"  MEMBANTAH  SYUBHAT  SALAFY  " : " MEMANGNYA  MENASEHATI   PENGUASA  CUMAN  SEMBUNYI  -  SEMBUNYI  SAJA?  "
 Oleh :  Ustadz  Farid  Nu’man  Hasan. 
 Dibuat Dokumen di Group NII-News oleh : Nur Jannah
 Pada masa belakangan, khususnya era reformasi, arus kebebasan di negeri    ini begitu terbuka bahkan melebihi batas yang tak terduga dan  cenderung   mengerikan. Termasuk dalam hal hubungan antara rakyat  (people) dan   Negara (State). Dahulu adalah hal yang tabu bahkan  menakutkan jika ada   yang memberikan kritik dan nasihat kepada  penguasa, sedangkan saat ini   sudah tidak demikian. Ada yang  memanfaatkan momen kebebasan ini sesuai   tuntunan syariah, ada pula  yang kebablasan membabi buta. Sedangkan sikap   yang benar adalah sikap  pertengahan sebagaimana yang ditekankan oleh   Islam.
“Dan  demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat  Islam), umat yang   wasathan (pertengahan) dan pilihan agar kamu menjadi  saksi atas   (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi  atas   (perbuatan) kamu.” (QS. Al Baqarah (2): 143)
Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Sebaik-baiknya  perbuatan (‘amal) adalah yang pertengahan.” (HR. Al   Baihaqi, Syu’abul  Iman, 8/411/3730. As Sam’ani meriwayatkan dalam Dzail   Tarikh Baghdad  secara marfu’ dari Ali, tetapi dalam sanadnya terdapat   periwayat yang  majhul. Ad Dailami juga meriwayatkan tanpa sanad dari   Ibnu Abbas  secara marfu’. Lihat Imam ‘Ajluni, Kasyful Khafa’, 1/391 dan   Imam As  Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 112. Imam As Suyuthi    menyandarkan ucapan ini adalah ucapan Mutharrif bin Abdillah dan Abu    Qilabah, yakni sebaik-baiknya urusan (Al Umur) adalah yang pertengahan.    Lihat Ad Durul Mantsur, 6/333.)
Kita menyaksikan, ada manusia   yang mengkritik dan menasihati penguasa  secara terang-terangan dalam  hal  yang seharusnya disembunyikan, yakni  kehidupan pribadi dan  kesalahan  yang sifatnya pribadi yang tidak  membawa dampak buruk  kecuali untuk diri  penguasa itu sendiri. Sehingga  terbukalah aibnya,  tersingkaplah  kejelekan pribadinya.
Kita juga menyaksikan, ada  manusia yang  banci dan sama sekali tidak  melakukan apa-apa terhadap  kekeliruan  penguasa, walaupun kekeliruan itu  membawa mudharat dan  penderitaan bagi  rakyatnya, dengan alasan  menasihati penguasa harus  diam-diam, tidak  boleh terbuka. Bahkan mereka  menuduh bahwa yang  melakukan nasihat dengan  terbuka adalah kaum  khawarij. Akhirnya, fakta  keadaan mereka pun  sekedar teori belaka,  mereka tidak melakukan  apa-apa.
Kedua  sikap ini tidaklah benar dan sama-sama  berlebihan. Tidak  memperhatikan  masalah secara utuh dan menyeluruh.  Hanya berpatokan pada  sebagian dalil  namun melupakan dalil lainnya.
Dua Jenis Kesalahan
Secara umum, manusia –termasuk para pemimpin- akan melakukan dua jenis kesalahan, sebagai berikut:
1. Kesalahan Yang Membawa Dampak Bagi Pribadi Saja
Ini  adalah aib pribadi yang tidak boleh disebarkan ke khalayak ramai.    Setiap orang memiliki aib peribadi, baik perbuatannya atau berupa cacat    tubuh. Semua ini sama sekali tidak merugikan orang lain selain  dirinya.   Maka, tidak dibenarkan menasihatinya secara terang-terangan,  sebab  sama  saja hal itu menelanjangi kehormatan sesama muslim. Justru,  jika   mengetahui kesalahan yang sifatnya pribadi tersebut, kita  dianjurkan   untuk menutupinya.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
“Barangsiapa  yang menutupi (kesalahan) seorang muslim, maka Allah akan   menutupi  kesalahannya di dunia dan akhirat.” (HR. Ibnu Majah, No. 2545.   Ahmad,  No.16346 dari Maslamah bin Makhlad. Imam Al Haitsami mengatakan:    “rijal hadits ini adalah rijal hadits shahih.” Majma’ Az Zawaid,  6/246)
2. Kesalahan Yang Membawa Dampak Pada Orang Banyak
Kesalahan  jenis ini, baik dalam urusan dunia atau agama, maka   dibolehkan dalam  syariat untuk ditegur secara terang-terangan. Baik yang   dilakukan oleh  orang biasa atau pemimpin. Sebab, jika dinasihati  secara  diam-diam,  padahal dia berbuat kekeliruan secara  terangan-terangan dan  membawa  dampak secara massal, maka dikhawatiri  tobatnya itu tidak  diketahui  dan diikuti orang lain yang mengalami  dampak dari  kekeliruannya.  Menasihatinya secara terang-terangan bukan  termasuk  kategori ghibah  yang diharamkan sebagaimana yang dikatakan  oleh Imam An  Nawawi  Rahimahullah dalam kitab Riyadh Ash Shalihin.
Keterangan Imam An Nawawi tentang ghibah yang ditoleransi, akan saya ringkas sebagai berikut:
1. Mengadukan kepada hakim, tentang kejahatan orang yang menganiaya.
2. Minta tolong supaya menasehati orang yang berbuat mungkar kepada orang yang dianggap sanggup menasehatinya.
3. Karena minta fatwa: fulan menganiaya saya, bagaimana cara menghindarinya?
4. Bertujuan menasehati, agar orang lain tidak terpedaya oleh orang tersebut.
5.  Terhadap orang yang terang-terangan melakukan kejahatan, maka yang    demikian bukan ghibah, sebab ia sendiri yang menampakannya.
6.   Untuk memperkenalkan orang dengan gelar yang disandangnya, seperti  Al   A’masy (buram matanya), Al A’raj (Si Pincang), Al A’ma (Si Buta), Al    ‘Asham (Si Tuli), Al Ahwal (si Juling), semua ini adalah gelar yang    pernah disandang oleh sebagian ulama hadits. (Imam An Nawawi, Riyadhush    Shalihin, Hal. 366-367. Maktabatul Iman. Al Manshurah)
Pemimpin juga Mesti Dinasihati
Tidak  ada yang tidak membutuhkan nasihat, tidak terkecuali bagi para    pemimpin. Dari Tamim Ad Dari Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah    Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
الدِّينُ النَّصِيحَةُ قُلْنَا لِمَنْ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
“Agama  adalah nasihat.” Kami berkata: “Untuk siapa?” Beliau bersabda:   “Untuk  Allah, kitabNya, RasulNya, Imam kaum muslimin, dan orang-orang    kebanyakan.” (HR. Muslim, No. 55. Abu Daud, No. 4944)
Imam An Nawawi Rahimahullah mengomentari makna ‘nasihat untuk imam kaum muslimin’:
وَأَمَّا  النَّصِيحَة لِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ فَمُعَاوَنَتهمْ عَلَى   الْحَقّ ،  وَطَاعَتُهُمْ فِيهِ ، وَأَمْرُهُمْ بِهِ ، وَتَنْبِيههمْ   وَتَذْكِيرهمْ  بِرِفْقٍ وَلُطْفٍ ، وَإِعْلَامهمْ بِمَا غَفَلُوا عَنْهُ   وَلَمْ  يَبْلُغهُمْ مِنْ حُقُوق الْمُسْلِمِينَ ، وَتَرْك الْخُرُوج   عَلَيْهِمْ ،  وَتَأَلُّف قُلُوب النَّاس لِطَاعَتِهِمْ
“Ada pun  nasihat bagi  para pemimpin kaum muslimin, adalah dengan  menolong dan  mentaati  mereka di atas kebenaran, memerintahkan mereka  dengannya,   memperingatkan dan menegur mereka dengan santun dan lembut,  memberi  tahu  mereka apa-apa yang mereka lalaikan, dan hak-hak kaum  muslimin  yang  belum mereka sampaikan, tidak keluar dari kepemimpinan  mereka,   menyatukan hati manusia dengan mentaati mereka.” (Syarh Shahih  Muslim,   1/144/82. Mauqi’ Ruh Al Islam)
Bahkan menasihati pemimpin yang   zalim termasuk jihad yang paling  afdhal. Dari Abu Said Al Khudri   Radhiallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah  Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam   bersabda:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ أَوْ أَمِيرٍ جَائِرٍ
“Dari  Abu Said Al Khudri, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu   ‘Alaihi  wa Sallam bersabda: “Jihad yang paling utama adalah mengutarakan    perkataan yang ‘adil di depan penguasa atau pemimpin yang zhalim.”  (HR.   Abu Daud, Kitab Al Malahim Bab Al Amru wan Nahyu, No. 4344. At    Tirmidzi, Kitab al Fitan ‘an Rasulillah Bab Maa Jaa’a Afdhalul Jihad …,    No. 2265. Katanya: hadits ini hasan gharib. Ibnu Majah, Kitab Al Fitan    Bab Al Amru bil Ma’ruf wan nahyu ‘anil Munkar, No. 4011. Ahmad, No    hadits. 10716. Dalam riwayat Ahmad tertulis Kalimatul haq- perkataan    yang benar. Syaikh Al Albani menshahihkannya dalam Misykah Al Mashabih,    No. 3705)
Bahkan jika seseorang mati karena dibunuh penguasa   zalim disebabkan  amar ma’ruf nahi munkar, dia termasuk pemimpin para   syuhada. Dari Jabir  radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi  wa  Sallam bersabda,
سيد الشهداء حمزة بن عبد المطلب ، ورجل قال إلى إمام جائر فأمره ونهاه فقتله
“Penghulu  para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, dan orang yang   berkata  melawan penguasa kejam, ia melarang dan memerintah, namun   akhirnya ia  mati terbunuh.” (HR. Al Hakim, Al Mustdarak ‘Ala ash   Shaihain, Juz.  11, hal. 214, No hadits. 4872. Ia nyatakan shahih, tetapi    Bukhari-Muslim tidak meriwayatkannya. Adz Dzahabi menyepakatinya.    Syaikh Al Albany mengatakan hasan, dia memasukkannya dalam kitabnya As    Silsilah Ash Shahihah, No. 374)
Menasihati Pemimpin Secara Diam-Diam
Menasihati  pemimpin secara diam-diam, memang dianjurkan oleh syariat.   Namun, hal  itu tidaklah menunjukkan larangan dengan cara   terangan-terangan. Hal  ini hanyalah masalah pilihan uslub (metode).   Kedua cara ini pada  kondisi dan jenis kesalahan tertentu, memiliki   efektifitas dan  keunggulannya sendiri. Oleh karena itu, tidak dibenarkan   saling  meremehkan satu cara dibanding cara yang lain. Tidak seperti    prasangkaan sebagian manusia, bahwa hadits tentang anjuran menasihati    pemimpin secara diam-diam, merupakan petunjuk satu-satunya cara nasihat    kepada pemimpin, dan haram cara lainnya. Prasangkaan ini tidak benar,    dan bertentangan dengan Al Quran serta contoh para nabi, salafush    shalih, dan para ulama rabbani.
Dari ‘Iyadh bin Ghanm Radhiallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ  أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ    عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ    مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ
“Barangsiapa  yang hendak menasihati pemimpin terhadap suatu urusan,   maka janganlah  menampakkannya terang-terangan, tetapi hendaknya dia   meraih tangannya  lalu dia menasihatinya berduaan. Jika dia menerima   nasihatnya, maka  bagimu akan mendapat ganjaran, jika dia tidak menerima,   maka dia telah  menunaikan apa-apa yang layak bagi sultan tersebut.”   (HR. Ahmad, No.  14792. Lihat juga Al Musnad Al Jami’, 34/35)
Hadits ini sering  dijadikan alasan oleh sebagian kaum muslimin agar   jangan menasihati  pemimpin secara terang-terangan bahkan mereka   mengharamkan demonstrasi  dengan alasan hadits ini pula. Anjuran dalam   hadits ini adalah agar  kita menasihati pemimpin secara face to face atau   empat mata. Anjuran  yang ada dalam hadits ini, tidaklah sama sekali   menunjukkan pembatasan  bahwa inilah satu-satunya cara, melainkan hadits   ini berbicara  tentang salah satu bentuk cara nasihat terhadap pemimpin.   Tak ada  korelasi apa pun dalam hadits ini yang menunjukkan bahwa   terlarangnya  menasihati pemimpin secara terbuka. Sebab, sejarah   menunjukkan bahwa  para Nabi dan Rasul, sebagian sahabat, tabi’in, dan   para imam kaum  muslimin, pernah menasihati pemimpin secara   terang-terangan  sebagaimana yang akan kami paparkan nanti.
Menasihati, Menegur, dan Mengkritik Pemimpin Secara Terang-Terangan
Berikut  ini adalah bukti bahwa cara ini juga pernah dilakukan oleh   manusia  mulia. Baik yang melakukannya di istana penguasa atau di tempat   selain  istana. Sekaligus paparan di bawah ini sebagai koreksi bagi    pihak-pihak yang melarang menasihati dan menegur kesalahan penguasa    secara terang-terangan.
Zaman Para Nabi ‘Alaihim Shalatu was Salam
Metode  ini pun pernah terjadi pada umat-umat terdahulu. Di antaranya   adalah  nasihat terbuka yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam,   bahkan  bukan hanya nasihat, beliau melakukan aksi nyata dengan   menghancurkan  berhala-berhala saat itu. Bahkan beliau berdialog dengan   Namrudz dari  Babilonia yang disaksikan oleh para pembesar dan   pengawalnya.  Sebagaimana yang Allah Ta’ala ceritakan dalam Al Quran:
“Apakah  kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang   Tuhannya  (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu   pemerintahan  (kekuasaan). ketika Ibrahim mengatakan: “Tuhanku ialah yang    menghidupkan dan mematikan,” orang itu berkata: “Saya dapat    menghidupkan dan mematikan”.Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Allah    menerbitkan matahari dari timur, Maka terbitkanlah Dia dari barat,” lalu    terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada    orang-orang yang zalim.” (QS. Al Baqarah (2): 258)
Tentang ayat   ini, Zaid bin Aslam mengatakan, bahwa raja pertama yang  diktator di   muka bumi adalah Namrudz. Manusia keluar rumah serta  menjejerkan  makanan  di depan Namrudz. Begitu pula Ibrahim pun ikut  melakukannya  bersama  manusia. Masing-masing mereka dilewati oleh  Namrudz dan dia  bertanya;  “Siapakah Tuhanmu?” Mereka menjawab:  “Engkaulah!” hingga  giliran  Ibrahim, Namrudz bertanya: “Siapakah  Tuhanmu?” Ibrahim  menjawab:  “Tuhanku adalah yang menghidupkan dan  mematikan.” Namrudz  menjawab: “Aku  bisa menghidupkan dan mematikan.”  Ibrahim berkata:  “Sesungguhnya Allah  menerbitkan matahari di Timur dan   menenggelamkannya di Barat.” Maka  bungkamlah orang kafir itu.” (Imam   Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari,  Jami’ Al Bayan fi Ta’wilil Quran,   5/433. Muasasah Ar Risalah, Tahqiq:  Syaikh Ahmad Muhammad Syakir)
Ayat  ini, dengan gamblang  menjelaskan Nabi Ibrahim mengkritik dan  mendebat  raja Namrudz secara  terang-terangan di depan banyak manusia.  Bukti  lain bahwa Nabi Ibrahim  mengkritik dan mendebat secara  terang-terangan  di depan kaumnya adalah  isyarat yang Allah Ta’ala  sebutkan dalam  ayatNya:
“Dan Itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya.”(QS. Al An’am 96): 83)
Juga  yang dilakukan oleh Nabi Musa dan Nabi Harun ‘Alaihimassalam,   mereka  berdua menasehati Fir’aun di depan para pembesar istananya.   Bahkan  Nabi Musa mempermalukan Fir’aun di depan pasukannya sendiri di   istana  dengan mengalahkan para ahli sihirnya dengan mukjizat yang Allah    Ta’ala berikan kepadanya. Bahkan akhirnya ahli sihir Fir’aun bertobat    dan beriman kepada Allah Ta’ala. Semua ini terekam di dalam Al Quran,    surat Thaha ayat 43-76.
Para Sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Metode  ini pun juga ada pada masa sahabat. Ketika Umar bin Al Khathab    Radhiallahu ‘Anhu menyampaikan khutbah di atas mimbar, dia menyampaikan    bahwa Umar hendak membatasi Mahar sebanyak 400 Dirham, sebab nilai    itulah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,    jika ada yang lebih dari itu maka selebihnya dimasukkan ke dalam kas    negara. Hal ini diprotes langsung oleh seorang wanita, di depan manusia    saat itu, dengan perkataannya: “Wahai Amirul mu’minin, engkau melarang    mahar buat wanita melebihi 400 Dirham?” Umar menjawab: “Benar.”  Wanita   itu berkata: “Apakah kau tidak mendengar firman Allah:
“  ….  sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka   harta  yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya   barang  sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan   tuduhan  yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?.” (QS. An   Nisa (4):  20)
Umar menjawab; “Ya Allah ampunilah, semua manusia  lebih  tahu dibanding  Umar.” Maka umar pun meralat keputusannya.  (Tafsir Al  Quran Al ‘Azhim,  2/244. Imam Ibnu katsir mengatakan:  sanadnya jayyid  qawi (baik lagi  kuat). Sementara Syaikh Abu Ishaq Al  Huwaini menyatakan  hasan li  ghairih)
Inilah Umar bin Al  Khathab. Beliau menerima  kritikan terbuka wanita  tersebut, dengan jiwa  besar dia mengakui  kesalahannya, serta tidak  mengatakan: “Engkau  benar, tapi caramu  menasihatiku salah, seharusnya  engkau nasihatiku  secara diam-diam, tidak  terang-terangan!” Tidak. Umar  tidak sama  sekali mengingkari cara wanita  itu menasihatinya di depan  banyak  manusia. Bukan hanya itu, para  sahabat yang melihatnya pun tidak  pula  mengingkari wanita tersebut.  Jikalau wanita itu salah dalam   penyampaiannya, maka tentunya serentak  dia akan diingkari oleh banyak   manusia saat itu. Faktanya tidak ada  pengingkaran itu. Ini disebabkan   karena keputusan khalifah Umar, akan  membawa dampak bagi rakyatnya,   maka meralatnya pun dilakukan secara  terbuka.
Metode ini juga  dijalankan oleh para tabi’in serta  generasi  selanjutnya. Hal ini  terekam dalam kitab-kitab para ulama.  Jika, mereka  menasihati pemimpin  secara empat mata dan  sembunyi-sembunyi, tentunya  dari mana manusia  bisa tahu  peristiwa-peristiwa ini? Jika ada manusia  meriwayatkan Imam  Fulan telah  menashati khalifah, atau gubernur, maka  ini sudah tidak  bisa disebut  diam-diam atau empat mata, sebab ada orang  lain yang  mendengarkan atau  melihat, lalu orang tersebut meriwayatkan  ke  generasi selanjutnya hingga  ke tangan kita.
Berikut ini adalah beberapa contoh para Imam kaum muslimin.
Sa’id bin Jubeir Radhiallahu ‘Anhu terhadap Al Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi
Tentang  kecaman keras Said bin Jubeir Radhiallahu ‘Anhu terhadap   gubernur  zalim di Madinah, sangat terkenal. Beliau berkata tentang   Hajjaj bin  Yusuf dan pasukannya, sebagai berikut:
عن أبي  اليقظان قال: كان  سعيد بن جبير يقول يوم دير الجماجم وهم يقاتلون:  قاتلوهم  على جورهم في  الحكم وخروجهم من الدين وتجبرهم على عباد الله  وإماتتهم  الصلاة  واستذلالهم المسلمين. فلما انهزم أهل دير الجماجم لحق  سعيد بن جبير  بمكة  فأخذه خالد بن عبد الله فحمله إلى الحجاج مع إسماعيل بن  أوسط البجلي
“Dari  Abu Al Yaqzhan, dia berkata: Said bin Jubeir pernah berkata   ketika  hari Dir Al Jamajim, saat itu dia sedang berperang (melawan   pasukan  Hajjaj): “Perangilah mereka karena kezaliman mereka dalam   menjalankan  pemerintahan, keluarnya mereka dari agama, kesombongan   mereka terhadap  hamba-hamba Allah, mereka mematikan shalat dan   merendahkan kaum  muslimin.” Ketika penduduk Dir Al Jamajim kalah, Said   bin Jubeir  melarikan diri ke Mekkah. Kemudian dia dijemput oleh Khalid   bin  Abdullah, lalu dbawanya kepada Hajjaj bersama Ismail bin Awsath Al    Bajali.” (Imam Muhammad bin Sa’ad, Thabaqat Al Kubra, 6/265. Dar Al    Mashadir, Beirut)
Demikianlah salah satu kecaman keras terhadap   pemimpin Madinah, oleh  seorang ulama fiqih dan tafsir, salah satu murid   terbaik Abdullah bin  Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, yakni Al Imam Sa’id  bin  Jubeir Rahimallahu  ‘Anhu. Dia adalah imamnya para imam pada  zamannya,  dan manusia paling  ‘alim saat itu. Dia tidak mengatakan:  “Aku akan pergi  ke Hajjaj dan  akan menasihatinya empat mata!” Tidak,  dan tak satu pun  ulama saat itu  dan setelahnya, menjulukinya khawarij.
Tentang Imam Sa’id bin Jubeir, berkata Abdussalam bin Harb, dari Khushaif, katanya:
كان  أعلمهم بالقرآن مجاهد، وأعلمهم بالحج عطاء، وأعلمهم بالحلال والحرام    طاووس، وأعلمهم بالطلاق سعيد بن المسيب، وأجمعهم لهذه العلوم سعيد بن جبير
“Yang  paling tahu tentang Al Quran adalah Mujahid, yang paling tahu   tentang  Haji adalah ‘Atha, yang paling tahu tentang halal dan haram   adalah  Thawus, yang paling tahu tentang thalaq adalah Sa’id bin Al   Musayyib,  dan yang mampu mengkombinasikan semua ilmu-ilmu ini adalah   Sa’id bin  Jubeir.” (Imam Adz Dzahabi, Siyar A’lam An Nubala, 4/341.   Muasasah Ar  Risalah, Beirut)
Sementara Ali Al Madini berkata:
ليس في أصحاب ابن عباس مثل سعيد بن جبير. قيل: ولا طاووس ؟ قال: ولا طاووس ولا أحد.
“Di  antara sahabat-sahabat Ibnu Abbas tidak ada yang seperti Sa’id bin    Jubeir.” Ada yang berkata: “Tidak pula Thawus?” Ali Al Madini menjawab:    “Tidak pula Thawus, dan tidak pula yang lainnya.” (Ibid)
Imam Amr Asy Sya’bi Radhiallahu ‘Anhu terhadap Al Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi
Beliau  sezaman dengan Sa’id bin Jubeir, dan juga berhadapan dengan   Hajjaj  bin Yusuf Ats Tsaqafi, hanya saja dia tidak sampai melakukan    perlawanan fisik.
Imam Adz Dzahabi juga menceritakan, bahwa  Imam  Amr Asy Sya’bi telah  mengkritik penguasa zalim, Hajjaj bin Yusuf  dan  membeberkan aibnya di  depan banyak manusia. Dari Mujalid, bahwa Asy   Sya’bi berkata:
فأتاني قراء أهل الكوفة، فقالوا: يا أبا عمرو،  إنك  زعيم القراء، فلم  يزالوا حتى خرجت معهم، فقمت بين الصفين أذكر الحجاج   وأعيبه بأشياء، فبلغني  أنه قال: ألا تعجبون من هذا الخبيث ! أما لئن  أمكنني  الله منه، لاجعلن  الدنيا عليه أضيق من مسك جمل
“Maka, para   Qurra’ dari Kufah datang menemuiku. Mereka berkata: “Wahai  Abu Amr,  Anda  adalah pemimpin para Qurra’.” Mereka senantiasa merayuku  hingga  aku  keluar bersama mereka. Saat itu, aku berdiri di antara dua  barisan  (yang  bertikai). Aku menyebutkan Al Hajaj dan aib-aib yang  telah   dilakukannya.” Maka sampai kepadaku (Mujalid), bahwa dia berkata:    “Tidakkah kalian heran dengan keburukan ini?! Ada pun aku, kalaulah    Allah mengizinkan mengalahkan mereka, niscaya dunia ini akan aku lipat    lebih kecil dari kulit Unta membungkusnya.” (Ibid, 4/304)
Demikianlah  Imam Amr Asy Sya’bi. Beliau mengkritik Al Hajjaj secara    terang-terangan, di antara dua pasukan yang bertikai. Dia tidak    mengatakan: “Aku akan temui Al Hajjaj secara empat mata, lalu aku akan    beberkan aib-aibnya dan menasihati dia secara sembunyi.” Tidak  demikian.
Siapakah Imam Amr Asy Sya’bi? Dia adalah Imam Fiqih dan  hadits pada   masa tabi’in. Banyak sanjungan manusia kepadanya. Berkata  Abu Usamah:
كان عمر في زمانه رأس الناس وهو جامع، وكان بعده ابن  عباس في زمانه، وكان   بعده الشعبي في زمانه، وكان بعده الثوري في زمانه،  ثم كان بعده يحيى بن آدم
“Umar bin Al Khathab adalah pemimpin  manusia pada zamannya, selanjutnya   Ibnu Abbas adalah pemimpin manusia  pada zamannya, lalu Asy Sya’bi pada   zamannya, kemudian Sufyan Ats  Tsauri pada masanya, lalu Yahya bin Adam   pada masanya.” (Ibid, 4/302)
Daud bin Abi Hindi berkata:
ما جالست أحدا أعلم من الشعبي.
“Belum pernah aku bermajelis dengan seorang pun yang lebih berilmu dibanding Asy Sya’bi.” (Ibid)
Abu ‘Ashim bin Sulaiman berkata:
ما رأيت أحدا أعلم بحديث أهل الكوفة والبصرة والحجاز والآفاق من الشعبي
“Tidaklah  aku melihat seorang pun yang lebih tahu tentang hadits di   Kufah,  Bashrah, Hijaz dan berbagai penjuru, dibandingkan Asy Sya’bi.”   (Ibid)
Dan masih banyak sanjungan lainnya.
Imam Muhammad bin Sirin Radhiallahu ‘Anhu terhadap Ibnu Hubairah
Beliau  dikenal sebagai orang yang paling tegas terhadap Ahli bid’ah dan    penguasa yang zalim. Dia pun secara terang-terangan menegur penguasa    zamannya –yakni Ibnu Hubairah- di depan orang lain. Sebenarnya, Ibnu    hubairah adalah salah satu pejabat tinggi dalam pemerintahan Khalifah    Marwan.
Berikut ini yang diceritakan Imam Abu Nu’aim Al Ashbahani:
جعفر  بن مرزوق، قال: بعث ابن هبيرة إلى ابن سيرين والحسن والشعبي، قال:    فدخلوا عليه، فقال لابن سيرين: يا أبا بكر ماذا رأيت منذ قربت من بابنا،    قال: رأيت ظلماً فاشياً، قال: فغمزه ابن أخيه بمنكبه فالتفت إليه ابن    سيرين، فقال: إنك لست تسأل إنما أنا أسأل، فأرسل إلى الحسن بأربعة آلاف    وإلى ابن سيرين بثلاثة آلاف، وإلى الشعبي بألفين؛ فأما ابن سيرين فلم    يأخذها.
Ja’far bin Marzuq berkata, “Ibnu Hubairah pernah   memanggil Ibnu Sirin,  Al Hasan (Al Bashri), dan Asy Sya’bi, dia  berkata:  “Masuklah kalian.”  Maka dia bertanya kepada Ibnu Sirin:  “Wahai Abu  Bakar, apa yang kau  lihat sejak kau mendekat pintu  istanaku?” Ibnu Sirin  menjawab: “Aku  melihat kezaliman yang merata.”  Perawi berkata: Maka  saudaranya  menganggukkan tengkuknya, dan Ibnu  Sirin pun menoleh  kepadanya. Lalu  dia berkata (kepada Ibnu Hubairah):  “Bukan kamu yang  seharusnya  bertanya, tetapi akulah yang seharusnya  bertanya.” Maka, Ibnu  Hubairah  akhirnya memberikan Al Hasan empat ribu  dirham, Ibnu Sirin  tiga ribu  dirham, dan Asy Sya’bi dua ribu. Ada pun  Ibnu Sirin dia  mengambil  hadiah itu.” (Hilyatul Auliya’, 1/330.  Mauqi’ Al Warraq)
Imam Adz Dzahabi mengatakan:
قال هشام: ما رأيت أحدا عند السلطان أصلب من ابن سيرين
“Berkata  Hisyam: Aku belum pernah melihat orang yang paling tegas   terhadap  penguasa dibanding Ibnu Sirin.” (Siyar A’lam An Nubala, 4/615)
Inilah  Imam Muhammad bin Sirin Radhiallahu ‘Anhu, dia menegur kezaliman   yang  ada dalam istana, di depan banyak orang dan ulama. Mereka seperti   Al  Hasan dan Asy Sya’bi, pun tidak mengingkarinya. Ibnu Sirin tidak    mengatakan kepada Ibnu Hubairah: “Aku ingin katakan kepadamu secara    rahasia, bahwa kezaliman di istanamu telah merata!” Tidak demikian.
Lagi  pula, tahu dari mana Hisyam, kalau Ibnu Sirin adalah manusia   paling  tegas terhadap penguasa jika dia menegurnya secara   sembunyi-sembunyi?
Siapakah  Imam Muhammad bin Sirin Radhiallahu  ‘Anhu? Pada masanya dia  dikenal  orang yang sangat wara’, ahli fiqih,  ahli tafsir mimpi, dan  periang.
Berikut  ini parade pujian para  ulama untuk Imam Ibnu Sirin Radhiallahu  ‘Anhu.  Sebagaimana yang dicatat  oleh Imam Adz Dzahabi dalam kitab As   Siyar-nya:
قال ابن عون: كان محمد يأتي بالحديث على حروفه، وكان الحسن صاحب معنى.
عون بن عمارة: حدثنا هشام، حدثني أصدق من أدركت، محمد بن سيرين.
قال  حبيب بن الشهيد: كنت عند عمرو بن دينار فقال: والله ما رأيت مثل   طاووس،  فقال أيوب السختياني وكان جالسا: والله لو رأى محمد بن سيرين لم   يقله.
معاذ بن معاذ: سمعت ابن عون يقول: ما رأيت مثل محمد بن سيرين.
وعن خليف بن عقبة، قال: كان ابن سيرين نسيج وحده.
وقال حماد بن زيد، عن عثمان البتي، قال: لم يكن بالبصرة أحد أعلم بالقضاء من ابن سيرين .
وعن شعيب بن الحبحاب، قال: كان الشعبي يقول لنا: عليكم بذلك الاصم يعني ابن سيرين .
وقال ابن يونس: كان ابن سيرين أفطن من الحسن في أشياء
“Berkata  Ibnu ‘Aun: “Muhammad bin Sirin meriwayatkan hadits dengan    huruf-hurufnya, sementara Al Hasan yang mengetahui maknanya.”
“Aun  bin ‘Imarah, bercerita kepada kami Hisyam, telah bercerita kepadaku    bahwa orang yang paling jujur yang pernah aku temui adalah Muhammad  bin   Sirin.
Habib bin Asy Syahid berkata: Aku bersama Amr bin   Dinar, dia berkata:  “Demi Allah aku tidak pernah melihat orang seperti   Thawus.” Maka, Ayyub  As Sukhtiyani sambil duduk menimpali: “Demi  Allah,  seandainya dia  melihat Muhammad bin Sirin, tidak akan dia  berkata  seperti itu.”
Muadz bin Muadz berkata, aku mendengar Ibnu ‘Aun berkata: “Aku belum pernah melihat orang semisal Muhammad bin Sirin.”
Dari Khalifah bin ‘Uqbah, dia berkata: “Adalah Ibnu Sirin dia menenun (pakaiannya) sendiri.”
Dari  Hammad bin Zaid, dari Utsman Al Bati: “Tidak pernah ada di Bashrah    orang yang paling tahu tentang kehakiman (hukum) dibanding Ibnu Sirin.”
Ibnu Yunus berkata: “Ibnu Sirin lebih cerdas dibanding Al Hasan Al Bashri di banyak hal.” (Siyar A’lam An Nubala, 4/608)
Sufyan Ats Tsauri Radhiallahu ‘Anhu terhadap Khalifah Al Mahdi
Siapa  yang tidak kenal dengan nama ini? Imam Ahlus Sunnah, muara para   ulama  pada zamannya. Di depan para sahabatnya, dia pun pernah secara    terang-terangan menegur dan menasihati Khalifah Al Mahdi yang sedang    bersama pengawalnya, bahkan membuatnya marah. Berikut ini ceritanya,    sebagaimana diceritakan oleh Imam Abu Nu’aim Al Ashbahani.
Dari ‘Ubaid bin Junad, katanya:
عطاء  بن مسلم، قال: لما استخلف المهدي بعث إلى سفيان، فلما دخل خلع خاتمه    فرمى به إليه، فقال: يا أبا عبد الله هذا خاتمي فاعمل في هذه الأمة بالكتاب    والسنة، فأخذ الخاتم بيده، وقال: تأذن في الكلام يا أمير المؤمنين. قال    عبيد: قلت لعطاء: يا أبا مخلد قال له: يا أمير المؤمنين. قال: نعم، قال:    أتكلم علي أني آمن. قال: نعم، قال: لا تبعث إلي حتى آتيك، ولا تعطني  شيئاً   حتى أسألك، قال: فغضب من ذلك وهم به فقال له كاتبه: أليس قد أمنته  يا أمير   المؤمنين. قال: بلى، فلما خرج حف به أصحابه، فقالوا: ما منعك يا  أبا عبد   الله وقد أمرك أن تعمل في هذه الأمة بالكتاب والسنة؟ قال:  فاستصغر عقولهم   ثم خرج هارباً إلى البصرة.
’Atha bin Muslim  berkata: “Ketika  masa kekhalifahan Al Mahdi, dia  berkunjung ke rumah  Sufyan. Ketika dia  masuk, dia melepaskan dan  melemparkan cincinnya  kepada Sufyan. Lalu dia  berkata: “Wahai Abu  Abdillah, inilah cincinku  maka berbuatlah terhadap  umat ini dengan Al  Quran dan As Sunnah.” Maka  Sufyan mengambil cincin  itu dengan  tangannya, lalu berkata: “Izinkan  aku berbicara wahai amirul  mu’minin.”  Berkata ‘Ubaid: Aku berkata  kepada ‘Atha bin Muslim: “Hai Abu  Makhlad,  dia (Sufyan) berkata kepada  Al Mahdi: “Wahai Amirul mu’minin?”  ‘Atha  menjawab: “Ya.”
Sufyan  berkata: “Apakah aku akan aman  jika aku bicara?” Al Mahdi  menjawab:  :Ya.” Sufyan berkata: “Jangan kau  kunjungi aku hingga akulah  yang  mendatangimu, dan janganlah memberiku  apa-apa sampai aku yang   memintanya kepadamu.” ‘Atha berkata: “Maka  marahlah Al Mahdi karena   itu, dan dia berangan ingin memukulnya  karenanya. Maka, berkatalah   sekretarisnya kepadanya: “Bukankah kau sudah  mengatakan bahwa dia aman   wahai Amirul Mu’minin?” Al Mahdi menjawab:  “Tentu.” Maka, ketika dia   keluar, maka para sahabat Sufyan  mengelilinginya dan bertanya: “Apa   yang dia larang kepadamu wahai Abu  Abdillah, apakah dia memerintahkanmu   untuk memperlakukan umat ini dengan  Al Quran dan As Sunnah?” Sufyan   menjawab: “Remehkanlah akal mereka.”  Lalu Sufyan Ats Tsauri melarikan   diri ke Bashrah.” (Hilyatul Auliya’,  3/166. Mauqi’ Al Warraq)
Demikianlah  Imam Sufyan Ats Tsauri,  memberikan teguran yang mendalam,  bahkan  meminta agar para sahabatnya  meremehkan akal/kecerdasan Al Mahdi  dan  pengikutnya. Dia tidak  mengatakan: “Biarkanlah dia, aku akan   menasihatinya secara empa mata.”  Tidak. Dia langsung menegurnya, walau   di depan orang yang bersangkutan  dan para pengawalnya. Inilah Imam   Ahlus Sunnah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah
Selain  seorang ulama yang agung, beliau juga seorang mujahid. Tidak   seperti  prasangka sebagian kecil manusia, yang menuduhnya tidak pernah   ikut  berperang bersama kaum muslimin. Justru beliau adalah bintangnya   dan  pemimpin mereka.
Berkata Al Alusi tentang Imam Ibnu Taimiyah:
“Adapun  keberanian dan jihadnya, maka suatu penjelasan apa pun tidak   dapat  mencakupnya secara sempurna. Ia sebagaimana yang diceritakan Al   Hafizh  Sirajuddin Abu Hafsh dalam Manaqib-nya adalah orang yang paling    berani dan tegar hati menghadapi musuh. Aku belum pernah melihat manusia    yang keberaniannya melebihi Ibnu Taimiyah dan semangat jihad melawan    musuh melebihi semangatnya Ibnu Taimiyah. Ia selalu berjihad di jalan    Allah dengan hati, lisan, dan tangannya dan tidak takut hinaan orang    yang suka menghina dalam membela agama Allah Ta’ala.
Banyak   orang menceritakan bahwa Syaikh Ibnu Taimiyah juga sering ikut  bersama   pasukan Islam dalam peperangan melawan musuh. Apabila ia  melihat  pasukan  yang gelisah dan takut, maka ia memberikan semangat  kepadanya,   memantapkan hatinya, menjanjikan kemenangan dan ghanimah  kepadanya,  dan  menjelaskan keutamaan jihad dan mujahidin.” (Syaikh  Ahmad Farid,  60  Biografi Ulama Salaf, Hal. 796. Pustaka Al Kautsar)
Syaikh Ahmad Farid juga menceritakan keberanian Imam Ibnu Taimiyah di medan tempur:
“Seorang  panglima perang mencertakan tentang perang Syaqhab. Ia   mengatakan,  “Syaikh Ibnu Taimiyah berkata kepadaku ketika dua pasukan   sudah  terlihat,”Wahai kamu, perlakukanlah aku seolah aku sudah mati.”   Lalu  aku membawanya (Ibnu Taimiyah) ke depan, sementara musuh-musuh   sudah  turun bak banjir yang mengalir dengan deras. Peralatan perang   mereka  terlihat di sela-sela debu yang berterbangan.
Lalu, aku  berkata  kepadanya: Ini akan mengantarkanmu pada kematian.  Batalkan  keinginanmu  itu!” Ia menengadahkan mukanya ke langit,  meluruskan  pandangannya,  dan menggerakkan kedua bibirnya dalam waktu  yang lama  kemudian bangkit  dan maju ke medan perang. Aku tidak  melihatnya lagi  sampai Allah  memberikan kemenangan pada umat Islam yang  berhasil masuk  ke kota  Damaskus.” (Ibid, Hal. 798-799)
Imam Ibnu Rajab Al Hambali juga meceritakan tentang Imam Ibnu Taimiyah:
قدم  إلى الشام هو وإخوته سنة اثنتي عشرة بنية الجهاد، لما قدم السلطان   لكشف  التتر عن الشام. فخرج مع الجيش، وفارقهم من عسقلان، وزار البيت   المقدس.
“Beliau  bersama saudaranya, dua belas tahun, datang ke  Syam dengan niat   berjihad, ketika datangnya sultan untuk mengusir Tartar  dari Syam.   Ibnu Taimiyah keluar bersama pasukan, dan berpisah dengan  mereka dari   Asqalan, dan berziarah ke Baitul Maqdis.” (Imam Ibnu Rajab,  Dzail   Thabaqat Al Hanabilah, 1/343. Mauqi’ Al Warraq)
Beliau  juga  sangat tegas dengan penyimpangan penguasa walau pun  penguasa itu   muslim. Hal itu dia buktikan dengan nasihatnya yang berani  dan secara   terbuka kepada Sultan Ibnu Ghazan. Syaikh Ahmad Farid  berkata:
“Tatkala  Sultan Ibnu Ghazan berkuasa di Damaskus, Raja Al Karaj datang    kepadanya dengan membawa harta yang banyak agar Ibnu Ghazan memberikan    kesempatakan kepadanya untuk menyerang kaum musimin Damaskus.”
(Demikianlah  rencana jahat Sultan, ingin bekerja sama dengan raja musuh   untuk  menyerang kaum muslimin). Lalu Syaikh Ahmad Farid melanjutkan:
“Namun  berita ini sampai ke telinga Syaikh Ibnu Taimiyah. Sehingga ia    langsung bertindak menyulut api semangat kaum muslimin untuk menentang    rencana tersebut dan menjanjikan kepada mereka suatu kemenangan,    keamanan, kekayaan, dan rasa takut yang hilang. Lalu bangkitlah para    pemuda, orang-orang tua dan para pembesar mereka menuju sultan Ghazan.”
(Inilah  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, ia bersama umat Islam lainnya   menuju  istana Sultan untuk menentang kebijakan dan rencana jahatnya   bersama  Raja Al Karaj untuk menyerang kaum muslimin Damaskus. Inilah   yang  orang sekarang bilang demonstrasi. Imam Ibnu Taimiyah tidak    mengatakan: “Aku akan nasihati Sultan Ghazan secara empat mata.” Justru    ia melakukannya bersama umat Islam secara terang-terangan. Apa yang   akan  dikatakan dan dilakukan oleh Imam Ibnu Taimiyah, jika saat ini dia    melihat ada sebuah negara muslim yang meminta pertolongan Amerika    Serikat untuk menyerang kaum muslimin Iraq? Atau mengizinkan tentara    kafir membuka pangkalan militer di negeri muslim agar mereka mudah    mengendalikan negeri-negeri muslim? Dahulu ada Sultan Ibnu Ghazan dan    Raja Al Karaj yang bermesraan, namun masih ada Imam Ibnu Taimiyah. Saat    ini, ada pemimpin negeri muslim bermesraan dengan pemimpin  kolonialisme   modern, AS, namun, saat ini tidak ada yang seperti Imam  Ibnu  Taimiyah!)
Selanjutnya Syaikh Ahmad Farid mengatakan:
“Tatkala  Sultan Ghazan melihat Syaikh Ibnu Taimiyah, Allah menjadikan   hati  Sultan Ghazan mengalami ketakutan yang hebat terhadapnya sehingga   ia  meminta Syaikh Ibnu Taimiyah agar mendekat dan duduk bersamanya.
Kesempatan  tersebut digunakan Syaikh Ibnu Taimiyah untuk menolak   rencananya,  yaitu memberikan kesempatan kepada Raja Al Karaj yang hina   untuk  menghabisi umat Islam Damaskus. Ibnu Taimiyah memberitahu Sultan   Ibnu  Ghazan tentang kehormatan darah mslimin, mengingatkan dan memberi    nasihat kepadanya. Maka Ibnu Ghazan menurut nasihat Ibnu Tamiyah    tersebut. Dari situ, terselamatkanlah darah-darah umat Islam, terhaga    isteri-isteri mereka, dan terjaga budak-budak perempuan mereka.”    (Selengkapnya lihat 60 Biografi Ulama Salaf, Hal. 797-798)
Imam Izzuddin bin Abdissalam Rahimahullah
Beliau  dijuluki Shulthanul ‘Ulama (pemimpinnya para ulama) pada   masanya.  Dialah ulama yang sangat pemberani terhadap kesewenangan   penguasa. Ia  menegur pemimpin yang menyimpang langsung di depannya dan   di hadapan  banyak manusia, bahkan juga di mimbar khutbah Jumat.
Kami akan kutipkan sebuah peristiwa heroik beliau berikut ini:
Syaikh  Al Baji (murid Imam Izzudn bin Abdisalam) mengatakan: “Syaikh   kami,  Izzuddin pergi kepada Sultan Najmuddin Ayyub pada hari ‘Id di   Qal’ah  (benteng Shalahuddin).
Di sana ia menyaksikan para  prajurit yang  berbaris di depan Sultan  Najmuddin dan dewan kerajaan saat  itu.  Suasana kerajaan saat itu sangat  megah. Sultan Najmuddin keluar  kepada  mereka dengan memakai perhiasan  sebagaimana adat para Sultan di   Mesir. Para pejabat saat itu pun sujud  mencium tanah di depan sang   Sultan.
Melihat peristiwa tersebut Syaikh Izzuddin menoleh   kepada Sultan  Najmuddin dan berteriak memanggilnya, Wahai Ayyub! Apa   hujjahmu di  hadapan Allah ketika Dia berkata kepadamu,”Aku telah  berikan  kerajaan  Mesir kepadamu lalu kamu memperbolehkan khamr!”  Sultan  Najmuddin Ayyub  berkata, “Apakah ini terjadi?” Syaikh Izzuddin  menjawab,  “Ya, di toko  seorang perempuan telah dijual minuman khamr  dan hal-hal  lain yang  munkar, sementara kamu bergelimang dalam  kenikmatan kerajaan  ini.”
Syaikh Izzuddin memanggilnya (sultan)  dengan suara sangat  keras,  sementara itu para prajuritnya membisu dan  keheranan. Lalu  Sultan  Najmuddin Ayyub berkata, :Wahai Tuanku, itu  bukan perbuatanku,  ini  sudah ada sejak zaman ayahku.” Syaikh Izzuddin  berkata: “Kamu  termasuk  golongan orang yang mengatakan:
“Sesungguhnya Kami mendapati bapak-bapak Kami menganut suatu agama,..” (QS. Az Zukhruf (43): 22)
Lalu Sultan Ayyub merencanakan memusnahkan toko tersebut.” (Ibid, 747-748)
Inilah  Imam Al ‘Izz bin Abdissalam, dengan suara lantang dia mengkritik    sultan di depan banyak manusia, dan hal itu efektif sebagai presure    (tekanan) agar sultan mau menerima nasihatnya.
Bahkan, lebih   berani lagi Imam Izzuddin bin Abdissalam menganggap bahwa  para sultan   saat itu masih terjerat hukum perbudakan sehingga para  sultan adalah   milik baitul mal kaum muslimin. Para sultan ini boleh  dijual untuk   kemaslahatan kaum muslimin. Hingga wakil sultan marah dan  berkata:   “Bagaimana Syaikh ini memanggil kami dan ingin menjual kami?  Sementara   kami adalah raja-raja dunia. Demi Allah, aku akan penggal  kepalanya!”
Namun  yang terjadi ketika wakil sultan datang ke rumah Imam Izzuddin   bin  Abdissalam, justru pedangnya terjatuh, badannya gemetar karena    kewibawaan Imam Izzuudin. Wakil sultan berkata: “Wahai Tuanku, apa yang    kau inginkan?” Syaikh Izzuddin menjawab: “Aku memanggil dan menjual    kalian.” Wakil sultan bertanya: “Untuk apa kau menjual kami?” Syaikh    Izzuddin menjawab: “Demi kemaslahatan umat Islam.” Wakil sultan bertanya    lagi: “Siapa yang menerimanya?” Syaikh Izzuddin menjawab: “Akulah  yang   menerimanya.” Lalu para pejabat pemerintah dipanggil satu persatu  dan   dijual dengan harga mahal. Hasil penjualan mereka digunakan untuk    kemaslahatan umat Islam. Ini adalah peristiwa yang belum pernah  terjadi   sebelumnya.” (Ibid, Hal. 749-750)
Ada peristiwa yang  mirip  dengan masa Imam Ibnu Tamiyah. Ibnu As Subki  menceritakan  tentang  penguasa Damaskus bernama Shalih Ismail,  panggilannya Abu Al  Khaisy. Dia  berkolaborasi dengan pasukan Eropa  untuk menyerahkan kota  Shida dan  benteng Asy Syaqif kepada Eropa.  Tindakan ini dikecam oleh  Syaikh  Izzuddin sehingga dia tidak  mendoakannya dalam khutbah. Beliau  tidak  sendiri dalam hal ini. Beliau  ditemani oleh Abu Amr bin Al Hajib  Al  Maliki. Pengecaman tersebut telah  membuat sultan marah. (Ibid,  Hal. 750)
Inilah Al Imam Al ‘Izz bin Abdissalam, salah satu Imam  Ahlus Sunnah   bermadzhab syafi’i. Imam Ad Dzahabi menyebutnya sebagai  seorang yang   sudah taraf mujtahid, dan Imam As Suyuhi juga menyebutkan  di akhir   hayatnya dia tidak lagi terikat madzhab, sudah berfatwa  dengan fatwanya   sendiri.
Demikianlah. Sebenarnya masih banyak  contoh lain dari  para ulama.  Namun, nampaknya ini sudah cukup  menggambarkan bahwa  menasihati  penguasa secara terbuka, bukanlah hal  yang tercela dan bukan  pula  barang baru. Justru ini adalah perbuatan  mulia yang membutuhkan   keberanian sebagaimana Imam Ibnu Taimiyah dan  Imam Izzuddin bin   Abdissalam.
Menasihati pemimpin, baik secara  sembunyi atau  terbuka, tidaklah kita  melihat dari sisi benar-salah.  Melainkan dari  sisi mana di antara  keduanya yang lebih tepat guna dan  efektif dalam  merubah penyimpangan  penguasa. Tentu hal ini perlu  kejelian dan analisa.  Bisa jadi ada  penguasa yang hanya bisa berubah  dengan tekanan dari  rakyatnya, ada  juga yang sudah bisa berubah walau  di asihati oleh orang  terdekatnya  secara rahasia. Oleh karena itu,  ketenangan dan kejelian  sangat  diperlukan dalam memutuskan masalah  ini.
Dan, yang jelas  tak satu pun para ulama Islam mengatakan,  bahwa  menasihati pemimpin  secara terbuka adalah bentuk pemberontakan  bahkan  khawarij. Ini adalah  pengertian yang amat jauh. Tidak pantas  menyamakan  pemberontakan dengan  nasihat. Sebab yang satu berdosa, dan  yang lain  berpahala dan mulia. Tak  pantas pula hal itu disamakan  dengan keluarnya  kaum khawarij terhadap  pemerintahan Ali. Sebab, yang  kita bahas adalah  tentang penguasa atau  pemimpin yang zalim, bukan  pemimpin yang adil  seperti Ali bin Abi Thalib  Radhiallahu ‘Anhu.
Wallahu A’lam wa Waliyyut Taufiq.
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar