NKA NII

NKA NII
Negara Karunia Allah Negara Islam Indonesia

Selasa, 17 Desember 2013

Memahami Perspektif Al Jama’ah dan Jama’atul Muslimin, serta hubungannya dengan kondisi ke-Indonesia-an.




A.    Prolog

Telah jelas dalam satu ketetapan bagi pengikut ahlus sunnah, bahwa apa yang telah menjadi perilaku dan kebijakan Rosulullah di Madinah paska Hijrah telah menjadi sunnah pula. Diantaranya adalah mendirikan Daulah, menegakan Syari’at Islam dalam tatanan Hukum dan Peradilan, membentuk system ekonomi yang adil, tidak memberlakukan pajak, mempertahankan Daulah melalui peperangan, hingga ekspansi politik dalam rangka menyebarkan Diin (Islam) untuk dijadikan satu keyakinan menyeluruh bagi umat manusia yang beriman kepada Allah Rabbul ‘alamiin. Bukan hanya itu, tapi Rosulullah membangun peradaban baru di Jazirah Arab bersama seluruh komponen umat yang berada didalamnya termasuk kaum Naserani dan Bani Israil.

Rosulullah memulai satu komunitas politis dan hukum dengan satu kesepakatan politik saat baru tiba di Yastrib, yaitu dengan membuat satu konstitusi yang ditulis dalam satu suhuf/piagam. Yaitu Suhuf Madinah. Dimana didalamnya termaktub satu kesepakatan diantara rakyat Yastrib dan sekitarnya yang terdiri dari kaum Muslimin, kaum Bani Israil, dan Musyrikin Yastrib, dimana disepakati satu ketetapan politik dibawah Imammah/Kepemimpinan Politik dan Hukum berdasarkan Ketetapan Allah dan RosulNya. Dan jabatan Imam (pemimpin puncak Daulah/Negara) saat itu dipegang langsung oleh Rosulullah. Sehingga melalui kesepakatan Piagam Madinah tersebut, Muhammad SAW bukan hanya sebagai Nabi dan Rosulullah, akan tetapi juga sebagai Imam Daulah/Negara, yang berarti menjadi Pimpinan  Ulil Amri (Pemerintahan Negara).
 
صحيفة المدينة   (Piagam Madinah)
بسم الله الرحمن الرحيم
هذا كتاب من محمد النبي صلىالله عليه وسلم بين المؤمنين والمسلمين من قريش ويثرب ومن تبعهم فلحق بهم وجاهد معهم.
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
Ini adalah piagam dari Muhammad Rasulullah SAW, di kalangan mukminin dan muslimin (yang berasal dari) Quraisy dan Yatsrib (Madinah), dan yang mengikuti mereka, menggabungkan diri dan berjuang bersama mereka
.
١. انهم امة واحدة من دون الناس
Pasal 1
Sesungguhnya mereka satu umat, lain dari (komunitas) manusia lain.

٢٣. وانكم مهما اختلفتم فيه من شيئ فان مرده الى الله عزوجل والى محمد صلى الله عليه وسلم
Pasal 23
Apabila kamu berselisih tentang sesuatu, penyelesaiannya menurut (ketentuan) Allah Azza Wa Jalla dan (keputusan) Muhammad SAW.

Yang dimaksud satu umat didalam ketetapan tersebut pada dasarnya adalah termasuk kaum Bani Israil dan kaum Musyrikin Yastrib yang masuk dalam kesepakatan, kembali ditegaskan dalam pasal lainnya :

٢٥. وان يهود بني عوف امة مع المؤمنين لليهود دينهم وللمسلمين دينهم مواليهم وانفسهم الا من ظلم واثم فانه لا يـوتخ الا نفسه واهل بيته.
Pasal 25
 Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarga.

Meskipun satu umat (rakyat Madinah), Rosulullah membebaskan Yahudi melaksanakan ajaran mereka termasuk didalamnya adalah membuat peradilan sendiri diantara mereka.
Melalui Piagam inilah Rosulullah membangun satu komunitas (jama’ah) yang terdiri dari seluruh rakyat Yastrib, kemudian merambah ke Hijaz hingga oleh penggantinya (Khilafah Rosulullah) mencapai Persia, syam, Mesir, dan Yaman.

B.    Al Jam’ah adalah Daulah Madinah

Yastrib adalah satu territorial di Hijaz dimana mereka sebagian menjadi pengikut Nabi Ismail, sedangkan sisanya adalah kaum Bani Israil yang mengungsi ke Selatan dari Palestina. Banyak Ahli sejarah mengmukakan bahwa kaum Bani Israil ini telah mengetahui bahwa akan datangnya Nabi Terakhir seperti apa yang telah diungkapkan didalam Taurat. Sedangkan dari golongan pribumi yang terdiri dari dua suku besar Yastrib, Aus dan Khazraj banyak pula mendengar tentang berita tersebut. Sehingga ketika mengetahui telah datang Nabi dari keturunan Quraish dimana kebetulan Beliau (Muhammad) adalah kerabat mereka (dari Ibu/Khadijah) mulai tertarik dengan ajaran yang dibawanya itu. 

Setelah mengislamkan 6 orang pertama, kemudian 12 orang di Bukit Aqobah, Rosulullah mengirim Mus’ab bin Umair untuk memberikan gambaran ajaran Tauhid yang dibawa Beliau. Sehingga beberapa Kepala Suku dari Aus dan Khazraj berhasil diislamkan oleh Mush’ab dan disiapkanlah oleh Rosulullah untuk mempersiapkan Yastrib sebagai target basis Islam melalui kesepakatan khusus yang dilaksanakan di Bukit yang sama (Aqobah) untuk kedua kalinya. Di bukit itulah kemudian Rosulullah meminta kepada 74 orang yang ada disana untuk berbai’at kepadanya dalam hal pembelaan kepada misi Rosulullah dalam penegakan Diin, membela untuk memperjuangkan dan mempertahankan apa yang akan dilaksanakan di Yastrib kelak, kemudian Rosulullah memilih 12 pimpinan Yastrib dari Aus dan Khazraj sebagai wakil Beliau dalam hal persiapan kepemimpinan yang akan di bentuknya kelak. Perjanjian tersebut diabadikan didalam Al Qur’an 

Surat At Taubah:111 :
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.

 Tidaklah semata-mata bai’at tersebut akan menimbulkan suatu kemungkinan terburuk (Perang) kecuali misi yang dihadapi adalah misi yang besar dan berbicara kedaulatan yang harus dipertahankan. Yastrib benar-benar oleh Rosulullah dipersiapkan untuk itu, para pemimpinnya, masyarakatnya, teritorialnya, dan kesepakatan ini dilaksanakan sebelum turunnya perintah Hijrah. Perintah Hijrah hanyalah momen yang tepat untuk kaum Mu’min Mekah dalam penggabungan kekuatan untuk tegaknya kedaulatan yang telah direncanakan sebelumnya.

Sehingga ketika Yastrib sudah pantas menjadi Basis Teritorial kedaulatan Diin Islam, maka turunlah perintah Hijrah tersebut. Fihak Mekah mengetahuinya, tapi terlambat mengantisipasinya, sehingga jalan terakhir bagi mereka adalah pembunuhan terhadap Rosulullah melalui syuro di Darun Nadwah. Fihak Mekah mengetahui betul potensi penggabungan kekuatan Yastrib dan kaum mu’min Mekah akan menambah kekuatan Rosulullah, dan akan lebih sulit lagi ketika Rosulullah benar-benar berkuasa di Yastrib kelak. Karena saat itu Rosulullah akan menjadi pemimpin yang berdaulat dan mempunyai kekuatan politik serta militer yang berlipat ganda. Misi terakhir inilah (pembunuhan Rosulullah) yang diusahakan akan tetapi gagal.
Rosulullah disambut di Yastrib oleh semua fihak, bukan hanya kaum muslimin tetapi kaum Musyrikin serta Bani Israil dimana mereka adalah sekutu utama dari Khazraj dan Aus sebelum kesepakatan di Bukit Aqobah. Dan sangat menghargai Rosulullah karena persekutuan tersebut tidak dilarangnya (janji Rosulullah di Bukit Aqobah kepada Aus dan Khazraj). Ketika Rosulullah mengajak seluruh fihak untuk menyepakati ketetapan yang harus disepakati penduduk Yastrib, tidak ada satupun fihak yang menentangnya. 12 Pemimpin yang ditunjuk Rosulullah di Bukit Aqobah telah melaksanakan tugasnya dalam merangkul seluruh fihak dan memberi pengertian yang baik. Bani Israil mengetahui betul kekuatan Aus dan Khazraj beserta tambahan kaum Muhajirin dari Mekah tidak akan mampu dihadapi oleh mereka yang jumlahnya tidak lagi dominan di Yastrib. Mereka (Bani Israil) bahkan menyepakati persekutuan militer yang juga termaktub didalam pasal-pasal kesepakatan tersebut. Mereka melihat jaminan kebebasan bagi Bani israil untuk tetap melaksanakan ajaran-ajarannya serta tidak di intervensi dalam kepemimpinan politik diantara mereka.
Komunitas ini menjadi komunitas tersendiri. Mempunyai batas politik yang jelas. Mempunyai ketetapan hukum yang jelas. Mempunyai system kepemimpinan yang jelas pula. Komunitas ini menjadi komunitas baru di Hijaz dimana sebelumnya mereka sempat akan memilih Raja (Abdullah bin Ubay) kemudian tidak terlaksana setelah perjanjian Aqobah yang kedua dengan Rosulullah. Bahkan akhirnya berdaulatnya system pemerintahan baru mereka lebih baik dari apa yang sebelumnya akan mereka dirikan. Madinah akhirnya berdiri sebagai Pemerintahan yang Berdaulat penuh dipimpin langsung oleh Rosulullah baik dalam hak kepemimpinan Politik, Hukum, dan Militer sekaligus. Komunitas inilah yang disebut sebagai Al Jama’ah.
Al Jama’ah ‘ala Minhaj Rosulullah adalah Madinah. Sebuah Pemerintahan yang berdaulat penuh dalam melaksanakan Syari’at Allah dan RosulNya. Dipimpin oleh Imam yang Haq, Imam yang melaksanakan ketetapan Allah, sebagai Khalifatullah (perwakilan Kekuasaan Allah di muka Bumi). Menjadi Rahmat bagi seluruh rakyat didalamnya, baik muslim maupun non muslim. Al Jama’ah adalah Komunitas yang dipimpin oleh system kepemimpinan (Ulil Amri) yang tidak keluar dari Ketetapan Allah dan RosulNya dan wajib dita’ati oleh seluruh rakyat Madinah baik muslim maupun non Muslim. Hal yang ditegaskan pula oleh Rosulullah didalam Piagam Madinah (Pasal 23), dan diabadikan didalam al Qur’an surat An Nisaa ayat 59
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Dan Kewajiban Imam Daulah/Negara untuk menjadi Hakim yang Adil melalui para perwakilannya. Hakim bagi seluruh rakyat Madinah baik Muslim maupun non Muslim.

An Nisaa:58 ﴿ Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

Dan bagi rakyat Madinah, ketaatan sesuai dengan konstitusi Madinah adalah sebuah keniscayaan bagi mereka, baik muslim maupun non muslim. Bahkan Allah menegaskan bagi Bani Israil untuk konsisten didalam kesepakatan itu (Taat kepada ketentuan Allah dan RosulNya) ketika mereka mulai mengingkarinya.
5:68. Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran/hukum Taurat, Injil, dan Al-Qur'an yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu". Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Tuhanmu akan menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka; maka janganlah kamu bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir itu.
Begitu pula bagi kaum muslimin. Untuk tidak keluar dari ketaatan terhadap hukum Negara. 


An Nisaa:60 ﴿
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.

                                                                                        
Bagi Kaum Muslimin, tidaklah lagi dibenarkan memberikan ketaatan diluar al Jama’ah dalam hal ini adalah  kepemimpinan di Madinah, tidak lagi dibenarkan menggunakan Hukum selain hukum yang berlaku di Madinah. Allah menetapkan pilihan tegas kepada siapapun yang mencoba mengingkarinya.

Al Maidah:50. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?


Hukum Jahiliyah adalah Hukum yang diyakini oleh rakyat Yastrib sebelum datangnya ketetapan (hukum) yang diberikan oleh Allah dan RosulNya (berdirinya Daulah/Madinah). Hukum yang dibuat oleh mereka sendiri, yang tentunya setelah kesepakatan/konstitusi Madinah, harus dihilangkan atau tidak lagi dilaksanakan.
Ketika seorang muslim keluar dari kepemimpinan al Jama’ah/Daulah, maka dengan sendirinya tidak lagi berhukum kepada Hukum Allah, mereka akan kembali kepada Hukum Jahiliyah, Rosulullah menegaskan mereka yang melakukannya sudah keluar dari konstitusi Madinah, keluar dari al Jama’ah, mereka dipandang kembali Jahiliyah dan mati dalam kondisi Jahiliyah.

Imam Thabrani meriwayatkannya dalam Mu'jamul Kabir. Dengan demikian hadis ini SAHIH.

ﻋَﻦِ ﺍﺑْﻦِ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻨْﻬُﻤَﺎ ﻋَﻦِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ًﺔَﺘْﻴَﻣ َﺕﺎَﻣ ،َﺕﺎَﻤَﻓ ﺎًﺌْﻴَﺷ َﺔَﻋﺎَﻤَﺠْﻟﺍ َﻕَﺭﺎَﻓ ْﻦَﻣ ُﻪَّﻧِﺈَﻓ ،ِﻪْﻴَﻠَﻋ ْﺮِﺒْﺼَﻴْﻠَﻓ ُﻪُﻫَﺮْﻜَﻳ ﺎًﺌْﻴَﺷ ِﻩِﺮْﻴِﻣَﺃ ْﻦِﻣ ﻯَﺃَﺭ ْﻦَﻣ :َﻝﺎَﻗ ﺟَﺎﻫِﻠِﻴَّﺔً Makna Hadis:
Dari Ibnu Abbas radliallahu anhuma berkata, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
Barangsiapa melihat sesuatu dari pemimpinnya yang tidak disukainya, maka hendaklah bersabar kerana sesungguhnya jika seseorang keluar dari Al-Jama'ah walaupun sejengkal kemudian dia mati, maka matinya dalam keadaan jahiliyyah."

Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dengan Syarh Fathul Bari XIII/5 dan Muslim (1849). Syarah hadis:
Al-Hafiz Ibnu Hajar menjelaskan tentang makna "matinya dalam keadaan mati jahiliyah" ialah: "Matinya seperti Ahli Jahiliyah, iaitu di atas kesesatan. Dan dia tidak memiliki imam yang ditaati kerana mereka tidak mengenalnya. Dan bukan maksudnya dia mati kafir, tapi matinya sebagai orang yang berbuat maksiat." (Fathul Bari XIII/7).

Al Jama’ah haruslah dipertahankan keutuhannya. Karena jika terpecah belah rakyat didalamnya maka kedaulatan Islam akan terancam. Perpecahan akan memunculkan kemungkinan hancurnya kedaulatan, hilangnya kedaulatan adalah azab bagi rakyatnya. Rosulullah menyatakan tentang hal ini dalam salah satu hadits dari sahabat Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah ‘alaihi ash shalatu wa assalam bersabda: “al jama’ah itu adalah rahmat dan perpecahan (perselisihan) adalah adzab”.

Didalam Al Qur’an dinyatakan dalam Surat Asy Syuro :13. Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama (laksanakan syari’atNya) dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).

Juga didalam surat Al Imran :
وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُواْ
Bersatulah dengan tali Allah dan janganlah berpecah-belah” (QS. Al Imran: 103)

C.     Al Jama’ah adalah Jama’atul Muslimin

Al Jama’ah bagi kaum Muslimin bukanlah hanya sekedar komunitas politik biasa. Al Jama’ah adalah bagaimana seorang Hamba Allah melaksanakan Perintah Allah dan RosulNya. Al Jama’ah adalah satu ikatan kuat diantara kaum muslimin untuk melaksanakan DiinNya, ikatan kuat diantar hamba-hamba yang terbebas dari ikatan kepemimpinan Dzalim yang sebelumnya diikutinya. Ikatan hamba-hamba yang Merdeka.
Al Baqarah: 256. Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut  dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui

Bahkan Rosulullah mensyiratkan atas pembelaan diantara kaum Muslimin yang berada didalam al Jama’ah.
Hadits Rasul yang diriwayatkan oleh Nu’man bin Basyir berbunyi:
عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى (رَوَاهُ مُسْلِمٌ).
Artinya: “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam berkasih sayang bagaikan satu tubuh, apabila satu anggota badan merintih kesakitan maka sekujur badan akan merasakan panas dan demam”. (HR. Muslim).

Al Jama’ah dalam kepemimpinan Kaum Muslimin bukan hanya sekedar Daulah Islamiyah, Al Jama’ah bagi kaum Muslimin adalah ikatan kuat diantara kaum Muslimin dalam hal kepemimpinan, Militer, Hukum, Sosial, berdasarkan ketaatan kepada Allah dan RosulNya melalui Imam mereka. Al Jama’ah adalah Jama’atul Muslimin. System yang harus dipertahankan ikatannya oleh segenap kaum muslimin. Dalam kondisi apapun, bahkan ketika Al Jama’ah tidak lagi utuh sebagai Daulah, ketika terjadi perpecahan diantara manusia dikarenakan munculnya kembali Kejahiliyahan. Jam’aatul Muslimin tetap harus dipertahankan oleh Kaum Muslimin. Tidak kemudian mengikuti fenomena yang mungkin timbul, yaitu perpecahan kaum Muslimin. Satu hal yang harus dihindari oleh mereka. Bahkan jika yang mengajak kepada perpecahan tersebut adalah Da’I- Da’I (penyeru kebaikan) yang biasa mereka ikuti harus mereka tolak untuk mengikutinya lagi. Jama’atul Muslimin haruslah tetap dipertahankan eksistensinya. Bahkan ketika Imammah dari jama’atul Muslimin tersebut tidak lagi mampu dipertahankan, hakikatnya setiap muslim harus konsisten memperjuangkannya untuk tegak kembali, jangan kemudian mengikuti firqoh firqoh yang ada yang tidak lagi mempertahankan Jama’atul Muslimin. Meski hanya tinggal satu orang saja yang memperjuangkan dan mempertahankan kepemimpinannya, maka dialah yang akan tetap selamat.

 Diriwayatkan dari Hudzaifah bin Al-Yamân bahwa ia berkata, "Orang-orang bertanya kepada Rasulullah Saw tentang kebaikan, tapi aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena aku takut terjerumus ke dalamnya. Aku bertanya "Wahai Rasulullah Saw, dahulu kami berada di zaman Jahiliyah dan keburukan, kemudian Allah Swt mengaruniakan kebaikan ini (Islam). Apakah setelah kebaikan ini akan datang keburukan? Beliau menjawab, "Ya." Aku bertanya lagi, "Apakah setelah keburukan itu akan ada lagi kebaikan?" "Ya, namun di sana terdapat kerusakan", jawab beliau. Aku lanjut bertanya, "Kerusakan apakah itu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Sekelompok orang yang melaksanakan ajaran yang bukan ajaran ku, jika engkau menemui mereka maka ingkarilah!" Aku bertanya lagi, "Apakah setelah kebaikan itu ada lagi keburukan?" Beliau menjawab, "Ya, dai yang menyeru kepada pintu neraka, barang siapa yang memenuhi panggilannya, dai itu akan melemparkannya ke neraka." Aku bertanya lagi, "Apa yang Anda perintahkan untuk saya jika saya menemui zaman itu? Beliau menjawab, "Berpegang teguhlah engkau kepada Jamaatul Muslimin dan imam (pemimpin) mereka (kaum Muslimin)." Aku bertanya, "Jika mereka tak memiliki jamaah atau Imam? Beliau bersabda, "Tinggalkan seluruh kelompok-kelompok itu, walau engkau harus berpegang pada sebatang pohon, sampai engkau mati engkau harus tetap dalam keadaan seperti itu." (HR. Bukhari dan Muslim)


D.    Terpecahnya Al Jama’ah Khilafah Rosulullah menjadi beberapa Daulah

Telah berkata amir Ash Shan’ani dalam kitab Subulus Salaam (2/374) ketika menjelaskan hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu : “Barang siapa yang keluar dari ketaatan dan memisahkan diri dari jama’ah” 

Perkataannya dari ketaatan yaitu taat kepada khalifah yang terjadi persatuan padanya dan yang dimaksud khalifah adalah khalifah suatu daerah, dimana manusia belum dapat dikumpulkan dalam satu khalifah dari semua negeri Islam, sejak pertengahan Daulah Bani Abasiyah, bahkan setiap penduduk suatu daerah berdiri sendiri dengan pemimpin yang mengurusi urusan mereka, karena kalau seandainya hadits ini dibawa kepada makna khalifah yang berkumpul padanya semua umat Islam maka hadits ini sedikit faedahnya.

Adapun ijma’ yang dinukil tentang tidak bolehnya menetapkan dua imam atau lebih bagi kaum muslimin dalam satu waktu, maka hal ini jika disertai pilihan. Telah disebutkan dalam kitab Asybah wan Nadza’ir (527): Tidak boleh berbilangnya imam / pemimpin dalam satu waktu.

Berkata Musthafa bin Sa’ad bin Abdah Ar Rahibani dalam kitab Mathalib Ulin Nuha fi Syarh Ghayatil Muntaha (6/263) : “Tidak dibolehkan berbilangnya imam karena akan berakibat adanya saling memboikot  yang mengarah kepada adanya pertengkaran, perpecahan dan terjadinya perselisihan pada beberapa sisi yang hal ini akan menafikan stabilitas kondisi / keadaan.

Dan dalam Mausu’ah Fiqhiyah (21/43) :Kebanyakan para fuqaha berpendapat tentang tidak bolehnya dua imam di dunia dalam satu waktu yang bersamaan, dalilnya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Jika di bai’at dua khalifah maka bunuhlah khalifah yang terakhir dari keduanya. Dan juga karena berbilangnya negeri Islam merupakan sumber perpecahan dan perselisihan, dan Allah ta’ala telah melarang dengan itu dengan firman-Nya :

وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلا تنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.(Al-Anfaal : 46)

Dan dalam salah satu penafsiran bahwa yang dimaksud dengan “Riih” dalam ayat yang mulia itu adalah daulah (Negara), sebagaimana dikatakan oleh Abu Ubaid.

Dan dalam Hasyiyah Dasuki atas kitab Syarhul Kabir (4/134-135) : Apa yang disebutkan penulis tentang bolehnya berbilangnya qadhi melekatkan larangan berbilangnya imam a’dzam. Dan memang demikian sekalipun daerahnya saling berjauhan  karena memungkinkan adanya yang mewakili. Dan ada yang mengatakan bolehnya jika tidak memungkinkan ada perwakilan karena daerahnya yang sangat berjauhan.
Perkataan para Ulama ini dimaksudkan pada sempurnanya bai’at atas dua orang khalifah atau dua orang imam dalam satu waktu dengan pilihan ahli hil wal aqdi atau adanya seorang khalifah yang memiliki kedudukan dan kekuasaan pada setiap negeri kaum muslimin, kemudian datang seseorang yang merampas satu daerah negeri itu dan kemudian sempurna bai’at kepadanya, maka inilah yang dimaksud oleh hadits “Bunuhlah yang terakhir dari keduanya”. Adapun keadaan yang oleh negeri-negeri berupa bersendirinya seorang penguasa pada wilayah tertentu yang ia tidak punya kekuasan pada wilayah sekitarnya, maka hal ini bukan yang dimaksud oleh hadits, dan tidak juga oleh perkataan para ulama tentang tidak syar’inya keberadaan dua imam. Hal ini bukan berarti rela dengan keadaan yang ada berupa perpecahan dan pemilahan-pemilahan negeri Islam menjadi negeri-negeri kecil, namun pembicaraannya adalah tentang keabsahan imamah setiap negeri kecil ini dan sahnya perjanjian bai’at terhadapnya serta tidak bolehnya membangkang darinya sampai akhir hukum yang telah kami paparkan dalam pasal ini.

Berkata Mawardi dalam kitab Adab Dunya Wad Din (136) : Adapun tegaknya dua Imam atau tiga dalam satu masa dalam satu negeri maka tidak boleh secara Ijma’. Adapun jika dalam negeri yang berbeda-beda dan daerah yang bejauhan maka sekelompok oang yang syadz telah berpendapat akan bolehnya. Hal ini karena imam itu merupakan wakil yang memberi maslahat, dia jika dua orang penguasa pada dua negeri atau dua daerah masing-masing berkompeten terhadap daerah kekuasaannya. Dan juga karena ketika bolehnya diutusnya dua orang Nabi dalam satu masa, yang hal tersebut tidak menghantarkan kepada pembatalan kenabian dan tentunya imamah lebih utama (untuk dibolehkan, pent) dan hal itupun tidak membatalkan keimamahannya.

Berkata Imam Syaukani dalam Sailul Jirar (4/481-482) : Jika kepemimpinan Islam Khusus milik satu orang dan segala urusan kembali dan terkait dengannya, sebagaimana pada masa  sahabat dan tabi’in dan tabi’in tabi’in, maka hukum syari’at pada orang yang kedua yang datang setelahnya syahnya pemerintah orang yang pertama, dia harus dibunuh jika tidak bertaubat dari penentangannya. Adapun jika masing-masing di bai’at oleh sekelompok orang pada satu waktu, maka tidaklah salah satu lebih berhak dari yang lainnya, bahkan wajib bagi ahli hil wal aqdi untuk memegang keduanya sehingga kekuasaan diberikan kepada salah seorang dari keduanya. Jika tetap terjadi perselisihan antara keduanya maka bagi ahli hil wal aqdi supaya memilih salah satu dari keduanya yang lebih baik bagi kaum muslimin.

Adapun setelah menyebarnya kaum Islam dan meluasnya daerah serta semakin berjauhannya sisi-sisinya, maka masing-masing daerah dipimpin oleh seorang penguasa dan di tempat yang lain juga demikian, maka perintah maupun larangn yang berlaku pada suatu daerah tidaklah dilaksanakan / diberlakukan pada daerah-daerah lainnya, yang masing-masing kembali kepada penguasanya. Maka tidaklah mengapa berbilangnya Imam dan penguasa. Wajib untuk taat kepada masing-masing setelah diba’iat oleh penduduk daerah yang padanya direalisasikan perintah dan larangannya. Demikian pula halnya dengan penduduk daerah yang lain. Maka jika ada orang yang menentang pemguasa suatu daerah yang sudah sah / diakui pemerintahnnya dan sudah di bai’at, maka hukumnya ia harus dibunuh jika tidak bertaubat, dan tidak wajib bagi penduduk daerah lain untuk mentaatinya juga tidak wajib untuk masuk dalam pemerintahannya karena daerahnya yang berjauhan, karena terkadang khabar dari dan tentang Imam atau Penguasanya tidak sampai pada daerah yang jauh, dan juga tidak diketahui siapa yang masih hidup dan siapa yang sudah mati dari mereka, sehingga memberi beban untuk taat sedangkan keadaannnya seperti ini adalah membebani dengan sesuatu yang tidak disanggupi.

Ini adalah hal yang jelas bagi orang yang mengamati keadaan negeri dan masyarakatnya. Penduduk Cina dan India tidak tahu siapa yang memiliki kekuasaan di bumi Maghrib apalagi  untuk mentaatinya, demikian pula sebaliknya. Demikian pula penduduk negeri-negeri bekas sofiet tidak tau siapa yang berkuasa di daerah  Yaman, demikian sebaliknya. Ketahuilah inilah yang sesuai dengan qawaid syar’iyah dan sesuai dengan apa yang ditunjukkan oleh dalil. Maka jauhilah pendapat yang menyelisihinya. Sungguh perbedaan antara pemerintah Islam di awal silam dengan kondisi sekarang ini lebih terang dari sinar matahari di siang bolong. Barang siapa yang mengingkarinya maka dia adalah tipe orang yang datang kepada kebohongan tidak pantas untuk diajak bicara dengan hujjah/ dalil sebab dia tiada berakal.

Kemudian beliau berkata (383) Akan tetapi wajib bagi setiap Muslim di daerah itu untuk menerima kepemimpinannya setelah terjadi bai’at baginya, mentaatinya dalam ketaatan, mendurhakainya dalam kemaksiatan, tidak menentangnya dan tidak membantu kepada orang yang mau menentangnya. Jika tidak demikian maka dia telah menyelisihi dalil-dalil yang mutawatir, dan dia telah menjadi seorang pembangkan, hilang (nilai/sifat) keadilannya dan telah menyelisihi apa yang disyari’atkan Allah ta’ala serta apa yang diwasiatkan dalam kitab-Nya untuk mentaati penguasa dan juga menyelisihi apa yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Berupa kewajiban untuk taat dan haramnya penyelisihan.

Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Syarhul Mumti’ (8/12) : Imam adalah penguasa tertinggi dalam Negara, tidak disyaratkan ia harus seorang imam bagi seluruh Kaum Muslimin, karena Imam yang umum telah hilang semenjak lama, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Dengar dan taatlah ! sekalipun kamu diperintah oleh seorang budak Habsyi”. Jika seseorang telah menjadi penguasa melalui suatu sisi/cara tertentu maka dia telah menempati kedudukan Imam Umum, yang mana ucapannya harus dituruti dan perintahnya harus ditaati. Semenjak amirul Mu’minin Utsman bin Affan umat Islam mulai berpecah-pecah. Ibnu Zubair di Hijaz, Ibnu Marwam di Syam Mukhtar bin Ubaid dan yang lainnya di Iraq, umat terpecah, akan tetapi para imam (agama) Islam meyakini akan loyalitas dan ketaatan kepada siapapun yang memerintah di tempat mereka sekalipun bukan khalifah secara umum.

Hal ini disebutkan oleh Imam Shan’ani yang punya kitab subulus Salaam, beliau mengatakan : Sesungguhnya hal ini tidak mungkin untuk diterapkan sekarang ini, dan itulah kenyataan sekarang. Negeri-negeri di suatu daerah kamu dapati mereka mengadakan pemungutan suara dan terjadilah perebutan kekuasaan, terjadi suap menyuap dan menjual suara dan seterusnuya. Maka jika suatu negeri tidak mampu untuk memilih satu orang pemimpin kecuali dengan pemungutan suara (voting) seperti ini, maka bagaimana dengan kaum muslimin secara umum. Ini suatu yang tidak mungkin !

Abdullah bin Umar Radhiallahu ‘anhum membai’at Abdul Malik bin Marwan dan membawa anak-anaknya untuk menetapkan baiatnya karena beliau mendidik anak-anaknya sesuai apa yang dipelajari dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan wajibnya bai’at kepada penguasa muslim sekalipun kekuasannya didapat dengan memenangkan perang (kudeta militer), dimana Abdul Malik mendapatkanya dengan pedang. Dari Abdullah bin Dinar berkata Aku menyaksikan Ibnu Umar bersama orang-orang yang membai’at Abdul Malik. Beliau berkata : Ia (Ibnu Umar) menulis : Sesungguhhnya aku mengikrarkan untuk mendengar dan taat kepada hamba Allah ta’ala Abdul Malik Amirul Mukminin di atas Sunnah Rasululah sesuai kemampuanku, dan sesungguhnya anak-anakku juga telah mengikrarkannya. (HR. Bukhari7203).

Abdul Walid Al Baaji mewasiatkan kepada dua anaknya dengan mengatakan : “Taatlah kepada penguasamu selagi tidak mengajak kepada kepada maksiat, maka wajib bagimu untuk menahannya dari maksiat dan curahkanlah ketaatan selain dalam maksiat. (Wasiat Abdul Walid Al Baaji kepada kedua anaknya, Cetakan Mua’sasah Rayyan (40).

Telah kita sebutkan di awal pasal ini tentang wajibnya menegakkan pemimpin seorang muslim yang mengendalikan urusan kaum muslimin.

Berkata imam Syaukani dalam Nailul Authar (6/62) : Telah berkata Imam Nawawi dan yang lainnya ….Mereka Ijma’ tentang wajibnya menegakkan seorang khalifah dan kewajibannya adalah berdasarkan syari’at bukan akal. Dan telah menyelisihi mereka Al Asham dan sebagian orang-orang Khawarij, mereka mengatakan : Tidak wajib menegakkan khalifah.  yang diselisihi  oleh orang-orang Mu’tazilah yang mereka mengatakan : Wajib menegakkan khalifah dengan akal dan tidak dengan syari’at, kedua-duanya adalah batil.
Demikian telah kami jelaskan akan wajibnya bai’at dan ancaman dari meninggalkannya.

Abu a’la Maududi mengatakan : Sesungguhnya masalah kepemimpinan dan kekuasaan tidak lain adalah satu di antara masalah kehidupan manusia dan salah satu dasarnya. Kemudian dia berkata : Tujuan agama yang hakiki adalah menegakkan undang-undang imamah shalihah dan rasyidah.


Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”.(Al Anbiya:25)

Kemudian beliau berkata : Sesungguhnya tujuan agama yang hakiki dan maksud dari penciptaan jin dan manusia serta tujuan diutusnya para Rasul dan diturunkannya kitab-kitab adalah agar beribadah kepada Allah ta’ala dan mengikhlaskan agama hanya untuk-Nya.

Muhammad Hasan berkata dalam buku bahaya di Jalan dakwah (58) : Berkata Syaikh Abbul ‘ala Maududi dalam kitabnya Manhajul Inqilab Al islami : Negara itu tidak akan tertata kecuali tersedia padanya unsur-unsur  pemikiran, akhlak dan materi dalam masyarakat seperti apa yang saya katakan, sebagaimana tidak mungkin sebuah pohon dari semenjak tumbuhnya sampai sempurna menjadi sebuah pohon seperti buah atau limun melainkan kemudian jika tiba waktunya buahnya maka akan berubah menjadi pohon apel atau delima! Demikian pula daulah islamiyah maka tidak akan mungkin menjadi daulah islamiyah dengan cara-cara yang keluar dari kebiasaan, namun harus diadakan dan di wujudkan dengan menampakkan yang pertama gerakan yang menyeluruh yang dibangun di atas wawasan Islam dan pemikirannya dan di atas pilar-pilar akhlak dan amaliyah yang sesuai dengan ruh Islam serta yang dihasung oleh orang-orang yang menampakkan kesiapan mereka yang sempurna untuk masuk dalam celupan kemanusiaan yang khusus ini dan berusaha untuk menebarkan akal islamnya, untuk mencurahkan upayanya untuk menghembuskan ruh Islam dalam masyarakat….Inilah cara inqilab (revolusi) Islam dan jalan yang fitrah untuk merealisasikan pemikiran akan adanya sebuah Negara Islam.

Dari uraian diatas setidaknya ada beberapa kesimpulan yang harus diperhatikan.

  1.  Terjadinya perselisihan dua Imam dalam satu negri islam wajib diselesaikan diantara keduanya melalui ahlu hali wal aqdi, jika pembai’atan adalah berdasarkan kesamaan waktu. Jika tidak bersamaan maka Imam awalah yang seharusnya diikuti.
  2.  Kesempurnaan Imam dalam perselisihan dapat terjadi dengan dikuasainya territorial lainnya oleh Imam tersebut.
  3.  Berbilangnya Imam di territorial yang berbeda tidak menggugurkan sahnya Imam tersebut, dan al Jama’ah yang mereka pimpin. Sedangkan berbilangnya Imam di negri yang sama tidak boleh secara Ijma’
  4.  Jika kepemimpinan Islam didapatkan oleh satu orang, maka jika ada Imam berikutnya di territorial yang sama maka wajib dibunuh.
  5.  Berbilangnya Imam yang berarti secara realita berbilangnya Negara/Daulah Islamiyah tidak menjadikan syari’at wajibnya ta’at kepada Imam Negara Islam menjadi terhapus (karena berbilangnya itu) akan tetapi tidak boleh menghentikan perjuangan untuk tegaknya kembali Jama’ah yang satu untuk seluruh kaum Muslimin. Dan jika tidak ada Imam Jama’ah Muslimin, wajib kiranya memilih melalui ahlu hali wal aqdi, dan jika tidak ada jama’ah Muslimin atau Jama’ah yang ada belum berdaulat, maka wajib kiranya kaum muslimin untuk memperjuangkan kembali kedaulatan bagi Jama’ah Muslimin hingga terselenggaranya kembali syari’at islam melalui Inqilab Islam (Revolusi)


E.   Syari’at Jama’ah di Indonesia, Darul Islam/Negara Islam Indonesia/Madinah Indonesia dalam Tinjauan Hukum

Tanggal 12 – 13 Februari 1948 telah diselenggarakannya oleh 362 Ulama dan Pemimpin Organisasi Sipil dan Militer satu Kongres Umat islam yang pertama di Indonesia, bahkan yang pertama di Dunia yang berhasil menghasilkan satu keputusan paling penting dalam sejarah kaum Muslimin. Yaitu didirikannya kembali institusi politik bagi Umat Islam di Indonesia yang hampir menghilang ratusan tahun setelah dikuasainya negri-negri Islam di Nusantara oleh kaum Naserani dari Belanda. Pertama kalinya al Jam’ah dalam ruang lingkup Daulah islamiyah kembali didirikan, bahkan bukan hanya itu, satu pernyataan bersama didalamnya tentang tekad untuk kembali mendirikan Khilafah Islamiyah yang telah dibubarkan oleh kaum Sekuler. Inipun adalah yang pertama di Dunia dimana pendirian Khilafah menjadi program resmi satu pergerakan islam, bahkan ditetapkan dalam satu Kongres Besar. Secara lengkap hasil Kongres tersebut adalah :

1. Mendidik rayat agar cocok menjadi warga negara islam
2. Memberikan penerangan bahwa Islam tidak bisa di menangkan dengan Flebisit (referendum).
3. Membentuk daerah basis.
4. Memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia.
5. Memperkuat NII kedalam dan keluar, kedalam: Memberlakukan Hukum Islam dengan seluas-luasnya dan sesempurna-sempurnanya, keluar: Meneguhkan identitas internasionalnya, sehingga mampu berdiri sejajar dengan negara lain.
6. Membantu perjuangan muslim di negara negara lain,sehingga mereka segera bisa melaksanakaan wajib sucinya, sebagai hamba Alloh yang menegakan hukum Alloh di bumi Alloh.
7. Bersama negara–negara Islam yang lain, membentuk Dewan Imamah Dunia untuk memilih seorang kholifah, dan tegaklah KHILAFAH di muka bumi.

Pada akhir zaman Belanda, tidak lagi ada satu kerajaan islam di Indonesia kecuali hanya bersifat simbolis dan itupun mereka sudah dikuasai penuh oleh Belanda, mereka telah menjadi bagian dari pemerintahan Belanda. Maka, Kongres Cisayong tersebut adalah Jembatan Emas bagi Umat Islam Bangsa Indonesia untuk kembali mempunyai pemerintahan sendiri, mempunyai Ulil Amrinya sendiri, dengan satu pemerintahan yang mengikuti Manhaj Rosulullah SAW. Kongres tersebut diwakili oleh Para Ulama dan Pimpinan Organisasi dan Laskar Militer yang mempunyai kesamaan ideology, kesamaan visi dan misi Islam, dan kesamaan pandangan dalam menghadapi Penjajah, untuk tidak pernah kooperatif dan tunduk pada keinginan Mereka (penjajah). Mereka memandang bahwa Republik Indonesia yang dibuat oleh kaum Nasionalis bukanlah Ulil Amri yang sesuai dengan Kaidah Islam, sehingga layaklah untuk dibangun satu lembaga pemerintahan yang sesuai dengan Kaidah Islam, Ulil Amri yang melaksanakan keta’atan kepada Allah dan RosulNya. Dan melaksanakan hukum-hukum Negara berdasarkan syari’at islam. Dengan demikian, diproklamasikannya Negara Islam Indonesia sebagai bagian dari amanah Kongres tersebut menjadi tonggak sejarah, dimana telah berdiri Daulah Islamiyah berdasarkan manhaj Rosulullah, bukan Negara Monarki seperti di TImur Tengah, tapi Negara Jumhuriyah dimana Rosulullah telah menegakan sendi-sendi prinsip politik ketika mendirikan Negara di Madinah.
Tidaklah seharusnya ada pandangan lain bagi Umat Islam Bangsa Indonesia terhadap Daulah yang telah didirikan ini, kecuali untuk mempertahankan dan memperjuangkannya hingga tegak berdiri. Terlaksananya kedaulatan Negara sebagai syarat berlakunya syari’at Allah dan RosulNya. Tidak ada di tiap tiap jiwa Umat islam Bangsa Indonesia, kecuali mereka harus mendukung Daulah Islamiyah sebagai bentuk dukungannya kepada Allah dan RosulNya. Tidak mendukungnya berarti melemahkannya. Apalagi jika kemudian memeranginya. Tidak ada kewajiban lain bagi Umat Islam Bangsa Indonesia ketika Daulah ini kemudian diperangi oleh siapapun, kecuali Mereka wajib mempertahankannya dengan seluruh jiwa dan raga, dengan seluruh kemampuan yang ada. Dan ini akan menjadi wajib sucinya sebagai jalan Jihad Fii Sabilillah li ‘I la ‘I Kalimatillah.
NII diproklamasikan di tanah tak bertuan, Nusantara adalah daerah tak bertuan.  Tidak ada satu pemerintahpun didalamnya kecuali Penjajah Belanda dan Republik Indonesia yang dibuat di Soekarno. Tapi RI saat itu mempunyai territorial hanyalah sebatas Jogjakarta. Territorial yang diakuinya sendiri pada perjanjia Renvile. NII sah secara hukum syari’at ataupun hukum internasional ‘ala Eropa. Dan ketika teritorialnya mulai dijarah oleh RI melalui TNI, maka wajiblah bagi setiap elemen rakyat NII untuk mempertahankannya. Inipun jelas sebagai kewajiban bagi Umat Islam dan Pemerintahan Islam.
Qs 2 Al Baqarah 190. Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
Bahkan peperangan ini tidak boleh berakhir hingga tegaknya Daulah sebagai manifestasi tegaknya Diin.
Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.
(QS: Al-Baqarah Ayat: 193)

F.       Bagaimana mesikapi Negara Islam Indonesia paska kekalahan tempur ?
Eksistensi Negara Karunia Allah dibawah kepemimpinan SM Kartosuwirjo tidak bisa dipungkiri. Memberlakukan Hukum Islam, melaksanakan wajib suji Jihad Fii Sabilillah, mempertahankan Kedaulatan Negara, di wilayah yang notabene bukan hanya di wilayah Jawa Barat dimana NII diproklamasikan, tapi juga wilayah Jawa Tengah dan Timur, wilayah Aceh dan sekitarnya, Kalimantan bagian selatan, Sulawesi, sebagian wilayah Indonesia bagian Timur. Akan tetapi kekalahan bertempur menjadikan wilayah-wilayah NII diakuisisi oleh NKRI. Beberapa komandan Perwira Tinggi syahid atau menyerah. Maka dalam situasi chaos didalam internal kepemimpinan Negara, munculah independensi pergerakan dimana-mana. Muncul kelompok-kelompok yang mencoba melanjutkan perjuangan, tidak hanya satu kelompok, akan tetapi beberapa kelompok, dan diantara kelompok tersebut tanpa berkomunasi diantara mereka, berjalan melakukan aktifitas dengan ekstra rahasia. Kondisi semacam ini mulai menguak paska tahun 90-an. Bahkan setelah 90-an satu kelompok bisa terpecah beberapa lagi setelah pimpinan kelompok awal wafat atau tertangkap oleh NKRI. Akan tetapi mereka semua tidak berhenti memperjuangkan kedaulatan Negara Islam Indonesia. Mereka bersama-sama memperjuangkan konstitusi Negara. Hingga mereka pada akhirnya akan menyatu kembali dalam satu shaff besar, shaff para Mujahidin yang iklas membela Diin Islam dan memperjuangkan eksistensinya.
Konstitusi NII memenuhi syarat sebagai dasar pendirian Daulatul Islamiyah, seperti halnya konstitusi Madinah yang menjadikan dasar Rosulullah mendirikan Daulah di Yastrib (Madinatul Munawarah) sehingga NII adalah Al Jama’ah yang di syari’atkan Rosulullah, dan bagi Umat Islam Bangsa Indonesia NII adalah Jama’atul Muslimin dimana setiap umat harus ber shaff didalamnya. Dasar Konstitusi NII menegaskan bahwa NII hanyalah sebagai Negara Basis menuju Kekhalifahan Islam. Sehingga bisa dikatakan bahwa NII akan menyempurnakan kedaulatannya hingga Jama’atul Muslimin menjadi satu-satunya Daulah dan Imammah bagi Umat Islam di seluruh dunia.
Ketika kondisi Al Jama’ah dalam kekalahan dan keterpurukan, maka bagi para Mujahidin tidak ada yang lebih wajib disegerakan dalam langkah perjuangannya kecuali membelanya dan memerangi siapapun yang memeranginya. Jika ada sekelompok Mujahidin membentuk firqoh menolak eksistensi Daulah, maka tidak bedanya mereka seperti Tentara yang sedang meruntuhkan Benteng Perang. Allah membencinya…
Ash Shaff:1-4

G. Bagaimana Mesikapi Kelompok Mujahidin NII yang menolak Revolusi dan tidak memberlakukan Konstitusi Negara ?
Konstitusi Negara merujuk kepada Maklumat Komandemen Tertinggi Nomor 11 menyatakan bahwa para Mujahidin wajib melaksanakan Revolusi Total, Perang Totaliter. Yang berarti setiap jiwa Mujahid harus mempersiapkan diri untuk melaksanakan Jihad Fii Sabilillah  (I’dad wa Qital). Struktur pemerintahanpun wajib merujuk kepada system komandemen dengan bentuk sapta palagan (struktur berdasarkan 7 medan tempur). Maka dengan demikian, seluruh kelompok Mujahidin di NII wajib mempersiapkan struktur dan pola gerak berdasarkan MKT (Maklumat) tersebut tanpa terkecuali. Sebagian kelompok ternyata tidak melaksanakannya.  Mereka meninggalkan konstitusi seperti anak panah meninggalkan busurnya.
Maka wajiblah kiranya setiap jiwa mujahid tersebut dikembalikan kembali Ruhul Jihadnya sesuai dengan syari’at  Allah dan RosulNya, sesuai dengan konstitusi Negara. Jikalau Kelompok tersebut tidak bisa lagi untuk diajak kembali kepada ideology gerakan yang telah ditetapkan (jalan Revolusi), maka kelompok tersebut wajib ditinggalkan. Dan Mujahidin yang meninggalkan kelompok tersebut harus bergabung dengan kelompok lainnya yang masih menjalankan Roda Revolusi berdasarkan konstitusi Negara. Dan jika tidak menemukannya, wajiblah para Mujahidin tersebut membentuknya agar konstitusi Negara tetap berjalan semestinya. Hingga bertemu kelompok lainnya yang masih menjalankan dan menggabungkan diri kembali diantara kelompok-kelompok tersebut untuk membentuk shaff Mujahidin yang lebih besar lagi. Hingga kembali sempurna struktur Negara berdasarkan MKT no:11 tersebut, dari KPSI (Komando Perang Seluruh Indonesia) hingga  Baris (Barisan Islam).

H.    Bagaimana Mesikapi Kelompok Mujahidin yang Meninggalkan al Jama’ah (NII)

Ada kesalah fahaman yang berakibat fatal bagi berlangsungnya Revolusi ketika muncul fenomena baru diantara kelompok Mujahidin yang kecewa terhadap kepemimpinan salah satu kelompok lainnya akhirnya membuat keputusan dengan meninggalkan al Jama’ah (NII). Sebagian beralasan tentang Leadership, sebagian berbicara permasalahan Manhaj, sebagian lain bahkan hanya berkisar permasalahan  personal conflict. Apapun alasanya, tidak sepantasnya permasalahan parsial menjadikan satu alasan untuk meninggalkan al Jama’ah (NII), baik permasalahan syar’I apalagi berkisaran masalah personal. Karena al Jama’ah adalah syari’at itu sendiri. Bagaimana bisa ada pemahaman yang bertendensi membentuk firqoh padahal membentuk firqoh keluar dari Jama’ah adalah dilarang baik didalam Al Qur’an ataupun hadits-hadits Rosulullah? Sebagian kelompok Mujahidin menuduh dengan tuduhan keji bahwa NII hanyalah “Jama’ah Minal Muslimin” sehingga tidak ada dosa keluar atau menyempal dari Jama’ah, padahal tidak pernah ada legitimasi dari Rosulullah tentang adanya Jama’ah Minal Muslimin. Kalaulah ada Jama’ah Minal Muslimin, maka mereka bukanlah Firqoh yang menyempal, tapi “firqotun najiyah”, firqoh yang konsisten didalam Jihad, tapi tetap konsisten didalam al Jama’ah, tidak pernah menanggalkan Bai’at.

Rosulullah SAW bersabda, “Akan senantiasa ada sekelompok umatku yang tegar di atas al-haq, yang tidak akan terkena mudharat dari orang yang enggan menolong atau menentang mereka, sehingga datanglah keputusan Allah sedangkan mereka tetap dalam keadaan begitu” (Al-Bukhari dengan lafazhnya dari Mughirah RA, IV/187 dan Muslim III/1523.)

Mereka adalah al firqoh an najiyah wal mansuroh sekelompok mu’min yang selalu mendapatkan keselamatan dan pertolongan Allah. Mereka yang senantiasa menolong DiinNya (berjuang di jalan Allah)
 
Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.
(QS: Muhammad Ayat: 7)

Mereka yang hijrah karena menghendaki semurni-murninya Tauhid, yang menolak secara total eksistensi Thoghut, menolak secara total kepemimpinan Thoghut.

(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah". Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa,  (QS: Al-Hajj Ayat: 40)

Mereka adalah yang konsisten diatas Jihad Fii Sabilillah, tapi konsisten pula dalam manhaj Nubuwah, konsisten didalam al Jama’ah. Konsisten memperjuangkan Daulah dalam kondisi apapun. Kondisi seburuk apapun, tidak meninggalkannya, tidak membentuk firqoh baru, tidak berkhianat (menanggalkan bai’at) apapun alasannya, konsisten menegakan Diin didalam Ad Daulatul Islamiyah (Imammah). Tetap memperjuangkannya meski dalam kondisi terdesak, kalah, hancur, dan lemah.

I.    Bersatu Kembali dibawah Konstitusi Negara, Diatas Jalan Revolusi (Jihad Fii Sabilillah), didalam Shaff Mujahidin Angkatan Perang Negara Islam Indonesia.

Sudah saatnya seluruh komponen Umat Islam Bangsa Indonesia yang menghendaki terlaksananya Hukum Allah di Bumi Nusantara merapatkan barisan didalam shaff Mujahidin. Apa yang mampu mempersatukan mereka? Siapakah yang mampu mempersatukan mereka?

Jika ada yang mempunyai pemahaman bahwa yang mampu berkuasa dan menyatukan seluruh komponen di territorial Yastrib adalah Muhammad bin Abdullah, maka mereka (yang mempunyai pemahaman) tersebut telah lalai memahami siroh nubuwah. Sesungguhnya yang menyatukan mereka adalah Konstitusi Negara (Suhuf Madinah), ketetapan yang ditetapkan oleh Rosulullah sebagai Imam dari Imammah (kepemimpinan) yang disepakati oleh rakyat Madinah. Seluruh rakyat wajib tunduk sesuai dengan apa yang telah mereka sepakati bersama itu, termasuk seluruh golongan lainnya meski mereka tidak ikut serta dalam kesepakatan awal, tetapi sepanjang dibawah kekuasaan Imammah Rosulullah, mereka harus turut serta menyepakatinya.
Negara Karunia Allah Negara Islam Indonesia sebagai Madinah Indonesia sebagai Imammah dan Daulah, sebagai al Jama’ah, bukanlah milik Kartosuwirjo dan siapapun personal yang memimpin di masa lalu, sekarang, atau masa kemudian. NII adalah milik Umat Islam Bangsa Indonesia, dimana perwakilannya pada masa awal menyepakati sebuah konstitusi bagi Bangsa ini (dalam Kongres Cisayong), siapapun mereka Umat Islam Bangsa Indonesia pada dasarnya harus tunduk dan patuh pada konstitusi ini, dimasa lalu, sekarang, atau masa yang akan datang. Konstitusi inilah yang menjadikan Jama’ah ini ada, maka Konstitusi NII adalah yang paling layak untuk menjadi pemersatu para Mujahidin untuk kembali memperjuangkan Jama’ahnya ini. Hanya jama’ah inilah milik satu-satunya Umat Islam dan para Mujahidin di Indonesia. Jama’ah yang sesuai criteria Allah dan RosulNya.

Janganlah pernah bermimpi untuk mendirikan Daulah baru, bermimpi untuk menjadikan firqoh sebagai Jama’ah. Karena yang melakukannya berarti telah berkhianat terhadap kesepakatan awal, kepada Bai’at awal, kepada Konstitusi yang telah ditetapkan. Jika memaksa melakukannya, berarti mereka telah mencoba melemahkan dan membentuk perpecahan. Mereka yang melakukannya seolah sedang mengubur dirinya sendiri. Dan membiarkan Umat Islam tetap dalam keterpurukan dan penjajahan.

Jika seandainya Negara ini (NII) hancur, mari kita bangun kembali, jika seandainya Negara ini runtuh, mari kita tegakan kembali, jika seandainya Negara ini terpuruk dalam kekalahan, mari kita bersama memenangkannya kembali, jika seandainya Negara ini terpecah belah, mari kita persatukan kembali, jika seandainya Negara ini lemah, mari kita perkuat kembali, jika Rakyat Negara  ini dalam kondisi takut perang dan tidak berani menjalankan Jihad dan Revolusi….mari kita bangkitkan semangat mereka, latih mereka, beri mereka kesempatan kembali untuk memperlihatkan jatidiri mereka sebagai Mujahidin yang Istiqomah berjalan di jalanNYa. TAPI JANGAN PERNAH KITA MENINGGALKAN MEREKA, MENOLAK EKSISTENSI NEGARA, DAN MEMULAI PERPECAHAN DENGAN MENCOBA MENDIRIKAN NEGARA BARU DAN KONSTITUSI BARU.