NKA NII

NKA NII
Negara Karunia Allah Negara Islam Indonesia

Rabu, 19 Desember 2012

" KUFUR ASGHAR ???!- MEMBONGKAR KEDOK SALAFY MURJI'AH "

" KUFUR ASGHAR ???!- MEMBONGKAR KEDOK SALAFY MURJI'AH "
Oleh : Syaikh Abdul Qadir Bin Abdul Aziz.


Syubhat Pertama :

Kufur Asghar

Dalam kasetnya yang berjudul “ Min Manhajil Khawarij “ (Manhaj Khawarij). yang direkam pada tanggal 29 Jumadil Akhirah 1416 H bertepatan dengan tanggal 23 Oktober 1995 M, dengan nomor 1/830 dari nomor berseri “Silsilatu Al Huda wa An Nuur”, syaikh Nashirudin Al Albani menyerang mujahidin yang berjihad melawan para penguasa sekuler. Beliau menyatakan kekafiran para penguasa sekuler tersebut adalah kafir asghar, dengan dasar atsar shahabat Ibnu Abbas dan beberapa ulama tentang kufrun duna kufrin (tafsir QS. Al Maidah :44.45,47). Beliau menuduh mujahidin sebagai Khawarij yang mentakwil ayat-ayat tersebut dengan takwilan batil yang menyelisihi tafsiran kaum salaf terdahulu, bahkan menyelisihi ulama tafsir, fiqih dan hadits setelah generasi salafu sholih. Menurut beliau, dengan penyelisihan ini, mujahidin telah menyelisihi firqah najiyah dan tidak termasuk firqah najiyah.
Sikap syaikh ini juga diikuti banyak lain, yang menyatakan kekufuran para penguasa sekuler negeri-negeri kaum muslimin hari ini sekedar kufur asghar.

Jawaban atas Syubhat :

[1]- Kalaulah syaikh Nashirudin Al Albani dan para ulama lain menyatakan penguasa negeri-negeri ini tidak kafir dengan alasan menetapkan hukum positif dan menjalankan hukum positif yang menihilkan syariah Islam sekedar kufur asghar ---berdasar kepada atsar Ibnu Abbas ini dan atsar beberapa murid beliau---, maka kalaulah pendapat ini diterima, vonis kafir dan murtad tetap mengenai para penguasa tersebut karena kekafiran mereka tidak hanya karena menjalankan atau menetapkan hukum positif semata melainkan selain itu adalah:

Nasionalisme ; semua ulama sepakat menyatakannya sebagai kafir akbar.
Demokrasi ; adalah kafir akbar.
Menyatakan hukum positif mereka lebih baik dari hukum Allah Ta’ala dan lebih sesuai dengan perkembangan zaman ; adalah kafir akbar.
Menganggap huku positif mereka sama baik dengan hukum Allah Ta’ala : adalah kafir akbar.
Menegakkan perngadilan-pengadilan hukum positif adalah kafir akbar.
Meyakini mereka tidak wajib menerapkan hukum Allah Ta’ala, mereka bebas hendak menerapkan hukum positif atau hukum Allah Ta’ala : adalah kafir akbar.
Sekulerisme adalah kafir akbar.
Membantu musuh-musuh Islam dalam memerangi umat Islam adalah kafir akbar.

Maka, alasan kufur asghar tidak bisa menggugurkan status hukum kafir dan murtad para penguasa tersebut, karena kekafiran mereka sangat parah dan karena banyak alasan.

[2]- Status keshahihan atsar Ibnu Abbas rhadiyallahu anhu.
Ada beberapa atsar dari Ibnu Abbas mengenai ayat ini, sebagiannya memvonis kafir secara mutlaq atas orang yang berhukum dengan selain hukum Allah, sementara sebagian atsar lainnya tidak menyebutkan demikian. Karena itu, dalam menafsirkan ayat tersebut ada penjelasan rinci yang sudah terkenal.

* Imam Waki’ meriwayatkan dalam Akhbarul Qudhah 1/41,” Menceritakan kepada kami Hasan bin Abi Rabi’ al Jurjani ia berkata, telah menceritakan kepada kami Abdu Razaq dari Ma’mar dari Ibnu Thawus dari bapaknya ia berkata,” Ibnu Abbas telah ditanya mengenai firman Allah,” [Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir]. “
Beliau menjawab,” Cukuplah hal itu menjadikannya kafir.”

Sanad atsar ini shahih sampai kepada Ibnu Abbas, para perawinya adalah perawi Ash Shahih selain gurunya Waki’, yaitu Hasan bin Abi Rabi’ al Jurjani, ia adalah Ibnu Ja’d al ‘Abdi. Ibnu Abi Hatim mengatakan perihal dirinya,” Aku telah mendengar darinya bersama ayahku, ia seorang shaduq.” Ibnu Hiban menyebutkannya dalam Ats Tsiqat.1 Dalam At Taqrib 1/505 Al Hafidz mengomentarinya,” Shaduq.”

Dengan sanad imam Waki’ pula imam Ath Thabari (12055) meriwayatkannya, namun dengan lafal,” Dengan hal itu ia telah kafir.” Ibnu Thawus berkata,” Dan bukan seperti orang yang kafir dengan Allah, malaikat dan kitab-kitab-Nya.” Riwayat ini secara tegas menerangkan bahwa Ibnu Abbas telah memvonis kafir orang yang berhukum dengan selain hukum Allah tanpa merincinya, sementara tambahan “Dan bukan seperti orang yang kafir dengan Allah, malaikat dan kitab-kitab-Nya ” bukanlah pendapat Ibnu Abbas, melainkan pendapat Ibnu Thawus.2

* Memang benar, ada tambahan yang dinisbahkan kepada Ibnu Abbas dalam riwayat yang lain, yaitu riwayat Ibnu Jarir Ath Thabari (12053) menceritakan kepada kami Waki’, telah menceritakan kepada kami Ibnu Waki’ ia berkata telah menceritakan kepada kami ayahku dari Sufyan dari Ma’mar bin Rasyid dari Ibnu Thawus, dari ayahnya dari Ibnu Abbas,” [Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir].

Ibnu Abbas berkata,” Dengan hal itu ia telah kafir, dan bukan kafir kepada Allah, Malaikat, kitab-kitab dan rasul-rasul-Nya.”3

Sanad atsar ini juga shahih, para perawinya adalah para perawi kutubus sitah selain Hanad dan Ibnu Waki’. Hanad adalah Hanad bin Sariy bin Mush’ab As Sariy al Hafidz Al qudwah, para ulama meriwayatkan darinya kecuali imam Bukhari.4 Adapun Ibnu Waki’ adalah Sufyan bin Waki’ bin Jarrah. Imam Ibnu Hibban dan juga Al Hafidz berkata,” Ia seorang shaduq hanya saja ia mengambil hadits yang bukan riwayatnya, maka haditsnya dimasuki oleh hadits yang bukan ia riwayatkan. Ia telah dinasehati, namun ia tidak menerima nasehat tersebut sehingga gugurlah haditsnya.”5

Hanya saja ini tidak membahayakan, karena Hanad telah menguatkannya.
Kesimpulannya, tambahan ini dinisbahkan kepada Thawus dalam riwayat Abdu Razaq dan dinisbahkan kepada Ibnu Abbas dalam riwayat Sufyan Ats Tsauri. Akibatnya ada kemungkinan ini bukanlah perkataan Ibnu Abbas, tetapi sekedar selipan dalam riwayat Sufyan. Ini bisa saja terjadi, terlebih Waki’ dalam Akhbarul Qudhat telah meriwayatkan atsar ini tanpa tambahan. Namun demikian hal inipun belum pasti. Boleh jadi, tambahan ini memang ada dan berasal dari Thawus dan Ibnu Abbas sekaligus, dan inilah yang lebih kuat. Wallahu A’lam.

* Al Hakim dalam Al Mustadrak 2/313 telah meriwayatkan dari Hisyam bin Hujair dari Thawus ia berkata,” Ibnu Abbas berkata,” Bukan kufur yang mereka (Khawarij) maksudkan. Ia bukanlah kekufuran yang mengeluarkan dari milah.
[Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir] ; Maksudnya adalah kufur duna kufrin.”

Al Hakim mengatakan,” Ini adalah hadits yang sanadnya shahih.” Atsar ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim6 dari Hisyam bin Hujair dari Thawus dari Ibnu Abbas mengenai firman Allah,” [Dan barang siapa tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka adalah orang-orang kafir]
Beliau berkata,” Bukan kekufuran yang mereka maksudkan.”

Hisyam bin Hujair seorang perawi yang masih diperbincangkan. Ia dilemahkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in dan lain-lain.7 Ibnu ‘Ady menyebutkannya dalam Al Kamil fi Dhu’afai Rijal 7/2569. Demikian juga oleh Al ‘Uqaily dalam Al Dhu’afa al Kabir 4/238.

Tidak ada yang mentsiqahkannya selain ulama yang terlalu mudah mentsiqahkan seperti Al ‘Ijli dan Ibnu Sa’ad. Imam Bukhari dan muslim meriwayatkan darinya secara mutaba’ah, buan secara berdiri sendiri. Imam Bukhari tidak meriwayatkan darinya kecuali haditsnya dari Thawus dari Abu Hurairah (6720) tentang kisah sulaiman dan perkataannya,“ Saya akan mendatangi 90 istriku pada malam hari ini…” Beliau telah meriwayatkannya dengan nomor (5224) dengan mutaba’ah Ibnu Thawus dari ayahnya dari Abu Hurairah.

Adapun imam Muslim, beliau meriwayatkan darinya dua hadits. Pertama hadits Abu Hurairah di atas dengan nomor 1654 juga secara mutaba’ah dari Ibnu Thawus dari bapaknya pada tempat yang sama. Hadits yang kedua adalah hadits Ibnu abbas,” Mu’awiyah berkata kepadaku,” Saya diberi tahu bahwa saya memendekkan rambut Rasulullah di Marwah dengan gunting…” Beliau meriwayatkan dengan nomor 1246 dari sanad Hisyam bin Hujair dari Thawus dari Ibnu Abbas. Sanad ini mempunyai mutaba’ah dalam tempat yang sama dari sanad Hasan bin Muslim dari Thawus. Abu Hatim berkata,” Haditsnya ditulis.”8 Maksudnya dilihat terlebih dulu apakah ada mutaba’ahnya sehingga haditsnya bisa diterima, atau tidak ada mutaba’ah sehingga ditolak ?
Syaikh Abu Isra’ Al Asyuthi mengatakan,” Hadits ini di antara hadits-hadits yang setahu kami tidak ada mutaba’ahya. Dalam diri saya ada keraguan tentang keshahihannya meskipun dishahihkan oleh Al Hakim, karena ia terkenal terlalu memudahkan dalam menshahihkan hadits, semoga Allah merahmati beliau.”9

* Ibnu Jarir (12063) meriwayatkan dari sanad Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas, ia bekata,”Jika ia juhud (ingkar) terhadap apa yang diturunkan Allah maka ia telah kafir, dan barang siapa mengakuinya namun tidak berhukum dengannya maka ia adalah dholim dan fasiq.”10

Sanad ini munqathi’ (terputus) karena Ali bin Abi Thalhah belum mendengar dari Ibnu Abbas sebagaiamana ia juga masih diperbincangkan11. Dalam sanad ini juga terdapat rawi bernama Abdullah bi Sholih sekretaris Al Laits, ia diperselisihkan namun sebagian besar ulama melemahkannya.

Syaikh Abu Isra’ Al Asyuthi mengatakan,” dengan demikian apa yang dinisbahkan kepada Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat ditinjau dari segi sanadnya ada yang shahih dan ada yang tidak shahih. Sanad yang shahih ; sebagian mengandung pengkafiran secara mutlaq terhadap orang yang berhukum dengan selain hukum Allah tanpa merincinya, sementara sebagian lain mengandung tambahan ” dan bukan seperti orang yang kafir kepada Allah, Malaikat, kitab-kitab dan rasul-rasul-Nya”, meskipun tambahan ini juga merupakan perkataan Ibnu Thawus sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Dengan demikian, pendapat yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas tak kosong dari kritikan ; antara diterima dan ditolak. Dengan demikian, kalau ada seorang muslim yang berpegangan dengan riwayat Ibnu Abbas yang telah pasti tentang kafirnya orang yang berhukum dengan selain hukum Allah secara mutlaq maka dengan alasannya tersebut ia tidak melakukan suatu kesalahan. Demikian kami katakan, meskipun kami cenderung menetapkan tambahan tadi dari Ibnu Abbas sebagaimana telah kami sebutkan.12

[3]- Atsar Ibnu Abbas rhadiyallahu anhu bukan satu-satunya pendapat ulama salaf.
Syaikh Muhammad Nashirudin Al Albani menganggap atsar shahabat Ibnu Abbas rhadiyallahu anhu sebagai satu-satunya pendapat ulama salaf dalam menafsirkan surat Al Maidah :44,45,47, sehingga beliau menuduh pihak-pihak yang mengkafirkan para penguasa negeri-negeri kaum muslimin hari ini melakukan takwil yang tidak berdasar, takwilan baru yang tidak dikenal generasi salaf dan orang-orang yang mentakwil ini telah keluar dari ahlu sunah wal jama’ah, tidak termasuk firqah najiyah.

* Imam Ibnu Jarir telah meriwayatkan dalam tafsirnya (12061) : menceritakan kepadaku Ya’qub bin Ibrahim ia berkata menceritakan kepadaku Husyaim ia berkata memberitakan kepadaku Abdul Malik bin Abi Sulaiman dari Salamah bin Kuhail dari Alqamah dan Masruq bahwa keduanya bertanya kepada Ibnu Mas’ud tentang uang suap, maka beliau menjawab,” Harta haram.” Keduanya bertanya,” Bagaimana jika oleh penguasa?” Beliau menjawab,” Itu sebuah kekafiran.” Kemudian beliau membaca ayat ini:
” Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir.”13
Atsar ini sanadnya shahih sampai Ibnu Mas’ud, para perawinya tsiqah para perawi kutubus sitah.

* Abu Ya’la dalam musnadnya (5266) meriwayatkan dari Masruq,” Saya duduk di hadapan Abdullah Ibnu Mas’ud, tiba-tiba seorang laki-laki bertanya,” Apakah harta haram itu ?” Beliau menjawab,” Uang suap.” Laki-laki tersebut bertanya lagi,”Bagaimana kalau dalam masalah hukum ?.” Beliau menjawab,” Itu adalah kekufuran.” kemudian beliau membaca ayat [Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir].”

Atsar ini juga diriwayatkan oleh Al Baihaqi 10/139, Imam Waki’ dalam Akhbarul Qudhat 1/52, dan disebutkan Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Al Mathalibu Al ‘Aliyah 2/250, beliau menisbahkannya kepada Al Musaddad. Syaikh Habibur Rahman Al A‘dzami menukil perkataan imam Al Bushairi dalam komentar beliau atas kitab Al Mathalibu Al ‘Aliyah,” Diriwayatkan oleh Al Musaddad , Abu Ya’la dan Ath Thabrani secara mauquf dengan sanad yang shahih, juga diriwayatkan oleh Al Hakim dan Baihaqi dari sanad ini…”

Atsar ini juga disebutkan oleh Imam Al Haitsami Beliau berkata,”Diriwayatkan oleh Abu Ya’la, sementara guru Abu Ya’la ; Muhammad bin Utsman tidak saya ketahui.”14 Syaikh Habibur Rahman Al A‘dzami dalam komentarnya atas kitab Al Mathalibu Al ‘Aliyah 2/250 berkata sebagai jawaban atas pernyataan imam Al Haitsami,” Jika ia tidak mengetahui Muhammad bin Utsman maka tidak berbahaya, karena Fitha gurunya memiliki mutaba’ah dari Syu’bah dalam riwayat Al Hakim dan Al Baihaqi, sementara Muhammad bin Utsman mempunyai mutaba’ah dari Maki bin Ibrahim dalam riwayat Al Baihaqi…”

Syaikh Abu Isra’ Al Asyuthi mengatakan,” Ini kalau dianggap shahih riwayat Abu Ya’la dari perkataan Abu Ya’la,” Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Ustman dari Umar,” kalau tidak maka syaikh Al A’dzami telah menyebutkan dalam tempat yang sama bahwa riwayat yang bersambung adalah telah menceritakan kepadaku Muhammad telah menceritakan kepadaku Utsman bin Umar.” Muhaqiq Musnad Abu Ya’la telah tegas menyatakan bahwa yang benar adalah Muhammad dari Utsman bin Umar. Adapun yang ada dalam musnad adalah penyimpangan, kemudian beliau berkata,” Utsman bin Umar adalah Al Abdi.”15

Utsman bin Umar Al Abdi seorang perawi tsiqah, termasuk perawi kutubus sitah.16
Ath Thabrani meriwayatkan dari Abul Ahwash dari Ibnu Mas’ud ia berkata,” Uang suap dalam masalah hukum adalah kekufuran dan ia uang haram di antara manusia.”17 Al Haitsami berkata,” Para perawinya perawi kitab ash shahih.”18

Waki’ dalam Akhbarul Qudhat I/52 meriwayatkannya dengan lafal,” Hadiah atas vonis (yang menguntungkan) adalah kekufuran, ia uang haram di antara kalian.”
Syaikh Abu Isra’ Al asyuthi berkata,” Atsar dari Ibnu Mas’ud ini membedakan antara uang suap yang terjadi di antara sesama manusia dengan yang terjadi di antara para penguasa atau qadhi saja. Yang pertama sekedar uang haram, sementara yang kedua telah kafir. Tak diragukan lagi maksud beliau adalah kafir akbar, dengan dua alasan :

Satu. Beliau menyebutkannya secara mutlaq tanpa ada ikatan. Kata kufur jika disebutkan secara mutlaq maka maknanya adalah kafir akbar, sebagaimana sudah dimaklumi bersama.

Dua. Beliau menyebutkannya sebagai lawan dari uang haram, sementara melakukan suap yang merupakan sebuah harta haram adalah kafir asghar. Dengan demikian, kebalikannya adalah kafir akbar. Al Jashash dalam Ahkamul Qur’an 2/433 berkata,” Ibnu Mas’ud dan Masruq telah mentakwilkan haramnya hadiah bagi penguasa atas penanganan perkaranya. Beliau mengatakan,” Sesungguhnya menerima uang suap bagi para penguasa adalah kekafiran.”

Perbedaan pendapat yang kami jelaskan ini juga dikuatkan oleh apa yang dikatakan oleh Ibnu Qayyim, di mana beliau mengatakan,” Ibnu Abbas berkata,” Bukanlah kekafiran yang mengeluarkan dari milah, tapi jika ia mengerjakannya berarti telah kafir namun bukan seperti orang yang kafir kepada Allah dan hari akhir.” Demikian juga pendapat Thawus…Ada yang mentakwil ayat ini kepada makna para penguasa yang meninggalkan berhukum dengan hukum Allah karena juhud (mengingkari). Ini adalah pendapat Ikrimah, dan pendapat ini lemah karena mengingkari itu sendiri merupakan kekafiran baik ia sudah berhukum maupun belum. Ada juga yang mentakwilnya dengan makna meninggalkan berhukum dengan seluruh kandungan kitabullah…ada juga yang mentakwilnya dengan berhukum dengan hukum yang bertentangan dengan nash-nash secara sengaja, bukan karena salah dalam mentakwil. Ini disebutkan oleh Imam al Baghawi dari para ulama secara umum. Ada juga yang mentakwilnya bahwa ayat ini untuk ahlul kitab…sebagian lainnya membawa makna ayat ini kepada kekafiran yang mengeluarkan dari milah.”19

Pendapat yang dinukil oleh Ibnu Qayyim ini secara tegas menyatakan pendapat Ibnu Abbas yang dijadikan dasar pendapat syaikh Al Albani bukanlah satu-satunya pendapat dalam masalah ini. Sebagian salaf ada yang membawa kekafiran dalam ayat ini kepada makna kafir yang mengeluarkan dari milah, sementara sebagian lainnya tidak demikian.
Dengan ini semua, kalau ada yang berpendapat bahwa setiap orang yang berhukum dengan selain hukum Allah telah kafir dengan kafir akbar yang mengeluarkan dari milah, maka ia telah mempunyai ulama salaf yang lebih dulu mengatakan hal itu. Wallahu A’lam.
Hal ini kami sampaikan, meskipun kami sendiri meyakini bahwa pendapat yang benar dalam masalah ini bahwa kata “kafir” tersebut mengandung dua macam kekafiran ; kafir asghar dan kafir akbar sesuai kondisi orang yang berhukum dengan selain hukum Allah. Jika ia berhukum dengan selain hukum Allah ; ia mengakui wajibnya berhukum dengan hukum Allah, mengakui perbuatannya tersebut adalah maksiat dan dosa dan berhak dihukum, maka ini kafir asghar. Namun apabila ia berhukum dengan selain hukum Allah ; karena menganggap remeh hukum Allah, atau meyakini selain hukum Allah ada yang lebih baik, atau sama baik atau ia boleh memilih antara berhukum dengan hukum Allah dan hukum selain Allah, maka ini kafir akbar. Inilah yang disebutkan oleh Ibnu Qayyim, sebagaimana akan disebutkan nanti dengan izin Allah. Dan ini pulalah makna dari pendapat Ibnu Abbas di atas.

Namun kami tetap mengatakan atsar ini adalah untuk seorang penguasa yang memutuskan sebuah kasus atau lebih dengan selain hukum Allah dalam kondisi syariat Islam menjadi satu-satunya syariat yang berkuasa. Adapun orang-orang yang menetapkan undang-undang dan memutuskan perkara di antara manusia dengan undang-undang ketetapan mereka tersebut yang tidak mendapat izin Allah, maka perbuatan mereka ini kafir akbar mengeluarkan dari milah, tidak termasuk dalam pembagian di atas.20

[4]- Benarkah mendasarkan kafirnya para penetap undang-undang positif seperti kasus para penguasa sekuler tersebut kepada QS. Al Maidah : sebuah takwil tak berdasar yang menyelisihi firqah najiyah ?

Membedakan antara penguasa yang berhukum dalam satu kasus atau lebih dengan selain hukum Allah, dengan penguasa yang menetapkan undang-undang selain Allah, dan membawa pendapat Ibnu Abbas [kufrun duna kufrin] untuk makna al qadha’ (memutuskan perkara), bukan untuk masalah tasyri’ (menetapkan undang-undang) ; bukanlah takwil sesat sebagaimana dituduhkan oleh syaikh Al Albani rahimahullah. Justru hal ini berarti membawa lafadz kepada makna asalnya dalam pengertian secara bahasa.
Karena makna Al hukmu (berhukum, memutuskan perkara) secara bahasa adalah al qadha’, sebagaimana disebutkan dalam Al Qamus.21

Secara istilah Al Qur’an, terkadang bermakna al qadha’ sebagaimana firman Allah:

وأن احكم بينهم بما أنزل الله

” Maka putuskanlah perkara di antara mereka dengan hukum Allah.” [QS. Al Maidah :49].
Dan firman-Nya:

ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل وتدلوا بها إلى الحكام

” Dan janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan cara yang batil dan kalian membawanya kepada para hakim.” [QS. Al Baqarah :188].
Terkadang dalam Al Qur’an bermakna qadar (taqdir), itulah uyang disebut para ulama dengan istilah hokum kauni syar’i. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

فلن أبرح الأرض حتى يأذن لي أبي أو يحكم الله لي وهو خير الحاكمين

” Sebab itu aku tidak akan meninggalkan negeri Mesir sampai ayah mengizinkanku untuk kembali atau Allah memberi keputusan kepadaku. Sesungguhnya Allah adalah Hakim yang sebaik-baiknya..“[QS. Yusuf :108].
Terkadang bermakna tasyri’, itulah yang disebut oleh para ulama dengan istilah hukum syar’I, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

إن الله يحكم ما يريد

“Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang Ia kehendaki.” [QS. Al Maidah:1].22

Perkataan Ibnu Abbas berkenaan dengan firman Allah:
” Dan barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir...” [QS. Al Maidah: 44].
Mengartikan “al hukmu” yang dimaksud dalam atsar Ibnu Abbas dengan al qadha’ dan bukan tasyri’, sama sekali bukan melakukan takwil. Karena takwil yang dimaksud di sini adalah memalingkan lafal dari makna dhahirnya. Apakah mengartikan dengan makna qadha’ berarti memalingkan lafal ini dari dhahirnya ? Ataukah justru mengembalikan kepada makna asalnya yaitu al qadha ?

Bahkan terdapat perkataan shahabat Ibnu Abbas sendiri yang menunjukkan beliau membawa makna al hukmu kepada makna al qadha’ secara mutlaq. Yaitu dalam riwayat Ath Thabrani dari Ibnu Buraidah Al Aslami ia berkata,” Seorang laki-laki mencela Ibnu Abbas. Maka Ibnu Abbas menjawab,” Anda mencela saya padahal saya mempunyai tiga sifat :

(a) Saya membaca satu ayat Al Qur’an lalu saya ingin agar manusia bisa memahami maknanya sebagaimana saya memahaminya, (b) saya mendengar ada seorang hakim dari hakim-hakim kaum muslimin yang adil dalam hukumnya maka saya senang karenanya padahal barangkali tak sekalipun aku akan mengadukan permasalahanku kepadanya, dan (c) aku mendengar hujan jatuh di salah satu negeri kaum muslimin maka aku senang karenanya padahal aku tidak mempunyai hewan ternak di negeri tersebut.”23

Imam Al Haitsami berkata,” Para perawinya adalah perawi kitab ash shahih.”24

Perkataan beliau “seorang hakim dari hakim-hakim kaum muslimin” serta perkataan beliau “padahal barangkali tak sekalipun aku akan mengadukan permasalahanku kepadanya”. Hal ini jelas menunjukkan bahwa beliau membawa makna al hukmu kepada makna al qadha’ secara mutlaq. Bagaimanapun keadaannya, sebuah lafal jika mempunyai beberapa makna, maka memilih salah satu maknanya sama sekali tidak dianggap sebuah takwil. Wallahu A’lam.

Sebenarnya penjelasan para ulama salaf dan kontemporer tentang jenis-jenis berhukum dengan selain hukum Allah Ta’ala yang termasuk kategori kafir akbar (point 1-6 dalam pembahasan sebab-sebab murtadnya penguasa di awal) sudah sangat jelas, namun penjelasan dan bantahan syubhat ini perlu ditambahkan untuk menyingkap syubhat para pembela penguasa sekuler murtad tersebut.

[5]- Yang dimaksud dengan kafir asghar dari bentuk berhukum dengan selain hukum Allah adalah ketika sebuah pemerintahan menjadikan syariah Islam sebagai satu-satunya UUD dan UU yang berlaku dalam sebuah negara. Syariah Islam sebagai satu-satunya UU yang mengatur seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemudian dalam satu kasus tertentu, seperti kasus pencurian yang telah mencapai nishab dilakukan oleh kerabat penguasa, karena kasihan maka penguasa tersebut menerapkan hukuman penjara sekian tahun sebagai ganti hukuman potong tangan. Ia menyadari perbuatan ini salah dan termasuk sebuah kekafiran, namun ia masih tetap melaksanakan seluruh syariat Islam lain dalam seluruh aspek kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Inilah yang diterangkan oleh para ulama.

Dr. Abdul Aziz bin Muhammad bin Ali Alu Abdu Lathif mengatakan :
“ Berhukum dengan selain hukum Allah hukumnya kufur asghar ketika seorang penguasa atau hakim memutuskan suatu perkara tertentu25 dengan selain hukum Allah namun ia masih meyakini bahwa memutuskan perkara tertentu tersebut wajib dengan hukum Allah. Ia berpaling dari hukum Allah dalam masalah tersebut karena maksiat, hawa nafsu dan syahwatnya dengan mengakui bahwa hal itu termasuk dosa dan karena perbuatannya itu ia berhak untuk dihukum.”26

Kita ketengahkan disini perkataan para ulama dalam masalah ini :

Imam Al Qurthubi berkata :
“ Jika ia memutuskan perkara dengan selain hukum Allah karena mengikuti hawa nafsu dan berbuat maksiat maka itu hukumnya dosa yang bisa diampuni berdasar aqidah ahlu sunah dalam masalah ampunan bagi orang-orang yang berbuat dosa.”27

Imam Ibnu Taimiyah berkata :
“ Adapun orang yang komitmen dengan hukum Allah dan Rasul-Nya secara lahir dan batin tapi ia berbuat maksiat dan mengikuti hawa nafsunya, maka ia seperti pelaku maksiat lainnya.”28

Imam Ibnu Qayyim berkata :
“ Jika meyakini wajibnya memutuskan perkara dengan hukum Allah dalam masalah tersebut kemudian ia berpaling darinya karena maksiat sementara ia masih mengakui ia berhak mendapat hukuman (atas sikap meninggalkan hukum Allah dalam kasus ini) maka ini kafir asghar.”29

Syaikh Muhammad bin Ibrahim berkata :
“ Adapun jenis kedua dari dua jenis kekufuran karena meninggalkan berhukum dengan hukum Allah adalah kufur yang tidak mengeluarkan dari milah yaitu jika syahwat dan hawa nafsunya membawanya untuk memutuskan suatu kasus dengan selain hukum Allah dengan masih meyakini bahwa hukum Allah dan Rasul-Nya itulah yang benar dan ia masih mengakui perbuatannya itu salah dan menjauhi petunjuk. Sekalipun hal ini tidak mengeluarkan dari milah namun kemaksiatannya sangat besar, lebih besar dari dosa-dosa besar seperti berzina, minum khamr, mencuri, sumpah palsu dan sebagainya. Karena sebuah kemaksiatann yang disebut Allah dalam kitab-Nya sebagai sebuah kekufuran lebih besar dosanya dari maksiat yang tidak disebut sebagai kekufuran.”30

Syaikh Asy Syanqithi berkata :
“ Siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah dengan masih meyakini perbuatannya itu haram dan ia melakukan suatu hal yang buruk, maka kekufuran, kedzaliman dan kefasikannya tidak mengeluarkannya dari milah.”31
Kondisi seperti inilah yang dimaksudkan oleh perkataan Ibnu Abbas, Atha’, Thawus dan Abu Mijlaz.

Telah tersebut riwayat bahwa Ibnu Abbas berkata tentang ayat,” Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oang yang kafir.” [Al Maidah :44].

“ Bukan kekafiran yang mereka (Khawarij) maksudkan.”32 Dalam riwayat lain beliau berkata,” Kekafiran yang tidak mengeluarkan dari milah.”33

Atha’ berkata,:
” Kufur duna kufrin, dzulmun duna dzulmin dan fisqun duna fisqin.”34
Thawus berkata,”
“ Bukan kekafiran yang mengeluarkan dari milah.”35

Ketika sekelompok Ibadhiyah menemui Abu Mijlaz, mereka bertanya kepadanya,” Allah berfirman :
” Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”
Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oang yang dzalim.”
Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oang yang fasiq.”

Abu Mijlaz menjawab,” Mereka ---para penguasa--- mengerjakan perbuatan mereka namun mereka tahu itu perbuatan dosa…”36

Dr. Abdul Aziz bin Muhammad Alu Abdu Lathif mengartakan :

“ Yang perlu disebutkan di sini ada sementara orang yang memaknai pendapat Ibnu Abas dan atsar-atsar di atas BUKAN PADA TEMPATNYA. Mereka memahaminya secara buruk, karena itu perlu diingatkan di sini beberapa hal:

1). Dhahir konteks ayat-ayat di atas : menunjukkan bahwa maksud ayat–ayat tadi pada asalnya adalah kekufuran, kedzaliman dan kefasikan akbar (yang mengeluarkan dari Islam).37
Sebagaimana diterangkan oleh asbab nuzulnya ayat, di mana diturunkan kepada orang-orang Yahudi sebagaimana telah diterangkan dimuka. Kemudian juga para imam tadi seperti Ibnu Abbas dan lain-lain memaknainya secara umum termasuk orang-orang yang tidak kafir38, mereka mengatakan,”kufur duna kufrin,” padahal konteks ayat menunjukkan ayat-ayat ini berkenaan dengan orang-orang kafir (yang keluar dari Islam), sebagaimana disebutkan dalam riwayat lain dari Bara’ bin Azib sebab turunnya ayat ini,”Semua ayat ini berkenaan dengan orang kafir.”

2). Yang dikatakan oleh Abu Mijlas kepada Ibadhiyah adalah jawaban beliau untuk menolak pendapat Khawarij yang memaksa Abu Mijlaz untuk mengkafirkan para penguasa saat itu karena mereka berada dalam barisan tentara sultan, juga karena mereka melanggar beberapa larangan Allah.

Di antara yang dikatakan oleh Mahmud Syakir mengenai perkataan Abu Mijlaz :
“ Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesesatan. Wa Ba’du. Sesungguhnya ahlu raib (orang-orang yang ragu) dan ahlu fitnah di kalangan orang-orang yang mengeluarkan pandangannya (ulama) pada masa sekarang ini telah mencari-cari alasan untuk membela para penguasa dalam hal meninggalkan menghukumi dengan hukum Allah dan dalam memutuskan perkara dalam masalah darah, kehormatan dan harta dengan selain syariah Allah yang diturunkan dalam kitab-Nya dan sikap penguasa yang mengambil undang-undang kafir sebagai undang-undang dalam negeri-negeri Islam. Ketika mereka menemukan dua khabar (riwayat) ini39, mereka mengambilnya sebagai pendapat yang dengannya mereka membenarkan memutuskan perkara dalam masalah harta, kehormatan dan darah dengan selain hukum Allah dan bahwasanya memutuskan perkara secara umum tidak membuat orang yang ridha dengan hal itu dan pelakunya kafir.

Sampai pada perkataan beliau :
“ Pertanyaan mereka bukanlah apa yang dijadikan hujah oleh para pengikut bid’ah zaman sekarang ini yaitu menetapkan undang-undang dalam masalah harta, kehormatan dan darah dengan undang-undang yang menyelisihi syariah orang Islam dan bukan pula dalam masalah membuat undang-undang yang diwajibkan untuk orang Islam dengan berhukum kepada hukum selain hukum Allah dalam kitab-Nya dan atas lisan nabi-Nya. Perbuatan membuat undang-undang selain hukum Allah ini adalah berpaling dari hukum Allah, membenci dien-Nya dan mengutamakan hukum-hukum orang kafir atas hukum Allah Ta’ala. Ini jelas kekafiran yang tak seorang muslimpun yang ragu mengenainya meskipun mereka masih berbeda pendapat mengenai kafirnya orang yang mengatakannya dan penyeru kepadanya…”

“ Kalau masalah ini seperti apa yang mereka kira mengenai khabar Abu Mijlaz, bahwasanya mereka memaksudkannya untuk sikap sultan yang menyelisihi salah satu hukum dari hukum-hukum syariah Islam, maka sesungguhnya belum pernah terjadi dalam sejarah Islam peristiwa seorang penguasa membuat suatu hukum dan dijadikannya sebagai undang-undang yang wajib dijadikan keputusan dalam memutuskan perkara. Ini pertama. Selain itu, seorang penguasa yang memutuskan perkara dalam satu masalah tanpa hukum Allah, kedudukan ia boleh jadi karena tidak tahu, maka posisi dia seperti orang tidak tahu lainnya dalam masalah syariah. Dan boleh jadi juga karena memutuskan perkara itu karena mengikuti hawa nafsu dan bermaksiat, maka ini dosa yang bisa diampuni dengan taubat dan maghfirah.”40

Di antara yang menguatkan kenyataan ini adalah riwayat Abd bin humaid dan Abu Syaikh dari Abu Mijlaz ketika ditanya :

( ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون). قَالَ : نَعَمْ. قَالُوْا : ( ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الظالمون). قَالَ : نَعَمْ. قَالُوْا :( ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الفاسقون).قَالَ :نَعَمْ. قَالُوْا : فَهَؤُلَاءِ يَحْكُمُوْنَ بِمَا أَنْزَلَ الله ؟ قَالَ : نَعَمْ, هُوَ دِيْنُهُمُ الَّذِي بِهِ يَحْكُمُوْنَ وَ الَّذِي بِهِ يَتَكَلَّمُوْنَ وَ إِلَيْهِ يَدْعُوْنَ. فَإِذَا تَرَكُوْا مِنْهُ شَيْئًا عَلِمُوْا أَنَّهُ جُوْرٌ مِنْهُمْ وَ إِنَّمَا هَذِهِ الْيَهُوْدُ وَ النَّصَارَى وَ الْمُشْرِكُوْنَ الَّذِيْنَ لَا يَحْكُمُوْنَ بِمَا أَنْزَلَ الله

Riwayat Abd bin Humaid dan Abu Syaikh dari Abu Mijlaz ia berkata;
“ Saat orang Ibadhiyah membaca ayat,” Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” Abu Mijlaz berkata,“ Ya, betul.”

Mereka membaca lagi ayat,“ Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim.” Abu Mijlaz berkata,“ Ya, betul.”

Mereka membaca lagi ayat,“ Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq.” Abu Mijlaz berkata,“ Ya, betul.”

Orang-orang Ibadhiyah bertanya,” Apakah para penguasa memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah ?”
Abu Mijlaz menjawab,” Ya, itulah dien mereka yang dengannya mereka memutuskan perkara dan dengannya mereka berkata dan kepadanya mereka menyeru. Jika mereka meninggalkan sesuatu darinya, maka mereka mengetahui bahwa hal itu kezaliman dari mereka. Sebenarnya ayat ini mengenai orang-orang Yahudi, Nasrani dan musyrikin yang tidak berhukum dengan hukum Allah.”41

Maka seyogyanya perkataan Abu Mijlaz, demikian juga perkataan Ibnu Abbas, dipahami menurut dhahirnya dan sesuai tempatnya tanpa sikap ekstrem maupun melalaikan, sehingga tidak seperti Khawarij yang menjadikan sikap menyelisihi syariah secara mutlak kafir akbar dan dalam waktu yang sama juga tidak seperti lawan Khawarij (Murjiah) yang menjadikan menolak syariah dan meminggirkan syariah dan berpaling darinya sebagai sekedar kafir asghar.

Ibnu Abbas sama sekali tidak bermaksud ---demikian juga Abu Mijlaz--- bahwa orang yang menolak komitmen dengan syariah Allah dan berhukum kepada undang-undang jahiliyah, karena pada masa-masa itu tidak ada orang yang berbuat seperti ini. Perkataan salafus sholih dalam masalah ma’siat kufur duna kufur berkisar tentang satu masalah atau kasus saja di mana tidak diputuskan menurut hukum Allah, karena lebih menuruti hawa nafsu dan bisikan syahwat, dengan disertai sikap mengetahui keharaman dan dosa perbuatan ini, jadi bukan manhaj (sistem perundang-undangan) secara umum.

Hal ini adalah perkara yang sudah jelas sebagaimana dijelaskan oleh perkataan Ibnu Taimiyah yang telah lalu,” Adapun orang yang komitmen dengan hukum Allah dan rasul-Nya secara lahir dan bathin namun berbuat maksiat dan mengikuti hawa nafsunya maka ia seperti pelaku maksiat lainnya.”42

Demikian juga perkataan Ibnu Qayyim,” Jika ia meyakini wajibnya memutuskan hukum dengan hukum Allah dalam satu masalah, kemudian ia berpaling karena maksiat namun ia mengakui ia berhak mendapat hukuman atas perbuatan ini maka ini kafir asghar.”43
-Selesai-

Footnote:
1 - Tahdzibu Tahdzib 2/280, Daarul Fikr, cet 1 ; 1404 H / 1984.
2 - Tafsiru Ath Thabari 6/319, Daarul Fikr, Beirut, cet 1 ; 1421 H / 2001 M.
3 - Tafsiru Ath Thabari 6/318.
4 - Tahdzibu Tahdzib 11/62, Tadzkiratul Hufadz 2/507.
5 - Tahdzibu Tahdzib 4/109-110, At Taqrib 1/312.
6 - Tafsir Ibn Katsir 2/62 saat menerangkan ayat tersebut.
7 - Tahdzibu Tahdzib 11/32.
8 - Tahdzibu Thadzib 11/32.
9 - Waqfaatun Ma’a Syaikh Al Albani hal. 20, cet 1 ; 1418 H/1997 M, almurabeton.com.
10 - Tafsir Ath Thabari 6/320.
11 - Tahdzibu Tahdzib 7/298-299.
12 - Waqfaatun Ma’a Syaikh Al Albani hal. 21, cet 1 ; 1418 H/1997 M almurabeton.com.
13 - Tafsir Ath Thabari 6/320.
14 - Majmauz Zawaid wa 15 - Musnad Abu Ya’la dengan tahqiq :Husain Sualim Asad 9/173-174.
16 - Tahdzibu Tahdzib 4/92-93.
17 - Al Mu’jamu Al Kabir 9/229 no. 9100.
18 - Majma’ Zawaid 4/199.
19 - Madariju As Salikin I/364.
20 - Waqfaatun Ma’a Syaikh Al Albani hal. 24.
21 - Qamus Al Muhith 4/39, Daarul Kutub Al Ilmiyah, Beirut, cet 1 ; 1415 H / 1995 M. Lisaanul ‘Arab 12/140-145.
22 - Mengenai masalah hukum kauni dan hukum syar’i, silahkan lihat Syifaul ‘Alil Ibnu Qayim hal. 270-283 dan Syarhu Aqidati Ath Thahawiyah 2/658 ; Daarul ‘Alaamil Kutub, Riyadh, cet 3 ; 1418 H / 1997 M.
23 - Al Mu’jamu Al Kabir 10/226 no. 10621.
24 - Majmauz Zawaid 9/284.
25 - Dr. Abdul Aziz bin Muhammad bin Ali Alu Abdu Lathif menambahkan dalam foot note : Jadi bukan system atau undang-undang yang dijalankan selamanya, karena undang-undang yang diberlakukan selamanya termasuk enggan dan menolak hukum Syariah sebagaimana telah dijelaskan. Adapun kufur asghar di sini adalh orang yang secara umum masih komitmen dengan syariah Islam sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Taimiyah..dan juga seperti dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim :” Adapun berhukum dengan selain hukum Allah yang dinamakan kufur duna kufur adalah jika berhukum kepada selain Allah dengan masih meyakini ia telah berbuat maksiat dan hukum Allah lah yang benar,ini hanya bagi yang melakukannya sekali atau semisalnya. Adapun yang membuat undang-undang dengan tertib dan memaksakan maka ini lah yang kafir (yang mengeluarkan dari Islam) sekalipun mereka mengatakan,”Kami memang salah dan hukum syariah lebih adil.” Fatawa Muhammad bin Ibrahim 12/280, lihat juga Muhammad bin Ibrahim 6/189. Nawaqidhul Iman Al Qauliyah wal ‘Amaliyah hal. 335, Daarul wathan, Riyadh, cet 1 ; 1414 H.
26 - Nawaqidhul Iman Al Qauliyah wal ‘Amaliyah hal. 335.
27 - Tafsir Al Qurthubi 6/191.
28 - Minhajus Sunnah 5/131.
29 - Madariju Salikin 1/364, Syarhu Thahawiyah 2/446.
30 - Fatawa Syaikh Muhammad bin Ibrahim 12/291.
31 - Adhwaul Bayan 2/104, Adhwa’ 2/109, lihat juga Tahkimu Syariah Dr. Sholah Showi hal. 71, Dhawabithu Takfir 217, Wujubu Tahkimi Syariah dalam Majalah Buhuts juz 1 hal. 69, Adhwa’un ‘ala Ruknin Minat Tauhid hal. 42, Mukhtashor Al Ghiyatsi hal. 56.
32 - Al Hakim 2/313, Al Maruzi dalam Ta’dzimu Qadril Shalah 2/521.
33 - Al Hakim 2/213, Al Maruzi dalam Ta’dzimul Qadril Sholah 2/522.
34 - Tafsir Ath Thabari 6/148, Al Maruzi 2/522.
35 - Tafsir Ath Thabari 6/148, Al Maruzi 2/522.
36 - Tafsir Ath Thabari 6/146.
37 - Hal ini dikuatkan bahwa dalam ayat ini kata al kufru berbentuk ma’rifah dengan alif laam. Untuk mengetahui perbedaan antara kufur yang ma’rifah dengan alif lam dan kufur yang berbentuk nakirah, silahkan lihat Iqtidhau Shiratil Mustaqim, Ibnu Taimiyah, 1/208.
38 - Lihat Al Muwafaqat, Asy Syathibi 3/285 tentang rahasia kenapa ulama salaf membawa ayat semisal ini dan lainnya pada makna umum.
39 - Riwayat Abu Milaz yang diriwayatkan oleh Ath Thabari.
40 - Umdatu Tafsir 4/186-187, diringkas.
41 - Ad Durul Mantsur 3/88.
42 - Minhajus Sunnah 5/131.
43 - Madariju Salikin 1/364, lengkapnya silahkan lihat : Dhawabithu Takfir hal. 217, Adhwa' 'ala Ruknin Minat Tauhid hal. 36-43, Hadul Islam 406-414, Muhktashor Al Ghiyatsi hal. 46-60, Tahkimu Syariah hal. 70-83. (Nawaqidhul Iman Al Qauliyah wal ‘Amaliyah hal. 3337-340.)

--------------------------------------------------------------------------------------------------
Nur Jannah
SUFI, BENARKAH AJARAN NABI?

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi akhir zaman dan da’i yang menyeru kepada jalan Allah dengan ilmu dan keterangan.

Amma ba’du. Saudara-saudaraku sekalian kaum muslimin -semoga Allah semakin mempererat tali persaudaraan kita karena-Nya- perjalanan hidup kita di alam dunia merupakan sebuah proses perjuangan untuk menggapai keridhaan-Nya. Kita hidup bukan untuk berhura-hura atau memuaskan hawa nafsu tanpa kendali agama. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah (hanya) kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Saudara-saudaraku sekalian -semoga Allah menumbuhkan kecintaan yang dalam di dalam hati kita kepada al-Qur’an, as-Sunnah dan para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum- sebagaimana kita sadari bersama bahwa agama Islam adalah ajaran yang sempurna. Tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang yang tidak paham dan orang yang menyombongkan dirinya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian, Aku telah cukupkan nikmat-Ku atas kalian, dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian.” (QS. Al-Maa’idah: 3)

Saudara-saudaraku sekalian -semoga Allah mencurahkan hidayah dan taufik-Nya kepada kita untuk meniti jalan yang lurus dan tidak berpaling darinya- Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menentang Rasul setelah petunjuk terang benderang baginya dan dia malah mengikuti selain jalan orang-orang yang beriman, maka Kami akan membiarkan dia terombang-ambing di dalam kesesatan yang dipilihnya, dan Kami akan memasukkan dirinya ke dalam neraka jahannam. Dan sungguh jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisaa’: 115)

Bagi kita ajaran atau Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri dari kehancuran dan mata air yang akan mengalirkan kesejukan iman. Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu mengisahkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan Sunnah/ajaranku dan ajaran para khalifah yang berpetunjuk lagi lurus sesudahku, berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham serta jauhilah perkara-perkara baru yang diada-adakan (dalam agama), sebab setiap yang diada-adakan itu adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah pasti sesat.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, Tirmidzi menilai hadits ini hasan)

Oleh karena itu sudah semestinya kita -sebagai orang yang mengaku beriman- untuk mengembalikan segala bentuk perselisihan kepada Hakim yang paling bijaksana yaitu Allah subhanahu wa ta’ala. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Kemudian apabila kalian berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan rasul (as-Sunnah), hal itu pasti lebih baik bagi kalian dan lebih bagus hasilnya, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir.” (QS. An-Nisaa’: 59)

Mujahid dan para ulama salaf yang lainnya menafsirkan perintah kembali kepada Allah dan rasul yang terdapat dalam ayat ini dengan mengatakan yaitu kembali kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Ini merupakan perintah dari Allah ‘azza wa jalla yang menunjukkan bahwa segala sesuatu yang diperselisihkan orang -dalam hal pokok agama maupun cabang-cabangnya- maka perselisihan itu harus diselesaikan dengan merujuk kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah ta’ala (yang artinya), “Apa saja perkara yang kalian perselisihkan maka keputusannya dikembalikan kepada Allah.” (QS. Asy-Syura: 10). Maka apa pun yang telah diputuskan oleh Al-Kitab dan As-Sunnah serta didukung oleh dalil yang benar dari keduanya itulah kebenaran, “dan tiada lagi sesudah kebenaran melainkan kesesatan.” (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, jilid 2 hal. 250).

Di hadapan kita terdapat persoalan yang telah membuat lisan sebagian orang melontarkan tuduhan-tuduhan yang tak pantas kepada Ahlus Sunnah dan dakwahnya, bahkan saking getolnya memuja keyakinan sufi yang dianggapnya benar maka dia pun tidak segan melontarkan ucapan-ucapan aneh yang menunjukkan kerancuan aqidah yang tertancap di dalam dadanya.

Orang tersebut -semoga Allah menunjukinya- berkata, “Kita berasal dari Allah. Menyembah hanya untuk Allah, Hidup dan mati di dalam Allah. Karena kita bagian dari Allah.” Orang tersebut -semoga Allah menunjukinya- berkata, “Allah ada di mana-mana. Tapi bukan berarti ada di mana-mana. Seluruh dunia ini terjadi [karena] Campur tangan Allah. Karena Allah tidak tidur. Di dalam diri kita ada Tuhan, manusia sendiri yang membuat HIJAB ( batasan) kepada Allah.” Orang tersebut -semoga Allah menunjukinya- berkata, “Akan tetapi Dzat Tuhan dapat dijumpai dan menyatu dalam diri manusia. Karena sebegitu dekatnya…” Orang tersebut -semoga Allah menunjukinya- berkata, “Seluruh Imam Madzhab pada Akhirnya kembali kepada Sufi. Kecuali Wahabi…” ?!

Baiklah, memang pahit di lidah dan panas di telinga, namun terpaksa kalimat-kalimat ini kami sebutkan di sini demi menerangkan kebenaran dan membantah kebatilan, semoga Allah memberikan taufik kepada kita untuk bersatu di atas kebenaran, Allahul musta’aan.

Sebagai jalan untuk memecahkan persoalan ini maka akan saya kutip ucapan indah dari orang yang sama yang telah mengucapkan kalimat-kalimat di atas. Orang tersebut -semoga Allah menambahkan hidayah kepada-Nya- mengatakan dengan jujur dan tulus, “Maka sebaiknya kita tanya dulu kepada Orang yang lebih tahu daripada Kita, Karena di atas langit masih ada langit.” Alangkah bagus ucapannya sebab bersesuaian dengan sebuah firman Allah yang mulia (yang artinya), “Maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui suatu perkara, dengan dasar keterangan dan kitab-kitab…” (QS.An-Nahl: 43-44). Tentu saja tempat kita bertanya adalah para ulama yang mengikuti pemahaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Insya Allah ucapan dan keterangan mereka akan kami sebutkan untuk menenangkan hati dan pikiran kita.

Sebelum lebih jauh menanggapi hal ini, dengan memohon taufik dari-Nya maka kami perlu kemukakan beberapa hal di sini agar duduk perkaranya menjadi jelas dan tidak terjadi kesalahpahaman.

Saudaraku sekalian -semoga Allah mengokohkan kita di atas kebenaran, bukan di atas kebatilan- ajaran Sufi yang populer dan kata orang mengajarkan penyucian jiwa, pendekatan diri kepada Allah serta membuang jauh-jauh ketergantungan hati kepada dunia serta mengikatkan hati manusia hanya kepada Allah, kita telah akrab dengan istilah ini. Meskipun demikian, sebagai muslim yang baik tentunya kita tidak akan berbicara dan bersikap kecuali dengan landasan dalil dari Allah ta’ala. Allah berfirman (yang artinya), “Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, itu semua pasti dimintai pertanggung jawabannya.” (QS. Al-Israa’: 36)

Saudaraku sekalian, sesungguhnya perkara penyucian jiwa, melembutkan hati dan pendekatan diri kepada Allah serta melepaskan ketergantungan hati kepada dunia dan mengikatkan hati manusia kepada Rabbnya merupakan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa kita ragukan barang sedikit pun. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Allah telah mengaruniakan nikmat bagi orang-orang yang beriman ketika mengutus rasul dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan jiwa mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al Hikmah (As-Sunnah) padahal sebelumnya mereka dulu berada di dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Ali Imran: 164). Maka tugas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah membacakan dan menerangkan ayat-ayat Allah, menyucikan jiwa manusia dari berbagai kotoran dosa dan kesyirikan, dan mengajarkan Al-Kitab dan As-Sunnah kepada mereka.

Oleh karena itulah apabila kita membuka kitab-kitab hadits akan kita jumpai di sana sebuah bab khusus yang menyebutkan riwayat-riwayat hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengajarkan penyucian jiwa dan melembutkan hati. Contohnya di dalam Sahih Bukhari, Al-Bukhari rahimahullah menulis Kitab Ar-Riqaaq (hal-hal yang dapat melembutkan hati), di sana beliau membawakan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terkait dengan hal ini sebanyak seratus hadits lebih, yaitu hadits no. 6412-6593 (lihat Sahih Bukhari cet. Maktabah Al-Iman, halaman. 1306-1332)

Demikian juga murid Al-Bukhari yaitu Muslim rahimahullah membuat Kitab Ar-Riqaaq, Kitab At-Taubah, Kitab Shifatul Munafiqin wa ahkamuhum, Kitab Shifatul qiyamah wal jannah wan naar, dan lain sebagainya hingga Kitab Az-Zuhd wa raqaa’iq yang mencantumkan dua ratus hadits lebih tentang penyucian jiwa dan hal-hal yang terkait dengannya di dalam Sahihnya (lihat Sahih Muslim yang dicetak bersama Syarah Nawawi, hal. 5-259). Demikian pula di antara para ulama ada yang menyusun kitab khusus tentangnya seperti Adz-Dzahabi yang menulis kitab Al-Kaba’ir tentang dosa-dosa besar. An-Nawawi yang menulis Riyadhush Shalihin yang mencakup berbagai pembahasan tentang penempaan diri dan penyucian jiwa. Shifatu Shafwah dan Al-Latha’if karya Ibnul Jauzi. Bahkan banyak kitab hadits yang dinamakan dengan kitab Az-Zuhd, seperti Az-Zuhd karya Abu Hatim Ar-Razi, Az-Zuhd karya Abu Dawud, Az-Zuhd karya Imam Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain, semoga Allah merahmati mereka semua. Bukankah dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an, kemudian riwayat-riwayat hadits sahih serta penjelasan ulama yang ada di dalam kitab-kitab tersebut kita dapat mempelajari bagaimanakah menyucikan jiwa, bagaimana mendekatkan diri kepada Allah dan bagaimana melepaskan ketergantungan hati kepada selain-Nya…

Inilah pelajaran-pelajaran akhlak dan penyucian jiwa yang disampaikan oleh para ulama kepada kita. Sehingga kalau yang dimaksud sufi adalah itu semua (penyucian jiwa dsb) maka akan kita katakan bahwa itulah yang diajarkan oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah alias manhaj salaf kepada umat manusia. Oleh sebab itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata mengenai salah satu sifat Ahlus Sunnah, “Mereka memerintahkan untuk sabar ketika tertimpa musibah, bersyukur ketika lapang, serta merasa ridha dengan ketetapan takdir yang terasa pahit. Mereka juga menyeru kepada kemuliaan akhlak dan amal-amal yang baik, mereka meyakini makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Orang beriman yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling baik akhlaknya.’…” (Aqidah Wasithiyah, hal. 87). Kalau ajaran menyucikan diri dan menggantungkan hati hanya kepada Allah -sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi dan para sahabat- disebut sufi maka saksikanlah bahwa saya adalah seorang sufi!

Namun, ketahuilah saudaraku -semoga Allah merahmatimu- kalau kita cermati lebih jauh ajaran sufi atau tasawuf dan berbagai macam tarekat yang dinisbatkan ke dalamnya beserta tetek bengek ajaran dan lontaran-lontaran aneh yang mereka angkat, niscaya akan teranglah bagi kita bahwa sebenarnya ajaran Sufi yang berkembang hingga hari ini -di dunia secara umum ataupun dinegeri kita secara khusus- telah banyak menyeleweng dari rambu-rambu Al-Kitab dan As-Sunnah. Sebagaimana pernah disinggung oleh Buya HAMKA rahimahullah di dalam pidatonya dalam acara penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar di Mesir pada tanggal 21 Januari 1958 -lima puluh tahun yang silam-, beliau mengatakan, “Daripada gambaran yang saya kemukakan selayang pandang itu, dapatlah kita memahamkan bagaimana sangat perlunya pembersihan aqidah daripada syirik dan bid’ah dan ajaran tasawuf yang salah, yang telah menimpa negeri kami sejak beberapa zaman, dan perlunya kepada kemerdekaan pikiran dan memperbaharui paham tentang ajaran Islam sejati.” (Sejarah Perkembangan Pemurnian Ajaran Islam di Indonesia, penerbit Tintamas Djakarta, hal. 6-7)

Inilah ucapan yang adil dan bijak dari orang besar seperti beliau. Berikut ini akan kami kutip penjelasan yang diberikan oleh Bapak Hartono Ahmad Jaiz -semoga Allah membalas kebaikannya- yang telah memaparkan mengenai sejarah ajaran sufi ini di dalam bukunya ‘Tasawuf Belitan Iblis’. Beliau mengatakan: “Abdur Rahman Abdul Khaliq, dalam bukunya Al-Fikrus Shufi fi Dhauil Kitab was Sunnah menegaskan, tidak diketahui secara tepat siapa yang pertama kali menjadi sufi di kalangan ummat Islam. Imam Syafi’i ketika memasuki kota Mesir mengatakan, “Kami tinggalkan kota Baghdad sementara di sana kaum zindiq (aliran yang menyeleweng, aliran yang tidak percaya kepada Tuhan, berasal dari Persia, orang yang menyelundup ke dalam Islam, berpura-pura –menurut Leksikon Islam, 2, hal 778) telah mengadakan sesuatu yang baru yang mereka namakan assama’ (nyanyian).

Kaum zindiq yang dimaksud Imam Syafi’i adalah orang-orang sufi. Dan assama’ yang dimaksudkan adalah nyanyian-nyanyian yang mereka dendangkan. Sebagaimana dimaklumi, Imam Syafi’i masuk Mesir tahun 199H. Perkataan Imam Syafi’i ini mengisyaratkan bahwa masalah nyanyian merupakan masalah baru. Sedangkan kaum zindiq tampaknya sudah dikenal sebelum itu. Alasannya, Imam Syafi’i sering berbicara tentang mereka, di antaranya beliau mengatakan: “Seandainya seseorang menjadi sufi pada pagi hari, maka siang sebelum zhuhur ia menjadi orang yang dungu.” Dia (Imam Syafi’i) juga pernah berkata: “Tidaklah seseorang menekuni tasawuf selama 40 hari, lalu akal­nya (masih bisa) kembali normal selamanya.” (Lihat Talbis Iblis, hal 371). Sekian nukilan kami dari Tasawuf Belitan Iblis.

Pembaca sekalian, dari keterangan di atas kita mengetahui bahwa Imam Syafi’i rahimahullah sendiri termasuk ulama yang mengecam kaum sufi dan ajaran tasawufnya yang menyimpang. Agar tidak terlalu berpanjang-lebar, maka baiklah untuk membuktikan penyimpangan mereka akan kita akan kutip kembali pendapat dan keyakinan mereka beserta komentar atas kerancuan yang ada di dalamnya, Allahlah pemberi petunjuk dan pertolongan kepada kita.

Pertama:

Orang tersebut -semoga Allah menunjukinya- berkata, “Kita berasal dari Allah. Menyembah hanya untuk Allah, Hidup dan mati di dalam Allah. Karena kita bagian dari Allah.”

Tanggapan:

Yang menjadi masalah di sini adalah ucapannya “(kita) Hidup dan mati di dalam Allah. Karena kita bagian dari Allah.” Apakah maksud dari ucapan ini? Apakah artinya manusia adalah bagian dari Allah sebagaimana makna yang bisa secara langsung ditangkap dari ucapannya ataukah yang lainnya? Kalau yang dimaksud adalah yang pertama, maka sangat jelas kebatilannya. Allah bukan hamba dan hamba bukan Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56). Ayat ini menunjukkan bahwa manusia adalah ciptaan Allah, alias hamba dan bukan tuhan atau bagian dari tuhan!

Kalau ada orang yang meyakini demikian -dirinya adalah Allah- maka dia telah kafir. Lantas kalau yang dimaksud adalah makna yang lain, kita akan bertanya apa maknanya? Kalau pun maksud yang mereka inginkan benar, maka kita katakan bahwa ucapan-ucapan semacam ini adalah ucapan yang tidak pada tempatnya bahkan bid’ah! Adakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan demikian? Adakah para sahabat, imam yang empat mengajarkan demikian? Bacalah kitab-kitab tafsir dan hadits… Wajarlah apabila Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Seandainya seseorang menjadi sufi pada pagi hari, maka siang sebelumz dhuhur ia menjadi orang yang dungu.” Cobalah kaum sufi itu berguru kepada Imam Syafi’i. Beliau rahimahullah mengatakan, “Aku beriman kepada Allah serta apa yang datang dari Allah sebagaimana yang diinginkan oleh Allah. Dan aku beriman kepada Rasulullah serta apa yang disampaikan oleh Rasulullah sebagaimana yang diinginkan oleh Rasulullah.” (lihat Lum’at Al-I’tiqad). Apakah Allah atau Rasul-Nya mengajarkan kepada kita bahwa kita adalah bagian dari-Nya? Kita hidup dan mati di dalam diri-Nya? Allah Maha suci dari ucapan mereka.

Kedua:

Orang tersebut -semoga Allah menunjukinya- berkata, “Allah ada di mana-mana. Tapi bukan berarti ada di mana-mana. Seluruh dunia ini terjadi [karena] Campur tangan Allah. Karena Allah tidak tidur. Di dalam diri kita ada Tuhan, manusia sendiri yang membuat HIJAB ( batasan) kepada Allah.”

Tanggapan:

Aneh bin ajaib! Menurutnya Allah di mana-mana tapi tidak ada di mana-mana. Di dalam diri kita -katanya- ada Tuhan… [?] Maha suci Allah… Ucapan semacam inilah yang membuat orang semakin bertambah dungu -sebagaimana disinggung oleh Imam Syafi’i di atas-, adakah orang berakal yang mengucapkan perkataan seperti ini, “Allah ada di mana-mana tapi tidak ada di mana-mana” Allahu akbar! Apakah ada anak kecil yang mengatakan, “Saya laki-laki tapi bukan laki-laki” [?]

Padahal Allah ta’ala sendiri berfirman tentang diri-Nya (yang artinya), “Ar-Rahman menetap tinggi di atas Arsy.” (QS. Thaha: 5). Bagaimanakah kita memahami ayat ini? Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Jalan yang selamat dalam hal ini adalah jalan ulama salaf yaitu memberlakukannya sebagaimana adanya di dalam Al-Kitab dan As-Sunnah tanpa membagaimanakan, tanpa menyelewengkan, tanpa menolak, dan tanpa menyerupakan.” (Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, jilid 5 hal. 202). Apakah ayat ini menunjukkan bahwa Allah membutuhkan Arsy sebagaimana sangkaan sebagian orang? Sama sekali tidak. Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah di dalam kitab Aqidah Thahawiyahnya, yang menjadi rujukan ulama dari keempat madzhab mengatakan, “Dan Dia (Allah) tidak membutuhkan Arsy dan apa pun yang berada di bawahnya, Allah meliputi segala sesuatu dan Dia berada di atasnya…” (dinukil dari Syarah Ibnu Abil ‘Izz dengan tahqiq Al-Albani, hal. 280)

Dikisahkan bahwa Abu Hanifah rahimahullah pernah ditanya mengenai orang yang mengatakan, “Aku tidak mengetahui apakah Rabbku di atas langit atau di bumi.” Maka beliau menjawab bahwa orang yang mengucapkan itu telah kafir, sebab Allah telah berfirman (yang artinya), “Ar-Rahman menetap tinggi di atas Arsy.” (QS. Thaha: 5). Sedangkan Arsy-Nya berada di atas tujuh lapis langit-Nya.” Kemudian ditanyakan lagi kepadanya bagaimana kalau dia mengatakan, “Allah berada di atas Arsy, tapi aku tidak tahu apakah Arsy itu di atas langit atau di bumi.” Maka Abu Hanifah berkata, “Dia juga kafir. Sebab dia telah mengingkari Allah berada di atas langit. Barangsiapa yang mengingkari Allah berada di atas langit maka dia kafir.” (Syarh Ath-Thahawiyah, hal. 288). (Akan tetapi dalam prakteknya sekarang tentunya kita tidak begitu saja mengatakan kafir apabila bertemu orang yang berkata seperti di atas, karena untuk mengafirkan masih ada syarat-syarat lain yang harus dipenuhi -ed)

Ketiga:

Orang tersebut -semoga Allah menunjukinya- berkata, “Akan tetapi Dzat Tuhan dapat dijumpai dan menyatu dalam diri manusia. Karena sebegitu dekatnya…”

Tanggapan:

Subhanallah, tidak henti-hentinya kaum sufi ini berdusta dan mempermainkan kata-kata semaunya. Apakah Al-Qur’an dan As-Sunnah menyatakan bahwa Dzat Tuhan dapat dijumpai dan menyatu dalam diri manusia, karena sebegitu dekatnya? Sekali lagi inilah bukti bahwa orang-orang sufi telah meninggalkan ilmu dan terpedaya dengan akal mereka yang rusak. Untuk menanggapi ucapan semacam ini cukuplah kami kutip fakta sejarah yang dibawakan oleh penulis buku Tasawuf Belitan Iblis berikut ini:

“Jika kita meneliti gerakan sufisme sejak awal perkembangannya hingga kemunculan secara terang-terangan, kita akan mengetahui­ bahwa seluruh tokoh pemikiran sufi pada abad ketiga dan keempat Hijriyah berasal dari Parsi (kini namanya Iran, dulu pusat agama Majusi, kemusyrikan yang menyembah api, kemudian menjadi pusat Agama Syi’ah), tidak ada yang berasal dari Arab.

Sesungguhnya tasawuf mencapai puncaknya, dari segi aqidah dan hukum, pada akhir abad ketiga Hijriyah, yaitu tatakla Husain bin Manshur Al-Hallaj berani menyatakan keyakinannya di depan penguasa, yakni dia menyatakan bahwa Allah menyatu dengan dirinya, sehingga para ulama yang semasa dengannya menyatakan bahwa dia telah kafir dan harus dibunuh. Pada tahun 309H/ 922M ekskusi (hukuman bunuh) terhadap Husain bin Manshur Al-Hallaj dilaksanakan. Meskipun demikian, sufisme tetap menyebar di negeri Parsi, bahkan kemudian berkembang di Irak.” (Sekian nukilan kami)

Kalau mereka mengatakan bahwa Allah bisa menyatu dalam diri mereka, lantas buat apa mereka beribadah, lantas untuk apa mereka menyembah, kalau semua orang mengaku dirinya adalah Allah maka siapakah yang akan disembah? Maha suci Allah, ini adalah kedustaan yang sangat besar! Kemudian, kalau mereka maksudkan dengan ucapan-ucapan itu makna yang lain, maka akan kita katakan bahwa ucapan ini adalah bid’ah dan tidak dikenal oleh para ulama salaf. Kalau ucapan-ucapan semacam ini dibiarkan maka syariat Islam akan berantakan. Ketika ada seorang lelaki yang berkata kepada orang tua mempelai perempuan, “Saya terima nikahnya Fulanah binti Fulan.” Kemudian setelah itu dia akan berkata kepada si mertua “Saya terima nikahnya tapi tidak menerima nikahnya.” Lah, bagaimana ini? Sejak kapan orang-orang itu menjadi kehilangan akalnya? Rumah sakit jiwa lebih layak bagi orang-orang semacam itu daripada masjid.

Keempat:

Orang tersebut -semoga Allah menunjukinya- berkata, “Seluruh Imam Madzhab pada Akhirnya kembali kepada Sufi. Kecuali Wahabi..”

Tanggapan:

Saudaraku, kalau memang ajaran sufi dengan berbagai macam aliran tarekatnya adalah benar dan para imam madzhab mengikutinya apa alasan kami untuk tidak mengikuti kalian? Namun yang menjadi masalah adalah ajaran-ajaran sufi telah jelas terbukti penyimpangannya. Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, dan para ulama yang lain telah memaparkan kepada kita tentang kesesatan ajaran mereka. Al-Qur’an dan As-Sunnah bagi orang sufi sekedar kata-kata yang bisa dipermainkan ke sana kemari. Allah ta’ala mengatakan bahwa Allah itu esa (Qul Huwallahu Ahad). Sementara orang-orang sufi mengatakan Allah menyatu dalam diri hamba-hambaNya, padahal hamba Allah itu banyak. Allah mengatakan bahwa diri-Nya tinggi berada di atas Arsy-Nya, sementara orang-orang sufi mengatakan Allah di mana-mana tapi juga tidak di mana-mana. Allahul musta’an, kalau memang boleh mengatakan demikian maka kita juga akan mengatakan “Semua Imam Madzhab pada akhirnya kembali kepada Wahabi. Kecuali sufi.” Allahu yahdik.

Saudaraku, kami tidak bermaksud untuk mencaci maki siapa pun, kami hanya ingin saudara kami kembali ke jalan yang benar, itu saja. Syaikh Ihsan Ilahi Zahir -rahimahullah- dalam kitabnya: Tashawwuf Al-Mansya’ Walmashdar (Tasawuf, Asal Muasal dan Sumber-Sumbernya) [halaman 28] berkata: “Jika kita amati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar