MENELUSURI DEFINISI KHILAFAH
Contributed by Redaksi
Saturday, 17 December 2005
Last Updated Sunday, 18 December 2005
Oleh : M. Shiddiq Al-Jawi
Pengertian Bahasa
Khilafah menurut makna bahasa merupakan mashdar dari fi'il madhi 
khalafa, berarti : menggantikan atau menempati tempatnya (Munawwir, 
1984:390). Makna khilafah menurut Ibrahim Anis (1972) adalah orang yang 
datang setelah orang lain lalu menggantikan tempatnya (jaa`a ba'dahu 
fa-shaara makaanahu) (Al-Mu'jam Al-Wasith, I/251).
Dalam kitab Mu'jam Maqayis Al-Lughah (II/210) dinyatakan, khilafah 
dikaitkan dengan penggantian karena orang yang kedua datang setelah 
orang yang pertama dan menggantikan kedudukannya. Menurut Imam 
Ath-Thabari, makna bahasa inilah yang menjadi alasan mengapa as-sulthan 
al-a'zham (penguasa besar umat Islam) disebut sebagai khalifah, karena 
dia menggantikan penguasa sebelumnya, lalu menggantikan posisinya 
(Tafsir Ath-Thabari, I/199).
Imam Al-Qalqasyandi mengatakan, menurut tradisi umum istilah khilafah
 kemudian digunakan untuk menyebut kepemimpinan agung (az-za'amah 
al-uzhma), yaitu kekuasaan umum atas seluruh umat, pelaksanaan 
urusan-urusan umat, dan pemikulan tugas-tugas mereka (Al-Qalqasyandi, 
Ma`atsir Al-Inafah fi Ma’alim Al-Khilafah, I/8-9).
Pengertian Syarâ
Dalam pengertian syariah, Khilafah digunakan untuk menyebut orang 
yang menggantikan Nabi SAW dalam kepemimpinan Negara Islam (ad-dawlah 
al-islamiyah) (Al-Baghdadi, 1995:20). Inilah pengertiannya pada masa 
awal Islam. Kemudian, dalam perkembangan selanjutnya, istilah Khilafah 
digunakan untuk menyebut Negara Islam itu sendiri (Al-Khalidi, 
1980:226).
Pemahaman ini telah menjadi dasar pembahasan seluruh ulama fiqih 
siyasah ketika mereka berbicara tentang Khilafah atau Imamah. Dengan 
demikian, walaupun secara literal tak ada satu pun ayat Al-Qur`an yang 
menyebut kata ad-dawlah al-islamiyah (negara Islam), bukan berarti dalam
 Islam tidak ada konsep negara. Atau tidak mewajibkan adanya Negara 
Islam. Para ulama terdahulu telah membahas konsep negara Islam atau 
sistem pemerintahan Islam dengan istilah lain
yang lebih spesifik, yaitu istilah Khilafah/Imamah atau istilah Darul
 Islam (Lihat Dr. Sulaiman Ath-Thamawi, As-Sulthat Ats-Tsalats, hal. 
245; Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, IX/823).
Hanya saja, para ulama mempunyai sudut pandang yang berbeda-beda 
ketika memandang kedudukan Khilafah (manshib Al-Khilafah). Sebagian 
ulama memandang Khilafah sebagai penampakan politik (al-mazh-har 
as-siyasi), yakni sebagai institusi yang menjalankan urusan politik atau
 yang berkaitan dengan kekuasaan (as-sulthan) dan sistem pemerintahan 
(nizham al-hukm). Sementara sebagian lainnya memandang Khilafah sebagai 
penampakan agama (almazh-
har ad-dini), yakni institusi yang menjalankan urusan agama. 
Maksudnya, menjalankan urusan di luar bidang kekuasaan atau sistem 
pemerintahan, misalnya pelaksanaan mu'amalah (seperti perdagangan), 
al-ahwal asysyakhshiyyah (hukum keluarga, seperti nikah), dan 
ibadah-ibadah mahdhah. Ada pula yang berusaha menghimpun dua penampakan 
ini. Adanya perbedaan sudut pandang inilah yang menyebabkan mengapa para
 ulama tidak menyepakati satu definisi untuk Khilafah (Al-Khalidi, 
1980:227).
Sebenarnya banyak sekali definisi Khilafah yang telah dirumuskan oleh
 oleh para ulama. Berikut ini akan disebutkan beberapa saja definisi 
Khilafah yang telah dihimpun oleh Al-Khalidi (1980), Ali Belhaj (1991), 
dan Al-Baghdadi (1995) :
Pertama, menurut Imam Al-Mawardi (w. 450 H/1058 M), 
Imamah ditetapkan bagi pengganti kenabian dalam penjagaan agama dan 
pengaturan urusan dunia (Al-Ahkam As-Sulthaniyah, hal. 3).
Kedua, menurut Imam Al-Juwayni (w. 478 H/1085 M), 
Imamah adalah kepemimpinan yang bersifat menyeluruh (riyasah taammah) 
sebagai kepemimpinan yang berkaitan dengan urusan khusus dan urusan umum
 dalam kepentingankepentingan agama dan dunia (Ghiyats Al-Umam, hal. 
15).
Ketiga, menurut Imam Al-Baidhawi (w. 685 H/1286 M), 
Khilafah adalah pengganti bagi Rasulullah SAW oleh seseorang dari 
beberapa orang dalam penegakan hukum-hukum syariah, pemeliharaan hak 
milik umat, yang wajib diikuti oleh seluruh umat (Hasyiyah Syarah 
Al-Thawali', hal.225).
Keempat, menurut Adhuddin Al-Iji (w. 756 H/1355 M), 
Khilafah adalah kepemimpinan umum (riyasah 'ammah) dalam urusan-urusan 
dunia dan agama, dan lebih utama disebut sebagai pengganti dari 
Rasulullah dalam penegakan agama (I'adah Al-Khilafah, hal. 32).
Kelima, menurut At-Taftazani (w. 791 H/1389 M), 
Khilafah adalah kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia, sebagai 
pengganti dari Nabi SAW dalam penegakan agama, pemeliharaan hak milik 
umat, yang wajib ditaati oleh seluruh umat (Lihat Al-Iji, Al-Mawaqif, 
III/603; Lihat juga Rasyid Ridha, Al-Khilafah, hal. 10).
Keenam, menurut Ibnu Khaldun (w. 808 H/1406 M), 
Khilafah adalah pengembanan seluruh [urusan umat] sesuai dengan kehendak
 pandangan syariah dalam kemaslahatan-kemaslahatan mereka baik 
ukhrawiyah, maupun duniawiyah yang kembali kepada kemaslahatan 
ukhrawiyah (Al-Muqaddimah, hal. 166 & 190).
Ketujuh, menurut Al-Qalqasyandi (w. 821 H/1418 M), 
Khilafah adalah kekuasaan umum (wilayah 'ammah) atas seluruh umat, 
pelaksanaan urusan-urusan umat, serta pemikulan tugas-tugasnya (Ma`atsir
 Al-Inafah fi Ma'alim Al-Khilafah, I/8).
Kedelapan, menurut Al-Kamal ibn Al-Humam (w. 861 
H/1457 M), Khilafah adalah otoritas (istihqaq) pengaturan umum atas kaum
 muslimin (Al-Musamirah fi Syarh Al-Musayirah, hal. 141).
Kesembilan, menurut Imam Ar-Ramli (w. 1004 H/1596 
M), khalifah adalah al-imam al-a’zham (imam besar), yang berkedudukan 
sebagai pengganti kenabian, dalam penjagaan agama dan pengaturan urusan 
dunia (Nihayatul Muhtaj ila Syarh Al-Minhaj, VII/289).
Kesepuluh, menurut Syah Waliyullah Ad-Dahlawi (w. 
1176 H/1763 M), Khilafah adalah kepemimpinan umum (riyasah'ammah) ... 
untuk menegakkan agama dengan menghidupkan ilmu-ilmu agama, menegakkan 
rukun-rukun Islam, melaksanakan jihad...melaksanakan peradilan (qadha`),
 menegakkan hudud... sebagai pengganti (niyabah) dari Nabi SAW (dikutip 
oleh Shadiq Hasan Khan dalam Iklil Al-Karamah fi Tibyan Maqashid 
Al-Imamah, hal. 23).
Kesebelas, menurut Syaikh Al-Bajuri (w. 1177 H/1764 
M), Khilafah adalah pengganti (niyabah) dari Nabi SAW dalam umumnya 
kemaslahatan-kemaslahatan kaum muslimin (Tuhfah Al-Murid 'Ala Jauhar 
At-Tauhid, II/45).
Keduabelas, menurut Muhammad Bakhit Al-Muthi'i (w. 
1354 H/1935 M), seorang Syaikh Al-Azhar, Imamah adalah kepemimpinan umum
 dalam urusan-urusan dunia dan agama (I'adah Al-Khilafah, hal. 33).
Ketigabelas, menurut Mustafa Shabri (w. 1373 H/1953 
M), seorang Syaikhul Islam pada masa Daulah Utsmaniyah, Khilafah adalah 
pengganti dari Nabi SAW dalam pelaksanaan apa yang dibawa Nabi SAW 
berupa hukum-hukum syariah Islam (Mawqif Al-Aql wa Al-'Ilm wa Al-'Alim, 
IV/363).
Keempatbelas, menurut Dr. Hasan Ibrahim Hasan, 
Khilafah adalah kepemimpinan umum dalam urusan-urusan agama dan dunia 
sebagai pengganti dari Nabi SAW (Tarikh Al-Islam, I/350).
Analisis Definisi
Dari keempatbelas definisi yang telah disebutkan di atas, dapat dilihat sebetulnya ada 3 (tiga) kategori definisi, yaitu :
Pertama, definisi yang lebih menekankan pada 
penampakan agama (al-mazh-har ad-dini). Jadi, Khilafah lebih dipahami 
sebagai manifestasi ajaran Islam dalam pelaksanaan urusan agama. 
Misalnya definisi Al-Iji. Meskipun Al-Iji menyatakan bahwa Khilafah 
mengatur urusan-urusan dunia dan urusan agama, namun pada akhir kalimat,
 beliau menyatakan,Khilafah lebih utama disebut sebagai pengganti dari 
Rasulullah dalam penegakan agama.
Kedua, definisi yang lebih menekankan pada 
penampakan politik (al-mazh-har as-siyasi). Di sini Khilafah lebih 
dipahami sebagai manifestasi ajaran Islam berupa pelaksanaan urusan 
politik atau sistem pemerintahan, yang umumnya diungkapkan ulama dengan 
terminologi â€oeurusan dunia― (umuur ad-dunya). Misalnya definisi 
Al-Qalqasyandi. Beliau hanya menyinggung Khilafah sebagai kekuasaan umum
 (wilayah 'ammah) atas seluruh umat, tanpa mengkaitkannya dengan
fungsi Khilafah untuk mengatur urusan agama.
Ketiga, definisi yang berusaha menggabungkan 
penampakan agama (al-mazh-har ad-dini) dan penampakan politik 
(almazh-har as-siyasi). Misalnya definisi Khilafah menurut Imam 
Al-Mawardi yang disebutnya sebagai pengganti kenabian dalam penjagaan 
agama dan pengaturan urusan dunia.
Dengan menelaah seluruh definisi tersebut secara mendalam, akan kita 
dapati bahwa secara global berbagai definisi tersebut lebih berupa 
deskripsi realitas Khilafah dalam dataran empirik (praktik) --misalnya 
adanya dikotomi wilayah urusan dunia dan urusan agama daripada sebuah 
definisi yang bersifat syar'i, yang diturunkan dari nash-nash Selain 
itu, definisi-definisi tersebut kurang mencakup (ghayru jaami'ah). Sebab
 definisi Khilafah seharusnya menggunakan redaksi yang tepat yang bisa 
mencakup hakikat Khilafah dan keseluruhan fungsi Khilafah, bukan dengan
redaksi yang lebih bersifat deskriptif dan lebih memberikan 
contoh-contoh, yang sesungguhnya malah menyempitkan definisi. Misalnya 
ungkapan bahwa Khilafah bertugas menghidupkan ilmu-ilmu agama, 
menegakkan rukun-rukun Islam, melaksanakan jihad, melaksanakan peradilan
 (qadha`), menegakkan hudud, dan seterusnya. Bukankah definisi ini 
menjadi terlalu rinci yang malah dapat menyulitkan kita menangkap 
hakikat Khilafah? Juga bukan dengan redaksi yang
terlalu umum yang cakupannya justru sangat luas. Misalnya ungkapan 
bahwa Khilafah mengatur umumnya kemaslahatan-kemaslahatan kaum muslimin.
 Atau bahwa Khilafah mengatur kemaslahatan-kemaslahatan duniawiyah dan 
ukhrawiyah. Bukankah ini ungkapan yang sangat luas jangkauannya?
Sesungguhnya, untuk menetapkan sebuah definisi, sepatutnya kita perlu
 memahami lebih dahulu, apakah ia definisi syar'i (at-ta'rif asy-syar'i)
 atau definisi non-syar'i (at-ta'rif ghayr asy-syar'i) (Zallum, 
1985:51). Definisi syarâ€definisi yang digunakan dalam nash-nash 
Al-Qur`an dan As-Sunnah, semisal definisi sholat dan zakat. Sedang 
definisi non-syar'i merupakan definisi yang tidak digunakan dalam 
nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah, tetapi digunakan dalam disiplin ilmu 
tertentu atau kalangan ilmuwan tertentu, semisal definisi isim, fi'il, 
dan harf (dalam ilmu Nahwu-Sharaf).
Contoh lainnya misalkan definisi akal, masyarakat, kebangkitan, 
ideologi (mabda`), dustur (UUD), qanun (UU), hadharah (peradaban), 
madaniyah (benda sarana kehidupan), dan sebagainya
Jika definisinya berupa definisi non-syar'i, maka dasar perumusannya 
bertolak dari realitas (al-waqi'), bukan dari nashnash syara'. Baik ia 
realitas empirik yang dapat diindera atau realitas berupa kosep-konsep 
yang dapat dijangkau faktanya dalam benak. Sedang jika definisinya 
berupa definisi syar'i, maka dasar perumusannya wajib bertolak dari 
nashnash syara Al-Qur`an dan As-Sunnah, bukan dari realitas. Mengapa? 
Sebab, menurut Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani,
definisi syar'i sesungguhnya adalah hukum syar'i, yang wajib 
diistimbath dari nash-nash syar'i (Ay-Syakhshiyyah Al-Islamiyah, 
III/438-442; Al-Ma'lumat li Asy-Syabab, hal. 1-3). Jadi, perumusan 
definisi syar'i, misalnya definisi sholat, zakat, haji, jihad, dan 
semisalnya, wajib merujuk pada nash-nash syar'i yang berkaitan 
dengannya.
Apakah definisi Khilafah (atau Imamah) merupakan definisi syar'i? 
Jawabannya, ya. Sebab nash-nash syar'i, khususnya hadits-hadits Nabi 
SAW, telah menggunakan lafazh-lafazh khalifah  dan imam yang masih satu 
akar kata dengan Khilafah/Imamah. Misalnya hadits Nabi, Jika dibaiat dua
 orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya. (Shahih 
Muslim, no. 1853).
Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya telah mengumpulkan hadits-hadits tentang Khilafah
dalam Kitab Al-Ahkam. Sedang Imam Muslim dalam Shahihnya telah 
mengumpulkannya dalam Kitab Al-Imarah (Ali Belhaj, 1991:15). Jelaslah, 
bahwa untuk mendefinisikan Khilafah, wajiblah kita memperhatikan 
berbagai nash-nash ini yang berkaitan dengan Khilafah.
Dengan menelaah nash-nash hadits tersebut, dan tentunya nash-nash 
Al-Qur`an, akan kita jumpai bahwa definisi Khilafah dapat dicari 
rujukannya pada 2 (dua) kelompok nash, yaitu :
Kelompok Pertama, nash-nash yang menerangkan hakikat Khilafah sebagai sebuah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia.
Kelompok Kedua, nash-nash yang menjelaskan 
tugas-tugas khalifah, yaitu : (1) tugas menerapkan seluruh hukum-hukum 
syariah Islam, (2) tugas mengemban dakwah Islam di luar tapal batas 
negara ke seluruh bangsa dan umat dengan jalan jihad fi sabilillah
Nash kelompok pertama, misalnya nash hadits, Maka 
Imam yang [memimpin] atas manusia adalah [bagaikan} seorang penggembala 
dan dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya (rakyatnya). 
(Shahih Muslim, XII/213; Sunan Abu Dawud, no. 2928, III/342-343; Sunan 
At-Tirmidzi, no. 1705, IV/308). Ini menunjukkan bahwa Khilafah adalah 
sebuah kepemimpinan (ri`asah/qiyadah/imarah). Adapun yang menunjukkan 
bahwa Khilafah bersifat umum untuk seluruh kaum muslimin di dunia, 
misalnya hadits Nabi yang mengharamkan adanya lebih dari satu khalifah 
bagi kaum muslimin seperti telah disebut sebelumnya (Shahih Muslim no. 
1853). Ini berarti, seluruh kaum muslimin di dunia hanya boleh dipimpin 
seorang khalifah saja, tak boleh lebih. Dan kesatuan Khilafah untuk 
seluruh kaum muslimin di dunia sesungguhnya telah disepakati oleh empat 
imam madzhab, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-Syafi'i, dan 
Imam Ahmad, rahimahumullah (Lihat Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh 'Ala 
Al-Madzahib Al-Arba'ah, V/308; Muhammad ibn Abdurrahman Ad-Dimasyqi, 
Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al-A`immah, hal. 208).
Nash kelompok kedua, adalah nash-nash yang menjelaskan tugas-tugas khalifah, yang secara lebih rinci terdiri dari dua tugas berikut :
Pertama, tugas khalifah menerapkan seluruh hukum syariah 
Islam atas seluruh rakyat. Hal ini nampak dalam berbagai nash yang 
menjelaskan tugas khalifah untuk mengatur muamalat dan urusan harta 
benda antara individu muslim (QS Al-Baqarah:188, QS An-Nisaa`:58), 
mengumpulkan dan membagikan zakat (QS At-Taubah:103), menegakkan hudud 
(QS
Al-Baqarah:179), menjaga akhlaq (QS Al-Isra`:32), menjamin masyarakat
 dapat menegakkan syiar-syiar Islam dan menjalankan berbagai ibadat (QS 
Al-Hajj:32), dan seterusnya.
Kedua, tugas khalifah mengemban dakwah Islamiyah ke seluruh 
dunia dengan jihad fi sabilillah. Hal ini nampak dalam banyak nash yang 
menjelaskan tugas khalifah untuk mempersiapkan pasukan perang untuk 
berjihad (QS Al-Baqarah:216), menjaga tapal batas negara (QS 
Al-Anfaal:60), memantapkan hubungan dengan berbagai negara menurut asas 
yang dituntut oleh politik luar negeri, misalnya mengadakan berbagai 
perjanjian perdagangan, perjanjian gencatan senjata, perjanjian 
bertetangga baik, dan semisalnya (QS Al-Anfaal:61; QS Muhammad:35).
Berdasarkan dua kelompok nash inilah, dapat dirumuskan definisi 
Khilafah secara lebih mendalam dan lebih tepat. Jadi, Khilafah adalah 
kepemimpinan umum bagi kaum muslimin seluruhnya di dunia, untuk 
menegakkan hukum-hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islamiyah ke 
seluruh dunia. Definisi inilah yang telah dirumuskan oleh Syaikh 
Taqiyuddin An-Nabhani (w. 1398 H/1977 M) dalam kitab-kitabnya, misalnya 
kitab Al-Khilafah (hal. 1), kitab Muqaddimah
Ad-Dustur (bab Khilafah) hal. 128, dan kitab Asy-Syakshiyyah 
Al-Islamiyah, Juz II hal. 9. Menurut beliau juga, istilah Khilafah dan 
Imamah dalam hadits-hadits shahih maknanya sama saja menurut pengertian 
syar'i (al-madlul asy-syar'i). Definisi inilah yang beliau tawarkan 
kepada seluruh kaum muslimin di dunia, agar mereka sudi kiranya untuk 
mengambilnya dan kemudian memperjuangkannya supaya menjadi realitas di 
muka bumi, menggantikan sistem kehidupan sekuler yang kufur saat ini. 
Pada saat itulah, orang-orang beriman akan merasa gembira dengan 
datangnya pertolongan Allah. Dan yang demikian itu, sungguh, tidaklah 
sulit bagi Allah Azza wa Jalla. [ ]
DAFTAR PUSTAKA
Ad-Dimasyqi, Muhammad ibn Abdurrahman (Qadhi Shafd). 1996. Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al-A`immah. Cetakan I.
(Beirut : Darul Fikr).
Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1995. Mafhum Al-Khalifah wa Al-Khilafah fi 
Al-Hadharah Al-Islamiyah. Majalah Al-Khilafah Al-Islamiyah. No 1 Th I. 
Sya'ban 1415 H/Januari 1995 M. (Jakarta : Al-Markaz Al-Istitiratiji li 
Al-Buhuts Al-Islamiyah).
Al-Jaziri, Abdurrahman. 1999. Al-Fiqh ˜Ala Al-Madzahib Al-Arba'ah. Juz V. Cetakan I. (Beirut : Darul Fikr).
Al-Khalidi, Mahmud Abdul Majid. 1980. Qawaid Nizham Al-Hukm fi Al-Islam. (Kuwait : Darul Buhuts Al-'Ilmiyah).
Anis, Ibrahim et.al. 1972. Al-Mu'jam Al-Wasith. (Kairo : Darul Ma'arif).
An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Ay-Syakhshiyyah Al-Islamiyah. Juz III (Ushul Al-Fiqh). (Al-Quds : Min Mansyurat Hizb Al-
Tahrir).
----------.1953. Ay-Syakhshiyyah Al-Islamiyah. Juz II. (Al-Quds : Min Mansyurat Hizb Al-Tahrir).
----------. 1963. Al-Ma’lumat li Asy-Syabab. (t.tp. : t.p.).
----------. 1963. Muqaddimah Ad-Dustur. (t.tp. : t.p.).
Ath-Thamawi, Sulaiman. 1967. As-Sulthat Ats-Tsalats fi Ad-Dasatir 
Al-Arabiyah al-Mu'ashirah wa fi Al-Fikr As-Siyasi Al-Islami. (Kairo : 
Darul Fikr Al-'Arabi).
Az-Zuhaili, Wahbah. 1996. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu. Juz IX (Al-Mustadrak). Cetakan I. (Damaskus/Beirut : Darul Fikr).
Belhaj, Ali. 1991. Tanbih Al-Ghafilin wa I'lam Al-Ha`irin bi Anna I'adah Al-Khilafah min A'zham Wajibat Hadza Ad-Din.
(Beirut : Darul 'Uqab).
Munawwir, Ahmad Warson. 1984. Kamus Al-Munawwir. Cet. Ke-1. (Yogyakarta : PP. Al-Munawwir Krapyak).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar