adalah hal yang tidak dibantah oleh seorangpun yang mengetahui kenyataan mereka dan undang-undangnya.
Dan engkau akan mengetahui nanti bahwa sang hakim yang sebenarnya, dan sang pembuat aturan yang inti, serta bosnya yang mengesahkan undang-undang adalah bukan Allah dan dien-Nya akan tetapi itu adalah thaghut mereka dan tuhan mereka yang selalu mereka cintai dan selalu mereka agungkan lebih dari pengagungan terhadap Allah. Mereka marah karenanya. Karena ajarannya, dan karena hukumnya, mereka mengintimidasi, mereka memenjarakan, dan mereka melakukan pembelaan dengan apa yang tidak pernah mereka lakukan bila dien Allah dilanggar dan syari’at-Nya dihina. Dan kenyataan yang selalu berulang yang kita alami adalah saksi dan bukti yang paling nyata akan hal itu.
  • Mereka dikafirkan dari sisi tasyrii’ (membuat hukum) bersama Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Ini adalah syirik modern yang selalu mereka promosikan, dan mereka mengajak orang kepadanya, bahkan mereka mamberikan dorongan orang-orang untuk masuk didalam (parlemen) nya dan ikut serta di dalamnya, juga memperindahnya di hadapan mereka.
Dalam undang-undangnya itu mereka menetapkan hukum-hukum yang bertentangan dengan dienullah dan tauhid-Nya, di mana undang-undang itu menjadikan bagi mereka hak (wewenang) tasyrii’ (membuat hukum/aturan secara muthlaq) dalam setiap permasalahan.
Sebagaimana bunyi pasal 26 dalam UUD Yordania:
  1. Kekuasaan tasyrii’ (legislatif) berada di tangan raja dan anggota Majelis Rakyat.
  2. Kekuasaan legislatif menjalankan wewenangnya sesuai dengan ketentuan UUD.
Sedangkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman seraya mengingkari orang-orang musyrik:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy-Syuura [42]: 21)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ
“Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?” (QS. Yusuf [12]: 39)
Dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman tentang taat dalam tasyrii’ meskipun dalam satu masalah saja:
وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
”Dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.”  (QS. Al  An’am [6]: 121)
Maka apa gerangan dengan wewenang membuat hukum secara muthlaq, dan di antara yang memperjelas bahwa mereka itu telah menyekutukan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan syirik akbar yang jelas dalam segala tasyrii’ adalah bahwa sesungguhnya UUD mereka telah menegaskan bahwa (syari’at islamiyyah adalah sumber inti dari sekian sumber-sumber tasyrii’ (hukum)), dan ini berarti bahwa mereka itu tidak mentauhidkan Allah dalam tasyrii’,[17] bahkan justeru tasyrii’ itu bagi mereka memiliki banyak sumber hukum yang inti dan yang cabang, sedangkan syari’at islamiyyah menurut mereka tidak lain adalah salah satu sumber dari sekian sumber hukum itu, atau dengan ungkapan kafir yang lebih tegas adalah: (Sesungguhnya aalihah dan arbaab yang membuat hukum di sisi mereka itu banyak lagi beraneka ragam, di antaranya ada yang sebagai pimpinan dan ada yang sekedar cabang saja, sedangkan Allah menurut mereka tidak lain adalah salah satu Tuhan dari sekian tuhan-tuhan yang beraneka ragam itu) Maha Suci Allah dari apa yang mereka ada-adakan dan dari apa yang mereka katakan.
Orang yang memiliki pengetahuan tentang hukum-hukum mereka tentu dia bakal mengetahui bahwa tuhan mereka terbesar yang di mana suatu hukum tidak diakui dan tidak disahkan kecuali dengan tanda tangannya pada hakekatnya adalah thaghut mereka, baik itu raja, emir, atau presiden. Sedangkan syari’at Allah Yang Maha Esa yang berada di atas langit, bila saja dipakai dalam sebagian permasalahan, ini tidak diterapkan di tengah-tengah mereka dan tidak bisa menjadi hukum resmi dan baku kecuali dengan kerelaan, persetujuan, dan pengesahaan tuhan mereka yang berada di bumi ini, Maha Suci Allah dari apa yang mereka ada-adakan.[18]
Ketahuilah sesungguhnya kekafiran mereka itu adalah lebih busuk dari kekafiran orang-orang kafir Quraisy adalah ruku’ dan sujud, sedangkan ibadah mereka itu adalah taat dalam tasyrii’ di semua permasalahan. Kami katakan bahwa kekafiran mereka itu lebih busuk, karena sesungguhnya orang-orang musyrik Quraisy itu telah menjadikan Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagai tuhan mereka yang paling tinggi dan paling agung di antara tuhan-tuhan yang lainnya, dan mereka mengklaim bahwa mereka tidak menyembah tuhan-tuhan itu kecuali supaya tuhan-tuhan tersebut mendekatkan diri mereka kepada Al Ilaah Yang Paling Agung yang ada di atas langit, sehingga talbiyah sebagian mereka yang mereka suarakan saat haji adalah: Labbaikallaahummalabbaik, labbaika Laasyariikalaka illaa syarikan huwalaka tamlikuhuu wa maa malaka.
Adapun orang-orang musyrik dustuur (undang-undang/aturan), maka sesungguhnya mereka itu meskipun menerima bahwa Allah itu adalah Sang Pemberi rizki, Dia yang menghidupkan yang mati, Dia yang menurunkan hujan dari atas, Dia tumbuhkan rerumputan, Dia yang menyembuhkan, Dia yang memberikan anak perempuan kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan memberikan anak laki-laki kepada yang Dia kehendaki atau Dia menggabungkan antara anak laki-laki dan perempuan bagi mereka, serta Dia yang menjadikan mandul orang yang Dia kehendaki. Ya, mereka itu meyakini bahwa semua itu di Tangan Allah, tidak ada raja atau emir mereka, akan tetapi tasyrii’, perintah, putusan yang berlaku di antara mereka yang berada di atas segala putusan dan tasyrii’ pada hakekatnya adalah wewenang milik raja mereka, sang thaghut atau tuhan mereka yang ada di bumi.
Dalam kemusyrikan ini mereka sama seperti orang-orang kafir Quraisy, akan tetapi mereka melebihi kekafiran orang Quraisy dengan keberadaan mereka yang mengagungkan perintah, hukum, tasyrii’ aalihah dan arbaab mereka yang beraneka ragam yang ada di bumi ini melebihi pengagungan mereka terhadap Allah, hukum-Nya serta tasyrii’-Nya.
Enyahlah… enyahlah… dan binasalah orang yang lebih kafir dari Abu jahal dan Abu Lahab !!
أَإِلَهٌ مَعَ اللَّهِ تَعَالَى اللَّهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain)? Maha Tinggi Allah terhadap apa yang mereka persekutukan (dengan-Nya).” (QS: An Naml [27]: 63).
Dan ketahuilah sesungguhnya sisi-sisi kemusyrikan dan kekafiran yang nyata mereka itu adalah sangatlah banyak, seandainya kita sebutkan seluruhnya tentulah pembahasan menjadi panjang. Mereka itu tidak membiarkan satu macam dari macam-macam kakafiran yang ada melainkan mereka memasukinya. Akan tetapi apa yang telah di sebutkan sudahlah cukup bagi orang yang mencari hidayah. Adapun orang yang hatinya sudah Allah kunci rapat, dia itu seadainya gunung-gunung saling berbenturan di hadapannya, tentulah itu tidak bermanfaat atau dia mendapat hidayah.
Dan ingin saya beritahukan kepada akhi muwahhid di sini adalah bahwa kekafiran mereka itu tidaklah terbatas pada satu sisi saja sehingga bisa ditolak dengan syubhat atau ucapan orang.
Mereka itu telah dipenuhi dengan berbagai macam kemusyrikan dan kekafiran. Dan yang penting di sini adalah engkau mengetahui bahwa sisi kemusyrikan dalam tasyrii’ itu bukanlah sisi meninggalkan berhukum dengan apa yang Allah turunkan karena syahwat, atau hawa nafsu yang sifatnya terkadang yang bisa diterapkan padanya perkataan yang dinisbatkan kepada Ibnu ‘‘Abbas kufrun duuna kufrin, dan juga bukan sisi yang di mana orang-orang Khawarij pernah mendebat Ibnu ‘‘Abbas dan para sahabat lain di dalamnya. Karena pada zaman Ibnu ‘‘Abbas dan zaman Khawarij tersebut tidak pernah ada dari kalangan penguasa kaum muslimin seorangpun yang mengklaim bahwa dirinya memiliki wewenang membuat hukum/undang-undang, dan tidak ada di antara mereka seorangpun yang membuat hukum/undang-undang meskipun dalam satu masalah saja, sebab hal ini menurut mereka adalah kekafiran dengan ijma.
Sedangkan Ibnu ‘‘Abbas yang di mana ungkapan kufrun duuna kufrin itu dinisbatkan kepadanya, beliaulah juga yang meriwayatkan sebab turun firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala tentang taat kepada orang musyrik meskipun dalam satu kasus pembuatan satu hukum saja[19]:
وَلا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” (QS: Al-An’aam [6]: 121)
Seandainya yang digambarkan oleh orang-orang Khawarij itu adalah al hukmu yang bermakna tasyrii’ (membuat hukum/undang-undang), tentulah Ibnu ‘‘Abbas tidak berkata kufrun duuna kufrin tentangnya, dan mana mungkin beliau mengatakan itu tentangnya sedangkan beliau adalah pakar Al Qur’an.
Dan yang dikeritik dan dicela oleh orang-orang khawarij itu hanyalah sebagian penyimpangan dan ijtihad-ijtihad yang di mana mereka menilainya keliru.
Di antara contohnya adalah kisah al hakamain (dua sahabat yang memutuskan perselisihan) yang telah terjadi dalam tahkiim antara pasukan Ali dengan Mu’awiyah, serta yang berlangsung di dalamnya di mana orang-orang Khawarij protes dan berkata kalian telah menjadikan orang sebagai pemutus permasalahan, serta mereka berdalil dengan keumuman firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS: Al-Maa-idah [5]: 44)
Mereka mengklaim bahwa setiap orang yang bermaksiat kepada Allah berarti dia telah memutuskan dengan selain apa yang Allah turunkan. Mereka mengkafirkan Al hakamain dan orang-orang yang rela dengan putusan keduanya, mereka mengkafirkan Mu’awiyah dan Ali radiayallahu ’anhum. Dan itu adalah awal mula munculnya mereka, dan oleh sebab itu firqah mereka yang paling pertama dinamakan Al Muhakkimah. Mereka didebat oleh para sahabat, dan orang yang paling sering mendebat mereka adalah Ibnu ‘‘Abbas, beliau memberikan hujah/alasan kepada mereka bahwa hal itu (tahkimul hakamain) adalah termasuk ash shulhu (mendamaikan) antara sesama kaum muslimin dan bukan termasuk memutuskan dengan selain apa yang telah Allah turunkan dengan maknanya yang kafir, Ibnu ‘‘Abbas berdalih untuk menguatkan ungkapannya dengan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala tentang pertikaian antara suami isteri:
فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا
“Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan” (QS: An Nisaa’ [4]: 35)
Dan bila boleh tahkimur rijaal (mengutus orang-orang sebagai juru damai) untuk mendamaikan antara suami isteri, maka hal itu lebih lagi dilakukan untuk menjaga pertumpahan darah umat Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam.
Dan Ibnu ‘Abbas mendebat mereka dengan dalil-dalil lainnya sebagaimana yang dijabarkan dalam tarikh dan firaq, beliau menjelaskan kepada mereka bahwa masalah ini meskipun terjadi kekeliruan dan pelanggaran di dalamnya, maka itu bukan termasuk kekafiran yang mereka yakini, sehingga kepada makna inilah perkataan (kufrun duuna kufrin) yang dinisbatkan kepada beliau itu ditempatkan/ditafsirkan. Dan banyak yang rujuk dari kalangan khawarij itu, dan yang lainnya tetap bersikukuh, sehingga Ali dan para sahabatpun memerangi mereka, sehingga terjadilah apa yang sudah ma’lum dalam buku-buku sejarah.
Maka apakah yang dilakukan oleh para penguasa/pemerintah pada masa sekarang berupa klaim/tindakan pembuatan hukum/undang-undang di samping Allah, mengganti hukum-hukum Allah, serta mencari hakam, musyarri’ selain Allah dan juga mencari dien dan manhaj selain Islam, apakah ini seluruhnya wahai orang-orang yang berakal termasuk dalam kasus yang terjadi di antara sahabat itu dan yang diingkari oleh orang-orang khawarij, serta yang di perdebatkan oleh Ibnu ‘Abbas dan Khawarij, sehingga apa yang diucapkannya itu bisa dikaitkan kepadanya ?
Tapi yang jelas bahwa firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS: Al-Maa-idah [5]: 44)
Itu adalah umum mencakup putusan yang dhalim (kufrun duuna kufrin) dan mencakup al hukmu yang bermakna tasyrii’ (membuat hukum/undang-undang/aturan) yang merupakan kufrun bawwah.
Oleh sebab itu para salaf sesungguhnya bila membahas ayat tersebut dan orang berdalil dengannya memaksudkan makna pertama (dhalim) maka mereka menta’wilkan dan membawa ayat itu pada kufur ashghar, dan bila orang itu menginginkan makna yang kedua (tabdiil dan tasyrii’) maka mereka membiarkan ayat itu di atas dhahirnya yaitu kufrun bawwaah yang hakiki.
Padahal hukum asal pada ayat-ayat itu adalah berkenaan pada kekafiran akbar yang nyata yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, saat mereka bersepakat dan bersekongkol (untuk menerapkan) hukum-hukum selain hukum-hukum Allah.
Oleh sebab itu Al Baraa Ibnu ‘Azib radliyallahu’anhu berkata sebagaimana dalam Shahih Muslim setelah menyebutkan firman Allah ta’aala:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maa-idah [5]: 44)
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maa-idah [5]: 45)
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (QS: Al-Maa-idah: 47)
Beliau berkata: Seluruhnya berkenaan dengan orang-orang kafir.
Seandainya orang-orang Khawarij menuturkan ayat-ayat itu pada tempatnya terhadap orang yang membuat hukum/undang-undang atau terhadap orang yang terjatuh dalam kasus yang di mana orang-orang Yahudi jatuh di dalamnya, tentulah para salaf tidak bakalan mengingkari mereka, tentulah mereka membiarkan kekafiran di dalam ayat itu pada hakikatnya dan tentulah mereka tidak menta’wilnya.[20]
Akan tetapi hal itu belum pernah ada pada zaman mereka itu sehinggan mereka perlu mengomentarinya, dan seandainya hal itu ada tentu mereka tidak bakalan mengutarakan terhadapnya seperti ayat ini yang masih dhanniy dilalahnya yang mengandung dua makna, akan tetapi mereka tentu mengutarakan nash-nash yang qath’iy dilalahnya yang tidak mengandung kecuali makna tasyrii’ lagi tabdiel, seperti firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka dien (ajaran) yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy-Syuura [42] 21)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
وَلا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” (QS. Al An’aam [6]: 121)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki” (QS: Al Maa-idah [5]: 50)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya,” (QS. Ali Imran [3]: 85).
Akan tetapi satupun dari hal itu tidak pernah ada pada diri khalifah di zaman Khawarij dan Ibnu ‘Abbas itu, oleh sebab itu tidak boleh menuturkan bantahan para sahabat terhadap Khawarij di tempat itu dan mendudukannya terhadap kemusyrikan para pemerintah itu dan kekafirannya yang nyata pada masa sekarang.
Siapa orang yang melakukan hal itu, maka sesungguhnya dia itu telah mentalbis yang hak dengan kebatilan dan cahaya dengan kegelapan,[21] bahkan dia itu –Demi Tuhan Ka’bah– berada di atas bahaya yang sangat besar, karena sesungguhnya konsekuensi hal itu adalah bahwa apa yang dikritikan oleh Khawarij terhadap para sahabat dan Al Khulafaa Ar Rasyidiin adalah sama sejenis dengan kemusyrikan para penguasa kafir itu, dan dalam keyakinan ini terkandung pengkafiran terhadap para sahabat seluruhnya pada zaman sekarang.
Maka tidak diragukan lagi bahwa siapa yang mengkafirkan para sahabat dan para Al Khulafaa Ar Rasyidiin itu maka sungguh dialah orang kafir, karena para sahabat itu telah diridlai Allah dan mereka ridla terhadap-Nya dengan nash Al Qur’an.
Menuduh mereka dengan sesuatu dari kemusyrikan dan kekafiran para penguasa itu adalah takdzib (pendustaan) terhadap penegasan Al Qur’an atau merupakan penetapan sifat bagi Allah bahwa Dia ridla terhadap orang-orang kafir, sedangkan semua ini merupakan kekafiran.
Maka hendaklah setiap orang khawatir terhadap diennya dari jurang-jurang kebinasaan, dan hendaklah takut kepada Allah orang yang menuduh para sahabat dengan kekafiran dan kemusyrikan demi menutupi (kekafiran) para thaghut itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar