NKA NII

NKA NII
Negara Karunia Allah Negara Islam Indonesia

Kamis, 20 Desember 2012

MENELUSURI DEFINISI KHILAFAH

MENELUSURI DEFINISI KHILAFAH

Contributed by Redaksi
Saturday, 17 December 2005
Last Updated Sunday, 18 December 2005
Oleh : M. Shiddiq Al-Jawi

Pengertian Bahasa

Khilafah menurut makna bahasa merupakan mashdar dari fi'il madhi khalafa, berarti : menggantikan atau menempati tempatnya (Munawwir, 1984:390). Makna khilafah menurut Ibrahim Anis (1972) adalah orang yang datang setelah orang lain lalu menggantikan tempatnya (jaa`a ba'dahu fa-shaara makaanahu) (Al-Mu'jam Al-Wasith, I/251).
Dalam kitab Mu'jam Maqayis Al-Lughah (II/210) dinyatakan, khilafah dikaitkan dengan penggantian karena orang yang kedua datang setelah orang yang pertama dan menggantikan kedudukannya. Menurut Imam Ath-Thabari, makna bahasa inilah yang menjadi alasan mengapa as-sulthan al-a'zham (penguasa besar umat Islam) disebut sebagai khalifah, karena dia menggantikan penguasa sebelumnya, lalu menggantikan posisinya (Tafsir Ath-Thabari, I/199).

Imam Al-Qalqasyandi mengatakan, menurut tradisi umum istilah khilafah kemudian digunakan untuk menyebut kepemimpinan agung (az-za'amah al-uzhma), yaitu kekuasaan umum atas seluruh umat, pelaksanaan urusan-urusan umat, dan pemikulan tugas-tugas mereka (Al-Qalqasyandi, Ma`atsir Al-Inafah fi Ma’alim Al-Khilafah, I/8-9).

Pengertian Syarâ

Dalam pengertian syariah, Khilafah digunakan untuk menyebut orang yang menggantikan Nabi SAW dalam kepemimpinan Negara Islam (ad-dawlah al-islamiyah) (Al-Baghdadi, 1995:20). Inilah pengertiannya pada masa awal Islam. Kemudian, dalam perkembangan selanjutnya, istilah Khilafah digunakan untuk menyebut Negara Islam itu sendiri (Al-Khalidi, 1980:226).

Pemahaman ini telah menjadi dasar pembahasan seluruh ulama fiqih siyasah ketika mereka berbicara tentang Khilafah atau Imamah. Dengan demikian, walaupun secara literal tak ada satu pun ayat Al-Qur`an yang menyebut kata ad-dawlah al-islamiyah (negara Islam), bukan berarti dalam Islam tidak ada konsep negara. Atau tidak mewajibkan adanya Negara Islam. Para ulama terdahulu telah membahas konsep negara Islam atau sistem pemerintahan Islam dengan istilah lain
yang lebih spesifik, yaitu istilah Khilafah/Imamah atau istilah Darul Islam (Lihat Dr. Sulaiman Ath-Thamawi, As-Sulthat Ats-Tsalats, hal. 245; Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, IX/823).

Hanya saja, para ulama mempunyai sudut pandang yang berbeda-beda ketika memandang kedudukan Khilafah (manshib Al-Khilafah). Sebagian ulama memandang Khilafah sebagai penampakan politik (al-mazh-har as-siyasi), yakni sebagai institusi yang menjalankan urusan politik atau yang berkaitan dengan kekuasaan (as-sulthan) dan sistem pemerintahan (nizham al-hukm). Sementara sebagian lainnya memandang Khilafah sebagai penampakan agama (almazh-
har ad-dini), yakni institusi yang menjalankan urusan agama. Maksudnya, menjalankan urusan di luar bidang kekuasaan atau sistem pemerintahan, misalnya pelaksanaan mu'amalah (seperti perdagangan), al-ahwal asysyakhshiyyah (hukum keluarga, seperti nikah), dan ibadah-ibadah mahdhah. Ada pula yang berusaha menghimpun dua penampakan ini. Adanya perbedaan sudut pandang inilah yang menyebabkan mengapa para ulama tidak menyepakati satu definisi untuk Khilafah (Al-Khalidi, 1980:227).

Sebenarnya banyak sekali definisi Khilafah yang telah dirumuskan oleh oleh para ulama. Berikut ini akan disebutkan beberapa saja definisi Khilafah yang telah dihimpun oleh Al-Khalidi (1980), Ali Belhaj (1991), dan Al-Baghdadi (1995) :

Pertama, menurut Imam Al-Mawardi (w. 450 H/1058 M), Imamah ditetapkan bagi pengganti kenabian dalam penjagaan agama dan pengaturan urusan dunia (Al-Ahkam As-Sulthaniyah, hal. 3).

Kedua, menurut Imam Al-Juwayni (w. 478 H/1085 M), Imamah adalah kepemimpinan yang bersifat menyeluruh (riyasah taammah) sebagai kepemimpinan yang berkaitan dengan urusan khusus dan urusan umum dalam kepentingankepentingan agama dan dunia (Ghiyats Al-Umam, hal. 15).

Ketiga, menurut Imam Al-Baidhawi (w. 685 H/1286 M), Khilafah adalah pengganti bagi Rasulullah SAW oleh seseorang dari beberapa orang dalam penegakan hukum-hukum syariah, pemeliharaan hak milik umat, yang wajib diikuti oleh seluruh umat (Hasyiyah Syarah Al-Thawali', hal.225).

Keempat, menurut Adhuddin Al-Iji (w. 756 H/1355 M), Khilafah adalah kepemimpinan umum (riyasah 'ammah) dalam urusan-urusan dunia dan agama, dan lebih utama disebut sebagai pengganti dari Rasulullah dalam penegakan agama (I'adah Al-Khilafah, hal. 32).

Kelima, menurut At-Taftazani (w. 791 H/1389 M), Khilafah adalah kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia, sebagai pengganti dari Nabi SAW dalam penegakan agama, pemeliharaan hak milik umat, yang wajib ditaati oleh seluruh umat (Lihat Al-Iji, Al-Mawaqif, III/603; Lihat juga Rasyid Ridha, Al-Khilafah, hal. 10).

Keenam, menurut Ibnu Khaldun (w. 808 H/1406 M), Khilafah adalah pengembanan seluruh [urusan umat] sesuai dengan kehendak pandangan syariah dalam kemaslahatan-kemaslahatan mereka baik ukhrawiyah, maupun duniawiyah yang kembali kepada kemaslahatan ukhrawiyah (Al-Muqaddimah, hal. 166 & 190).

Ketujuh, menurut Al-Qalqasyandi (w. 821 H/1418 M), Khilafah adalah kekuasaan umum (wilayah 'ammah) atas seluruh umat, pelaksanaan urusan-urusan umat, serta pemikulan tugas-tugasnya (Ma`atsir Al-Inafah fi Ma'alim Al-Khilafah, I/8).

Kedelapan, menurut Al-Kamal ibn Al-Humam (w. 861 H/1457 M), Khilafah adalah otoritas (istihqaq) pengaturan umum atas kaum muslimin (Al-Musamirah fi Syarh Al-Musayirah, hal. 141).

Kesembilan, menurut Imam Ar-Ramli (w. 1004 H/1596 M), khalifah adalah al-imam al-a’zham (imam besar), yang berkedudukan sebagai pengganti kenabian, dalam penjagaan agama dan pengaturan urusan dunia (Nihayatul Muhtaj ila Syarh Al-Minhaj, VII/289).

Kesepuluh, menurut Syah Waliyullah Ad-Dahlawi (w. 1176 H/1763 M), Khilafah adalah kepemimpinan umum (riyasah'ammah) ... untuk menegakkan agama dengan menghidupkan ilmu-ilmu agama, menegakkan rukun-rukun Islam, melaksanakan jihad...melaksanakan peradilan (qadha`), menegakkan hudud... sebagai pengganti (niyabah) dari Nabi SAW (dikutip oleh Shadiq Hasan Khan dalam Iklil Al-Karamah fi Tibyan Maqashid Al-Imamah, hal. 23).

Kesebelas, menurut Syaikh Al-Bajuri (w. 1177 H/1764 M), Khilafah adalah pengganti (niyabah) dari Nabi SAW dalam umumnya kemaslahatan-kemaslahatan kaum muslimin (Tuhfah Al-Murid 'Ala Jauhar At-Tauhid, II/45).

Keduabelas, menurut Muhammad Bakhit Al-Muthi'i (w. 1354 H/1935 M), seorang Syaikh Al-Azhar, Imamah adalah kepemimpinan umum dalam urusan-urusan dunia dan agama (I'adah Al-Khilafah, hal. 33).

Ketigabelas, menurut Mustafa Shabri (w. 1373 H/1953 M), seorang Syaikhul Islam pada masa Daulah Utsmaniyah, Khilafah adalah pengganti dari Nabi SAW dalam pelaksanaan apa yang dibawa Nabi SAW berupa hukum-hukum syariah Islam (Mawqif Al-Aql wa Al-'Ilm wa Al-'Alim, IV/363).

Keempatbelas, menurut Dr. Hasan Ibrahim Hasan, Khilafah adalah kepemimpinan umum dalam urusan-urusan agama dan dunia sebagai pengganti dari Nabi SAW (Tarikh Al-Islam, I/350).


Analisis Definisi

Dari keempatbelas definisi yang telah disebutkan di atas, dapat dilihat sebetulnya ada 3 (tiga) kategori definisi, yaitu :

Pertama, definisi yang lebih menekankan pada penampakan agama (al-mazh-har ad-dini). Jadi, Khilafah lebih dipahami sebagai manifestasi ajaran Islam dalam pelaksanaan urusan agama. Misalnya definisi Al-Iji. Meskipun Al-Iji menyatakan bahwa Khilafah mengatur urusan-urusan dunia dan urusan agama, namun pada akhir kalimat, beliau menyatakan,Khilafah lebih utama disebut sebagai pengganti dari Rasulullah dalam penegakan agama.


Kedua, definisi yang lebih menekankan pada penampakan politik (al-mazh-har as-siyasi). Di sini Khilafah lebih dipahami sebagai manifestasi ajaran Islam berupa pelaksanaan urusan politik atau sistem pemerintahan, yang umumnya diungkapkan ulama dengan terminologi â€oeurusan dunia― (umuur ad-dunya). Misalnya definisi Al-Qalqasyandi. Beliau hanya menyinggung Khilafah sebagai kekuasaan umum (wilayah 'ammah) atas seluruh umat, tanpa mengkaitkannya dengan
fungsi Khilafah untuk mengatur urusan agama.

Ketiga, definisi yang berusaha menggabungkan penampakan agama (al-mazh-har ad-dini) dan penampakan politik (almazh-har as-siyasi). Misalnya definisi Khilafah menurut Imam Al-Mawardi yang disebutnya sebagai pengganti kenabian dalam penjagaan agama dan pengaturan urusan dunia.

Dengan menelaah seluruh definisi tersebut secara mendalam, akan kita dapati bahwa secara global berbagai definisi tersebut lebih berupa deskripsi realitas Khilafah dalam dataran empirik (praktik) --misalnya adanya dikotomi wilayah urusan dunia dan urusan agama daripada sebuah definisi yang bersifat syar'i, yang diturunkan dari nash-nash Selain itu, definisi-definisi tersebut kurang mencakup (ghayru jaami'ah). Sebab definisi Khilafah seharusnya menggunakan redaksi yang tepat yang bisa mencakup hakikat Khilafah dan keseluruhan fungsi Khilafah, bukan dengan
redaksi yang lebih bersifat deskriptif dan lebih memberikan contoh-contoh, yang sesungguhnya malah menyempitkan definisi. Misalnya ungkapan bahwa Khilafah bertugas menghidupkan ilmu-ilmu agama, menegakkan rukun-rukun Islam, melaksanakan jihad, melaksanakan peradilan (qadha`), menegakkan hudud, dan seterusnya. Bukankah definisi ini menjadi terlalu rinci yang malah dapat menyulitkan kita menangkap hakikat Khilafah? Juga bukan dengan redaksi yang
terlalu umum yang cakupannya justru sangat luas. Misalnya ungkapan bahwa Khilafah mengatur umumnya kemaslahatan-kemaslahatan kaum muslimin. Atau bahwa Khilafah mengatur kemaslahatan-kemaslahatan duniawiyah dan ukhrawiyah. Bukankah ini ungkapan yang sangat luas jangkauannya?

Sesungguhnya, untuk menetapkan sebuah definisi, sepatutnya kita perlu memahami lebih dahulu, apakah ia definisi syar'i (at-ta'rif asy-syar'i) atau definisi non-syar'i (at-ta'rif ghayr asy-syar'i) (Zallum, 1985:51). Definisi syarâ€definisi yang digunakan dalam nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah, semisal definisi sholat dan zakat. Sedang definisi non-syar'i merupakan definisi yang tidak digunakan dalam nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah, tetapi digunakan dalam disiplin ilmu tertentu atau kalangan ilmuwan tertentu, semisal definisi isim, fi'il, dan harf (dalam ilmu Nahwu-Sharaf).

Contoh lainnya misalkan definisi akal, masyarakat, kebangkitan, ideologi (mabda`), dustur (UUD), qanun (UU), hadharah (peradaban), madaniyah (benda sarana kehidupan), dan sebagainya

Jika definisinya berupa definisi non-syar'i, maka dasar perumusannya bertolak dari realitas (al-waqi'), bukan dari nashnash syara'. Baik ia realitas empirik yang dapat diindera atau realitas berupa kosep-konsep yang dapat dijangkau faktanya dalam benak. Sedang jika definisinya berupa definisi syar'i, maka dasar perumusannya wajib bertolak dari nashnash syara Al-Qur`an dan As-Sunnah, bukan dari realitas. Mengapa? Sebab, menurut Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani,
definisi syar'i sesungguhnya adalah hukum syar'i, yang wajib diistimbath dari nash-nash syar'i (Ay-Syakhshiyyah Al-Islamiyah, III/438-442; Al-Ma'lumat li Asy-Syabab, hal. 1-3). Jadi, perumusan definisi syar'i, misalnya definisi sholat, zakat, haji, jihad, dan semisalnya, wajib merujuk pada nash-nash syar'i yang berkaitan dengannya.

Apakah definisi Khilafah (atau Imamah) merupakan definisi syar'i? Jawabannya, ya. Sebab nash-nash syar'i, khususnya hadits-hadits Nabi SAW, telah menggunakan lafazh-lafazh khalifah dan imam yang masih satu akar kata dengan Khilafah/Imamah. Misalnya hadits Nabi, Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya. (Shahih Muslim, no. 1853).

Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya telah mengumpulkan hadits-hadits tentang Khilafah
dalam Kitab Al-Ahkam. Sedang Imam Muslim dalam Shahihnya telah mengumpulkannya dalam Kitab Al-Imarah (Ali Belhaj, 1991:15). Jelaslah, bahwa untuk mendefinisikan Khilafah, wajiblah kita memperhatikan berbagai nash-nash ini yang berkaitan dengan Khilafah.

Dengan menelaah nash-nash hadits tersebut, dan tentunya nash-nash Al-Qur`an, akan kita jumpai bahwa definisi Khilafah dapat dicari rujukannya pada 2 (dua) kelompok nash, yaitu :

Kelompok Pertama, nash-nash yang menerangkan hakikat Khilafah sebagai sebuah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia.

Kelompok Kedua, nash-nash yang menjelaskan tugas-tugas khalifah, yaitu : (1) tugas menerapkan seluruh hukum-hukum syariah Islam, (2) tugas mengemban dakwah Islam di luar tapal batas negara ke seluruh bangsa dan umat dengan jalan jihad fi sabilillah

Nash kelompok pertama, misalnya nash hadits, Maka Imam yang [memimpin] atas manusia adalah [bagaikan} seorang penggembala dan dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya (rakyatnya). (Shahih Muslim, XII/213; Sunan Abu Dawud, no. 2928, III/342-343; Sunan At-Tirmidzi, no. 1705, IV/308). Ini menunjukkan bahwa Khilafah adalah sebuah kepemimpinan (ri`asah/qiyadah/imarah). Adapun yang menunjukkan bahwa Khilafah bersifat umum untuk seluruh kaum muslimin di dunia, misalnya hadits Nabi yang mengharamkan adanya lebih dari satu khalifah bagi kaum muslimin seperti telah disebut sebelumnya (Shahih Muslim no. 1853). Ini berarti, seluruh kaum muslimin di dunia hanya boleh dipimpin seorang khalifah saja, tak boleh lebih. Dan kesatuan Khilafah untuk seluruh kaum muslimin di dunia sesungguhnya telah disepakati oleh empat imam madzhab, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-Syafi'i, dan Imam Ahmad, rahimahumullah (Lihat Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh 'Ala Al-Madzahib Al-Arba'ah, V/308; Muhammad ibn Abdurrahman Ad-Dimasyqi, Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al-A`immah, hal. 208).

Nash kelompok kedua, adalah nash-nash yang menjelaskan tugas-tugas khalifah, yang secara lebih rinci terdiri dari dua tugas berikut :

Pertama, tugas khalifah menerapkan seluruh hukum syariah Islam atas seluruh rakyat. Hal ini nampak dalam berbagai nash yang menjelaskan tugas khalifah untuk mengatur muamalat dan urusan harta benda antara individu muslim (QS Al-Baqarah:188, QS An-Nisaa`:58), mengumpulkan dan membagikan zakat (QS At-Taubah:103), menegakkan hudud (QS
Al-Baqarah:179), menjaga akhlaq (QS Al-Isra`:32), menjamin masyarakat dapat menegakkan syiar-syiar Islam dan menjalankan berbagai ibadat (QS Al-Hajj:32), dan seterusnya.

Kedua, tugas khalifah mengemban dakwah Islamiyah ke seluruh dunia dengan jihad fi sabilillah. Hal ini nampak dalam banyak nash yang menjelaskan tugas khalifah untuk mempersiapkan pasukan perang untuk berjihad (QS Al-Baqarah:216), menjaga tapal batas negara (QS Al-Anfaal:60), memantapkan hubungan dengan berbagai negara menurut asas yang dituntut oleh politik luar negeri, misalnya mengadakan berbagai perjanjian perdagangan, perjanjian gencatan senjata, perjanjian bertetangga baik, dan semisalnya (QS Al-Anfaal:61; QS Muhammad:35).

Berdasarkan dua kelompok nash inilah, dapat dirumuskan definisi Khilafah secara lebih mendalam dan lebih tepat. Jadi, Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum muslimin seluruhnya di dunia, untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islamiyah ke seluruh dunia. Definisi inilah yang telah dirumuskan oleh Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani (w. 1398 H/1977 M) dalam kitab-kitabnya, misalnya kitab Al-Khilafah (hal. 1), kitab Muqaddimah
Ad-Dustur (bab Khilafah) hal. 128, dan kitab Asy-Syakshiyyah Al-Islamiyah, Juz II hal. 9. Menurut beliau juga, istilah Khilafah dan Imamah dalam hadits-hadits shahih maknanya sama saja menurut pengertian syar'i (al-madlul asy-syar'i). Definisi inilah yang beliau tawarkan kepada seluruh kaum muslimin di dunia, agar mereka sudi kiranya untuk mengambilnya dan kemudian memperjuangkannya supaya menjadi realitas di muka bumi, menggantikan sistem kehidupan sekuler yang kufur saat ini. Pada saat itulah, orang-orang beriman akan merasa gembira dengan datangnya pertolongan Allah. Dan yang demikian itu, sungguh, tidaklah sulit bagi Allah Azza wa Jalla. [ ]

DAFTAR PUSTAKA

Ad-Dimasyqi, Muhammad ibn Abdurrahman (Qadhi Shafd). 1996. Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al-A`immah. Cetakan I.
(Beirut : Darul Fikr).

Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1995. Mafhum Al-Khalifah wa Al-Khilafah fi Al-Hadharah Al-Islamiyah. Majalah Al-Khilafah Al-Islamiyah. No 1 Th I. Sya'ban 1415 H/Januari 1995 M. (Jakarta : Al-Markaz Al-Istitiratiji li Al-Buhuts Al-Islamiyah).

Al-Jaziri, Abdurrahman. 1999. Al-Fiqh ˜Ala Al-Madzahib Al-Arba'ah. Juz V. Cetakan I. (Beirut : Darul Fikr).

Al-Khalidi, Mahmud Abdul Majid. 1980. Qawaid Nizham Al-Hukm fi Al-Islam. (Kuwait : Darul Buhuts Al-'Ilmiyah).

Anis, Ibrahim et.al. 1972. Al-Mu'jam Al-Wasith. (Kairo : Darul Ma'arif).

An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Ay-Syakhshiyyah Al-Islamiyah. Juz III (Ushul Al-Fiqh). (Al-Quds : Min Mansyurat Hizb Al-
Tahrir).

----------.1953. Ay-Syakhshiyyah Al-Islamiyah. Juz II. (Al-Quds : Min Mansyurat Hizb Al-Tahrir).

----------. 1963. Al-Ma’lumat li Asy-Syabab. (t.tp. : t.p.).

----------. 1963. Muqaddimah Ad-Dustur. (t.tp. : t.p.).

Ath-Thamawi, Sulaiman. 1967. As-Sulthat Ats-Tsalats fi Ad-Dasatir Al-Arabiyah al-Mu'ashirah wa fi Al-Fikr As-Siyasi Al-Islami. (Kairo : Darul Fikr Al-'Arabi).

Az-Zuhaili, Wahbah. 1996. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu. Juz IX (Al-Mustadrak). Cetakan I. (Damaskus/Beirut : Darul Fikr).

Belhaj, Ali. 1991. Tanbih Al-Ghafilin wa I'lam Al-Ha`irin bi Anna I'adah Al-Khilafah min A'zham Wajibat Hadza Ad-Din.
(Beirut : Darul 'Uqab).

Munawwir, Ahmad Warson. 1984. Kamus Al-Munawwir. Cet. Ke-1. (Yogyakarta : PP. Al-Munawwir Krapyak).

Rabu, 19 Desember 2012

Menuju Revolusi Islam di Indonesia

Bagian I : Apa Yang Dimaksud Dengan “Revolusi Islam”?

a)      Arti Revolusi (politik)
Revolusi adalah sebuah perubahan radikal dan foundamental, perubahan yang penuh energy dan semangat, perubahan yang berani, perubahan yang penuh resiko, termasuk resiko yang paling buruk sekalipun.

Revolusi adalah hasil pergerakan yang bergerak cepat, yang menyertakan berbagai katalisator politik yang berakselerasi secara sinergis dan terarah akan tetapi hasilnya selalu akan tetap unpredictable (penuh dengan hasil yang sulit diprediksi).

Jika Revolusi itu terjadi didalam tatanan politik, maka akan muncul tatanan politik baru, yang berarti bukanlah hanya masalah system kekuasaan atau berganti rejim, lebih jauh dari itu Revolusi Politik berarti berubahnya landasan dan ideology politik suatu Negara, bahkan akan memunculkan Negara Baru yang mengganti Pemerintahan di Teritorial tersebut. Negara Baru bukan berarti harus membentuk dari nol, dapat juga bergantinya kekuasaan dari Negara yang satu oleh Negara lainnya.


b)      Arti Revolusi Islam
Islam bukanlah hanya berbicara system ritual, didalamnya terdapat pula system politik bahkan masuk hingga dalam tatanan Etis, Islam mempunyai Etika Politik tersendiri yang dicontohkan Rosulullah dan para Sahabat. Maka Jika Islam menjadi Dasar Paradigma Gerakan Revolusi, Maka Islam telah menjadi Solusi praktis dalam Revolusi tersebut. Solusi dalam Ideologi Gerakan, didalam “ruh” Revolusi, dan sebagai Solusi Pengganti Paska Revolusi.  Maka didalam Revolusi yang mempunyai “ruh Islam” didalamnya, Sistem Kekuasaan yang baru adalah berdasarkan Ideologi Islam. Sebuah tatanan politik yang bertauhid didasari oleh Hukum-hukum Allah dan Sunnah Rosulullah.
Dasar Revolusi Islam haruslah sesuai dengan Firman Allah didalam Al Baqarah:257 “…Yukh rijuhumm  minal Dzdzulumaati  ila Nnuur….”, Mengeluarkan Umat Islam dari Kegelapan kepada Cahaya.

Apa yang dimaksud dengan Kegelapan dan Cahaya didalam ayat tersebut serta korelasinya didalam Revolusi Islam?

57: 9. Dialah yang menurunkan kepada hamba-Nya ayat-ayat yang terang (Al-Quran) supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Penyantun lagi Maha Penyayang terhadapmu.

2: 17. Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat.

65: 11. (Dan mengutus) seorang Rasul yang membacakan kepadamu ayat-ayat Allah yang menerangkan (bermacam-macam hukum) supaya Dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan beramal saleh dari kegelapan kepada cahaya. Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan mengerjakan amal yang saleh niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya Allah memberikan rezki yang baik kepadanya.

14: 5. Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan membawa ayat-ayat Kami, (dan Kami perintahkan kepadanya): "Keluarkanlah kaummu dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah." Sesunguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur.

Dzulumaat/Kegelapan dan Nuur/cahaya berdampingan dalam beberapa ayat didalam al Qur’an untuk menegaskan kehidupan kontradiktif yang mengiringi setiap sendi kehidupan manusia sebagai subyek dalam system kekhalifahan di muka bumi (beban yang diberikan Allah kepada Manusia). Keduanya merupakan pilihan yang tidak bisa berdampingan seperti halnya siang dan malam, dan Allah dengan kuasaNya akan menggilirkan keduanya dalam tampuk pimpinan politik juga didalam system social kemasyarakatan. Allah menyediakan posisi “Thoghuut” bagi manusia-manusia  yang merasa dirinya mampu menandingi Allah (Andad) yang akan membawa sisi kehidupan manusia ke areal penolakan terhadap eksistensi ketetapan-ketetapan Allah, dan Allah menyediakan posisi Rosul (utusan) bagi manusia-manusia yang akan membawa sisi kehidupan dalam pengingkaran terhadap ketetapan Allah ke areal Kehidupan para Hamba Allah, yaitu sebuah system politik dan social yang kesemuaannya dibentuk berdasarkan ketetapan-ketetapan Allah. (terangkum dalam Al Baqarah:257)

Kegelapan adalah Kejahiliyahan. Kejahiliyahan bukanlah sebuah tatanan social dan politik yang disusun oleh intelektualitas yang rendah, bukan pula berarti bar-bar (tanpa tatanan social berkualitas), bahkan bukan pula sebuah system politik kuno yang dibentuk oleh system hukum yang sederhana. Kejahiliyahan adalah manifestasi pengingkaran terhadap ketetapan-ketetapan Allah. Suatu koridor yang mutlak harus dipegang teguh oleh mereka para Hamba Allah. Keluar dari koridor ketetapan Allah berarti sebuah “kedzaliman”. Dzalim bukanlah hanya berbicara penindasan politik yang identik dengan kekerasan. Dzalim merupakan ekses dari perbuatan-perbuatan yang diakibatkan perilaku yang keluar dari “koridor ketetapan Allah”. Dzalim bukan hanya perilaku penguasa yang menindas rakyatnya, Perzinahan dan Hedonisme lainnya yang merupakan perilaku social tanpa kekerasan juga termasuk suatu kedzaliman. Rosulullah bahkan menyebut Kedzaliman bukan hanya sebagai sebuah “kegelapan dunia”, tetapi juga mengakibatkan suatu “kegelapan akhirat” suatu symbol dimana unsur-unsur kebaikan yang mungkin ditimbulkannya tidak akan mendapatkan ekses positif disisi Allah.
  • Hadis riwayat Ibnu Umar ra., ia berkata:
    Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya kezaliman itu akan mendatangkan kegelapan-kegelapan pada hari kiamat kelak. (Shahih Muslim No.4676)

Ketika Allah memberikan azab berkelanjutan bagi sebuah penduduk negeri, maka Kejahiliyahan yang memunculkan kedzaliman itu akan bertahan lama menguasai negeri tersebut, akan diberikannya kekuatan politik penguasa dalam mempertahankan kejahiliyahannya. Hingga datang pada saatnya yang telah ditentukan olehNya, sebuah “azab yang pedih”, ketika Allah kemudian akan menggilirkan Kekuasaan dari Kegelapan kepada Cahaya.

  • Hadis riwayat Abu Musa ra., ia berkata:
    Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Agung akan mengulur-ulur waktu bagi orang yang zalim. Tetapi ketika Allah akan menyiksanya, maka Dia tidak akan melepaskannya. Kemudian beliau membaca firman Allah: Dan begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras. (Shahih Muslim No.4680)


Cahaya adalah Petunjuk Kebaikan, Cahaya adalah Kekuasaan yang Adil, Cahaya adalah Sistem Sosial Politik yang dinaungi ketetapan-ketetapan Allah yang akan memunculkan keselarasan dan keadilan. Akan memberikan suatu tatanan social yang dipenuhi unsur kebaikan hakiki dan dapat dinikmati seluruh lapisan masyarakat (rahmatan lil ‘alamin).
Cahaya adalah anti penindasan dan kedzaliman, Sumber Cahaya hanyalah Islam yang dibawa oleh Utusan Allah terakhir Muhammad Rosulullah SAW. Cahaya yang disempurnakan oleh Allah diantara cahaya-cahaya lainnya yang telah diselewengkan oleh para Rahib dan Pendeta, oleh para Ilmuwan berakhlaq rendah (Ulama Suu’), Allah memberikan gambaran Islam sebagai Cahaya diatas cahaya.

An Nuur:35. Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Seperti yang juga diterangkan didalam ayat diatas serta didalam Al Baqarah:257, Allah lah yang akan membimbing dan menggerakan para HambaNya kepada CahayaNya. Baik secara personal maupun dalam sekumpulan Jama’ahNya, meski kadang kita tidak akan terbayangkan metoda maupun strategi praktis dalam perjalanannya itu, begitu pula jika Allah tidak berkenan untuk memberikan cahayanya itu, maka tatanan social suatu masyarakat akan tetap dalam kegelapannya.
An Nuur:40. Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun.
Bahkan Allah memberikap “pembiaran” terhadap manusia-manusia Jahil yang malah menganggap Cahaya itu adalah sebuah Kegelapan. Menyeru mereka seolah menjadi suatu aktifitas tanpa hasil.

41: 44. Dan jikalau Kami jadikan Al Quran itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah mereka mengatakan: "Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?" Apakah (patut Al Quran) dalam bahasa asing sedang (rasul adalah orang) Arab? Katakanlah: "Al Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Quran itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) yang dipanggil dari tempat yang jauh."

Energy Revolusi adalah katalisator pergerakan dari Kegelapan menuju Cahaya. Dari Kejahiliyahan menuju Islam. Inilah intisari Revolusi Islam. Penggerak Revolusi adalah para Hamba Allah, mereka adalah perwakilan kekuasaan Allah dimuka Bumi. Mereka bergerak hanyalah demi tegaknya Ketetapan-ketetapan Allah, serta berkuasanya Kekuasaan yang dilandasi atas Cahaya Petunjuk.
Kekuasaan tanpa dinaungi Cahaya Petunjuk hanyalah akan menjadi alat berdasarkan hasrat manusia, mempunyai parameter keadilan yang nisbi, memunculkan kebijaksanaan semu. Kedzaliman bagi mereka adalah keniscayaan. Inilah Kejahiliyahan yang dimunculkan secara sistematis, Kejahiliyahan yang ditimbulkan oleh kekuasaan, dan jika para Hamba Allah mendiamkannya, maka Kejahiliyahan akan tetap berada didalamnya, mempengaruhi seluruh sendi kehidupan social kemasyarakatan. Islam menawarkan solusi dalam menghadapi fenomena tersebut. Rosulullah memberikan simulasi abadi, suatu contoh terbaik yang layak digunakan oleh Para Hamba Allah di berbagai zaman. Suatu runtutan Revolusi Islam terbaik dari yang pernah ada. Revolusi islam ‘ala Rosulullah SAW.


c)       Revolusi Islam ‘ala Rosulullah Muhammad SAW dan Para Nabi

Nabiyallah Rosulullah Muhammad SAW adalah Cahaya. Beliaulah yang menerangi Kejahiliyahan dengan membawa petunjuk. Apa yang menjadi tugasnya pada dasarnya sama dengan tugas para Nabi terdahulu. Membawa Cahaya untuk menerangi, menjaga Cahayanya agar tetap terang, menyebarkan Cahayanya itu untuk bisa dinikmati oleh selain dirinya. Seperti halnya Nabi-nabi terdahulu, maka Rosulullah melakukannya dengan jalan Revolusi. Melakukan perubahan yang sangat fenomenal, yang belum pernah dilakukan oleh Nabi sebelumnya (tingkatan keberhasilannya).

Rosulullah melalui Revolusi pertamanya saat di Mekah selama kurun waktu hanya 13 tahun. Menanamkan Tauhid, membentuk Jama’ah, dan mengkadernya menjadi personal yang tangguh dan Revolusioner. Dimulai dengan gerakan clandestine (underground/silence) yang berpusat di  Rumah sahabatnya Arqom, kemudian berikutnya melakukan aksi-aksi terbuka, bahkan bersifat Demonstratif. Tanpa pernah terpengaruh untuk melakukan gerakan-gerakan kooperatif, Rosulullah sangat menjauhinya, hingga akhirnya terjadi Pemboikotan dirinya dan Bani Hasyim (keluarga dekatnya) oleh penduduk Mekah atas usulan Darun Nadwah, lembaga politik dimana dirinya pernah menolak untuk memimpinnya (usulan pejabat-pejabat Quraish terhadap Rosulullah melalui media Abu Thalib). Rosulullah Konsisten untuk non kooperatif.

Revolusi tahap kedua Rosulullah adalah ketika Rosulullah kemudian membentuk sebuah Daulah dimana didalamnya diberlakukan Hukum-hukum Allah. Dimana Kekuasaan Rosulullah menjadikan eksistensi Islam menjadi tidak terbendung untuk menjadi Cahaya, karena kekuatan hukum dan politik menjadikan wewenang dan kebijakan berada dibawah kekuasan Rosulullah. Revolusi tahap ini telah memberikan gambaran kepada kita dimana Islam tidaklah mungkin menjadi sebuah Dien, ataupun Sistem Sosial Politik tanpa ada naungan kekuasaan untuk melaksanakannya. Rosulullah bahkan mempertahankan eksistensi politiknya melalui berbagai cara termasuk melakukan persekutuan dengan Yahudi, beberapa kabilah Badui, hingga melalui cara-cara Militer baik bersifat defensive maupun offensive.

Revolusi tahap ketiga adalah ketika Daulah Islamiyah yang dibentuk Rosulullah sudah semakin kuat, maka pada akhirnya Rosulullah melakukan ekspansi ke luar Madinah (Darul Islam/Daulah Islamiyah), darimulai pembukaan Negara Mekah (Futuh Mekah), dilanjutkan ke Tho’if, hingga seluruh Hijaz dikuasai, yang kemudian dilanjutkan keluar territorial Arab, yaitu Persia dan Afrika Utara hingga Eropa (saat dilanjutkan oleh Sahabat, Khalifah Rosulillah). Revolusi ketiga ini haruslah dilaksanakan sebagaimana Revolusi-revolusi sebelumnya, Islam haruslah menaungi seluruh negeri, Islam tidak bisa menjadi suatu kekuatan yang dinaungi kekuatan politik lainnya, sehingga menjadi lemah dan terjajah. Cahaya Islam hakikatnya akan terang benderang dengan kekuatan yang nyata, tidak dibawah hegemoni kekuatan manusia-manusia yang menolak Cahaya itu muncul dan bersinar, manusia-manusia yang menikmati kejahiliyahan/kegelapan. Ekspansi akan melenyapkan kekuatan kejahiliyahan itu, Ekspansi akan menghentikan laju kejahiliyahan hingga titik nadir.

Bagian II : Kenapa Kita Harus Melakukan “Revolusi Islam”?

a)      Haruskah Revolusi? (Menghidupkan Generasi Yang Mati)

Revolusi itu ibarat menggarap kembali Ladang yang dipenuhi ilalang, membersihkan seluruh gulma, menyuburkannya kembali, hingga ditanami tanaman baru yang bermanfaat. Menghancurkan seluruh ideology jahiliyah, melenyapkan system dzalim, menggantinya dengan Islam, tatanan kebenaran yang telah ditetapkan Allah dan RosulNya.

Al Fath:29 “……. yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.”

Revolusi adalah gerakan untuk “Menghidupkan Generasi Yang Mati”. Generasi yang Jahil, generasi yang berjalan diatas norma-norma Jahiliyah. Menjadi Generasi tangguh, pencinta syari’at, generasi yang akan tumbuh menjadi pohon-pohon toyibah. Revolusi akan melenyapkan system dzalim, dan akan memunculkan system rahmatan lil ‘alamin. System yang akan memberikan manfaat bagi sekalian alam. Sistem yang dinaungi Kalimatan Toyyibah.

Ibrahim: 24. Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat Toyyibah  seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit,
Ibrahim: 25. pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.


Revolusi adalah suatu keniscayaan untuk tegaknya syari’at Allah, Rosulullah mencontohkannya, kita wajib mengikutinya. Islam tidak akan tegak hanya dengan orasi ataupun rethorika, cahaya yang melingkupi akan kembali padam tanpa Revolusi. Kejahiliyahan haruslah terkikis habis, tidak dibiarkan hingga kembali memadamkan CahayaNya.
2: 17. Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat.

b)      Revolusi Adalah Darah (Bukti Pengabdian dan Pengorbanan)

At Taubah: 111. Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.

Janganlah pernah berharap Kemenangan Islam itu dapat diraih dengan mudah. Dengan Dialog atau Musyawarah. Dengan seruan dakwah atau sekedar Manifesto Politik. Kemenangan Islam harus ditebus dengan Darah. Darah adalah bahan bakar lajunya Revolusi. Darah adalah sebuah pembuktian dari Pengabdian dan Pengorbanan seorang Hamba kepada Tuannya.

Al Hujarat: 15. Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.

At Taubah: 16. Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan, sedang Allah belum mengetahui (dalam kenyataan) orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak mengambil menjadi teman yang setia selain Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Revolusi (Jihad Fii Sabilillah) adalah sebuah pembuktian keimanan. Konsekwensi Loyalitas dan bukti kecintaannya terhadap Allah dan RosulNya. Revolusi adalah Yuqtal au Yaghlib. Menghancurkan Kejahiliyahan dan Kedzaliman, atau hancur  diri ini bersimbah darah.

c)       Revolusi Adalah Gerakan Rakyat (Umat Islam Bangsa Indonesia)

Sesungguhnya, Revolusi hanyalah akan berjalan secara sempurna jika dan hanya jika Revolusi itu dijalankan oleh Rakyat, dalam hal ini Umat Islam Bangsa Indonesia. Revolusi terjadi harus sesuai dengan kehendak Rakyat. Jika Rakyat tidak menghendakinya, Revolusi akan berjalan tertatih-tatih.

Kemajemukan ideology politik Umat Islam Bangsa Indonesia menjadikan Islam hanya dijadikan agama ritual. Islam tidak menjadi ruh kehidupan dalam dimensi social kemasyarakatan, tidak pula menjadi dasar kebijakan-kebijakan politik, apalagi didalam keadilan dan hukum. Islam telah tercerabut dari akarnya. Maka tanpa keinginan langsung dari rakyat itu sendiri untuk berubah, maka perubahan itu tidak akan pernah terjadi.

d)      Revolusi Adalah Kemenangan
Kata kunci dari Revolusi adalah Kemenangan, yang menghendaki Revolusi hanyalah orang-orang yang meyakini Kemenangan itu akan datang dan diraihnya tanpa perduli apa yang harus dikorbankan dan konsekwensi logis bagi dirinya.
Ash Shaff: 13. Dan (ada lagi) karunia yang lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya). Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman.
Revolusi tidak akan pernah dijalankan oleh orang-orang kalah, menyerah, pesimis, skeptic, dan paranoid. Revolusi akan dijalankan oleh orang-orang yang optimis, semangat, antusias, berani dan pantang menyerah.  Mereka mempunyai keyakinan seolah-olah Kemenangan itu sudah berada dalam genggamannya, kesakitan yang kemudian mereka terima sungguh tidak akan dirasakannya, Mereka menjalankan Roda Revolusi dengan menggunakan seluruh energy yang mereka punyai. Mereka hamper-hampir tidak lagi memperdulikan kehidupan Mereka selain bergerak sebagai Ujung Tombak.


Bagian III : Revolusi Islam di Indonesia

a)                  Revolusi Darul Islam (Revolusi Yang Tidak Pernah Terhenti)

Satu-satunya Revolusi yang bertahan di Indonesia melebihi jangka waktu 60 tahun adalah Revolusi Islam yang dipayungi Darul Islam/Tentara Islam Indonesia, dari mulai sebelumnya mereka berjalan dalam gerakan politik saat masa Penjajahan Belanda, kemudian mengkader diri dalam kemiliteran saat masa Penjajahan Jepang, hingga akhirnya merealisasikan dengan sempurna dalam bentuk lembaga Negara (berdirinya Negara Islam Indonesia), perjalanannya tidak pernah mulus, bahkan hingga dieksekusinya Imam Negara, akan tetapi Roda Revolusi tidak pernah berhenti, mereka melaksanakan Revolusi bawah tanah, kembali membentuk kader-kader baru, re organisasi lembaga, hingga puncaknya pengiriman para Mujahidin ke Afganistan. Kembali dari Afganistan sebagian diantara mereka menggabungkan diri dengan jaringan Mujahidin Dunia, membentuk kamp-kamp pelatihan militer di dalam dan luar Negri, hingga pemboman dan Teror tidak pernah berhenti hampir 40 tahun, meski banyak diantara mereka syahid dan dipenjara, tapi selalu ada kader-kader baru untuk melanjutkan.

Disisi lain, beberapa kepemimpinan dalam tubuh Darul Islam mulai membereskan shaff, membentuk system pemerintahan (dalam kondisi Perang), melaksanakan pelatihan-pelatihan militer berkala, menyusun program Revolusi dengan perencanaan-perencanaan yang lebih cermat dibawah control contra intelegen yang rapi. Akselerasi Revolusi semakin lama semakin cepat dengan semangat kader-kader baru yang mulai keluar dari kejumudan. Struktur inilah yang pada saatnya akan menopang dengan kuat Revolusi yang sebenarnya, Revolusi Total menuju futuhat Indonesia.

b)                  Dan Sekarang Saatnya (It’s Your Turn)

Masalalu Darul Islam dalam memimpin Revolusi Islam di Indonesia sudah tidak diragukan lagi, meski fitnah dan stigma2 dipropagandakan oleh  musuh (Komunis dan Nasionalis) Revolusi berjalan tanpa henti, generasi lalu telah membuktikan amal sholeh mereka dengan berbagai konsekwensi yang telah diterimanya, diasingkan, dipenjara, syahid, dll. Saat ini adalah milik generasi baru, generasi yang belum pernah mengenyam perang besar dan bergrilya di hutan-hutan, generasi yang tidak pernah mengalami pahitnya da’wah dalam tekanan tirani, generasi yang telah bersentuhan dengan Perang yang lebih besar, melawan Amerika dan Rusia. Generasi yang menyaksikan langsung konflik2 internal yang buntu dalam penyelesaian, tetapi mereka masih konsisten tanpa terpengaruh, mereka sudah mulai menyadari sepenuhnya, dimana saat ini hanya persatuan dan Jihad lah sebagai satu-satunya jalan menuju kemenangan Revolusi Islam di Indonesia, saat ini giliran kita, anda, dan rekan-rekan anda yang lain.

Generasi saat ini adalah generasi yang akan menghadapi Klimaksnya Revolusi, suatu kondisi yang akan menentukan kalah dan menangnya Islam di Bumi Indonesia, dan Kemenangan adalah suatu keniscayaan jika Roda Revolusi ini dijalankan dengan Simultan, terus menerus, memperbesarkannya meski harus melalui ceceran darah. Revolusi akan betul-betul menjadi Klimaks setelah para Mujahidin menyadari dari hati yang paling dalam, bahwa perjalanan Jihad ini tidak mungkin dijalankan tanpa ikatan yang kuat antar Tandzim Jihad, antara Mujahidin dan Rakyat, antara Mujahidin dan para Komandan Perang. Antara para Komandan Perang yang sudah melunturkan sibghoh kebanggaan diri, sibghoh arogansi, sibghoh individualistis, dan digantikan dengan satu satunya sibghoh, yaitu sibghotullah, sibghoh yang akan membentuk energy tanpa batas (laa yah tasib), energy yang akan menyertakan Tentara-tentara langit yang telah Allah janjikan untuk menolong mujahidNya.

c)                   Menatap Masa Depan Umat Islam Bangsa Indonesia

13: 11. Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.

Masa Depan Umat Islam Bangsa Indonesia akan bergantung pada dirinya sendiri, Revolusi sendiri hanyalah ekspresi dan aktualisasi Iman para Mujahidin, tidak akan mampu siapapun untuk mencoba mencegahnya, akan tetapi kemenangan umat sesungguhnya dikembalikan lagi kepada Umat itu sendiri, apakah mereka akan menjadi Tunduk kepada Syari’at Allah, atau tetap bertahan mengabdikan diri kepada Thoghut. Negara Islam Indonesia akan tetap tegak dalam diri kalangan Mujahidin, meski seluruh Rakyat Indonesia menolaknya sekalipun, atau dalam Revolusi Total nanti Kemenangan diberikan oleh Allah kepada kaum Musyrikin. Karena NII adalah satu lembaga karunia Allah yang telah menjadi amanah yang harus digenggam kuat oleh Umatnya juga para Mujahidin TII. Sedangkan Futuhat Indonesia adalah Ijabah dari Allah al Mujib terhadap harapan Umat Islam Bangsa Indonesia, seandainya harapan itu tidak pernah ada, maka Futuhat hanyalah diberikan kepada para hambanya yang Shalih saja. Tidak untuk dinikmati oleh Umat Islam Bangsa Indonesia secara keseluruhan, karena Allah berkenan untuk memisahkan Hambanya yang Shalih dari Kaum yang menjadikan dirinya terjerembab dalam kekafiran.

837. supaya Allah memisahkan (golongan) yang buruk dari yang baik dan menjadikan (golongan) yang buruk itu sebagiannya di atas sebagian yang lain, lalu kesemuanya ditumpukkan-Nya, dan dimasukkan-Nya ke dalam neraka Jahannam. Mereka itulah orang-orang yang merugi.


Penutup dan Do’a Kaum Mustadh’afin.

Allahu Rabbii…Yaa…Dzul Jalal li wal Ikrom…Yaa Malikul Mulkii….Ampunilah kami, kami yang masih mengkotori diri dengan dosa kemusyrikan, kami yang masih lalai untuk berjihad di JalanMu, kami yang masih mengabdikan diri untuk Dunia, Ampuni kami…karena kelemahan Iman kami ini…Karena  keterpurukan kami dalam perpecahan…Karena kesombongan kami atas diri kami yang masih lemah ini yaa Rabb…Yaa Ghoffaaru…yaa Tawwaabu Rohiim…Ya Afwuu…

Allahu Rabbii…berilah kami kekuatan…Kekuatan Iman…Kekuatan Ilmu…Kekuatan Fisik…Kekuatan Mental..kekuatan Materi…sehingga kami masih dalam jalan JihadMu…sehingga kami Engkau syahidkan kelak…tetap dalam keadaan BerJihad di jalanMu…Anta Yaa Jabbar yaa Qohaar…Yaa Qowiyyuu Yaa Matiin..

Allahu Rabii…utuslah dari SisiMu Sulthonan Nashiroo…dan jadikan Pemimpin-pemimpin Kami Keilmuan dan Kebijaksanaan, rasa Keadilan dan Keberanian, berilah mereka kemampuan memimpin kami dalam Revolusi ini…tetapilah mereka menjadi Pemimpin yang Engkau Ridhoi….Anta Yaa Khoirul Nashiriin…Yaa khoirul Faatihiin…

Yaa Rabb…jadikanlah Negara ini sebagai KaruniaMu bagi Kami…menangkanlah para mujahidnya dalam menghadapi  musuh-musuhnya…menangkanlah dengan kekuatan Mu…lingkupi kami dengan MakarMu…sebaik baiknya Makar…Anta yaa Khoirul Maakiriin…

Yaa Rabb…sesungghunya hanya kepadamulah kami mengabdi…hanya KepadaMulah kami Berserah diri….hanya kepadaMulah kami meminta Permohonan…Amiin yaa Robbal 'Alamiiin..

" HARAMNYA MEMBAYAR PAJAK BAGI KAUM MUSLIMIN "

" HARAMNYA MEMBAYAR PAJAK BAGI KAUM MUSLIMIN "

Pajak Ada Di Negara Ini Adalah Bentuk Pendholiman Karena Sesungguhnya Pajak Hanya Ditarik Dari Orang Kafir Sehingga Dia Masuk Islam Dengan Jaminan Harta Dan Nyawanya Ini Ketika Negara Diatur Oleh Islam. Negara Yang Diatur Oleh Islam Haram Mengambil Pajak Kaum Muslimin Apalagi Negara Diatur Oleh Hukum Jahiliyyah Lebih Haram Lagi.Haram, Haram Dan Haram Lagi.Dan Kita Ketahui Bahwa Saat Ini Uang - Uang Pajak Yang Di Pungut Dari Kaum Muslimin Untuk Menggaji Para Thaghut Dan Antek - Anteknya Untuk Memerangin Kaum Muslimin. Mereka Membunuh, Berburu, Memenjarakan Dan Menyiksa Kaum Muslimin Pembela Syari'at Allah Adalah Lebih Haram Lagi Membayarkannya Kepada Thaghut Di Negri Ini. Dari Uang - Uang Pajak Ini Membuat Badut - Badut Di Negri Ini Menjadi Genduk Dengan Sarana Yang Mudah Dengan Pembayaran Pajaknya Yang Telah Dibayarkan Oleh Kaum Muslimin Buat Di Koropsikan Oleh Golongan Mereka Dan Selain Uang Pajak Yang Mudah Untuk Di Koropsikan Uang - Uang Pajak Tersebut Adalah Untuk Menghantam Kaum Muslimin Penegak Syari'at Islam. Maka Dari Itu Sebagai Seorang Muslim Haram Membayarkan Pajak Kepada Semua Thaghut Di Muka Bumi Allah Ini. Puncak Mencintai Orang Karena Allah, Adalah Menjadikan Orang - Orang Yang Beriman Sebagai Wali, Dan Puncak Membenci Karena Allah Adalah Dengan Memusuhi Dan Memerangi Orang - Orang Kafir Yang Menjadi Musuh Allah Dan Musuh Orang - Orang Yang Beriman.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, : إِنَّ أَوْثَقَ عُرَ ى الإِسلاَمِ أَنْ تُحِبَّ فِي اللهِ وَتُبْغِضَ فِي اللهِ“ Ikatan Islam Yang Paling Kuat Adalah Mencintai Karena Allah Dan Membenci Karena Allah ”. ( Hadits Riwayat. Ahmad ).

" IKATAN IMAN / IKATAN ISLAM YANG PALING KUAT MENCINTAI, MEMBENCIDAN BERMUSUHAN KARENA ALLAH "

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, : أَوْثَقُ عُرَى اْلإِيْمَانِ : أَلْمُوَالاَةُ فِي اللهِ وَالْمُعَادَاةُ فِي اللهِ, وَالْحُبُّ فِي اللهِ وَالْبُغْضُ فِي اللهِ“ Ikatan Iman Yang Paling Kuat Adalah Berwali ( Loyalitas ) Karena Allah Dan Bermusuhan ( Antiloyalitas ) Karena Allah. Mencintai Karena Allah Dan Membenci Karena Allah ”. ( Hadits Riwayat. Ahmad Dan Al - Hakim. Dishohihkan Oleh Syaikh Al - Albani Dalam Jami’ush - Shoghir No. 2539 ).

Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Pernah Bersabda. :“ Sungguh Akan Datang Kepada Manusia Suatu Zaman Saat Manusia Tidak Peduli Dari Mana Mereka Mendapatkan Harta, Dari Yang Halalkah Atau Yang Haram ” [ Hadits Riwayat. Bukhari Kitab Al - Buyu : 7 ]

Bekerja Didepartemen Perpajakan Adalah Suatu Keharaman Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Pernah Bersabda. :“ Dari Abu Khair Radhiyallahu ‘Anhu Beliau Berkata, : “ Maslamah Bin Makhlad ( Gubernur Di Negeri Mesir Saat Itu ) Menawarkankan Tugas Penarikan Pajak Kepada Ruwafi Bin Tsabit Radhiyallahu ‘Anhu, Maka Ia Berkata, : " Sesungguhnya Para Penarik / Pemungut Pajak ( Diadzab ) Di Neraka”[ Hadits Riwayat. Ahmad 4/143, Abu Dawud 2930 ].

Imam Nawawi Rahimahullah Menjelaskan Bahwa Dalam Hadits Ini Terdapat Beberapa Ibrah/Hikmah Yang Agung Diantaranya Ialah, : “ Bahwasanya Pajak Termasuk Sejahat - Jahat Kemaksiatan Dan Termasuk Dosa Yang Membinasakan ( Pelakunya ), Hal Ini Lantaran Dia Akan Dituntut Oleh Manusia Dengan Tuntutan Yang Banyak Sekali Di Akhirat Nanti ” [ Lihat : Syarah Shahih Muslim 11/202 Oleh Imam Nawawi ].

KESEPAKATAN ULAMA ATAS HARAMNYA PAJAK.

Imam Ibnu Hazm Al - Andalusi Rahimahullah Mengatakan Dalam Kitabnya, Maratib Al - Ijma ( Hal. 121 ), Dan Disetujui Oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah, : ” Dan Mereka ( Para Ulama ) Telah Sepakat Bahwa Para Pengawas ( Penjaga ) Yang Ditugaskan Untuk Mengambil Uang Denda ( Yang Wajib Dibayar ) Di Atas Jalan - Jalan, Pada Pintu - Pintu ( Gerbang ) Kota, Dan Apa - Apa Yang ( Biasa ) Dipungut Dari Pasar - Pasar Dalam Bentuk Pajak Atas Barang - Barang Yang Dibawa Oleh Orang - Orang Yang Sedang Melewatinya Maupun ( Barang - Barang Yang Dibawa ) Oleh Para Pedagang ( Semua Itu ) Termasuk Perbuatan Zhalim Yang Teramat Besar, ( Hukumnya ) Haram Dan Fasik. Kecuali Apa Yang Mereka Pungut Dari Kaum Muslimin Atas Nama Zakat Barang Yang Mereka Perjualbelikan ( Zakat Perdagangan ) Setiap Tahunnya, Dan ( Kecuali ) Yang Mereka Pungut Dari Para Ahli Harbi ( Kafir Yang Memerangi Agama Islam ) Atau Ahli Dzimmi ( Kafir Yang Harus Membayar Jizyah Sebagai Jaminan Keamanan Di Negeri Muslim ), Yaitu : Dari Barang Yang Mereka Perjualbelikan Sebesar Sepersepuluh Atau Setengahnya, Maka Sesungguhnya ( Para Ulama ) Telah Berselisih Tentang Hal Tesebut, ( Sebagian ) Berpendapat Mewajibkan Negara Untuk Mengambil Dari Setiap Itu Semua, Sebagian Lain Menolak Untuk Mengambil Sedikitpun Dari Itu Semua, Kecuali Apa Yang Telah Disepakati Dalam Perjanjian Damai Dengan Dengan Ahli Dzimmah Yang Telah Disebut Dan Disyaratkan Saja. ”

Dan Kita Kaum Muslim Terkena Bayaran Pajak - Pajak Yang Ditagihin Oleh Pemerintahan Thaghut Ini Lewat Beberapa Pembayarannya Yang Berupa Antara Lain :

MACAM - MACAM PAJAK.

- Pajak Bumi Dan Bangunan ( PBB ), Yaitu Pajak Yang Dikenakan Terhapad Tanah Dan Lahan Dan Bangunan Yang Dimiliki Seseorang.- Pajak Penghasilan ( PPh ), Yaitu Pajak Yang Dikenakan Sehubungan Dengan Penghasilan Seseorang.- Pajak Pertambahan Nilai ( PPN ).- Pajak Barang Dan Jasa.- Pajak Penjualan Barang Mewam ( PPnBM ).- Pajak Perseroan, Yaitu Pajak Yang Dikenakan Terhadap Setiap Perseroan ( Kongsi ) Atau Badan Lain Semisalnya.- Pajak Transit / Peron.- Pajak Kendaraan Dan Sebagainya.

PAJAK BUKAN ZAKAT.

Imam Abu Ja’far Ath - Thahawi Rahimahullah Dalam Kitabnya Syarh Ma’ani Al - Atsar ( 2/30 -31 ), Berkata Bahwa Al - Usyr Yang Telah Dihapus Kewajibannya Oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Atas Kaum Muslimin Adalah Pajak Yang Biasa Dipungut Oleh Kaum Jahiliyah ”. Kemudian Beliau Melanjutkan, : “ … Hal Ini Sangat Berbeda Dengan Kewajiban Zakat .. ” ( Lihat Nasehat Bijak Tuk Pemungut Pajak Hal. 88 Oleh Ibnu Saini ).

Perbedaan Antara Zakat Dan Pajak.Banyak Kalangan Yang Menyamakan Secara Mutlak Antara Zakat Dan Pajak, Padahal Sebenarnya Antara Keduanya Terdapat Perbedaan Yang Sangat Menyolok, Diantara Perbedaan Tersebut Adalah Sebagai Berikut :

PERTAMA : ( Dari Sisi Nama ), Zakat Berarti : Bersih, Tumbuh, Berkembang, Dan Berkah. Sedang Pajak Berarti : Beban Atau Upeti Yang Harus Dibayarkan.

KEDUA : ( Dari Sisi Dasar Hukum ), Zakat Ditetapkan Berdasarkan Ayat - Ayat Al - Qur'an Dan Hadist - Hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Yang Bersifat Tegas Dan Qath'I, Orang Yang Menolak Untuk Membayarkannya Secara Sengaja, Wajib Diperangi Dan Sebagian Ulama Menghukuminya Dengan Kafir. Sedang Pajak Keputusan Dari Para Pejabat Untuk Kepentingan Negara Atau Untuk Kepentingan Mereka Sendiri.

BANYAK DALIL YANG MENGECAM PARA PENGAMBIL PAJAK YANG DHALIM DAN SEMENA - MENA DIANTARANYA ADALAH :

PERTAMA : Hadist Abdullah Bin Buraidah Dalam Kisah Seorang Wanita Ghamidiyah Yang Berzina Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Bersabda, :فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا صَاحِبُ مَكْسٍ لَغُفِرَ لَهُ“ Demi Dzat Yang Jiwaku Berada Di Tangan-Nya, Sesungguhnya Perempuan Itu Telah Benar - Benar Bertaubat, Sekiranya Taubat ( Seperti ) Itu Dilakukan Oleh Seorang Penarik Pajak, Niscaya Dosanya Akan Diampuni. "( Hadist Riwayat. Muslim, No : 3208 ).

KEDUA : Hadist Uqbah Bin ‘Amir, Berkata Saya Mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Bersabda, :لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ“ Tidak Akan Masuk Surga Orang Yang Mengambil Pajak ( Secara Zhalim ) “ ( Hadits Riwayat. Abu Daud, No : 2548, Hadist Ini Dishohihkan Oleh Imam Al - Hakim ) .

APAKAH PAJAK HARI INI SESUAI DENGAN ISLAM ???

Apakah Pajak Hari Ini Sesuai Dengan Islam ? Maka Jawabannya Adalah Tidak, Hal Itu Dengan Beberapa Sebab :

1. Pajak Hari Ini Dikenakan Pada Barang Dagangan Dan Barang - Barang Yang Menjadi Kebutuhan Sehari - Hari Yang Secara Tidak Langsung Akan Membebani Rakyat Kecil.2. Hasil Pajak Hari Ini Dipergunakan Untuk Hal - Hal Yang Bukan Termasuk Kebutuhan Darurat, Tetapi Justru Malah Digunakan Untuk Membiayai Tempat - Tempat Maksiat Dan Rekreasi, Pengembangan Budaya Yang Tidak Sesuai Dengan Ajaran Islam Dan Sejenisnya, Bahkan Yang Lebih Ironisnya Lagi Sebagian Besar Pajak Yang Diambil Dari Rakyat Itu Hanya Untuk Dihambur - Hamburkan Saja, Seperti Untuk Pembiayaan Pemilu, Pilkada, Renovasi Rumah DPR, Pembelian Mobil Mewah Untuk Anggota Dewan Dan Pejabat, Dan Lain - Lainnya.3. Pajak Hari Ini Diwajibkan Terus Menerus Secara Mutlak Dan Tidak Terbatas.4. Pajak Hari Ini Diwajibkan Kepada Rakyat, Padahal Zakat Sendiri Belum Diterapkan Secara Serius.5. Pajak Hari Ini Diwajibkan Kepada Rakyat Kecil, Padahal Sumber - Sumber Pendapat Negara Yang Lain, Seperti Kekayaan Alam Tidak Diolah Dengan Baik, Bahkan Malah Diberikan Kepada Perusahan Asing, Yang Sebenarnya Kalau Dikelola Dengan Baik, Akan Bisa Mencukupi Kebutuhan Negara Dan Rakyat.6. Pajak Hari Ini Dipergunakan Untuk Memerangin Kaum Muslim Yang Berpegang Teguh Diatas Tauhidnya Menghalanginya Dari Perintah Allah Subhanahu Wa Ta'ala Untuk Menegakan Syari'at Islam Tegak Dimuka Bumi Allah Ini, Mereka Antek - Antek Amerika Dari Kalangan Anshor Thaghutnya, Memburu, Menangkap Dan Memenjarakannya, Menganiaya Atau Menyiksa Pejuang Mujahidin Bahkan Mereka Tidak Segan - Segan Membunuhnya.

KESIMPULANNYA :

Pajak Pada Hari Ini Adalah Uangnya Di Gunakan Untuk Koropsi Dan Kepentingan Pribadi Dan Golongannya Dan Untuk Memukul Mundur Islam Dan Pejuang Syari'at Islam. Untuk Memukul Mundur Musuh - Musuh Allah. Sebagai Orang Muslim Di Himbau Agar Tidak Lagi Membayarkan Pajak - Pajak Yang Di Pungutkan Oleh Kaum Thaghut Di Negri Ini Sebagai Solidaritias Kita Kepada Mujahidin Dan Pejuang - Pejuangnya Syari'at Agar Tegaknya Syari'at Islam Di Muka Bumi Allah Ini Dan Semoga Allah Menghancurkan Perekonomian Kekuatan Para Thaghut Ini Dari Hasil Yang Tidak Kita Bayarkan Kepada Thaghut Ini. Aamin.

" MEREKA BERKEHENDAK MEMADAMKAN CAHAYA ALLAH,DAN ALLAH MENGHENDAKI MENYEMPURNAKAN CAHAYANYA "

ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala Berfirman, :“ Mereka Berkehendak Memadamkan Cahaya ( Agama ) Allah Dengan Mulut ( Ucapan - Ucapan ) Mereka, Dan Allah Tidak Menghendaki Selain Menyempurnakan CahayaNya, Walaupun Orang - Orang Yang Kafir Tidak Menyukai. Dialah Yang Telah Mengutus RasulNya ( Dengan Membawa )Petunjuk ( Al - Qur’an ) Dan Agama Yang Benar Untuk DimenangkanNya Atas Segala Agama, Walaupun Orang - Orang Musyrikin Tidak Menyukai ”. ( QS. At - Taubah 32 - 33 ).

SERUAN DAMAI DAN BERSATU DI ANTARA SESAMA MUSLIMIN

بسم الله الرحمن الرحيم

شَرَعَ لَكُم مِّنَ الدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِۦ نُوحًا وَالَّذِىٓ أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِۦٓ إِبْرٰهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰٓ ۖ أَنْ أَقِيمُوا۟ الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا۟ فِيهِ ۚ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ ۚ اللَّـهُ يَجْتَبِىٓ إِلَيْهِ مَن يَشَآءُ وَيَهْدِىٓ إِلَيْهِ مَن يُنِيبُ

Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya). ﴾Q.S. Asy Syuura (42):13﴿.
Dalam situasi yang penuh fitnah dan kezaliman seperti sekarang ini, dimana kaum muslimin telah menjadi target pembunuhan dan perang yang dilancarkan oleh kaum kufar yang telah bersatu padu untuk memerangi Islam dan kaum muslimin, hendaknya sesama muslimin saling menahan diri untuk tidak melakukan perdebatan dan saling menuduh apalagi menghasut terhadap sesama muslimin yang lain sehingga dapat menimbulkan perselisihan dan saling menghalalkan darah di antara sesama muslimin yang hanya akan merugikan bagi kaum muslimin itu sendiri, baik di dunia maupun di akhirat nanti.
Sudah seharusnya muslimin itu bersatu dalam menegakan Islam, sebab itulah yang telah Allah perintahkan kepada kita semua.
Oleh karena itu, yang harus kita lakukan saat ini adalah konsolidasi, bersilaturahmi dan saling menasehati dengan kebenaran dan dengan kesabaran bukan saling menuduh dan memprovokasi yang hanya menimbulkan sakit hati dan kebencian sehingga semakin mempertajam kerikil-kerikil perbedaan serta memperlebar jurang perpecahan.
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا۟ اللَّـهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara, sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. ﴾Q.S. Al Hujuraat (49):10﴿.
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَهَاجَرُوا۟ وَجٰهَدُوا۟ بِأَمْوٰلِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِى سَبِيلِ اللَّـهِ وَالَّذِينَ ءَاوَوا۟ وَّنَصَرُوٓا۟ أُو۟لٰٓئِكَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ ۚ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَلَمْ يُهَاجِرُوا۟ مَا لَكُم مِّن وَلٰيَتِهِم مِّن شَىْءٍ حَتَّىٰ يُهَاجِرُوا۟ ۚ وَإِنِ اسْتَنصَرُوكُمْ فِى الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلَّا عَلَىٰ قَوْمٍۭ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُم مِّيثٰقٌ ۗ وَاللَّـهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. ﴾Q.S. Al Anfaal (8):72﴿.
وَالَّذِينَ كَفَرُوا۟ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ ۚ إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُن فِتْنَةٌ فِى الْأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ
Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar. ﴾Q.S. Al Anfaal (8):73﴿.
Sejak pecahnya Perang Dunia dan perang Bosnia, telah nampak secara nyata bahwa orang-orang kafir itu telah bersatu padu dalam memusuhi dan memerangi Islam dan kaum muslimin di manapun muslimin itu berada, apapun bangsa dan kedudukannya, sehingga satu demi satu tokoh-tokoh umat Islam itu dibunuh dan satu demi satu bangsa-bangsa yang muslim itu dibantai dengan kejam untuk dimusnahkan sehabis-habisnya.
Maka, sudah saatnya kita menghentikan semua perselisihan dan pertikaian dan berfikir serta berupaya untuk bersatu kembali dalam menegakan Islam ini sebagaimana yang Allah perintahkan.
Hendaknya seruan ini benar-benar diperhatikan oleh semua kaum muslimin dan muslimat serta semua pihak yang berselisih, baik di dunia nyata maupun di dunia maya.
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَن تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّـهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا۟ كَالَّذِينَ أُوتُوا۟ الْكِتٰبَ مِن قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ ۖ وَكَثِيرٌ مِّنْهُمْ فٰسِقُونَ
Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik. ﴾Q.S. Al Hadiid (57):16﴿.

Surat Kepada Soekarmadji

  • Surat Kepada Soekarmadji

    Oleh : Syaukani Al Karim*
    AKU merasa kita pernah bertemu suatu ketika, meski Tuan akan mengatakan tidak. Waktu itu tahun 1938, dan Tuan berusia 33 tahun. Di atas podium, Tuan, sebagai wakil ketua Partai Syarikat Islam Hindia Belanda, yang kemudian disebut Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dengan bersemangat menjelaskan konsep ‘’hijrah” kepada peserta kongres ke-22 di Surabaya. Dengan nada yang berapi-api, Tuan menjelaskan bahwa hijrah, bukanlah semata-mata penolakan, bukan semata-mata sikap non-kooperasi, tapi bermuatan lebih positif, yaitu penolakan yang diikuti oleh usaha membentuk kekuatan hebat yang menuju Darul Islam: sebuah negeri yang dibangun dengan konsep kemaslahatan.
    Pada waktu itu, kalimat Tuan yang menyebut Darul Islam, tentu saja tak bermasalah. Pada tahun 1938 tersebut, secara de facto dan de jure, Indonesia masih sesuatu yang imajiner.  Indonesia belumlah ada, kecuali dalam sederet mimpi dan sehasta rindu. Indonesia hanya ada dalam perbincangan-perbincangan elit politik yang mencoba menjadikan nama itu sebagai sumbu gairah perlawanan. Yang dihadapi waktu itu adalah Belanda, dan Islam, merupakan sentimen yang kuat dan seksi untuk menumbuhkan semangat perlawanan.
    Politik hijrah yang Tuan usung, meski didukung oleh beberapa pihak, juga mendapat penolakan yang keras. Akhirnya Tuan dikeluarkan dari partai. Namun demikian, sebagai seorang yang keras keyakinan, Tuan tak peduli dengan ketidaksetujuan itu. Tuan terus melawan dengan mendirikan Komite Pertahanan Kebenaran (KPK) PSII, yang sering disebut sebagai PSII tandingan. Selain mengurus PSII tandingan, Tuan juga mendirikan Institut Suffah, sebuah pondok pesantren, yang sekaligus dijadikan basis latihan laskar Hizbullah dan Sabilillah.
    Aku merasa kita pernah bertemu suatu kali, mungkin tahun 1945. Akhirnya hati Tuan luluh juga, meski sebelumnya Tuan mati-matian menentang konsep Soekarno dan Hatta dalam menghadapi Belanda. Dengan hati yang penuh, Tuan pun menerima Indonesia yang Pancasila. Aku mencoba menebak dari mana persetujuan Tuan berpangkal. Mungkin karena pemimpin masa itu, Tuan pandang dapat menerjemahkan konsep hijrah Tuan dalam kepemimpinan mereka.
    Aku juga ingat, ketika 27 Juli 1947, ketika Belanda melakukan agresi pertama. Tuan mengeluarkan resolusi jihad. Resolusi itu, membuat pasukan Tuan bersedia mati berkalang tanah demi Indonesia. Bersedia, hanya dengan bermodal bambu runcing, mempertarungkan rindu akan merdeka dengan nyawa. Tuan pernah kecewa, ketika pemimpin Indonesia bersedia untuk berunding di kapal US Renville (perjanjian Renville) yang berujung ditariknya pasukan RI dari wilayah-wilayah yang dikuasai Belanda. Karena kecewa dengan perjanjian itu, Tuan memutuskan untuk tak ikut menarik pasukan keluar dari Jawa Barat. Lalu, Tuan menamakan pasukan yang tersisa dengan nama Tentara Islam Indonesia (TII).
    Tuan terus bertempur, dan kembali mengobarkan jihad sewaktu agresi Belanda ke-II. Tapi ketika wilayah itu sudah Tuan kuasai, dan kemudian divisi Siliwangi meminta agar Tuan menyerahkan wilayah tersebut kepada mereka, maka Tuan pun tersinggung. Tuan  menganggap pemerintah pusat sudah tidak beretika, sudah tidak amanah, serta tidak istiqamah dalam berpolitik. Tuan meradang, lalu berbalik menempur tentara Siliwangi dan sekaligus Belanda. Pada kemarahan yang puncak itulah, Tuan lalu memproklamirkan Negara Islam Indonesia (NII), pada 7 Agustus 1949 di Malangbong.
    Aku merasa  kita pernah bertemu suatu kali, meski Tuan tetap berkata tidak. Hari itu 16 Agustus tahun 1962. Tuan diadili dan dijatuhi hukuman mati. Bagiku, bukan kematian itu benar yang menusuk kalbu, tapi kekukuhan tuan dalam memegang teguh apa yang Tuan yakini itulah yang menggetarkan jiwa. Menjelang ajal, Tuan tetap menolak menidakkan NII yang tuan dengungkan, meski dengan imbalan keringanan hukuman. Aku tak peduli, apakah NII itu benar atau tidak, tapi sikap yang Tuan tunjukkan adalah pelajaran bahwa sebuah  prinsip perlu dijaga dengan dengan satu kata : Istiqamah.
    Aku merasa kita pernah bertemu suatu kali, mungkin dalam kitab sejarah. Di kitab itu, nama dan tindakan Tuan ditulis dengan huruf-huruf yang buram dan murung, untuk selanjutnya diterjemahkan dalam kalimat-kalimat yang kusam. Di kitab itu, pasukan tuan disebut dengan “gerombolan” dan perjuangan Tuan disebut dengan “pemberontakan” dan Tuan dicap pula sebagai “pemberontak”.
    Ah, aku tak percaya Tuan seorang pemberontak. Tuan tak sejahat itu, sebab bagaimana mungkin seorang ulama besar seperti Daud Beureureh, atau tokoh seperti Kahar Muzakkar, dengan rela membai’at Tuan sebagai pemimpin. Saya percaya, seperti yang Tuan katakan, bahwa apa yang Tuan lakukan adalah sebuah respon terhadap kekuasaan yang menyimpang, sebuah kekuasaan yang Tuan sebut “tidak konsisten”, atau sebuah kekuasaan yang dalam praktik, bertolak-belakang antara aqidah dan ibadah, antara konsep dan tindakan.
    Tapi tak usahlah Tuan risau, karena sejarah hanya soal persepsi, soal ruang dan waktu. Soal pihak mana yang menulisnya. Pihak pemenang akan menulis yang kalah sebagai pengkhianat, dan ketika musim berganti, maka berganti pula kisah sebuah sejarah. Siapa pahlawan dan pengkhianat tergantung sebuah situasi psikologi pada waktu sejarah itu ditulis. Soekarno pernah ditulis sebagai pahlawan pada suatu masa, lalu ditulis sebagai pengkhianat pada masa yang lain, lalu ditulis kembali sebagai pahlawan pada masa berikutnya. Hal yang sama pernah terjadi pada Teungku Daud Beureureh, pada Tan Malaka, bahkan kepada Soeharto, yang dari pahlawan ditulis menjadi pengkhianat ketika Ia kalah.
    Tak usahlah Tuan risau, karena Aku dan Tuan, hidup pada sebuah Negara, yang sejarah tak selalu berisi kebenaran, tapi lebih banyak pembenaran. Kita hidup pada sebuah Negara, dengan buku-buku sejarah yang sarat kepentingan, dengan kisah sejarah yang selalu diarahkan untuk melegitimasi sebuah tujuan. Di negeri kita, sejarah bukanlah sepenuh “history” tapi sudah bergeser kepada “His- Story”, pada sebuah kisah pribadi dan golongan. Sekali lagi, usahlah risau, karena meski aku masih mempertanyakan konsep Negara Islam yang Tuan proklamirkan, aku tetap memandang Tuan sebagai pahlawan, karena telah berjuang, baik ketika menjadi anggota Jong Java, Jong Islamieten Bond, maupun ketika memimpin pasukan melawan Belanda, Tuan telah bertungkus-lumus berjuang, telah mempertaruhkan nyawa demi memberikan kemerdekaan, untuk  kami simpan.
    Aku merasa kita pernah bertemu, mungkin kemarin dan kemarinnya lagi, di antara bunyi bom yang memekakkan telinga, di tengah larian ketakutan, di antara tatapan kosong para ibu yang kehilangan anaknya, antara kematian orang-orang yang tak bersalah, antara tatap benci dan dendam yang entah kapan selesai. Mereka menghubungkan bom dan kehilangan anak-anak itu dengan gerakan Tuan. Aku tak percaya Tuan akan setuju dengan cara itu, karena Tuan bukan pengecut. Sepanjang hidup Tuan, segala sesuatu selalu Tuan hadapi dengan jantan, tidak dengan cara mengorbankan orang yang tak bersalah.
    Aku cuma tidak tahu, dari mana datangnya sebuah tafsir yang membenarkan bom menjadi jalan bagi pencapaian cita-cita. Aku juga tidak tahu mengapa mereka menerjemahkan Negara Islam dengan mendirikan khilafah dengan pengertian raja. Aku tentu saja sepakat dengan tuan, bahwa kita membutuhkan seorang Khulafa ar Rasyidin, tapi dalam makna yang sebenarnya, yaitu seorang pemimpin atau pengganti yang cerdas dan baik secara aqidah (Khulafa ar-Rasyidin), karena dengan pemimpin yang cerdas dan baik, sebuah negeri berpeluang menjadi lebih maju, sejahtera, dan bermartabat.
    Aku dan Tuan, pada hari ini mungkin akan sama-sama heran melihat banyak orang yang mengaku pengikut Tuan, menerjemahkan kekhalifahan dengan mendirikan raja. Seolah-olah, hanya dengan kerajaan, negeri ini bisa ditata dengan baik. Tuan dan aku mungkin sama-sama maklum, bahwa begitu banyak raja dalam dinasti Islam, gagal menjadi pemimpin yang cerdas iman atau menjadi pengganti yang baik itu. Mereka hanya tegak sebagai raja, semata-mata sebagai raja. Negara Islam di mataku, bukanlah sebuah monarkhi, tapi adalah sebuah demokrasi yang bersandar pada kemaslahatan. Islam menyuruh kita “memilih” dengan jalan musyawarah, bukan “menunjuk” seseorang sebagai raja, apa lagi sampai berketurunan.
    Aku juga tak percaya, bahwa Tuan hendak mendirikan raja. Tuan pasti tahu, bahwa jika raja adalah sumber kemaslahatan, maka pastilah Tuhan telah menjadikan semua nabi sebagai raja. Tapi ketika Tuhan hanya menjadikan segelintir nabi, seperti Daud dan Sulaiman sebagai raja, dari sekian banyak utusan-Nya, maka kita dapat mengambil petunjuk, bahwa bukan raja yang utama.
    Aku ingat kita pernah bertemu, mungkin hari ini, mungkin kemarin, di antara sisa-sisa mayat, di antara hujan hujatan, atau mungkin di tengah wajah-wajah penduduk yang cemas, di tengah ceracau negara yang tak pernah merasa salah, dan pada raut kepedihan menatap kematian. Ya, aku merasa bertemu denganmu pada hari ini, karena semua peristiwa dinisbatkan kepadamu, dan engkau dijadikan tepat berlindung bagi sebuah teror lain yang justru lebih besar: korupsi, tarik-menarik kekuasaan yang tiada habis, penistaan, kemiskinan, dan orang-orang yang lelah menanti cahaya.
    Aku ingat kita pernah bertemu, mungkin di rumah sejarah. Berbincang di ruang kenangan. Aku mengagumimu dengan hati nan pedih, lalu dengan suara lamat-lamat aku menyebut namamu: Soekarmadji Maridjan Kartosuwiryo.
    ****
    *Syaukani Al Karim, sastrawan Riau yang telah menghasilkan banyak karya. Tulisannya tersebar di berbagai media, maupun antologi. Kini bermastautin di Pekanbaru.
    Judul aslinya  ”Surat Kepada Maridjan”  Sumber: Riau Pos, Minggu, 15 April 2012

TINJUAN SYAIKH AL MAQDISIY TERHADAP OPERASI JIHAD DENGAN MELEDAKKAN DIRI

oleh: Syaikh Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisiy hafidzahullah Dan Sebagian Orang Menamakannya
“Operasi Istisyhad”
Berkaitan dengan intihar (bunuh diri), maka hukumnya sudah tidak samar lagi terhadap seorangpun dalam syari’at ini dan bahwa ia tergolong dosa besar yang diancam (pelakunya) oleh Allah SWT dengan ancaman yang keras.
Al-Bukhari dan Muslim serta lainnya meriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata:
“Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa menjatuhkan diri dari gunung sehingga ia membunuh dirinya, maka ia di neraka Jahannam seraya menjatuhkan diri di dalamnya seraya kekal selamanya lagi abadi di dalamnya dan barang siapa meminum racun sehingga ia membunuh dirinya sendiri, maka racunnya di tangannya seraya meminumnya di neraka Jahannam kekal selamanya lagi abadi di dalamnya””.
Dan jama’ah mengeluarkan dari Tsabit Ibnu Ad-Dlahhak radliallahu’anhu., ia berkata:
“Rasulullah saw berkata: “Barang siapa membunuh dirinya dengan sesuatu, maka dia disiksa dengannya di hari kiamat””.
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Sahl Ibnu Sa’ad radliallahu’anhu. Bahwa Rasulullah saw bertempur melawan kaum musyrikin, kemudian tatkala Rasulullah saw kembali ke kampnya dan kaum musyrikin kembali ke kamp mereka, sedang di antara sahabat Rasulullah saw ada seorang laki-laki yang tidak membiarkan seseorang yang menyendiri dan memisahkan dari barisan (dari kalangan musyrikin) melainkan ia mengejarnya seraya menghajarnya dengan pedangnya, maka ia (Sahl) berkata: Pada hari ini tidak ada di antara kita orang yang lebih hebat dari si fulan”, Maka Rasulullah saw berkata: ”Sesungguhnya dia itu termasuk ahli neraka”. Maka seseorang berkata: “Saya temannya”. Ia berkata: “Ia keluar bersamanya, setiap kali ia berhenti, maka ia berhenti bersamanya dan bila ia bergegas, maka ia bergegas bersamanya”. Ia berkata: “Kemudian ia terluka parah, sedangkan ia tidak sabar, maka ia meletakkan pedangnya di tanah lalu ia menepatkannya pada ulu hatinya kemudia ia menjatuhkan dirinya di atas pedangnya sehingga ia membunuh dirinya sendiri”. Dalam hadits tersebut (dikisahkan) bahwa Rasulullah saw tatkala mendapatkan kabar tentang dia, beliau bersabda:
“Sesungguhnya seseorang melakukan amalan ahli surga dalam apa yang nampak di hadapan manusia, sedangkan ia termasuk ahli neraka dan sesungguhnya seseorang melakukan amalan ahli neraka dalam apa yang nampak di hadapan manusia sedangkan ia termasuk ahli surga”.
Dalam Ash-Shahihain secara marfu’ juga:
“Adalah di tengah orang-orang sebelum kalian ada seorang laki-laki yang mendapatkan luka dan ia berkeluh-kesah, kemudian ia mengambil sebilah pisau dan terus ia memotong dengannya (urat nadi) tangannya, maka darah pun keluar tanpa berhenti sampai ia mati, Allah ta’ala berfirman: “Hamba-Ku mendahului-Ku dengan dirinya, maka Aku haramkan surga atasnya””
Dan sangat banyak hadits yang semakna dengan ini.
Di dalam hadits-hadits tersebut terdapat ancaman yang besar bagi orang yang membunuh dirinya sendiri dan bahwa itu termasuk hal yang diharamkan, bahkan termasuk dosa besar. Dhahir sebagian hadits adalah bahwa orang yang membunuh dirinya sendiri itu kekal selamanya di dalam neraka Jahannam dan sebagian hadits tegas tentang pengharaman surga, namun sudah maklum bahwa Ahlus Sunnah telah membatasi lontaran-lontaran ini pada hak kaum muwahhidin dengan panduan firman Allah ta’ala: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya” (An-Nisaa: 48)
Dan dengan apa yang diriwayatkan Muslim dari Jabir dalam hadits Ath-Thufail Ibnu ‘Amr Ad-Dausiy dan kawannya yang memotong persendiannya sehingga ia mati, maka Allah mengampuninya dengan sebab hijrahnya…” Hadits ini akan datang (pembahasannya, ed.).
Sedangkan lafazh…”di neraka Jahannam seraya kekal selamanya lagi abadi di dalamnya” dalam hadits pertama dan sabdanya “maka Aku haramkan surga atasnya” dalam hadits yang lain adalah bahwa hal itu bagi orang yang menghalalkan hal itu atau bagi orang yang melakukannya karena putus asa dari rahmat Allah dan penentangan terhadap ketentuan Allah ta’ala, maka itu adalah kekafiran yang mengekalkan pelakunya di dalam neraka Jahannam. “Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir” (Yusuf: 87)
Darinya nampak bahwa ada perbedaan yang harus diperhatikan oleh orang yang menimbang dengan al-haq dan meninggalkan sikap curang, antara orang yang membunuh dirinya karena putus asa dari Rahmat Allah atau karena penentangan terhadap ketentuan Allah atau karena keluh-kesah dari luka, penyakit dan yang lainnya dengan orang-orang yang menjadi pertanyaan yang meledakkan dirinya sendiri dengan bahan-bahan peledak untuk memberikan pukulan besar pada musuh-musuh Allah
Ini adalah perbedaan yang nampak jelas bagi kami, kami mengetahui dan memperhatikannya.
Mereka itu bila tergolong kaum muwahhidin dan berperang di jalan Allah serta di bawah panji Islamiyyah bukan fanatisme buta dan bukan kejahiliyyahan, maka mana mungkin kami menghukumi kebatilan amalan mereka atau menyamakan mereka dengan orang yang membunuh dirinya sendiri karena putus asa dari rahmat Allah atau karena keluh kesah dari luka dan yang lainnya kemudian kami mengatakan pengekalan mereka dalam neraka Jahannam atau pengharaman surga terhadap mereka[1], karena sesungguhnya rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya yang bertauhid adalah luas, sedangkan Allah SWT itu adalah Hakim Yang Paling Adil. Dia tidak menyia-nyiakan amalan orang-orang yang berbuat baik dan Dia tidak mengurangi amalan shalih yang tulus dari orang-orang yang beriman.
Imam Thufail ibnu ‘Amr Ad-Dausiy hijrah kepada Rasulullah saw ke Madinah dan bersamanya ada seorang laki-laki dari kaumnya, kemudian mereka tidak cocok dengan kondisi Madinah sehingga ia sakit dan ia berkeluh-kesah, kemudian ia mengambil pisaunya dan memotong persendiannya sehingga kedua tangannya mengalami pendarahan sampai akhirnya ia mati. Maka Thufail ibnu ‘Amr melihat dia dalam mimpinya. Ia melihatnya dengan penampilan yang bagus dan ia melihatnya menutupi kedua tangannya, maka ia berkata kepadanya, “Apa yang dilakukan Tuhanmu kepadamu?” Maka dia berkata: “Dia telah mengampuni saya dengan sebab saya hijrah kepada Nabi-Nya saw”, ia (Thufail) berkata: “Kenapa saya melihatmu menutupi kedua tanganm?”, maka ia berkata: “Dikatakan kepada saya, Kami tidak akan memperbaiki darimu apa yang telah kamu rusak”, Maka Ath-Thufail menceritakannya kepada Rasulullah saw, maka beliau saw berkata: “Ya Allah, ampunilah bagi kedua tangannya”.
An-Nawawiy berkata: “Di dalam hadits ini ada hujjah bagi kaidah agung Ahlus Sunnah yaitu bahwa orang yang bunuh diri atau melakukan maksiat dan ia mati tanpa taubat, maka ia tidak kafir dan tidak boleh dipastikan masuk neraka, akan tetapi ia dalam status masyi-ah (kehendak Allah)”
Abu Muhammad –semoga Allah memaafkannya- berkata: “Tidak ada yang dirasa sulit dalam hal ini, bersama keberadaan ancaman yang dahsyat yang datang dalam hadits-hadits yang lalu, karena Allah swt berhak mengampuni hamba-hambaNya yang bertauhid, yang berbuat baik dan Dia berhak untuk tidak merealisasikan ancaman-Nya pada diri mereka dan ini termasuk kemuliaan, kebaikan dan keterpujian-Nya swt, namun Dia tidak akan menyelisihi janji-Nya bagi mereka, sedangkan sudah maklum perbedaan antara penyelisihan janji dengan penyelisihan ancaman…
Tapi kami katakan: “Sesungguhnya keberadaan para pelaku ‘amaliyyat (oprasi-oprasi) ini tidak seperti orang-orang yang bunuh diri karena putus asa dari kehidupan atau karena penentangan terhadap taqdir dan keluh-kesah terhadap luka, maka ini saja tidak cukup untuk melegalkan ‘amaliyyat ini dengan gambaran ini atau untuk memberikannya sisi pensyari’atan, karena ‘amaliyyat ini bila keluar dari keumuman nash-nash yang mencela lagi mengancam orang yang membunuh dirinya dengan ancaman yang dahsyat dan di antaranya adalah hadits yang telah lalu “Barangsiapa membunuh dirinya dengan sesuatu, maka dia disiksa dengannya di hari kiamat”. Hadits ini dan yang serupa dengannya yang telah lalu adalah seperti firman Allah ta’ala:
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barang siapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak memasukannya ke dalam neraka, yang demikian itu adalah mudah bagi Allah” (An-Nisaa: 29-30)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Yaitu barang siapa melanggar apa yang telah Allah larang seraya aniaya di dalamnya lagi zhalim dalam pelanggarannya yaitu ia mengetahui pengharamannya lagi berani lancang terhadap pelanggarannya “Maka Kami kelak akan memasukannya ke dalam neraka”, ini adalah ancaman yang keras lagi pedas, maka hendaklah bersikap hati-hati setiap orang yang  berakal lagi memiliki pikiran yaitu orang yang menggunakan pendengarannya sedang dia menyaksikannya”” (Selesai perkataan Al-Maqdisiy)
Dan keumuman firman Allah ta’ala “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu sebab yang benar” (Al An’am: 151), dalam dua tempat dari Kitabullah.
Begitu juga keumuman hadits-hadits yang melarang dari membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan sesuatu sebab yang benar, seperti hadits “Jauhilah tujuh hal yang membinasakan”. Dikatakan: “Wahai Rasulullah, apakah itu?” Beliau bersabda:
“Penyekutuan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya), melainkan dengan suatu sebab yang benar….dst sampai akhir hadits”.[2]
Serupa dengannya hadits Nabi saw pada haji wada’: “Ketahuilah bahwa darah kalian dan harta kalian adalah haram atas kalian seperti keharaman hari kalian ini, di bulan kalian ini, di negeri kalian ini…Ketahuilah, apakah saya sudah menyampaikan…Ya Allah, saksikanlah…”
Abu Muhammad Al-Maqdisiy –semoga Allah memaafkannya- berkata: “Ini dan yang lainnya adalah nash-nash yang umum, yang qath’iy dilalah-nya dalam pengharaman membunuh jiwa yang ma’shum dan tidak halal atau tidak boleh sama sekali mengecualikan darinya, kecuali apa yang dikecualikan oleh syari’at. Dan orang-orang yang ingin meledakkan dirinya dalam ‘amaliyyat seperti ini dituntut untuk mengkaji nash-nash seperti ini dan mencermatinya secara seksama sebelum memfatwakannya atau melakukannya, karena bagi kaum muslimin tujuan itu tidak melegalkan segala macam cara, kita ini bukan Mikafiliyyin (Machiavellian/Nicolas Machaivelli) dan cara itu harus sesuatu yang syar’iy sebagaimana tujuan dan hendaklah mereka mengetahui bahwa kebenaran itu bukan bersama pendapat yang paling keras namun bersama pendapat yang paling tepat yang selaras dengan dalil, serta hendaklah mereka ingat bahwa orang itu tidak memiliki tujuh nyawa yang bisa ia gunakan untuk percobaan di sana sini, namun ia hanya satu nyawa, maka hendaklah ia berupaya keras untuk mengorbankannya dalam ketaatan kepada Allah dan keridlaan-Nya di atas bashirah dari urusannya.[3]
Sagat disayangkan, sesungguhnya saya belum melihat dirasat (kajian-kajian) ‘ilmiyyah yang peka lagi terarah milik orang-orang yang bertanggung jawab terhadap ‘amaliyyat semacam ini. Umumnya mereka didorong oleh perasaan emosional dan hamasah (semangat) tanpa memperhatikan dalil syar’i, berbeda halnya dengan saudara-saudara kita di Mesir dan Al-Jazair di mana mereka itu dalam masalah ini memiliki fatwa-fatwa dan banyak kajian, oleh sebab itu jarang sekali engkau mendapatkan ‘amaliyyat semacam ini pada mereka, padahal sesungguhnya mereka itu diintimidasi oleh musuh-musuh Allah melebihi penindasan yang didapatkan oleh para pengusung ‘amaliyyat ini, karena sesungguhnya ilmu modern dan sarana-sarananya telah memberikan kepada mereka banyak faidah yang dengannya mereka menjaga ikhwan mereka yang bertauhid dan membantu mereka untuk pencapaian mashlahat terbesar dengan cara yang paling efektif, di mana di sana ada banyak timer, jebakan, sumbu penyulut, ranjau, penekan pengendali, arus listrik, pena timer, remote control, pantulan cahaya dan yang lainnya yang bisa digunakan oleh para pengusung ‘amaliyyat semacam ini. Hal-hal ini menjadikan mufti yang mengetahui bahayanya fatwa dan bahwa ia adalah tanda tangan atas nama Allah, diam lama sekali sebelum mengatakan kebolehan ‘amaliyyat itu yang mana orang muslim membunuh dirinya sendiri di dalamnya tanpa dlarurat yang sebenarnya, karena sarana ini memperluas wawasan amal pada mujahidin. Selagi di sana ada cara untuk menjaga dan melindungi darah para muwahhidin, maka cara itu wajib diambil. Ikhwan kita -mujahidin- di berbagai belahan bumi memiliki bashirah, (mereka) mengikatkan barang-barang, surat-surat dan tas serta mereka meledakkan banyak kendaraan dan yang lainnya dengan sesuatu dari cara-cara ini dan mereka memberikan pukulan kepada musuh-musuh Allah dengan pukulan yang sangat dahsyat dengan kerugian yang paling minimal di barisan muwahhidin dan syahadah itu bukan kerugian, namun kerugian itu adalah ada pada penyelisihan terhadap hukum syar’i dan mati di luar bashirah…
Kami selalu mengatakan: Sesungguhnya saudara muwahhid yang sampai dalam tarbiyyah dan i’dad pada fase-fase yang lalu, ia pada hakikatnya adalah berlian satu-satunya di zaman ini yang tidak seyogyanya bagi pimpinannya bila dia itu berakal mengorbankannya demi dua atau tiga sepatu (maksudnya dua atau tiga orang anshar thaghut, pent.) atau yang lainnya dari aparat syirik dan bala tentara mereka, yang padahal mungkin menghabisi mereka dengan selain cara ini, di mana mungkin membunuhnya dengan senjata laras panjang, pistol dan bom atau mobil yang sudah diisi muatan bahan peledak tanpa perlu membunuh dirinya, maka dalil syar’iy mana yang membolehkan membunuh diri karenanya…???
Sebagian orang-orang yang tergesa-gesa yang tidak mengetahui cara-cara istidlal (pengutaraan dalil) dan tidak memiliki alat-alatnya, mereka berdalil dengan dalil-dalil yang tidak bisa digunakan untuk hujjah dalam bab ini, di mana mereka menuturkan firman Allah ta’ala dalam memuji orang-orang mu’min: “Mereka berperang pada jalan Allah lalu mereka membunuh atau terbunuh” (At-Taubah: 111), dan menuturkan seorang laki-laki yang secara sendirian menyerang pasukan besar dan kisah seorang sahabat yang meminta dari para sahabatnya agar mengangkatnya di atas perisai terus melemparkannya ke dalam benteng orang-orang kafir untuk membukakan pintunya bagi mereka dan hadits Aslam ibnu ‘Imran, berkata: Seorang laki-laki dari muhajirin menyerang barisan musuh di Konstantinopel sampai ia mencerai-beraikannya sedangkan bersama kami ada Abu Ayyub Al-Anshari, maka orang-orang berkata: “Dia menjatuhkan dirinya sendiri ke dalam kebinasaan” seraya mereka memaksudkan firman-Nya ta’ala:
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik” (Al-Baqarah: 195)
Maka Abu Ayyub berkata: “Kalian mentakwilkan ayat ini seperti ini, yaitu seseorang menyerang seraya mencari syahadah atau ia menemui kematian!! Kami paling mengetahui akan ayat ini, ia itu hanyalah diturunkan perihal kami”, maka beliau menuturkan bahwa yang dimaksudkan dengan kebinasaan adalah menetap di tengah keluarga dan harta dan meninggalkan jihad. (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi dan yang lainnya)
Seperti itu pula adalah apa yang diriwayatkan Al-Hakim dari Abu Ishhaq As-Suba’iy. Seorang laki-laki berkata kepada Al-Bara Ibnu ‘Azib: “Bila saya menyerang secara sendirian terhadap musuh terus mereka membunuh saya, apakah saya menjatuhkan diri saya ke dalam kebinasaan?” Maka beliau berkata kepadanya: “Allah berfirman kepada Rasul-Nya “Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri” (An-Nisaa: 84)
Sesungguhnya ayat tadi hanyalah berkaitan dengan nafaqah dan dalam riwayat At-Tirmidzi: (Tapi kebinasaan itu adalah seseorang melakukan dosa terus ia menjatuhkan dirinya sendiri kepada kebinasaan kemudian ia tidak taubat).
Sebagaimana mereka menuturkan dalam dalil-dalil mereka, hadits: (Penghulu para syuhada adalah Hamzah dan laki-laki yang mendatangi pemimpin yang aniaya, terus dia memerintah dan melarangnya kemudian dia (si penguasa) membunuhnya).
Ini adalah apa yang mereka jadikan sebagai dalil, sedangkan semuanya tidak layak untuk dijadikan hujjah dalam masalah yang sedang diperdebatkan ini.
Firman-Nya ta’ala: “Mereka membunuh atau terbunuh”, maka orang-orang itu bahagia dengan firman-Nya “atau terbunuh”, padahal sesungguhnya ayat ini tidak menunjukan secara tegas terhadap sikap membunuh dirinya sendiri, akan tetapi terhadap sikap musuh Allah membunuh dia, dan andaikata ia menunjukan, maka sesungguhnya ia adalah penunjukan yang lemah, dhanniy lagi memiliki banyak kemungkinan dan tentunya mereka itu lebih utama untuk berhujjah dengan firman-Nya “Mereka membunuh” terus mereka mengatakan: Ia adalah umum mencakup sikap mereka membunuh orang lain dan membunuh diri mereka sendiri. Cara istidlal ini adalah modal orang-orang yang pailit, di mana mereka itu tatkala tak bisa menghadirkan dalil-dali qath’iy yang tegas, maka mereka justeru malah menggunakan dalil-dalil yang lemah dilalah-nya. Andaikata kami menerima dalil-dalil itu, maka itu adalah nash yang tidak sharih (tegas) dan justeru ia dibatasi dengan nash-nash qath’iy yang sharih dilalah-nya yang telah lalu dalam hal pengharaman membunuh jiwa, sedangkan nash yang tidak sharih lagi dhanniy dilalahnya tersebut tidak boleh dibenturkan pada nash-nash yang qath’iy lagi sharih sebagaimana juga bahwa dalil itu bila mengandung banyak kemungkinan, maka ia tidak bisa dijadikan sebagai dalil, karena pemastian dengan sesuatu yang banyak mengandung kemungkinan itu membutuhkan dalil. Bagaimanapun keadaannya, maka sesuai penafsiran mereka, dalil itu tergolong dalil yang mutasyabih, sehingga wajib dikembalikan kepada nash-nash yang muhkam dan jelas yang mengharamkan pembunuhan jiwa….Wallahu A’lam.
Adapun kisah seorang sahabat yang dilemparkan ke dalam benteng, maka orang yang berhujjah dengan kisah itu pertama-tama wajib membuktikannya terlebih dahulu, yaitu buktikan dulu keshahihan dalil itu kemudian silahkan berdalil dengannya, sedangkan tidak sah berdalil dengan sesuatu sebelum membuktikan keshahihannya.[4] Kemudian bila mereka telah membuktikannya dengan isnad yang shahih, maka kami katakan kepada mereka: “Itu adalah perbuatan serang sahabat, sedangkan sudah ma’lum bahwa perbuatan seorang sahabat itu bukanlah hujjaj dalam perselisihan, karena Allah SWT berfirman: “Kemudian bila kamu berselisih dalam satu hal, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul(-Nya)” (An-Nisaa: 59) Dia tidak mengatakan “Maka kembalikanlah kepada sahabat”, sedangkan menjadikan perbuatan mereka sebagai pendekatan adalah suatu hal dan berdalil dengannya dalam perselisihan serta menjadikannya sebagai hujjah syar’iyyah adalah hal lain, maka bagaimana bila perbuatan-perbuatan itu menentang nash-nash yang sharih lagi qath’iy keterbuktiannnya juga qath’iy dilalah-nya seperti nash-nash yang lalu prihal pelarangan membunuh jiwa (sendiri)”. Ini atas dasar pengandaian bahwa perbuatannya itu adalah bunuh diri, sedangkan kami tidak menerima hal itu.
Bila mereka berkata: Sesungguhnya ia adalah ijma sukutiy (ijma yang ulama diam tidak menampakkan penyelisihan) itu adalah hujjah yang lemah lagi dhanniy, di dalamnya terdapat perselisihan yang besar, maka bagaimana bila ijma yang diklaim ini menentang nash-nash qath’iy lagi shahih. Kemudian ijma ini menurut orang-orang yang memegangnya harus memiliki sandaran syar’iy, yaitu hujjah bukan yang lainnya. Sandaran yang sharih lagi shahih ini adalah dalil yang masih kami menuntut kalian untuk mendatangkannya dan kalian membutuhkannya.
Terakhir, kemudian dikatakan kepada mereka bahwa kisah yang dijadikan hujjah oleh kalian ini menjelaskan bahwa shahabiy ini tidak bermaksud membunuh dirinya sendiri dengan perbuatannya itu, akan tetapi bermaksud membuka benteng bagi kaum muslimin[5]. Sedangkan klaim mereka bahwa kemungkinan kematiannya adalah besar sekali, maka ini bukan sumber perselisihan, karena dalil-dalil terhadap kebolehan terjun maju dalam peperangan yang memiliki dugaan kuat mendapatkan syahadah di dalamnya adalah banyak, seperti hadits Abu Ayyub dan hadits Al-Bara yang telah lalu. Namun yang menjadi perselisihan adalah perihal seseorang membunuh dirinya sendiri secara sengaja dan dimaksud.
Adapun hadits Abu Ayyub dan Al-Bara, maka keduanya sebagaimana yang telah kami katakan hanyalah pantas dijadikan dalil untuk dorongan terhadap jihad, maju pantang mundur dan anjuran gesit dalam memerangi orang-orang kafir, serta penampakan keberanian, kekuatan dan pukulan di hadapan mereka. Dan dalam hadits itu sama sekali tidak ada sesuatupun yang menunjukan kebolehan seorang muslim membunuh dirinya sendiri dengan tangannya sendiri. Karena kandungan yang ada dalam hadits itu adalah bahwa dia maju, tampil atau menghadangkan dirinya untuk memerangi suatu pasukan dan untuk mengingkari kemungkaran yang sangat besar sebagaimana dalam hadits “Penghulu Para Syuhada…” di mana kuat dugaannya bahwa ia dibunuh di dalamnya tanpa pemastian dan hatta andaikata ia itu memastikan, maka gambaran ini berbeda dengan gambaran itu, sedangkan mencampuradukkan antara kedua gambaran ini adalah sikap melampaui ketentuan Allah dan pengkaburan al-haq dengan al-bathil, padahal Allah ta’ala telah berfirman:
“Dan janganlah kamu mencampuradukkan yang haq dengan yang bathil dan janganlah kamu menyembunyikan yang haq sedangkan kamu mengetahui” (Al-Baqarah: 42).
Di mana nash-nash yang lalu adalah sharih lagi qath’iy prihal pengharaman membunuh jiwa, sedangkan hal ini adalah yaqin, tidak bisa lenyap dengan dilalah yang lemah lagi jauh semacam ini, oleh sebab itu sesungguhnya orang yang mencermati ucapan ulama dalam bab-bab semacam ini, ia akan mendapatkan mereka itu bersikap ketat lagi hati-hati dalam masalah-masalah ini dan mereka tidak memfatwakan sekedar mengikuti semangat atau rasa takut dari lisan orang-orang yang menyelisihi dan orang-orang yang hobi menebar isu, akan tetapi mereka memfatwakan dengan apa yang mereka yakini seraya selaras dengan dalil syar’iy “(Yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang (pun) selain kepada Allah” (Al-Ahzab: 39).
Ibnu Qudamah Al-Maqdisiy berkata dalam Al-Mughniy 8/478, Kitab Al-Jihad.
(Pasal) Bila orang-orang kafir melemparkan api ke kapal yang terdapat kaum muslimin di dalamnya, sehingga api berkobar di dalamnya, maka apa yang menjadi dugaan kuat mereka akan selamat, baik itu mereka tetap di dalam kapal atau mereka menceburkan diri ke air, maka lebih utama bagi mereka adalah melakukannya.
Abul Khaththab berkata dalam riwayat lain: “Bahwa mereka harus diam di kapal, karena bila mereka menceburkan dirinya ke air, maka kematian mereka itu adalah (karena) perbuatan mereka sendiri[6], dan bila mereka diam di kapal, maka kematian mereka itu adalah perbuatan orang lain”. Selesai.
Perhatikan sikap mereka membedakan antara kematian oleh perbuatan diri sendiri dengan kematian oleh perbuatan orang lain. Ketahuilah bahwa masalah yang paling serupa dengan masalah kita ini menurut para ulama adalah masalah yang biasa dijadikan contoh oleh ulama ushul dalam bab-bab Mashlahat Mursalah, yaitu masalah yang terkenal dengan sebutan Masalah Tatarrus. Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughniy 8/450: “Bila orang-orang kafir membentengi diri dengan orang muslim[7] sedangkan tidak ada keperluan untuk menembak mereka dikarenakan peperangan tidak sedang berlangsung atau dikarenakan ada kemungkinan menguasai mereka tanpa hal itu atau karena aman dari kejahatan mereka, maka tidak boleh menembak orang muslim itu.
Al-Auza’iy dan Al-Laits berkata: Tidak boleh menembak orang-orang kafir itu berdasarkan firman Allah ta’ala:
“Dan kalau tidaklah karena laki-laki yang mu’min dan perempuan-perempuan yang mu’min yang tiada kamu ketahui, bahwa kamu akan membunuh mereka yang menyebabkan kamu ditimpa kesusahan tanpa pengetahuanmu (tentulah Allah tidak akan menahan tanganmu dari membinasakan mereka)” (Al-Fath: 25).
Al-Laits berkata: Meninggalkan membuka benteng yang mampu untuk membukanya adalah lebih utama daripada membunuh orang muslim tanpa hak.
Dan sering sekali para fuqaha menuturkan dalam bab-bab Mashlahat Mursalah, ucapan mereka: “Seandainya orang-orang kafir membentengi diri dengan sejumlah kaum muslimin, di mana seandainya kita menahan diri dari mereka tentulah orang-orang kafir itu menguasai Darul Islam dan menghabisi seluruh kaum muslimin serta membunuh (orang-orang yang dijadikan) benteng itu dan seandainya kita menembak benteng itu dan kita membunuh mereka tentulah mafsadah tersebut terhindarkan secara pasti dari seluruh kaum muslimin, namun mesti darinya membunuh orang muslim yang tidak berdosa…” Maka mashlahat ini meskipun dlaruriyyah kuliyyah qath’iyyah (darurat yang pasti dan menyeluruh), akan tetapi dikarenakan ketidaknampakan pengakuan terhadap bisa dianggapnya hal tersebut dari Sang Pembuat syari’at, maka di dalamnya terdapat perselisihan yang masyhur di antara para ulama….
Sekelompok ulama melarang hal itu, karena di dalamnya ada pembunuhan orang muslim, sedangkan tidak boleh menebus jiwa yang ma’shum dengan jiwa yang serupa dengannya…
Sekelompok ulama membolehkan hal itu dengan beberapa syarat yang di antaranya:
  • Dalam sikap meninggalkan (tidak dilakukan) pembunuhan perisai itu terdapat pengguguran akan jihad… Sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughniy 8/450 dari Al-Qadli dan Asy-Syafi’iy ucapan mereka: “Boleh menembak mereka bila peperangan sedang berlangsung, karena membiarkannya menyebabkan pada pengguguran jihad…”. Selesai.
  • Di antaranya adalah tidak mungkin mencapai orang-orang kafir itu, kecuali dengan membunuh perisai tersebut.
  • Sikap membiarkan perisai ini menyebabkan pemusnahan seluruh kaum muslimin, pengotoran kehormatan mereka dan pendudukan negeri itu kemudian setelah itu pembunuhan perisai juga…
Saya bertanya dengan Nama Allah kepadamu, wahai orang yang obyektif, siapa saja engkau ini;
Apakah syarat-syarat seperti ini terpenuhi pada realita ‘amaliyyat tersebut pada hari ini…?!
Apakah tidak mungkin memerangi orang-orang kafir, kecuali dengan cara operasi-operasi peledakan diri sendiri…?
Apakah tidak mungkin hal itu dilakukan dengan selain cara ini…?
Apakah dalam sikap meninggalkan cara ini menyebabkan pemusnahan seluruh kaum muslimin dan pengguguran jihad, di mana tidak mungkin memerangi orang-orang kafir dan membungkam mereka, kecuali lewat cara membunuh jiwa yang ma’shum…?
Bila keadaannya seperti itu, maka kami tidak mengingkarinya, yaitu bila mashlahat yang diharapkan di balik operasi-operasi ini atau mafsadah yang dimaksudkan penghindarannya itu adalah dlaruriyyah kulliyyah qath’iyyah (darurat yang pasti dan menyeluruh) yang tidak mungkin dicapai kecuali dengan cara ini, maka kami tidak mengingkarinya dan orang yang berpendapat ini memiliki pendahulu dari kalangan ulama serta telah baku di kalangan para ulama yaitu bila dua mafsadah saling berbenturan, maka dipikullah yang paling ringan di antara keduanya demi menghindari yang paling besar.
Di samping itu sesungguhnya orang yang melihat realita banyak dari sasaran operasi-operasi ini –dan saya tidak mengatakan seluruhnya-, maka sesungguhnya dia mendapatkan mereka itu dari kalangan sipil, baik itu wanita, anak-anak atau lansia dan yang lainnya, sedangkan ini adalah hal lain yang disayangkan mesti disebutkan di sini.
Sedangkan sudah ma’lum bahwa dalam agama kita tidak boleh membunuh anak-anak dan wanita yang tidak ikut berperang serta yang semisal dengan sengaja.
Para ulama yang di antaranya Hibrul Qur’an Ibnu ‘Abbas radliallahu’anhu. Telah menafsirkan firman Allah ta’ala: “Dan janganlah kamu melampaui batas” (Al-Baqarah: 190), dengan ucapannya: “Janganlah kalian membunuh wanita, anak-anak dan kakek lanjut usia…” Dan Muslim meriwayatkan dalam <Bab: Wanita-Wanita Yang Berperang… dan Larangan dari membunuh ahlil harbi> dari Ibnu ‘Abbas radliallahu’anhu. Juga ucapannya: “Dan sesungguhnya Rasulullah saw tidak pernah membunuh anak-anak, maka janganlah kamu membunuh anak-anak, kecuali bila kamu mengetahui apa yang diketahui Al-Khidlr (Khidir) dari anak-anak kecil yang ia bunuh…”[8]
Al-Imam Ahmad, Al-Hakim, Al-Baihaqi dan yang lainnya meriwayatkan dari Al-Aswad Ibnu Sari’ bahwa Rasulullah saw berkata: “Kenapa orang-orang melampaui batas pembunuhan sampai mereka membunuh anak-anak… Ingat jangan kalian membunuh anak-anak… Ingat jangan kalian membunuh anak-anak…”
Dalil-dalil dalam bab ini adalah sangat masyhur, bahkan Malik dan Al-Auza’iy memfatwakan dengan sesuatu yang lebih dari hal itu, di mana mereka berkata: “Tidak boleh membunuh wanita dan anak-anak sama sekali, hatta termasuk andaikata ahlul harbi memperisaii diri dengan wanita dan anak-anak atau mereka membentengi diri dengan benteng atau kapal (perahu) dan mereka menyertakan wanita dan anak-anak bersama mereka, maka tidak boleh menembak dan membakar mereka…”[9]
Ini serupa dengan masalah Tatarrus, bahkan lebih rendah darinya, karena ‘ishmah (keterjagaan) darah anak-anak dan wanita orang-orang kafir tidak ragu lagi adalah lebih rendah dari ‘ishmah darah kaum muslimin. Sudah ma’lum bahwa dalam keadaan-keadaan tertentu boleh membunuh wanita dan anak-anak mereka, umpamanya pada serangan malam atau orang-orang kafir ditembaki sedangkan bersama mereka ada anak-anak dan wanita mereka sehingga mereka mati tanpa dimaksud, maka ini seperti tabyit (serangan malam) yang ditanyakan kepada Rasulullah saw, yaitu di mana Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya dalam Kitabul Jihad (Bab Penduduk suatu negeri diserang pada malam hari, sehingga jatuh korban dari kalangan wanita dan anak-anak) dan di dalamnya beliau menuturkan hadits Ash Sha’b Ibnu Jatstsamah <Rasulullah saw ditanya tentang penduduk suatu negeri. Kaum musyrikin diserang pada malam hari sehingga jatuh korban dari kalangan wanita dan anak-anak mereka> dan saya mendengar beliau bersabda: “Tidak ada batasan kecuali milik Allah dan milik Rasul-Nya saw”.
Begitu juga bila si wanita atau anak kecil itu ikut berperang atau membantu peperangan, sebagaimana hal itu sudah ma’lum pada tempatnya dalam Kitab-kitab Jihad dan Peperangan dan hadits-hadits di dalamnya sangat banyak.
Bahkan ulama membolehkan membunuh wanita bila ia berada di barisan orang-orang kafir dan ia menghina kaum muslimin
Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughniy 8/450: (Pasal) Dan andaikata wanita berdiri di barisan orang-orang kafir atau di atas tembok (benteng, ed) mereka, lalu menghina kaum muslimin atau dia membuka auratnya di hadapan mereka, maka boleh sengaja menembaknya, berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Sa’id: “Telah mengabarkan kepada kami Hammad ibnu Zaid dari Ayyub dari Ikrimah[10], ia berkata: “Tatkala Rasulullah saw mengepung penduduk Tha’if, maka seorang wanita naik benteng lalu membuka kemaluannya, maka beliau bersabda: ”Ini sasaran, tembak dia…!!!”, maka seorang laki-laki dari kaum muslimin menembaknya dan tidak meleset sedikitpun darinya”. Boleh pula menembak wanita bila ia memungutkan anak panah bagi mereka atau memberikan minuman bagi mereka atau menyemangati mereka terhadap peperangan, karena dia berstatus sama dengan muqatil[11]. Hukum ini berlaku juga pada anak-anak kecil, orang tua serta yang lainnya yang dilarang dibunuh di antara mereka… (Selesai)
Adapun menyengaja pada kerumunan anak-anak dan wanita yang tidak muqatil, seperti sekolah, Taman Kanak-Kanak, Rumah Sakit dan yang serupa itu lalu ia dipilih (sebagai target serangan, ed), karena ia adalah target yang mudah, maka sikap ini menyelisihi tuntunan Nabi saw dan sikap ini mengandung bahaya pada da’wah serta pencorengan pada wajah jihad Islamiy yang bercahaya.
Bagaimanapun keadaannya, sungguh pembicaraan dalam bab ini sangatlah panjang dan para ulama kita telah mencukupinya dalam hal ini pada kitab-kitab fiqh dan hadits, juga sangat mudah dirujuk oleh pencari al-haq di sumbernya.
Sebelum kami menutup masalah ini, maka kami mengumpulkan apa yang telah kami katakan pada point-point ini:
  • Kami tidak mengatakan hapusnya amalan para pelaku operasi-operasi yang ditanyakan ini (pelaku operasi bunuh diri, ed.) atau kekekalan mereka di neraka, bahkan kami telah membedakan orang yang membunuh dirinya sendiri karena putus asa dari kehidupan atau berkeluh-kesah dan penentangan terhadap taqdir Allah atau keluhan karena luka…[12]
  • Akan tetapi kami memiliki terhadapnya catatan-catatan dan kritikan-kritikan yang telah kami isyaratkan pada sebagiannya, oleh sebab itu kami mengajak para pemerannya dan orang-orang yang memperhatikannya untuk mengkajinya dengan kajian syar’iy yang menyeluruh lagi peka, yang dikuatkan dengan dalil-dalil syar’iy yang shahih.
  • Adapun bila mafsadah yang ingin dihindarkan dengan ‘amaliyyah ini adalah qath’iyyah kulliyyah haqiqiyyah serta tidak mungkin dihadang kecuali dengan membunuh diri sendiri dengan cara ini, maka ini memiliki sesuatu yang mendukungnya dari ushul syari’at dan ini telah dianut oleh segolongan ulama mu’tabar dengan batasan-batasan syar’iy
  • Kami mengajak para mujahidin untuk memanfaatkan sarana-sarana ilmu (teknologi, ed.) modern dalam memerangi musuh-musuh Allah, sebagaimana pelaksanaan firman Allah ta’ala: “Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka apa yang kalian mampu berupa kekuatan dan kuda-kuda yang ditambatkan, yang dengannya kalian menggentarkan musuh Allah dan musuh kalian” dan itu untuk mendatangkan pukulan telak terhadap mereka dengan kerugian yang paling minimal di barisan muwahhidin, terutama kerugian-kerugian yang terjadi karena tangan mujahidin sendiri.
  • Kami mengajak mereka untuk memfokuskan terhadap sasaran-sasaran militer musuh-musuh Allah, Dinas Keamanannya dan yang serupa itu.
Ini adalah kesimpulan pendapat kami pada masalah ini dalam kesempatan ini. Kami mengatakannya dan kami tidak peduli dengan sikap sentiment orang-orang yang menyelisihi kami, karena penuntun dan acuan kami hanyalah dalil bukan yang lainnya, serta tujuan kami adalah ridla Allah bukan ridla manusia. Kami memohon Allah ta’ala agar menjadikan kami bagian dari orang-orang yang disifati oleh Rasulullah saw dengan sabdanya: “Mereka tidak terusik oleh orang yang menyelisihi mereka dan tidak pula oleh orang yang menggembosi mereka sampai datang ketentuan Allah”.
Sudah ma’lum bahwa bila datang kepada kami orang-orang yang menyelisihi dalam bab ini dengan dalil-dalil syar’iy yang shahih yang menggugurkan apa yang telah kami jelaskan, maka kami akan menerimanya dengan penuh lapang dada dan kami akan meninggalkan apa yang telah kami katakan, karena al-haq adalah lebih berhak untuk diikuti.
Allah-lah yang Mengatakan kebenaran dan Memberikan petunjuk kepada jalan yang lurus.
LAMPIRAN SUSULAN
Ketahuilah –semoga Allah merahmatimu- bahwa tatkala saya telah menulis jawaban saya dalam masalah ini dan dibaca oleh sebagian kawan di penjara, maka datang kepada saya lembaran tulisan dari sebagian orang-orang yang tulus…. Di dalamnya ia menuturkan ungkapan tentang pokok-pokok dasar kajian syar’iy dan pentingnya mengetahui realita fatwa juga pentingnya pengamatan terhadap dalil-dalil syar’iy serta hal-hal lain seputar ini yang sudah diketahui oleh setiap orang yang menulis dan mengkaji dan tidak ada perselisihan di dalamnya, kemudian bahwa ia membedakan antara sekedar bunuh diri dengan bunuh diri oleh perbuatan orang itu sendiri dalam memerangi musuh, dan ia membolehkan yang ke dua seraya berdalil dengan nash-nash yang umum lagi dhanniy dilalah dalam menghantam nash-nash qath’iyyah yang mengharamkan membunuh jiwa secara muthlaq… Kemudian ia menuturkan firman Allah ta’ala:
“Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka” (Al-Baqarah: 191) dan firman-Nya ta’ala: “Dan perangilah mereka itu hanya semata-mata untuk Allah…” (Al-Baqarah: 193) dan firman-Nya ta’ala: “Perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu…” (At-Taubah: 123)
Ia berkata: “Sesungguhnya itu adalah dalil-dalil umum tanpa pengkhususan yang muthlaq tanpa pembatasan”… kemudian berkata: “Dan atas dasar ini, maka setiap peperangan terhadap musuh yang kafir yang memang memerangi, (boleh, ed.) dengan cara apa saja dari cara-cara qital, walaupun itu dengan meledakkan diri sendiri untuk membunuh mereka, maka semua itu berada dalam cakupan indikasi dalail-dalil yang lalu ” (selesai)
Kemudian ia menuturkan bahwa: “Sunnah Rasulullah saw dan para sahabatnya menjelaskan bagaimana kaum muslimin melesat maju untuk memerangi musuh dan mereka berlomba-lomba untuk menggapai syahadah sampai bahwa sebagian mereka melesat maju di tengah barisan musuh atau dilemparkan dari atas tembok benteng. Ini sangat terkenal lagi masyhur di banyak tempat yang tidak butuh untuk dijelaskan lagi” (selesai)
Maka saya katakan: “Adapun ucapannya yang terakhir seputar maju melesat dalam memerangi musuh dan berlomba-lomba untuk meraih syahadah, maka ini sudah kami ketengahkan kepada anda dan tidak ada perselisihan di dalamnya dan ia adalah memperbanyak ucapan dengan sesuatu yang di luar masalah yang sedang diperbincangkan, sedangkan telah kami utarakan bahwa tidak apa-apa dalam hal itu, akan tetapi yang jadi masalah adalah pada sikap orang muslim membunuh dirinya sendiri dengan tangannya sendiri bukan dengan tangan musuhnya”.[13]
Adapun dia menjadikan bunuh diri sebagai salah satu cara dari sekian cara qital, maka ia adalah pendapat yang tidak pernah dikatakan sebelumnya oleh seorangpun dari ulama yang mu’tabar. Kami pernah bertanya kepada orang-orang yang menyelisihi dalam hal ini, kami katakan: “Seorang kafir muharib yang bisa dibunuh dengan pistol atau senjata serupa itu, apakah boleh meledakkan diri untuk membunuhnya?” Maka orang-orang bodoh di antara mereka menjawab dengan penuh pengototan: “Ya, hal itu boleh” Namun, kami tidak menoleh kepada mereka, karena mereka pailit dari dalil. Orang-orang yang berakal di antara mereka menjawab: “Tentu tidak boleh, karena ia masih bisa dibunuh tanpa bunuh diri…” Maka apa alasan yang membolehkan untuk membunuh diri…??
Kami katakan: Jadi masalahnya haruslah ada batasan dan tentunya termasuk sikap serampangan menjadikan cara ini seperti cara lain dari cara-cara qital lalu membuka pintunya lebar-lebar tanpa batasan-batasan syar’iy dan terutama sesungguhnya dalil-dali syar’iy yang dhanniy dilalah-nya yang ia utarakan itu tidak mendukung mereka dalam menetapkan pendapat mereka itu. Di mana istidlal mereka dengan nash-nash qital yang umum dalam masalah khusus tertentu adalah amat sangat lemah, karena indikasi nash yang umum terhadap suatu individu dari individu-individunya secara indikasi khusus tanpa qarinah adalah dilalah dhaniyyah (indikasi yang tidak pasti) sebagaimana yang dinyatakan oleh ulama ushul…
Sudah ma’lum pula bahwa jihad fie sabilillah itu adalah ibadah, bahkan ia tergolong ibadah yang paling agung… Sedangkan sudah ma’lum bahwa (hukum asal pada ibadah adalah terlarang sampai datang dalil shahih yang mensyari’atkannya). Berdasarkan firman Allah ta’ala:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya” (Al-Isra: 36)
Juga berdasarkan sabda Nabi saw: “Barang siapa mengadakan dalam urusan kami ini sesuatu yang bukan bagian darinya, maka ia ditolak”[14]
Maka orang yang menjadikan bunuh diri dalam jihad sebagai sesuatu yang disyari’atkan secara muthlaq seperti layaknya cara-cara jihad yang lainnya, ia membutuhkan kepada dalil sharih shahih yang mensyari’atkan hal itu. Sedangkan ayat-ayat yang umum perihal memerangi orang-orang kafir itu bukanlah dalil-dalil yang sharih dan dhahir dalam indikasinya terhadap apa yang dimaksud, akan tetapi ia adalah seperti istidlal sebagian kaum sufi yang bodoh untuk ajaran sima’ (senandung nyanyian) yang bid’ah, yang di dalamya mereka mengingat Allah dengan tarian, rebana dan nyanyian dengan keumuman firman Allah ta’ala:
“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, (dengan) dzikir yang sebanyak-banyaknya” (Al-Ahzab: 41) dan dengan keumuman firman-Nya ta’ala: “Dan berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya, mudah-mudahan kamu beruntung” (Al-Anfal: 45)
Sedangkan Allah ta’ala telah berfirman:
“Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang hatinya condong pada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya” (Ali ‘Imran: 7)
Allah ta’ala mencela orang yang mengikuti sesuatu yang mutasyabih dan malah meninggalkan yang muhkam…
Kemudian Dia swt berfirman:
“Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: ”Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Rabb kami” (Ali ‘Imran: 7)
Allah memuji orang yang mengembalikan sesuatu yang mutasyabih lagi musykil pada yang muhkam untuk mengetahui maksud Allah darinya dan Dia mensifatinya sebagai metode orang-orang yang mendalam ilmunya…Semoga Allah menjadikan kita bagian darinya.
Sedangkan yang muhkam dari ayat-ayat qital itu adalah orang muslim membunuh musuhnya atau ia terbunuh oleh tangan musuhnya setelah ia menghadang dan melawan. Adapun orang muslim membunuh dirinya sendiri ~sebagai cara qital~, maka ia termasuk sesuatu yang mutasyabih yang wajib memiliki dalil syar’iy sharih (yang khusus) sehingga ia dikecualikan dari keumuman nash-nash yang melarang dari bunuh diri, ini yang pertama. Kemudian dalil sharih yang lain yang menjadikannya sebagai wasilah (cara) yang syar’iy dari cara-cara qital…
Sedangkan Allah ta’ala telah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan qishash atas kamu, berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh…” sampai firman-Nya ta’ala: “Barang siapa melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih” (Al-Baqarah: 178)
Allah swt menamakan pembunuhan jiwa yang terjaga (ma’shum) siapa saja tanpa alas an yang benar sebagai “sikap melampaui batas/ aniaya” dengan nash Al-Qur’an. Dan Dia ta’ala berfirman prihal memerangi orang-orang kafir: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” (Al-Baqarah: 190)
Meskipun ayat ini dinyatakan telah dinasakh dengan ‘ayat pedang’, maka penasakhan yang dimaksud oleh orang yang mengatakannya adalah (pelarangan memerangi orang-orang kafir yang tidak mengganggu) di mana memerangi kaum musyrikin itu menjadi menyeluruh, baik itu mereka yang mengganggu maupun yang tidak. Adapun indikasi lain yang ada pada ayat itu, maka tidak seorang ulamapun mengatakan bahwa ia di-nasakh, oleh sebab itu Ibnu ‘Abbas radliallahu’anhu berdalil dengan firman-Nya ta’ala: “Dan janganlah kamu melampaui batas”. Ia berkata: “Janganlah kamu membunuh wanita dan anak-anak…”
Kami dapat mengatakan bahwa Allah ta’ala mengecualikan dari memerangi orang-orang kafir segala yang dinamakan melampaui batas dalam pembunuhan dan qital, di mana Dia me-nasakh dari hal itu apa yang telah lalu, dan semua macam lain dari sikap melampaui batas masih tetap tercela dan terlarang dan di antaranya adalah apa yang telah nyata jelas dalam ayat yang lalu berupa membunuh jiwa muslim yang terjaga, sungguh Allah telah mensifatinya dengan melampaui batas: “Barang siapa siapa melampaui batas…” Maka jelaslah sikap bunuh diri itu tidaklah bisa menjadi manhaj atau metode atau cara dari sekian cara-cara qital, kecuali karena dlarurat sebagaimana yang telah kami utarakan, karena dlarurat itu memperbolehkan apa-apa yang terlarang…
Sebagian mereka berhujjah dengan perbuata si ghulam pada kisah Ashhabul Ukhdud serta bantahannya…
Kemudian saya mendengar sebagian mereka berhujjah untuk kebolehan bunuh diri secara muthlaq dalam ‘amaliyyat semacam ini tanpa batasan atau syarat dengan perbuatan si ghulam pada kisah Ashhabul Ukhdud. Seluruh khabar (kisah, ed.) ini ada dalam Shahih Muslim.
Sedangkan jawaban terhadap hal itu adalah dari beberapa sisi:
Pertama: Bahwa hal itu termasuk syari’at orang-orang sebelum kita, bukan syari’at kita, sedangkan Allah ta’ala telah berfirman: “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang” (Al-Maidah: 48). Jadi apa yang ada dalam khabar ini, bila ia selaras dengan syari’at kita, berupa da’wah kepada Tauhid dan sabar di atasnya atau faidah-faidah yang karenanya Allah menceritakan kisah itu kepada kita, maka kita menerimanya dan bila tidak seperti itu (atau, ed) bahkan dari syari’at kita ada yang menyelisihinya, maka ia bukan syari’at bagi kita. Seperti mempelajari sihir, maka itu diharamkan dalam syari’at kita, begitu juga membunuh diri sendiri, sungguh telah disyari’atkan bagi orang-orang sebelum kita untuk membunuh diri mereka sendiri, umpamanya sebagai bentuk taubat, seperti firman Allah swt tentang Bani Israil: “…Maka bertaubatlah kepada Tuhan yang menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu” (Al-Baqarah: 54). Bila si ghulam ini telah membunuh dirinya sendiri ~sedangkan kami tidak menerima hal ini, sebagaimana yang akan datang (penjelasannya, ed.)~, maka ia termasuk syari’at sebelum kita yang telah di-nasakh, karena ia menyelisihi syari’at kita, sedangkan ulama ushul telah menetapkan bahwa bila syari’at sebelum kita menyelisihi syari’at kita, maka ia bukan syari’at bagi kita.
Ke dua: Bahwa di dalam hadits ini ada yang muhkam dan ada yang mutasyabih, maka yang muhkam diamalkan dan yang mutasyabih dikembalikan kepada syari’at Allah yang muhkam, karena  di dalam urusan si ghulam ini terdapat suatu isykal dan mawani’ yang menghalangi dari qiyas dan ber-istidlal dengannya:
Ia (si ghulam) itu dapat menyembuhkan orang yang buta sejak dilahirkan dan orang yang berpenyakit sopak serta dapat mengobati manusia dari berbagai jenis penyakit dengan sekedar berdo’a kepada Allah ta’ala, dan Allah tidak menelantarkan dia sedikitpun dalam hal itu, sedangkan hal ini lebih dekat pada mu’jizat para Nabi daripada karomah para wali, karena dia melakukannya kapan saja dia mau. Kasus (kisah) dia bersama pembantu raja yang buta menunjukkan terhadap hal itu…
Begitu pula pemastian si ghulam dengan ucapannya kepada si raja: “Sesungguhnya kamu tidak bisa membunuh saya sampai (kamu) melakukan apa yang diperintahkan kepadamu”. Sungguh ini adalah hal ghaib yang tidak bisa dipastikan dan tidak bisa diketahui oleh manusia, kecuali oleh para Nabi, karena Allah ta’ala berfirman: “Maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun hal yang ghaib itu, kecuali kepada rasul yang dikehendaki-Nya” (Al-Jinn: 26-27)
Hal itu memang terjadi sebagaimana yang dikabarkan oleh si ghulam, di mana si raja tidak mampu membunuhnya, kecuali dengan cara yang ia tunjukkan kepadanya.
Bisa jadi si ghulam adalah nabi dan apa yang ia lakukan adalah wahyu dan perintah dari Allah ta’ala sebagaimana yang dikatakan Khidlir tentang sikapnya membunuh anak kecil: “…dan bukanlah aku melakukannya menurut kemauanku sendiri” (Al-Kahfi: 82). Karenanya tidak boleh melakukannya, kecuali dengan perintah dan wahyu khusus yang tegas dari Allah, atau itu adalah perintah yang tidak bisa diqiyaskan terhadapnya, seperti firman Allah ta’ala kepada ibu Musa: (Thaha: 7). Maka jumhur ulama mengatakan bahwa ia adalah ilham dan bukan wahyu kenabian, sedangkan sudah ma’lum bagi setiap orang alim dan orang jahil bahwa tidak sah mencontoh hal itu dan berdalil dengannya terhadap kebolehan menjatuhkan anak ke laut bila mereka dikhawatirkan dari kezhaliman orang yang zhalim atau serangan orang yang menyerang.
Terhadap sisi mana saja, tetaplah tidak sah pen-qiyas-an terhadap perbuatan si ghulam ini dalam penunjukannya kepada si raja terhadap cara yang dengannya ia bisa membunuh si ghulam.
Ke tiga: Dikatakan bahwa perbuatan si ghulam ini mendatangkan mashlahat yang besar karena dengan sebab perbuatannya itu semua manusia yang menghadiri kejadian tersebut menjadi beriman.
Bila pertama-tama kami menerima bahwa perbuatannya ini adalah bunuh diri dan ke dua kami membolehkan pen-qiyas-an terhadapnya dan istidlal dengannya, maka menurut orang yang menimbang dengan timbangan lurus wajib membatasinya dengan mashlahat dlaruriyyah ‘ammah ‘azhimah (mashlahat pokok yang menyeluruh lagi besar) seperti ini dan tidak boleh pintunya dibuka lebar-lebar dan dijadikan –sebagaimana yang diklaim oleh orang-orang yang menyelisihi- sebagai suatu cara seperti halnya cara-cara qital yang lain dan tidak ada perbedaan.
Dan kami telah menuturkan kepada engkau sebelumnya bahwa orang-orang yang membolehkan masalah Tatarrus, mereka telah membatasinya dengan syarat bahwa mashlahatnya mesti dlaruriyyah kulliyyah qath’iyyah.
Ke empat: Bahwa kami tidak menerima -sebagaimana yang disyaratkan oleh kami sebelumnya- bahwa si ghulam itu membunuh dirinya sendiri oleh tangannya sendiri, akan tetapi sebenarnya yang membunuhnya adalah si raja itu dengan tangannya sendiri.
Bila mereka mengatakan: “Si ghulam telah menunjukan caranya…”
Maka kami katakan: Ini bukan masalah yang kita perselisihkan, akan tetapi yang kita perselisihkan adalah seseorang membunuh dirinya dengan tangannya sendiri, bukan dibunuh oleh tangan musuhnya.
Bila kalian ingin meng-qiyas-kan terhadap khabar ini atau berdalil dengannya, maka berhentilah pada batas-batasnya dan jangan kalian melampauinya serta jangan berlaku curang. Qiyas-kanlah terhadap gambarannya secara persis dan bolehkanlah seseorang menunjukkan musuhnya terhadap cara yang dengannya dia membunuhnya untuk merealisasikan dengan hal itu mashlahat kuliyyah qath’iyyah dlaruriyyah, bukan dengan dia membunuh dirinya dengan tangannya sendiri.
Ini andai boleh qiyas terhadapnya dan ber-istidlal dengannya dalam bab ini, sedangkan engkau telah mengetahui dari sisi-sisi yang telah lalu bahwa selain itu adalah penyimpangan.
Ini adalah yang mesti disertakan terhadap masalah ini. Saya memohon kepada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Kuasa agar Dia mengilhamkan kelurusan kepada kita dan mengarahkan ucapan dan amalan kita pada kebenaran.
Segala puji hanya bagi Allah di awal dan di akhir.
Dari risalah Husnur Rifaaqah (Masalah ke-7)
Penterjemah: Abu Sulaiman Aman Abdurrahman hafidzahullah

[1] Sebagaimana kami tidak memastikan bagi mereka dan bagi yang lainnya setelah terputusnya wahyu dengan pemestian surga atau kesyahidan. Silahkan dalam hal ini rujuk Shahih Al-Bukhari (Bab Laa yuqalu fulan syahid) akan tetapi kami memohon kepada Allah agar menyampaikan mereka pada kedudukan syuhada. Ini tidak bertentangan dengan perlakuan terhadap orang yang gugur di medan perang (jihad,ed.) dengan perlakuan sebagai syahid, di mana ia tidak dimandikan, tidak dishalatkan dan ia dikuburkan dengan pakaiannya karena hukum-hukum dunia diambil dengan dugaan kuat.
[2] H.R. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah
[3] Penyandaran kepada Nicholash Machiavelli, penulis kitab Al-Amir dan di antara kaidahnya yang paling masyhur yang ia tetapkan bagi para penguasa dalam rangka mengokohkan kekuasaan mereka (tujuan itu melegalkan sega macam cara)
[4] Saya telah merujuk atsar ini, maka saya telah mendapatkannya ada pada Tarikh Ath-Thabariy 3/290, 294 dari Muhammad Ibnu Ishhaq dan dalam Bidayah Wan Nihayah 6/268, 325 dalam kisah terbunuhnya Musailamah Al-Kadzdzab. Adapun secara musnad, maka saya tidak mendapatkannya dalam kitab-kitab As-Sunnah yang ada di penjara –dan memang ia sulit didapatkan di sini-, akan tetapi saya mendapatkannya dalam Sunan Al-Baihaqiy dalam Kitab As-Sair 9/44 di mana ia meriwayatkan dengan isnadnya dari Muhammad Ibnu Sirin:  “Bahwa kaum muslimin tiba di benteng yang pintunya terkunci, sedang di dalamnya ada pasukan musyrikin, maka Al-Bara Ibnu Malik duduk di atas perisai, lalu ia berkata “Angkatlah saya dengan tombak-tombak kalian, kemudian lemparkan saya ke tengah mereka”, maka mereka mengangkatnya dan melemparkannya ke tengah mereka dari balik benteng, kemudian mereka (kaum muslimin) mendapatkannya telah membunuh sepuluh orang dari mereka (kaum musyrikin).
[5] Perhatikanlah bahwa masalah dalam kasus ini adalah terbangun di atasnya mashlahat yang besar, yaitu pembukaan benteng yang dirasakan sulit untuk kaum muslimin dan bukan sekedar membunuh beberapa orang kafir yang bisa dibunuh dengan banyak cara. Namun demikian Asy-Syafi’i berkata dalam Al-Umm 4/168:  Ats-Tsaqafiy telah mengabari kami dari Humaid dari Musa ibnu Anas dari Anas ibnu Malik bahwa Umar ibnul Khaththab radliallahu’anhu. Bertanya kepadanya:  “Bila kalian mengepung suatu kota, bagaimana kalian bertindak?”Ia berkata: “Kami mengutus seseorang ke kota itu dan kami membuatkan baginya Hannah dari kulit”Umar bertanya:  “Bagaimana kalau ia dilempari dengan batu?” Ia berkata:  “Ya terbunuh tentunya” Umar berkata:  “Jangan kalian lakukan itu, karena demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, saya tidak bahagia, bila kalian membuka suatu kota yang di dalamnya ada 4000 tentara dengan mengorbankan seorang muslim.” Selesai.
[6] Ini berkaitan dengan orang yang tidak pandai berenang
[7]Yaitu mereka menjadikannya sebagai perisai dan tameng yang dengannya mereka membentengi diri dari panah dan tombak kita. Dan gambarannya adalah sama, di mana membunuh jiwa yang ma’shum adalah diharamkan, meskipun ia adalah jiwa orang muslim itu sendiri atau jiwa saudaranya.
[8] Shahih Muslim dengan Syarah An-Nawawi 17/190
[9] Dari Fathul Bari Kitab Al-Jihad (Bab Ahli Ad-Daar Yubayyatun Fa Yushaabu Al-Wildan Wadz-Dzarariy)
[10] Ikrimah adalah seorang tabi’in dan bukan sahabat, jadi hadits ini mursal.
[11] Perlu diperhatikan bahwa muqatil dalam istilah fuqaha adalah lebih khusus dan lebih tepat dari (muharib), karena seluruh orang kafir di darul harbiy adalah kafir harbiy, akan tetapi tidak semua  berstatus muqatil . Ucapan kami dalam lembaran-lembaran ini sebagaimana yang engkau lihat bukan khusus prihal Yahudi, akan tetapi ia umum mencakup seluruh musuh-musuh Allah ‘Azza wa Jalla.
[12] Kritikan-kritikan kami terhadapanya dengan gambaran tersebut adalah suatu hal, sedangkan kebatilan dan kerusakan amalan adalah hal lain. Ketidakbolehan atau pengharaman adalah hukum taklifiy, sedangkan kebatilan dan kerusakan adalah hukum wadl’iy dan sudah diketahui perbedaan antara keduanya di kalangan ulama ushul fiqh, sedangkan tidak setiap larangan menuntut kerusakan dan kebatilan.
[13] Silahkan rujuk Shahih Muslim <Bab Perang Khaibar> Kisah pembunuhan ‘Amir ibnul Akwa’ terhadap dirinya sendiri. Pedang yang ia miliki pendek, lalu ia mengayunkannya ke betis orang Yahudi untuk menebasnya, namun pedangnya terpental, sehingga mengenai lutunya sampai akhirnya ia meninggal dengan sebab itu…
Dalam hadits itu ada ucapan Salamah:  “Mereka mengklaim bahwa ‘Amir terhapus amalnnya” dan dalam satu riwayat:  “Mereka mengatakan:  “Batal amalan ‘Amir, ia telah membunuh dirinya sendiri” ”Dalam riwayat lain  Salamah berkata:  “Wahai Rasulullah, sesungguhnya orang-orang takut untuk menshalatkan dia, mereka mengatakan “Orang yang mati dengan senjatanya sendiri” ”Maka Rasulullah saw bersabda:  “Salah, orang yang mengatakan itu, sesungguhnya dia mendapatkan dua pahala”
Perhatikanlah rasa ngeri para sahabat dari hal ini, rasa takut mereka dari mendo’akannya dan kekhawatiran mereka dari keterhapusan amalannya, karena ia membunuh dirinya sendiri dengan tanpa sengaja..!! Maka bagaimana dengan orang yang membunuh dirinya sendiri dengan sengaja?? Dari itu engkau mengetahui bahwa masalahnya tidak enteng dan tidak cukup di dalamnya ucapan yang hanya sekedar bermodal semangat dan perasaan, namun harus dengan ucapan ‘ilmiyyah yang kokoh.
[14] HR. Muslim dalam Shahihnya dari Ummul Mu’minin Aisyah radliallahu’anha no. 1718