SALAFI MAZ'UM  ( BACA :  MURJI'AH  MASA  KINI  +  KHOWARIJ  MASA  KINI  +  ANSHOR  THOGHUT  BILLISAN ).
Ditulis oleh : Ende Ufri Yazid
Segala  puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga  senantiasa   tercurah atas  baginda Muhammad shallallahu alaihi wasallam,  keluarga   dan segenap  pengikutnya hingga hari akhir kelak.
Munculnya gerakan "salafy" [1] di tengah para pegiat dakwah merupakan peristiwa fenomenal.
Dengan gaya khas-nya, kelompok ini mengobok-obok para ulama, du'at    serta jama'ah-jama'ah dakwah lain yang tidak sepaham dengan mereka.
Padahal,  sebelum era 90-an, yakni sebelum pecah perang  teluk,   barisan kaum  muslimin khususnya para pengusung al-haq di seluruh  pojok   dunia terfokus  menghadapi geliat penyimpangan akidah, kaum  kuffar,   dan sekuler.[2]
Namun tiba-tiba dunia seolah dikejutkan oleh fenomena lahirnya fikrah "salafy" ini.
Begitu  fenomenal. Sebab hadir dengan sebuah fikrah yang  membuat   banyak orang  tercengang, tak percaya. Kelompok anak-anak muda  yang   sangat berani  menyerang dan menuding ulama umat, tak terkecuali  para   ulama terdahulu  yang banyak melahirkan karya-karya monumental bagi    umat ini, seperti  Ibnu Hajar al-Asqalani, Imam an-Nawawi dan selain    keduanya  –rahimahumullah-.
Ketidakpercayaan di sini dilatari oleh sebuah  keyakinan umum, bahwa    ulama merupakan mercusuar agama ini. Dipandang,  dihormati, diberikan    tempat layak dalam kapasitasnya sebagai pengarah  dan penunjuk bagi    umat.[3]
Namun sekejap seakan mereka tidak lagi  memiliki apa-apa di mata    anak-anak muda tersebut. Begitu berani, kalau  tidak dikatakan sebagai    kelancangan.[4]
Olehnya, perhatian dan  konsentrasi umat-pun pecah. Disatu sisi sibuk    menghadapi makar musuh  yang nyata dari kalangan kuffar, munafikin  dan   sekuler, namun di sisi  lain mereka dibebani tugas tambahan  membela   diri, dan meredam fitnah  kelompok "salafy" tersebut.  Fatwa-fatwa,   nasehat, pengarahan dan  sebagainya membumbung ke langit  terbidik pada   kelompok ini. Hal ini  telah disinggung pada akhir  tulisan kami Silsilah   Pembelaan Para Ulama  dan Du'at II, bahwa  seluruh fatwa-fatwa dan   nasehat ulama yang kami  paparkan di dalamnya,  mustahil lahir begitu   saja tanpa dipantik oleh  sebuah fenomena  menyedihkan.
Yang membuatnya menjadi semakin  fenomenal, gerakan ini begitu cepat    merembeti hampir seluruh penjuru  dunia. Dan rata-rata penggeraknya    adalah anak-anak muda enerjik dan  hanya bermodal hamasah. Seruannya pun    sama. Hingga pada tataran  penerapan fikih ibadah, nyaris serupa di    seluruh belahan dunia.  Perhatikan awal kemunculannya dibarengi dengan    gaya shalat yang sama di  hampir seluruh dunia. Yaitu dalam persoalan    al-'Ijn (mengepalkan telapak  tangan dan menjadikan sebagai tumpuan  kala   bangkit dari sujud), dan  masalah mendahulukan tangan dari lutut  saat   akan sujud.[5]
Sampai  sampai pada kenyataan, -dahulu- anak-anak muda ini berasumsi    dan  menimbang seseorang dari gaya shalatnya. Siapa yang tidak shalat    seperti  shalat mereka, dinyakini bukan dari kelompok mereka. Yah,    sampai pada  derajat demikian.
Demikian pula konsep bid'ah, ahli bid'ah dan  aplikasi konsep itu   dalam  kehidupan beragama, masih belum tuntas hingga  saat ini.[6]
Apalagi pada saat awal kemunculannya. Begitu  mudahnya mereka   bertikai.  Makanya tidak aneh, jika pada hari ini kita  saksikan mereka   duduk  bersama, mengkaji ilmu bersama, menuding orang  lain secara   bersama,  namun esoknya mereka sendiri yang saling menyerang,  saling   menuding  sebagai ahli bid'ah, dan saling merasa diri sebagai  ahli   sunnah sejati.  Setelah itu berebutan menarik sedapat bisa  murid-murid   dan pengikut,  lalu didoktrin melalui hampir seluruh    majelis-majelisnya, bahwa  mereka-lah ahli sunnah, sedangkan fulan –yang    dulu bersamanya- bukan  lagi ahli sunnah, menyimpang, dan   sebagainya.[7]
Pokoknya,  Ahlu Sunnah hanya terbatas bagi dirinya dan kelompoknya,    dan siapa yang  berseberangan dengan mereka, maka mereka-pun berteriak    bahwa fulan  telah menyelisihi Ahlu Sunnah, demikian pula jika tidak    sepaham dengan  Syaikh panutannya, mereka akan berkata, si fulan    menyelisihi ulama Ahlu  Sunnah !!.
Celakanya, murid-murid yang sebelumnya pernah belajar dari  ustadz    fulan, ketika telah berpindah majelis ikut-ikutan mencela dan  menuding    mantan ustadznya yang dahulu mendiktekan ilmu syar'i padanya.  Tidak   ada  rasa hormat sedikitpun apalagi menghargai. Makanya dalam  beberapa    tahun terakhir ini perhatian kaum muslimin di tanah air tersita  oleh    kelompok ini. Datang secara tiba-tiba, menyerang membabi buta,  lalu    mereka sendiri saling bertikai.
Puncaknya kisruh panjang yang  berakhir mubahalah antara Ustadz    Ja'far Umar Thalib dari kalangan  "salafy” dan Syaikh Syarif Fu'ad Hazza    dari Jam'iyyah Ihya' at- Turots  yang diperbantukan di Pesantren    al-Irsyad Tengaran Salatiga Solo.
Lalu  disusul kisruh-kisruh lainnya antara Ust. Ja'far dan mantan   murid-   muridnya yang berujung lahirnya fatwa sang panutan "salafy"   Asy-Syaikh   Rabi' bin Hadi al-Madkhaly –hafidzahullah-, bahwa Ust.   Ja'far telah   meninggalkan Ahli Sunnah, dan kemudian menyeberang ke   jama'ah yang   sangat bertolakbelakang dengan apa yang ia gaungkan   selama ini.[8]
Setelah  itu mereka pun berebutan mencari simpati -kalau istilah    jawanya  sungkeman- di hadapan ulama atau Syaikh yang menjadi panutan    dan marja'  mereka dalam bermanhaj yang jumlahnya hanya gelintiran.    Mencari tazkiyah  dan lejitimasi serta meminta fatwa tentang keadaan    saudaranya, melalui  pertanyaan-pertanyaan umum yang kemudian ditanzil    secara serampangan  terhadap lawan seterunya. Lalu ditulis atau  direkam,   setelah itu  disebarkan di tengah-tengah masyarakat,  khususnya  pengikut  mereka agar  jangan sampai terpengaruh oleh  kelompok lain,  seraya  mengatakan,  "Lihatkan Syaikh fulan berfatwa  bahwa fulan itu  ahli  bid'ah, bukan ahli  sunnah, telah meninggalkan  ahli sunnah dan  lain  sebagainya".
Dan  lawan seterunya pun berbuat hal yang sama. Menukil lalu    menghembuskan  fatwa Syaikh lainnya yang juga berasal dari jenis    pertanyaan yang serupa  tapi tak sama.
Anehnya, jika muncul fatwa atau risalah dari kalangan  ulama mu'tabar    dan terpandang bertentangan dengan hawa nafsunya, segera  mereka    memasang argumen-argumen peredam fatwa itu.
Diantaranya,  bahwa fatwa itu telah mansukh (terhapus), atau Syaikh    fulan telah ruju'  dan sebagainya. Tapi jika argumen-argumen tersebut    tidak efektif, mereka  tidak segan mengatakan, bahwa fatwa dan buku itu    adalah karya terjelek  yang pernah ditulis oleh Syaikh fulan!.[9]
Akhirnya, waktu dan  potensi anak-anak muda itu terkuras lantaran    disibukkan oleh  perlombaan-perlombaan ini dari menuntut dan mendalami    ilmu syar'i.  Wallahul musta'an.
Jika menilik gaya kelompok "salafy" di seluruh  dunia, dan apa yang    mereka serukan berupa tahdzir pada ulama-ulama yang  mereka anggap  hizbi   serta perang terhadap manhaj al-muwazanah, maka itu  tidak lebih  dari   sekedar adopsi dari manhaj al-Allamah asy-Syaikh Rabi'  bin Hadi    al-Madkhaly –hafidzahullah- dalam menyikapi orang-orang yang  tidak    sejalan dengan beliau, yang kemudian dibukukan dalam beberapa  karyanya    diantaranya dan yang paling nampak adalah "Manhaj Ahli Sunnah  fi  Naqdi   ar-Rijal wa al-Kutub wa ath-Thawaaif".
Dan sebagai bahan  renungan, kami akan paparkan secara ringkas manhaj    kelompok "salafy"  tersebut dalam mengkritik orang lain agar dapat    menjadi pelajaran bagi  kita.
Pertama:
Menjadikan sikap adil, ihsan, persaksian  kebenaran, serta menegakkan    keadilan sebagaimana perintah Allah Ta'ala:  "Wahai orang-orang yang    beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar  penegak keadilan,  menjadi   saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu  sendiri…". (Qs:  an-Nisa' :   135),
juga firman Allah Ta'ala: "Hai  orang-orang yang beriman  hendaklah   kamu Jadi orang-orang yang selalu  menegakkan (kebenaran)  karena Allah,   menjadi saksi dengan adil. dan  janganlah sekali-kali  kebencianmu   terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu  untuk Berlaku tidak  adil.   Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat  kepada takwa". (Qs:    al-Maidah : 8),
dan selainnya sebagai manhaj  Ahli Bid'ah yang kemudian dimasyhurkan    dengan nama "Manhaj al-Muwazanah"  dan bahwasanya metode ini bukan    manhaj Ahlul Hadits dan Ahlu Sunnah.
Kedua:
Menganggap  bahwa tamassuk (berpegang) pada kesalahan dan kekeliruan    manusia  termasuk bagian dari agama. Dan bahwasanya, manusia tidak    ditimbang  melainkan dengan kesalahan-kesalahan dan kekeliruan tersebut.    Menurut  asumsi mereka, hukum terhadap orang lain berdasarkan   kesalahan  serta  kekeliruan, dan bahwasanya setiap kesalahan dan   kekeliruan itu   menghancurkan kebaikan dan kemuliaan.
Ketiga:
Manhaj kritik  kelompok "salafy" ini telah melahirkan jama'ah-jama'ah    Takfir dan Tafsiq  (Jama'ah yang gampang menuduh orang lain kafir dan    fasik) yang kemudian  menuding sesat ulama Salaful Ummah lalu  membakar   karya-karya monumental  mereka, seperti kitab Fathul Bari  karya   al-Hafidz Ibnu Hajar  al-Asqalani, Syarhu Shahih Muslim karya  Imam   an-Nawawi, aqidah  ath-Thahawiyah dan selainnya. Dan mereka ini,  tidak   diragukan lagi,  adalah alumni dari manhaj dan metode kritik  orang lain   yang rusak  tersebut.
Keempat:
Manhaj ini tidak menyisakan tempat terpuji  bagi seorang dari ulama    Islam, sebab ia dibangun di atas pondasi  mengendus-ngendus kesalahan,    kekeliruan dan ketergelinciran, padahal  tidak ada di dunia ini  seorang   yang memperoleh sifat al-ishmah kecuali  Nabi shallallahu  alaihi   wasallam.[10]
Olehnya, tatkala mereka  mengorek-ngorek kesalahan  ulama-ulama yang   berseberangan dengan Syaikh  mereka, maka  seteru-seterunya pun  membalas  dengan perbuatan yang sama,  yakni  berusaha tanpula  mengerik-ngerik  kekeliruan dan kesalahan Syaikh  mereka  juga. Maka  jadilah setiap dari  kedua kelompok sibuk saling  mengendus,  mengorek  dan mengerik kesalahan  yang ada pada lawan  seterunya.
Olehnya, siapa yang memulai suatu sunnah (kebiasaan)  buruk, maka   atas  dosa (atas perbuatan itu) dan dosa orang yang  mengikutinya hingga   hari  kiamat kelak.
Kelima:
Manhaj ini  menjadikan para pemuda awam yang masih hijau dalam ilmu    syar'i menjadi  berani (baca: lancang) merusak dan mencemari harga diri    dan kehormatan  ulama, serta mengendus kesalahan-kesalahan mereka.    Padahal, mereka ini  masih sangat hijau dan baru saja akan mendalami    ilmu syar'i, dimana  kondisi ini –lantaran mereka masih baru–    menyebabkan terjadinya banyak  penyimpangan di kalangan mereka,    diantaranya meninggalkan ajaran-ajaran  agama, akhlak, tabiat yang    terpuji, dan selainya. Dan anehnya, mereka  mendendangkan bahwa    perbuatan mencela dan menuding ulama tersebut  sebagai bagian dari agama    yang dengannya mereka mendekatkan diri kepada  Allah Ta'ala.
Keenam:
Manhaj dalam mengkritik ala kelompok  "salafy" ini menyebabkan   rusaknya  citra Ahli Sunnah di hadapan orang  yang tidak paham terhadap   metode  Ahlu Sunnah berkaitan dengan sifat adil  dan ihsan. Demikian   pula di  hadapan orang-orang yang jahil terhadap  manhaj para   ulama-ulama Ahlu  Sunnah, hingga mereka menilai bahwa manhaj  Ahlu   Sunnah itu adalah  mencela, menghina, menuduh ahli bid'ah tanpa  dasar,   dan mengorek-ngorek  kesalahan orang lain, yang karenanya  memalingkan   manusia dari manhaj  Ahli Sunnah itu sendiri.
Ketujuh:
Manhaj  ini menyebabkan pengikutnya terjebak dalam tanaaqhud    (pertentangan),  lahirnya "dua timbangan" (standar ganda), serta hukum    dalam satu masalah  dengan dua perkataan yang saling bertentangan.[11]
Olehnya, banyak  lahir dari kalangan mereka taqiyyah dan dusta.    Akibatnya, mereka pun  memiliki perkataan-perkataan rahasia dalam    membid'ahkan pemuka-pemuka  umat, dimana mereka tidak berani    menampakkannya di hadapan khalayak.
Kedelapan:
Manhaj  kritik ini menyebabkan tertutupnya mata hati kebanyakan    thullabul ilmi,  hingga tanpa disadari mereka berdiri dalam shaf    musuh-musuh Islam dalam  menghadapi saudara-saudara muslim mereka.
Kesembilan:
Manhaj  ini menyebabkan perpecahan yang sangat banyak dalam tubuh    umat Islam  secara umum, dan khususnya barisan Ahli Sunnah, yang belum    pernah  terjadi pada manhaj manapun.
Dimana mereka memberi al-wala dan  al-bara hanya lantaran    masalah-masalah tertentu dari furu'iyyah agama.  Bahkan, mereka    menganggap bahwa salafy itu adalah yang berkata ini dan  itu, di samping    begitu cepat mendepak seorang muslim dari manhaj ahlu  sunnah dan    barisan para pengikut salafus salih hanya lantaran  menyelisihi satu    perkara dari masalah-masalah ijtihad, dan wajib  mendapatkan al-bara'.
Kesepuluh:
Manhaj ini memalingkan kaum  muslimin dari menghadapi musuh-musuh   Islam  yang nyata dari kalangan  kuffar dan munafiqin. Dimana pada du'at   sibuk  membela diri dan  kehormatan ulama dihadapan gempuran syubhat   dan dusta  yang ramai  dihembuskan oleh pengekor manhaj ini, hingga   memberi ruang  yang lapang  bagi musuh-musuh Islam menancapkan   taring-taring mereka  dalam agama yang  mulia ini.[12]
Terakhir,
Kami akan nukilkan perkataan  al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hambali    –rahimahullah- dalam kitabnya Jami'  al-Ulum wa al-Hikam I/340,    berkaitan dengan hadits yang dikeluarkan oleh  Imam Ahmad dari 'Uqbah    bin 'Amir radhiallahu anhu, Rasulullah  shallallahu alaihi wasallam    bersabda:
"Siapa yang menutupi aib  seorang mukmin, niscaya Allah Ta'ala akan    menutupi (aib) nya pada hari  kiamat", beliau (Ibnu Rajab) berkata:    Diriwayatkan dari perkataan  sebagian salaf:
"Sungguh aku mendapati suatu kaum yang sebenarnya  mereka tidak    memiliki aib dan cela, namun mereka suka mengungkit aib-aib  manusia,    maka orang lain pun mengungkap aib-aib mereka. Sebaliknya, aku  juga    mendapi suatu kaum yang memiliki banyak aib dan kekurangan, namun     mereka menahan diri dari (mencari-cari) aib orang lain, maka aib-aib     mereka pun terlupakan".
Demikian pula Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah  –rahimahullah-  memiliki   perkataan berharga dan pantas digoret dengan air  mata, sebab  jelas   melukiskan kondisi sebagian penuntut ilmu di zaman  ini:
"Merupakan perkara aneh, seorang itu begitu mudah baginya  menjaga   diri  dari makanan haram, berlaku zalim, zina, mencuri, minum  khamer,    memandang sesuatu yang diharamkan dan sebagainya, namun sulit  baginya    mengontrol gerakan lisannya. Hingga engkau melihat seorang yang     terkenal akan kebaikan agama, sifat zuhud dan ibadah, namun ia     berkata-kata dengan kalimat yang memancing murka Allah sementara ia     tidak peduali akan hal itu, namun satu kalimat itu cukup menjauhkannya     antara timur dan barat. Betapa banyak engkau saksikan seorang yang     begitu wara' (menjaga diri) dari perbuatan keji dan zalim, namun     lisannya panjang dalam (mencela) kehormatan dan harga diri orang, baik     yang masih hidup maupun yeng telah mati, serta tidak ambil peduli     terhadap apa yang ia ucapkan".[13]
(AbRh).
[1] . Perlu  ditegaskan, kami menggunakan istilah "salafy" (dengan    menggunakan tanda  petik) sebagai ta'rif (pengenal) bagi kelompok ini,    karena kami yakin  tidak seluruh yang menisbatkan diri pada dakwah  salaf   berperangai  seperti mereka. Demikian pula, hanya nama ini-lah    -"salafy"- yang mereka  diridhai (semoga nama tersebut sesuai dengan    subtansinya). Jika kami  menggunakan nama lain, misalnya MANIS, atau    Rabi'iy, atau Muqbily,  sebagaimana mereka menamakan kelompok-kolempok    lain dengan istilah  Surury, Ikhwany, Turotsy dan sebagainya, mereka    murka dan sangat  keberatan, seraya menyatakan bahwa mereka tidak pernah    menisbatkan nama  kelompok mereka dengan nama-nama tersebut, dan kami    tidak ingin  menzalimi mereka dalam hal ini.
[2] . Al-Allamah Fadhilatus  Syaikh Abdullah bin Qu'ud berkata dalam    ceramahnya yang berjudul Washaya  li ad-Du'aat, vol. II setelah    memeparkan fitnah tajriih khususnya  terhadap para ulama: "...wahai    saudara-saudaraku, sesuai pengalaman  selama empat puluh tahun lalu,    kita tidak mendapatkan seperti  wajah-wajah ini…". (Lihat dan dengarkan    di: www.islamgold.com).
[3]  . Seperti diketahui bahwa kedudukan alim ulama begitu tinggi   dalam   syari'at Islam. Banyak ayat al-Qur'an dan sunnah Nabi   shallallahu  alaihi  wasallam yang menjelaskan akan hal tersebut,   diantaranya Allah  Ta'ala  berfirman: "Sesungguhnya yang takut kepada   Allah di antara   hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama". (Qs. Fathir : 28).   Juga firman-Nya:   "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di   antaramu dan   orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa   derajat". (Qs.   Al-Mujadilah : 11).
Adapun keterangan dari as-Sunnah, maka  cukuplah bagi kita sabda    Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:  "Keutamaan seorang alim di atas    abid (ahli ibadah) seperti keutamaan  bulan purnama dibandingkan    bintang-bintang. Para ulama itu adalah  pewaris para nabi, sedang para    Nabi tidak mewariskan dinar dan tidak  pula dirham. Hanya saja yang    mereka wariskan adalah ilmu, maka siapa  yang mengambilnya, sungguh ia    telah mengambil bagian yang sangat  benyak".
(HR. Abu Daud, ati Tirmidzi, ad-Darimi, hadits ini derajatnya hasan).
Ibnul  Qoyyim rahimahullah memberi banyak catatan pada hadits ini,    diantaranya  catatan beliau adalah, dikarenakan warisan itu berpindah    kepada orang  yang paling dekat dengan (sang mayyit), maka ini merupakan    peringatan  bahwa ulama adalah golongan yang paling dekat dengan para    Nabi. (Lihat:  Miftah Daar as-Sa'adah, Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah, hal    66. Program  al-Maktabah al-Syamilah, vol 3.3).
Bahkan di antara ushul manhaj  Ahlu Sunnah wal Jama'ah sebagaimana    ditegaskan oleh al-Allamah Syaikh  Abdur Rahman as-Sa'di –rahimahullah-    adalah: "Mereka mendekatkan diri  kepada Allah Ta'ala dengan   menghormati  para ulama yang membawa  petunjuk". (Lihat: al-Qaul   as-Sadid fi  Maqashid at-Tauhid, Abdur Rahman  as-Sa'di, I/13. Program   al-Maktabah  al-Syamilah, vol. 3.3).
Hasan  Al Bashri berkata: Adalah mereka (para salaf) berkata:   "Kematian   seorang ulama merupakan cela pada (bangunan) Islam, dan   tidak ada   sesuatu yang dapat menambalnya sepanjang pergantian siang   dan malam".   (Lihat: Sunan ad-Darimi, Abu Muhammad ad-Darimi, no: 324.   program   al-Maktabah al-Syamilah).
Dari Hilal bin Khabbab, ia berkata:  "Aku bertanya kepada Said bin    Jubair: Apa tanda kebinasaan bagi manusia?  Beliau menjawab: "Jika ulama    mereka telah wafat". (Lihat: Ibid, no  241).
[4] . Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
"Siapa yang memusuhi wali-wali-Ku, maka sungguh Aku nyatakan perang atasnya…". (HR. Bukhari).
Imam  al-Khatib al-Baghdadi –rahimahullah- meriwayatkan dari Imam Abu    Hanifah  dan Imam asy-Syafi'i –rahimahumallah-, bahwa keduanya   berkata:  "Jika  sekiranya para fuqaha (ulama fikih) itu bukan wali-wali   Allah,  maka  sungguh Allah tidak memiliki wali". (al-Majmu', I/24,   program   al-Maktabah al-Syamilah).
Ibnu Abbas –radhiallahu anhuma-  berkata: "Siapa yang menyakiti   seorang  faqih (ulama) sungguh ia telah  menyakiti Rasulullah   shallallahu alaihi  wasallam, dan siapa yang  menyakiti Rasulullah   shallallahu alaihi  wasallam, maka sungguh ia telah  menyakiti Allah   Azza wa Jalla". (Ibid).
[5] . Yang menjadi  pertanyaan di sini, berkaitan dengan keseragaman    gaya dan gerakan shalat  pemuda-pemuda gerakan "salafy" tersebut.   Apakah  lahir dari pendalaman  dan pengkajian hingga setiap dari mereka   sampai  pada kesimpulan bahwa  demikianlah gaya dan gerakan yang   dipraktekkan  oleh Rasulullah  shallallahu alaihi wasallam, atau hanya   sekedar taklid  atau ikut-ikutan  orang banyak?? Memang benar bahwa hal   ini disinggung  dalam buku Sifat  Shalat Nabi karya Muhaddits abad ini,   Syaikh  al-Allamah Muhammad  Nashiruddin al-Albani. Kendati pada   akhirnya  sebagian mereka (khususnya  "salafy" di Makassar) lantas   merubah dan  tidak lagi mengamalkan gerakan  "khusus" yang kami sebutkan   di atas,  sebab tenyata tidak sejalan dengan  pendapat asy-Syaikh   Muqbil bin Hadi  al-Wadi'i (guru Ust. Zulkarnain) di  Yaman. Ala kulli   hal, anak-anak  muda "salafy" itu biasanya hanya taqlid  kepada syaikh   atau gurunya  termasuk dalam persolan fiqh yang sifatnya  furu’   seakan-akan harus  seragam, bukankah ini ada indikasi taqlid?  Wallahu   A'lam.
[6] . Sebagai contoh, dan masih banyak lagi  contoh-contoh lain.    Kasus yang terjadi beberapa tahun lalu, pada salah  satu daerah di    Sumatera.
Seorang ustadz "salafy" kala mengkaji  perkataan salaf yang    menyatakan bahwa maksiat itu lebih ringan daripada  bid'ah, ia kemudian    berkata dalam sebuah mesjid yang mayoritas  penduduknya berpaham NU,    "Lebih baik antum sekalian pergi berzina dan  mencuri daripada ikut    tahlilan…!!".
Serentak masyarakat mengamuk dan  mengusir mereka. Sekitar thn 2005    kemarin, saat bertemu dengan teman  kami yang kampungnya berseberangan    dengan daerah tempat kejadian ini, ia  menuturkan, bahwa sampai saat  itu   (thn 2005) padahal kejadiannya telah  berlalu beberapa tahun lalu,    masyarakat masih melalukan sweeping  mobil-mobil yang lewat daerah    mereka, lalu memukuli jika ada yang nampak  ciri-ciri "salafy" padanya.
[7] . Celakanya, tudingan-tudingan  tersebut terkadang telah sampai    pada taraf menta'yin seseorang selain  kelompoknya sebagai ahli neraka.    Sebagaimana kejadian yang terjadi pada  ikhwah kami di Raha    –alhamdulillah, ikhwah yang dituding masih hidup dan  bisa    dikonfirmasikan setiap saat-,
Saat beliau berpapasan dengan  salah seorang murid hasil tarbiyah    ustadz "salafy", dan mengucapkan  salam maka dijawab dengan kalimat yang    membuat bulu kuduk merinding:
"Afwan akhi, kita berbeda akidah, ana ahlul Jannah wa anta Ahlu Naar !!??".
Yah, sampai sedemikian jauh penerapan kaidah hajr yg diaplikasikan oleh murid-murid kelompok "salafy".
Demikian  pula terjadi di Makassar, seorang akhwat yang baru saja    mendapat  hidayah (baru saja pakai jilbab) melalui sebab seorang ustadz     –alhamdulillah ustadz Alumni Fak. Syari'ah STIBA dan memiliki jam     terbang dakwah yang padat tersebut masih hidup dan dapat dikonfirmasi     setiap saat-, setelah mendengarkan kaset hujatan Ust. Zulkarnain     terhadap WI, ia lantas menulis surat kepada sang Ustadz dengan     kalimat-kalimat yang juga membuat hati menangis.
Kami tidak hendak menulis secara detil isi suratnya, tapi cukup kami sebutkan awal suratnya:
"Dari ukti…..kepada Ustadz fulan Ahli Bid'ah !!?".
Ada  juga yang pernah diceritakan oleh salah seorang Syaikh -dosen    Fakultas  Hadits di Universitas Islam Madinah al-Minawwarah- di kelas    pada saat  perkuliahan, dan ini terjadi di Saudi, saat muncul kaset atau    buku yang  mentahdzir seorang da’i yang dituding menyimpang, maka   kaset  dan buku  tersebut lantas dibagi di tempat-tempat umum oleh   kelompok  "salafy",  hingga orang awam dan orang yang tidak shalat pun    mendapatkan, lalu  ikut-ikutan mentahdzir du’at tersebut.
Anehnya, merasa diri lebih baik daripada du’at yang ditahdzir, kendati shalat mereka belum beres !!.
Di  Kendari pun demikian, seorang Ustadz –alhamdulillah, masih hidup    dan  bisa dikonfirmasi setiap saat-, kala berpapasan dengan salah    seorang  murid tarbiyah "salafy" dan mengucapkan salam, dijawab dengan    jawaban:  "Laa ya akhi, ana ahlul haq wa anta ahlul Batil ??!!".
Dan masih  banyak dan banyak lagi, kasus-kasus serupa yang terjadi di    tanah air,  yang jika dikumpulkan cukup untuk membuat berjilid-jilid    buku.
Wallahul  musta'an. Fenomena menyedihkan ini sengaja kami singgung di    sini, agar  para asatidzh kelompok "salafy" sadar dan introspeksi   diri,  ada apa  dengan manhaj tarbiyah mereka terhadap anak-anak muda    tersebut? Boleh  saja dalam tataran para asatidzah tidak terlalu    bermasalah, sebab mereka  memiliki bekal ilmu syar'i, namun bagaiman    dengan anak-anak muda yang  baru belajar baca al-Qur'an lalu dengan    seenaknya mengaplikasikan apa  yang mereka pahami dari pengajian dan    muhadharah ustadz-ustadz  "salafy"-nya?
Sayangnya para asatidzah dan Masyaikh panutan kelompok  "salafy" itu    hanya berada di atas menara gading, dan tidak mengetahui  hakikat yang    memiriskan ini. Seandainya mereka tahu, sungguh mereka akan  bergidik    dan menangis …sebab Rasulullah shallallahu alaihi wasallam  bersabda:    "Siapa yang memulai suatu perbuatan buruk maka baginya dosa  (dari    perbuatan tersebut) dan dosa orang yang mengikutinya….".
[8]  . Dan ini yang paling dominan dalam kelompok "salafy". Mudah    bertikai  dan berpecah hanya lantaran perbedaan dalam masalah furu'iyyah    dan bukan  usuliyyah. Intinya, hal ini telah menjadi semacam sebuah    kaidah yang  berlaku di antara mereka, "In lam Takun Ma'ii', fa Anta    'aduwwun lii",  (jika anda tidak bersama saya, maka anda adalah musuh    bagiku). Olehnya,  perhatikan wahai ihkwah, sejak awal kemunculan fikrah    "salafy" hingga  hari ini, kita melihat begitu mudahnya mereka saling    menyerang dan  saling menyesatkan antara mereka. Padahal sebelumnya    berada dalam satu  shaff.
Kami tidak ingin bicara dalam skala tanah air, dalam skala  Makassar    saja begitu nampak dan banyak pecahan-pecahan "salafy" yang     masing-masing menganggap diri paling salafy dan paling ahli sunnah.     Realita akan kenyataan miris ini begitu amat nyata, bagaikan matahari     hingga tak ada seorang-pun yang mengingkarinya.
Dan berita paling hangat saat ini adalah tahdzir (perpecahan)
Syaikh  Rabi' bin Hadi al-Madkhaly –hafidzhullah- terhadap Syaikh Ali    Hasan  Abdul Hamid al-Atsary –hafidzahullah- murid senior Syaikh    Nashiruddin  al-Albany yg juga selama ini menjadi mercusuar dakwah salaf    di tanah air  dan pernah berpolemik panjang dengan Lajnah Daimah    (Komisi Tetap Fatwa  dan Penerangan) Saudi Arabiyah dalam masalah iman.
Makanya,  sangat terbukti nasehat sebagian para masyaikh yang   mencegah  kami  menyibukkan diri dalam masalah ini, dan menyatakan bahwa   antum  akan  lihat gerakan "salafy" ini, jika tidak ada lagi di  hadapan  mereka  yang  dapat dimakan (diserang), maka mereka akan saling  memakan  di  antara  mereka sendiri. Pertanyaannya, sampai dan kapan  akan  berakhir  hal ini?  Bukankah Islam dan manhaj Ahlu Sunnah menyeru   persataun dan  mencegah  perpecahan? Wallahul musta'an.
[9] . Tatkala Fadhilatus Syaikh  al-Allamah Bakr Abu Zaid (Anggota    Hai'ah Kibarul Ulama dan termasuk  ulama paling terpandang dalam jajaran    Kibarul Ulama di Saudi Arabiyah)  menulis sebuah buku berharga   berjudul  Tashnifun Naas Baina ad-Dzon wa  al-Yaqin, yang tenyata sangat   tidak  sejalan dengan hawa nafsu kelompok  "salafy" ini, maka semisal   Ust.  Abdul Qadir datang sambil menukil ucapan  Syaikh Muqbil bin Hadi    al-Wadi'i yang mengatakan: "(buku ini) teranggap  sebagai sesuatu yang    paling jelek beliau tulis…". Ma'adzallah.
Kami  bukan membela pribadi penulisnya, tapi silahkan antum membaca    isi dari  buku yang sangat berharga tersebut, lalu bandingkan dengan    ucapan  tendensius ini. Dan perlu antum ketahui, Syaikh al-Allamah Bakr    Abu Zaid  –rahimahullah- termasuk ulama yang terkenal produktif    melahirkan  karya-karya berkualitas. Hingga tidak berlebihan jika kita    mengatakan,  bahwa tidak ada karya yang beliau lahirkan melainkan    memiliki kualitas  tinggi. Olehnya, Syaikh al-Allamah Faqihul Ashr    Muhammad bin Shalih  al-Utsaimin –rahimahullah- pun sempat memberi    syarah terhadap salah satu  karya beliau (pada saat Syaikh Bakr masih    hidup), yakni Syarah Hilyah  Thalibil Ilmi.
Lantas kemudian, datang sebuah ungkapan yang sangat  tendensius bahwa    karya beliau tersebut adalah yang terjelek yang penah  beliau tulis    !!??.
Dan kita pun tahu apa indikasi dari ucapan  tersebut terhadap    penulisnya sendiri –yakni Syaikh al-Allamah Bakr Abu  Zaid    –rahimahullah-. Demikian pula dapat kami katakan, bahwa siapa yang     menempatkan Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi'i (bersama dengan kemuliaan     dan ilmu beliau) sebagai penimbang dan penentu hukum bagi karya     Fadhilatus Syaikh Bakr Abu Zaid, yang kemudian digunakan sebagai mizan     oleh kelompok "salafy" untuk mendiskreditkan karya berharga beliau     tersebut?
Padahal, apa yang beliau paparkan dalam buku tersebut  merupakan    manhaj para ulama Ahlu Sunnah Mu'tabar zaman ini, seperti  al-Allamah    Syaikh Abdul Aziz bin Baz, al-Allamah Syaikh Muhammad bin  Shalih    al-Utsaimin, al-Allamah al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin  al-Albani,    al-Allamah Abdur Rahman al-Jibrin, al-Allamah Abdul Aziz Alu  Syaikh    mufti Saudi Arabiyah saat ini, dan masih banyak lagi yang tidak  mungkin    kami sebutkan di sini.
Dan yang menjadi kekhawatiran kami,  jangan sampai fatwa-fatwa   Kibarul  Ulama semisal Samahatus Syaikh  al-Allamah Abdul Aziz Baz,   Syaikh  Muhammad Nashiruddin al-Albani,  al-Allamah Abdur Rahman   al-Jibrin, dan  selainnya yang tidak sejalan  dengan hawa nafsu mereka,   lalu dikatakan  pula sebagai fatwa terjelek  yang pernah dikeluarkan   –semoga saja tidak  demikian adanya-…wallahul  musta'an.
[10] . Karena manhaj ini-lah maka kita dapati kelompok  "salafy"   begitu  mudahnya bertikai dan berantem di antara mereka. Seorang  itu   ditimbang  melalui kesalahan-kesalahan yang ia buat, dan bukan  kebaikan   yang ada  pada dirinya. Padahal semua mengakui bahwa tidak ada  yang   bebas dari  dosa melainkan Nabi shallallahu alaihi wasallam. Dan  siapa   yang  mengharap teman tanpa aib dan dosa, niscaya ia tidak akan    mendapati  kawan hingga selamanya.
[11] . Sebagai contoh dan masih  banyak contoh yang lain, dan   sebenarnya  telah kami paparkan pada  artikel Silsilah Pembelaan para   Ulama dan  Du'at:
(1). Kala  mereka menuding Syaikh Dr. Safar al-Hawali –hafidzahullah-    sebagai  pemberontak dan sebagainya lantaran fatwa beliau  bertentangan   dengan  Fatwa Majelis Ulama Saudi dalam masalah izin  masuk bagi  tentara  Amerika  di semenanjung Arabiah dan mendirikan  pangkalan  militer di  sana, padahal  pendapat beliau sejalan dengan  pendapat  Syaikh al-Allamah  al-Muhaddits  Muhammad Nashiruddin  al-Albani  –rahimahullah- juga  isyarat dari Syaikh  al-Allamah Shalih  bin Fauzan  al-Fauzan,  -hafidzahullah-, namun anehnya  yang dicela  habis-habisan  hanya Syaikh  Dr. Safar al-Hawaly dan tidak  bagi kedua  Syaikh selain  beliau.
(2). Demikian pula celaan mereka  terhadap para ulama seperti Dr.    Safar al-Hawali, Dr. Salman dan selain  mereka, lantaran mereka    menentang pemerintah Saudi (itu kala benar  tuduhan mereka), hingga    pantas dikategorikan sebagai khawarij  pemberontak, padahal perbuatan yg    sama pun (bahkan lebih keras lagi)  dilakukan oleh al-Allamah Syaikh    Muqbil bin Hadi al-Wadi'y  –rahimahullah- (yang akhirnya beliau ruju'    dan bertaubat), anehnya  tudingan sesat pemberontak hanya dibidikkan    pada Syaikh Dr. Safar, Dr.  Salman dan selainnya dan tidak pada Syaikh    Muqbil.
(3). Kala  menuding Dr. Safar, Dr, Salman, Syaikh Abdul Rahman Abdul    Khaliq sebagai  ahli bid'ah lantaran membela kehormatan orang-orang   yang  berjasa bagi  Islam ini, semisal Sayyid Qutub –rahimahullah-,   padahal  dalam waktu yang  sama Syaikh Abdur Rahman al-Jibrin, Syaikh    al-Muhaddits Muhammad  Nashiruddin al-Albani, al-Allamah Abdullah bin    Qu'ud dan banyak lagi  ulama-ulama kibar mu'tabar juga mengeluarkan    pernyataan yang sama.  Anehnya, yang dicerca hanya kelompok ulama    pertama dan tidak untuk  kelompok kedua.
(4). Masalah kekeliruan Syaikh Dr. Safar al-Hawali  masal lalu, yang    kemudian telah beliau klarifikasi dan bantah di hadapan  al-Allamah    Syaikh Ibnu Utsaimin, tetap dan terus diungkit-ungkit oleh  kelompok    Syaikh Rabi' dan "salafy", sementara masa silam Syaikh Rabi'  yang    pernah menjadi anggota aktif dan menjadi tokoh Ikhwanul Muslimin  selama    13 tahun tidak pernah disentuh-sentuh…dan masih banyak lagi  pembaca    budiman, tanaqhudhaat (pertentangan-perentangan) dalam manhaj   "salafy"   ini, dikarenakan adanya standar ganda dalam manhaj tersebut.   Jadi yang   dimaksud dengan dua timbangan dalam poin di atas adalah   "timbangan  buat  orang-orang kuat" dan "timbangan buat orang-orang   lemah". Dan  kami  hanya mengatakan, ma'adzallah, maa lakum kaifa  tahkumun  ?
[12] . Tatkala Iyas bin Mu'awiyah –rahimahullah- menyaksikan     seseorang yang menggibah saudara muslim-nya, beliau pun bertanya:     "Apakah engkau pernah berperang melawan Romawi?" Ia menjawab: "Tidak".     "Apakah engkau pernah memerangi As Sind, India dan Turki". Ia  menjawab:    "Tidak".
Beliau –Iyas bin Mu'awiyah- lantas berkata: "Selamat  dari-mu Romawi,    as-Sind,,India dan Turki namun tidak selamat dari  –kejelekan  lisanmu-   saudara muslim-mu". (Lihat: al-Bidayah wa  an-Nihayah, Ibnu  Katsir,   IX/336. Program al-Maktabah al-Syamilah, vol.  3.3)
[13] . Al-Jawabul Kafiy Liman Saala an ad-Dawaai asy-Syafi, hal 111. al-Maktabah al-Syamilah, vol. 3.3.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar