A.
Prolog
Telah jelas dalam satu ketetapan bagi pengikut ahlus sunnah,
bahwa apa yang telah menjadi perilaku dan kebijakan Rosulullah di Madinah paska
Hijrah telah menjadi sunnah pula. Diantaranya adalah mendirikan Daulah,
menegakan Syari’at Islam dalam tatanan Hukum dan Peradilan, membentuk system
ekonomi yang adil, tidak memberlakukan pajak, mempertahankan Daulah melalui
peperangan, hingga ekspansi politik dalam rangka menyebarkan Diin (Islam) untuk
dijadikan satu keyakinan menyeluruh bagi umat manusia yang beriman kepada Allah
Rabbul ‘alamiin. Bukan hanya itu, tapi Rosulullah membangun peradaban baru di
Jazirah Arab bersama seluruh komponen umat yang berada didalamnya termasuk kaum
Naserani dan Bani Israil.
Rosulullah memulai satu komunitas politis dan hukum dengan
satu kesepakatan politik saat baru tiba di Yastrib, yaitu dengan membuat satu
konstitusi yang ditulis dalam satu suhuf/piagam. Yaitu Suhuf Madinah. Dimana
didalamnya termaktub satu kesepakatan diantara rakyat Yastrib dan sekitarnya
yang terdiri dari kaum Muslimin, kaum Bani Israil, dan Musyrikin Yastrib,
dimana disepakati satu ketetapan politik dibawah Imammah/Kepemimpinan Politik
dan Hukum berdasarkan Ketetapan Allah dan RosulNya. Dan jabatan Imam (pemimpin
puncak Daulah/Negara) saat itu dipegang langsung oleh Rosulullah. Sehingga
melalui kesepakatan Piagam Madinah tersebut, Muhammad SAW bukan hanya sebagai
Nabi dan Rosulullah, akan tetapi juga sebagai Imam Daulah/Negara, yang berarti
menjadi Pimpinan Ulil Amri (Pemerintahan
Negara).
صحيفة المدينة (Piagam
Madinah)
بسم الله الرحمن الرحيم
هذا كتاب من محمد النبي صلىالله عليه
وسلم بين المؤمنين والمسلمين من قريش ويثرب ومن تبعهم فلحق بهم وجاهد معهم.
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang,
Ini adalah piagam dari Muhammad
Rasulullah SAW, di kalangan mukminin dan muslimin (yang berasal dari) Quraisy
dan Yatsrib (Madinah), dan yang mengikuti mereka, menggabungkan diri dan berjuang
bersama mereka
.
١. انهم امة واحدة من دون الناس
Pasal 1
Sesungguhnya mereka satu umat, lain
dari (komunitas) manusia lain.
٢٣. وانكم مهما اختلفتم فيه من شيئ فان مرده الى الله عزوجل والى محمد صلى الله عليه وسلم
Pasal 23
Apabila kamu berselisih tentang sesuatu, penyelesaiannya menurut (ketentuan) Allah Azza Wa Jalla dan (keputusan) Muhammad SAW.
Yang dimaksud satu umat didalam
ketetapan tersebut pada dasarnya adalah termasuk kaum Bani Israil dan kaum
Musyrikin Yastrib yang masuk dalam kesepakatan, kembali ditegaskan dalam pasal
lainnya :
Pasal 25
Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarga.
Meskipun satu umat (rakyat Madinah), Rosulullah membebaskan Yahudi melaksanakan ajaran mereka termasuk didalamnya adalah membuat peradilan sendiri diantara mereka.
Melalui Piagam inilah Rosulullah membangun satu komunitas (jama’ah) yang terdiri dari seluruh rakyat Yastrib, kemudian merambah ke Hijaz hingga oleh penggantinya (Khilafah Rosulullah) mencapai Persia, syam, Mesir, dan Yaman.
B. Al Jam’ah adalah
Daulah Madinah
Yastrib adalah satu territorial di
Hijaz dimana mereka sebagian menjadi pengikut Nabi Ismail, sedangkan sisanya
adalah kaum Bani Israil yang mengungsi ke Selatan dari Palestina. Banyak Ahli
sejarah mengmukakan bahwa kaum Bani Israil ini telah mengetahui bahwa akan
datangnya Nabi Terakhir seperti apa yang telah diungkapkan didalam Taurat.
Sedangkan dari golongan pribumi yang terdiri dari dua suku besar Yastrib, Aus dan
Khazraj banyak pula mendengar tentang berita tersebut. Sehingga ketika
mengetahui telah datang Nabi dari keturunan Quraish dimana kebetulan Beliau
(Muhammad) adalah kerabat mereka (dari Ibu/Khadijah) mulai tertarik dengan
ajaran yang dibawanya itu.
Setelah mengislamkan 6 orang
pertama, kemudian 12 orang di Bukit Aqobah, Rosulullah mengirim Mus’ab bin
Umair untuk memberikan gambaran ajaran Tauhid yang dibawa Beliau. Sehingga
beberapa Kepala Suku dari Aus dan Khazraj berhasil diislamkan oleh Mush’ab dan
disiapkanlah oleh Rosulullah untuk mempersiapkan Yastrib sebagai target basis
Islam melalui kesepakatan khusus yang dilaksanakan di Bukit yang sama (Aqobah)
untuk kedua kalinya. Di bukit itulah kemudian Rosulullah meminta kepada 74
orang yang ada disana untuk berbai’at kepadanya dalam hal pembelaan kepada misi
Rosulullah dalam penegakan Diin, membela untuk memperjuangkan dan
mempertahankan apa yang akan dilaksanakan di Yastrib kelak, kemudian Rosulullah
memilih 12 pimpinan Yastrib dari Aus dan Khazraj sebagai wakil Beliau dalam hal
persiapan kepemimpinan yang akan di bentuknya kelak. Perjanjian tersebut
diabadikan didalam Al Qur’an
Surat At Taubah:111 :
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang
mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka
berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah
menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur’an. Dan
siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka
bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah
kemenangan yang besar.
Tidaklah semata-mata bai’at tersebut akan
menimbulkan suatu kemungkinan terburuk (Perang) kecuali misi yang dihadapi
adalah misi yang besar dan berbicara kedaulatan yang harus dipertahankan.
Yastrib benar-benar oleh Rosulullah dipersiapkan untuk itu, para pemimpinnya,
masyarakatnya, teritorialnya, dan kesepakatan ini dilaksanakan sebelum turunnya
perintah Hijrah. Perintah Hijrah hanyalah momen yang tepat untuk kaum Mu’min
Mekah dalam penggabungan kekuatan untuk tegaknya kedaulatan yang telah
direncanakan sebelumnya.
Sehingga ketika Yastrib sudah pantas
menjadi Basis Teritorial kedaulatan Diin Islam, maka turunlah perintah Hijrah
tersebut. Fihak Mekah mengetahuinya, tapi terlambat mengantisipasinya, sehingga
jalan terakhir bagi mereka adalah pembunuhan terhadap Rosulullah melalui syuro
di Darun Nadwah. Fihak Mekah mengetahui betul potensi penggabungan kekuatan
Yastrib dan kaum mu’min Mekah akan menambah kekuatan Rosulullah, dan akan lebih
sulit lagi ketika Rosulullah benar-benar berkuasa di Yastrib kelak. Karena saat
itu Rosulullah akan menjadi pemimpin yang berdaulat dan mempunyai kekuatan
politik serta militer yang berlipat ganda. Misi terakhir inilah (pembunuhan
Rosulullah) yang diusahakan akan tetapi gagal.
Rosulullah disambut di Yastrib oleh
semua fihak, bukan hanya kaum muslimin tetapi kaum Musyrikin serta Bani Israil
dimana mereka adalah sekutu utama dari Khazraj dan Aus sebelum kesepakatan di
Bukit Aqobah. Dan sangat menghargai Rosulullah karena persekutuan tersebut
tidak dilarangnya (janji Rosulullah di Bukit Aqobah kepada Aus dan Khazraj).
Ketika Rosulullah mengajak seluruh fihak untuk menyepakati ketetapan yang harus
disepakati penduduk Yastrib, tidak ada satupun fihak yang menentangnya. 12
Pemimpin yang ditunjuk Rosulullah di Bukit Aqobah telah melaksanakan tugasnya
dalam merangkul seluruh fihak dan memberi pengertian yang baik. Bani Israil
mengetahui betul kekuatan Aus dan Khazraj beserta tambahan kaum Muhajirin dari
Mekah tidak akan mampu dihadapi oleh mereka yang jumlahnya tidak lagi dominan
di Yastrib. Mereka (Bani Israil) bahkan menyepakati persekutuan militer yang
juga termaktub didalam pasal-pasal kesepakatan tersebut. Mereka melihat jaminan
kebebasan bagi Bani israil untuk tetap melaksanakan ajaran-ajarannya serta
tidak di intervensi dalam kepemimpinan politik diantara mereka.
Komunitas ini menjadi komunitas
tersendiri. Mempunyai batas politik yang jelas. Mempunyai ketetapan hukum yang
jelas. Mempunyai system kepemimpinan yang jelas pula. Komunitas ini menjadi
komunitas baru di Hijaz dimana sebelumnya mereka sempat akan memilih Raja
(Abdullah bin Ubay) kemudian tidak terlaksana setelah perjanjian Aqobah yang
kedua dengan Rosulullah. Bahkan akhirnya berdaulatnya system pemerintahan baru
mereka lebih baik dari apa yang sebelumnya akan mereka dirikan. Madinah
akhirnya berdiri sebagai Pemerintahan yang Berdaulat penuh dipimpin langsung
oleh Rosulullah baik dalam hak kepemimpinan Politik, Hukum, dan Militer
sekaligus. Komunitas inilah yang disebut sebagai Al Jama’ah.
Al Jama’ah ‘ala Minhaj Rosulullah
adalah Madinah. Sebuah Pemerintahan yang berdaulat penuh dalam melaksanakan
Syari’at Allah dan RosulNya. Dipimpin oleh Imam yang Haq, Imam yang
melaksanakan ketetapan Allah, sebagai Khalifatullah (perwakilan Kekuasaan Allah
di muka Bumi). Menjadi Rahmat bagi seluruh rakyat didalamnya, baik muslim
maupun non muslim. Al Jama’ah adalah Komunitas yang dipimpin oleh system
kepemimpinan (Ulil Amri) yang tidak keluar dari Ketetapan Allah dan RosulNya
dan wajib dita’ati oleh seluruh rakyat Madinah baik muslim maupun non Muslim.
Hal yang ditegaskan pula oleh Rosulullah didalam Piagam Madinah (Pasal 23), dan
diabadikan didalam al Qur’an surat An Nisaa ayat 59
Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Dan Kewajiban Imam Daulah/Negara untuk menjadi Hakim
yang Adil melalui para perwakilannya. Hakim bagi seluruh rakyat Madinah baik
Muslim maupun non Muslim.
﴾
An Nisaa:58 ﴿
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.
Dan bagi rakyat Madinah, ketaatan sesuai dengan
konstitusi Madinah adalah sebuah keniscayaan bagi mereka, baik muslim maupun
non muslim. Bahkan Allah menegaskan bagi Bani Israil untuk konsisten didalam
kesepakatan itu (Taat kepada ketentuan Allah dan RosulNya) ketika mereka mulai
mengingkarinya.
5:68. Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, kamu tidak
dipandang beragama sedikitpun
hingga kamu menegakkan ajaran/hukum Taurat, Injil, dan Al-Qur'an yang
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu". Sesungguhnya apa yang diturunkan
kepadamu (Muhammad) dari Tuhanmu akan menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada
kebanyakan dari mereka; maka janganlah kamu bersedih hati terhadap orang-orang
yang kafir itu.
Begitu pula bagi kaum muslimin. Untuk tidak keluar
dari ketaatan terhadap hukum Negara.
|
||
Bagi Kaum Muslimin, tidaklah lagi dibenarkan
memberikan ketaatan diluar al Jama’ah dalam hal ini adalah kepemimpinan di Madinah, tidak lagi
dibenarkan menggunakan Hukum selain hukum yang berlaku di Madinah. Allah menetapkan
pilihan tegas kepada siapapun yang mencoba mengingkarinya.
Al Maidah:50. Apakah hukum Jahiliyah
yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum)
Allah bagi orang-orang yang yakin ?
|
Hukum Jahiliyah adalah Hukum yang diyakini oleh
rakyat Yastrib sebelum datangnya ketetapan (hukum) yang diberikan oleh Allah
dan RosulNya (berdirinya Daulah/Madinah). Hukum yang dibuat oleh mereka
sendiri, yang tentunya setelah kesepakatan/konstitusi Madinah, harus
dihilangkan atau tidak lagi dilaksanakan.
Ketika seorang muslim keluar dari kepemimpinan al
Jama’ah/Daulah, maka dengan sendirinya tidak lagi berhukum kepada Hukum Allah,
mereka akan kembali kepada Hukum Jahiliyah, Rosulullah menegaskan mereka yang
melakukannya sudah keluar dari konstitusi Madinah, keluar dari al Jama’ah,
mereka dipandang kembali Jahiliyah dan mati dalam kondisi Jahiliyah.
Imam Thabrani meriwayatkannya dalam Mu'jamul Kabir. Dengan demikian hadis ini SAHIH.
ﻋَﻦِ ﺍﺑْﻦِ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻨْﻬُﻤَﺎ ﻋَﻦِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ًﺔَﺘْﻴَﻣ َﺕﺎَﻣ ،َﺕﺎَﻤَﻓ ﺎًﺌْﻴَﺷ َﺔَﻋﺎَﻤَﺠْﻟﺍ َﻕَﺭﺎَﻓ ْﻦَﻣ ُﻪَّﻧِﺈَﻓ ،ِﻪْﻴَﻠَﻋ ْﺮِﺒْﺼَﻴْﻠَﻓ ُﻪُﻫَﺮْﻜَﻳ ﺎًﺌْﻴَﺷ ِﻩِﺮْﻴِﻣَﺃ ْﻦِﻣ ﻯَﺃَﺭ ْﻦَﻣ :َﻝﺎَﻗ ﺟَﺎﻫِﻠِﻴَّﺔً Makna Hadis:
Dari Ibnu Abbas radliallahu anhuma berkata, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
Barangsiapa melihat sesuatu dari pemimpinnya yang tidak disukainya, maka hendaklah bersabar kerana sesungguhnya jika seseorang keluar dari Al-Jama'ah walaupun sejengkal kemudian dia mati, maka matinya dalam keadaan jahiliyyah."
Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dengan Syarh Fathul Bari XIII/5 dan Muslim (1849). Syarah hadis:
Al-Hafiz Ibnu Hajar menjelaskan tentang makna "matinya dalam keadaan mati jahiliyah" ialah: "Matinya seperti Ahli Jahiliyah, iaitu di atas kesesatan. Dan dia tidak memiliki imam yang ditaati kerana mereka tidak mengenalnya. Dan bukan maksudnya dia mati kafir, tapi matinya sebagai orang yang berbuat maksiat." (Fathul Bari XIII/7).
Al Jama’ah haruslah dipertahankan
keutuhannya. Karena jika terpecah belah rakyat didalamnya maka kedaulatan Islam
akan terancam. Perpecahan akan memunculkan kemungkinan hancurnya kedaulatan,
hilangnya kedaulatan adalah azab bagi rakyatnya. Rosulullah menyatakan tentang
hal ini dalam salah satu hadits dari sahabat Nu’man bin Basyir
radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah ‘alaihi ash shalatu wa assalam
bersabda: “al
jama’ah itu adalah rahmat dan perpecahan
(perselisihan) adalah adzab”.
Didalam Al Qur’an dinyatakan dalam Surat Asy Syuro :13. Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang
agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami
wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan
Isa yaitu : Tegakkanlah agama (laksanakan syari’atNya) dan janganlah kamu berpecah belah
tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka
kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan
memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).
Juga didalam surat Al Imran :
وَاعْتَصِمُواْ
بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُواْ
“Bersatulah
dengan tali Allah dan janganlah berpecah-belah” (QS. Al Imran: 103)
C.
Al Jama’ah adalah Jama’atul Muslimin
Al Jama’ah bagi kaum Muslimin bukanlah hanya sekedar
komunitas politik biasa. Al Jama’ah adalah bagaimana seorang Hamba Allah
melaksanakan Perintah Allah dan RosulNya. Al Jama’ah adalah satu ikatan kuat
diantara kaum muslimin untuk melaksanakan DiinNya, ikatan kuat diantar hamba-hamba
yang terbebas dari ikatan kepemimpinan Dzalim yang sebelumnya diikutinya.
Ikatan hamba-hamba yang Merdeka.
Al Baqarah: 256. Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama
(Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.
Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya
ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui
Bahkan Rosulullah mensyiratkan atas pembelaan diantara kaum
Muslimin yang berada didalam al Jama’ah.
Hadits Rasul yang diriwayatkan oleh Nu’man bin Basyir berbunyi:
Hadits Rasul yang diriwayatkan oleh Nu’man bin Basyir berbunyi:
عَنْ
النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ
وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ
سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى (رَوَاهُ مُسْلِمٌ).
Artinya:
“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam berkasih sayang bagaikan satu tubuh,
apabila satu anggota badan merintih kesakitan maka sekujur badan akan merasakan
panas dan demam”. (HR. Muslim).
Al Jama’ah
dalam kepemimpinan Kaum Muslimin bukan hanya sekedar Daulah Islamiyah, Al
Jama’ah bagi kaum Muslimin adalah ikatan kuat diantara kaum Muslimin dalam hal
kepemimpinan, Militer, Hukum, Sosial, berdasarkan ketaatan kepada Allah dan
RosulNya melalui Imam mereka. Al Jama’ah adalah Jama’atul Muslimin. System yang
harus dipertahankan ikatannya oleh segenap kaum muslimin. Dalam kondisi apapun,
bahkan ketika Al Jama’ah tidak lagi utuh sebagai Daulah, ketika terjadi
perpecahan diantara manusia dikarenakan munculnya kembali Kejahiliyahan.
Jam’aatul Muslimin tetap harus dipertahankan oleh Kaum Muslimin. Tidak kemudian
mengikuti fenomena yang mungkin timbul, yaitu perpecahan kaum Muslimin. Satu
hal yang harus dihindari oleh mereka. Bahkan jika yang mengajak kepada
perpecahan tersebut adalah Da’I- Da’I (penyeru kebaikan) yang biasa mereka
ikuti harus mereka tolak untuk mengikutinya lagi. Jama’atul Muslimin haruslah
tetap dipertahankan eksistensinya. Bahkan ketika Imammah dari jama’atul
Muslimin tersebut tidak lagi mampu dipertahankan, hakikatnya setiap muslim
harus konsisten memperjuangkannya untuk tegak kembali, jangan kemudian
mengikuti firqoh firqoh yang ada yang tidak lagi mempertahankan Jama’atul
Muslimin. Meski hanya tinggal satu orang saja yang memperjuangkan dan
mempertahankan kepemimpinannya, maka dialah yang akan tetap selamat.
Diriwayatkan dari Hudzaifah bin Al-Yamân bahwa ia
berkata, "Orang-orang bertanya
kepada Rasulullah Saw tentang kebaikan, tapi aku bertanya kepada beliau tentang
keburukan karena aku takut terjerumus ke dalamnya. Aku bertanya "Wahai
Rasulullah Saw, dahulu kami berada di zaman Jahiliyah dan keburukan, kemudian
Allah Swt mengaruniakan kebaikan ini (Islam). Apakah setelah kebaikan ini akan
datang keburukan? Beliau menjawab, "Ya." Aku bertanya lagi,
"Apakah setelah keburukan itu akan ada lagi kebaikan?" "Ya,
namun di sana terdapat kerusakan", jawab beliau. Aku lanjut bertanya, "Kerusakan apakah itu
wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Sekelompok orang yang
melaksanakan ajaran yang bukan ajaran ku, jika engkau menemui mereka maka
ingkarilah!" Aku bertanya lagi, "Apakah setelah kebaikan itu ada
lagi keburukan?" Beliau menjawab, "Ya, da’i yang menyeru kepada pintu neraka, barang siapa yang
memenuhi panggilannya, da’i itu akan melemparkannya ke neraka." Aku bertanya lagi, "Apa yang Anda perintahkan untuk
saya jika saya menemui zaman itu? Beliau menjawab, "Berpegang teguhlah engkau
kepada Jamaatul Muslimin dan imam (pemimpin) mereka (kaum Muslimin)." Aku
bertanya, "Jika mereka tak memiliki jamaah atau Imam? Beliau bersabda, "Tinggalkan
seluruh kelompok-kelompok itu, walau engkau harus berpegang pada sebatang pohon, sampai engkau mati
engkau harus tetap dalam keadaan seperti itu." (HR.
Bukhari dan Muslim)
D.
Terpecahnya
Al Jama’ah Khilafah Rosulullah menjadi beberapa Daulah
Telah
berkata amir Ash Shan’ani dalam kitab Subulus Salaam (2/374) ketika menjelaskan
hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu : “Barang siapa yang keluar dari
ketaatan dan memisahkan diri dari jama’ah”
Perkataannya dari ketaatan yaitu taat kepada khalifah yang
terjadi persatuan padanya dan yang dimaksud khalifah adalah khalifah suatu
daerah, dimana manusia belum dapat dikumpulkan dalam satu khalifah dari semua
negeri Islam, sejak pertengahan Daulah Bani Abasiyah, bahkan setiap penduduk
suatu daerah berdiri sendiri dengan pemimpin yang mengurusi urusan mereka,
karena kalau seandainya hadits ini dibawa kepada makna khalifah yang berkumpul
padanya semua umat Islam maka hadits ini sedikit faedahnya.
Adapun
ijma’ yang dinukil tentang tidak bolehnya menetapkan dua imam atau lebih bagi
kaum muslimin dalam satu waktu, maka hal ini jika disertai pilihan. Telah
disebutkan dalam kitab Asybah wan Nadza’ir (527): Tidak boleh berbilangnya imam
/ pemimpin dalam satu waktu.
Berkata
Musthafa bin Sa’ad bin Abdah Ar Rahibani dalam kitab Mathalib Ulin Nuha fi
Syarh Ghayatil Muntaha (6/263) : “Tidak dibolehkan berbilangnya imam karena
akan berakibat adanya saling memboikot yang mengarah kepada adanya
pertengkaran, perpecahan dan terjadinya perselisihan pada beberapa sisi yang
hal ini akan menafikan stabilitas kondisi / keadaan.
Dan
dalam Mausu’ah Fiqhiyah (21/43) :Kebanyakan para fuqaha berpendapat tentang
tidak bolehnya dua imam di dunia dalam satu waktu yang bersamaan, dalilnya
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Jika di bai’at dua khalifah
maka bunuhlah khalifah yang terakhir dari keduanya. Dan juga karena
berbilangnya negeri Islam merupakan sumber perpecahan dan perselisihan, dan
Allah ta’ala telah melarang dengan itu dengan firman-Nya :
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلا تنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu
berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu
dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.(Al-Anfaal :
46)
Dan
dalam salah satu penafsiran bahwa yang dimaksud dengan “Riih” dalam ayat yang
mulia itu adalah daulah (Negara), sebagaimana dikatakan oleh Abu Ubaid.
Dan
dalam Hasyiyah Dasuki atas kitab Syarhul Kabir (4/134-135) : Apa yang
disebutkan penulis tentang bolehnya berbilangnya qadhi melekatkan larangan
berbilangnya imam a’dzam. Dan memang demikian sekalipun daerahnya saling
berjauhan karena memungkinkan adanya yang mewakili. Dan ada yang
mengatakan bolehnya jika tidak memungkinkan ada perwakilan karena daerahnya
yang sangat berjauhan.
Perkataan
para Ulama ini dimaksudkan pada sempurnanya bai’at atas dua orang khalifah atau
dua orang imam dalam satu waktu dengan pilihan ahli hil wal aqdi atau adanya
seorang khalifah yang memiliki kedudukan dan kekuasaan pada setiap negeri kaum
muslimin, kemudian datang seseorang yang merampas satu daerah negeri itu dan
kemudian sempurna bai’at kepadanya, maka inilah yang dimaksud oleh hadits “Bunuhlah
yang terakhir dari keduanya”. Adapun keadaan yang oleh negeri-negeri berupa
bersendirinya seorang penguasa pada wilayah tertentu yang ia tidak punya
kekuasan pada wilayah sekitarnya, maka hal ini bukan yang dimaksud oleh hadits,
dan tidak juga oleh perkataan para ulama tentang tidak syar’inya keberadaan dua
imam. Hal ini bukan berarti rela dengan keadaan yang
ada berupa perpecahan dan pemilahan-pemilahan negeri Islam menjadi
negeri-negeri kecil, namun pembicaraannya adalah tentang keabsahan imamah
setiap negeri kecil ini dan sahnya perjanjian bai’at terhadapnya serta tidak
bolehnya membangkang darinya sampai akhir hukum yang telah kami paparkan dalam
pasal ini.
Berkata
Mawardi dalam kitab Adab Dunya Wad Din (136) : Adapun tegaknya dua Imam atau
tiga dalam satu masa dalam satu negeri maka tidak boleh secara Ijma’. Adapun
jika dalam negeri yang berbeda-beda dan daerah yang bejauhan maka sekelompok
oang yang syadz telah berpendapat akan bolehnya. Hal ini karena imam itu
merupakan wakil yang memberi maslahat, dia jika dua orang penguasa pada dua
negeri atau dua daerah masing-masing berkompeten terhadap daerah kekuasaannya.
Dan juga karena ketika bolehnya diutusnya dua orang Nabi dalam satu masa, yang
hal tersebut tidak menghantarkan kepada pembatalan kenabian dan tentunya imamah
lebih utama (untuk dibolehkan, pent) dan hal itupun tidak membatalkan keimamahannya.
Berkata
Imam Syaukani dalam Sailul Jirar (4/481-482) : Jika kepemimpinan Islam Khusus
milik satu orang dan segala urusan kembali dan terkait dengannya, sebagaimana
pada masa sahabat dan tabi’in dan tabi’in tabi’in, maka hukum syari’at
pada orang yang kedua yang datang setelahnya syahnya pemerintah orang yang
pertama, dia harus dibunuh jika tidak bertaubat dari penentangannya. Adapun
jika masing-masing di bai’at oleh sekelompok orang pada satu waktu, maka
tidaklah salah satu lebih berhak dari yang lainnya, bahkan wajib bagi ahli hil
wal aqdi untuk memegang keduanya sehingga kekuasaan diberikan kepada salah
seorang dari keduanya. Jika tetap terjadi perselisihan antara keduanya maka
bagi ahli hil wal aqdi supaya memilih salah satu dari keduanya yang lebih baik
bagi kaum muslimin.
Adapun
setelah menyebarnya kaum Islam dan meluasnya daerah serta semakin berjauhannya
sisi-sisinya, maka masing-masing daerah dipimpin oleh seorang penguasa dan di
tempat yang lain juga demikian, maka perintah maupun larangn yang berlaku pada
suatu daerah tidaklah dilaksanakan / diberlakukan pada daerah-daerah lainnya,
yang masing-masing kembali kepada penguasanya. Maka tidaklah mengapa
berbilangnya Imam dan penguasa. Wajib untuk taat kepada masing-masing setelah
diba’iat oleh penduduk daerah yang padanya direalisasikan perintah dan
larangannya. Demikian pula halnya dengan penduduk daerah yang lain. Maka jika
ada orang yang menentang pemguasa suatu daerah yang sudah sah / diakui
pemerintahnnya dan sudah di bai’at, maka hukumnya ia harus dibunuh jika tidak
bertaubat, dan tidak wajib bagi penduduk daerah lain untuk mentaatinya juga
tidak wajib untuk masuk dalam pemerintahannya karena daerahnya yang berjauhan,
karena terkadang khabar dari dan tentang Imam atau Penguasanya tidak sampai pada
daerah yang jauh, dan juga tidak diketahui siapa yang masih hidup dan siapa
yang sudah mati dari mereka, sehingga memberi beban untuk taat sedangkan
keadaannnya seperti ini adalah membebani dengan sesuatu yang tidak disanggupi.
Ini
adalah hal yang jelas bagi orang yang mengamati keadaan negeri dan
masyarakatnya. Penduduk Cina dan India tidak tahu siapa yang memiliki kekuasaan
di bumi Maghrib apalagi untuk
mentaatinya, demikian pula sebaliknya. Demikian pula penduduk negeri-negeri
bekas sofiet tidak tau siapa yang berkuasa di daerah Yaman, demikian
sebaliknya. Ketahuilah inilah yang sesuai dengan qawaid syar’iyah dan sesuai
dengan apa yang ditunjukkan oleh dalil. Maka jauhilah pendapat yang
menyelisihinya. Sungguh perbedaan antara pemerintah Islam di awal silam dengan
kondisi sekarang ini lebih terang dari sinar matahari di siang bolong. Barang
siapa yang mengingkarinya maka dia adalah tipe orang yang datang kepada
kebohongan tidak pantas untuk diajak bicara dengan hujjah/ dalil sebab dia
tiada berakal.
Kemudian
beliau berkata (383) Akan tetapi wajib bagi setiap Muslim di daerah itu untuk
menerima kepemimpinannya setelah terjadi bai’at baginya, mentaatinya dalam
ketaatan, mendurhakainya dalam kemaksiatan, tidak menentangnya dan tidak
membantu kepada orang yang mau menentangnya. Jika tidak demikian maka dia telah
menyelisihi dalil-dalil yang mutawatir, dan dia telah menjadi seorang
pembangkan, hilang (nilai/sifat) keadilannya dan telah menyelisihi apa yang
disyari’atkan Allah ta’ala serta apa yang diwasiatkan dalam kitab-Nya untuk
mentaati penguasa dan juga menyelisihi apa yang shahih dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam. Berupa kewajiban untuk taat dan haramnya
penyelisihan.
Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Syarhul Mumti’ (8/12) : Imam
adalah penguasa tertinggi dalam Negara,
tidak disyaratkan ia harus seorang imam bagi seluruh
Kaum Muslimin, karena Imam yang umum telah hilang semenjak lama, dan
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Dengar dan taatlah ! sekalipun
kamu diperintah oleh seorang budak Habsyi”. Jika seseorang telah menjadi
penguasa melalui suatu sisi/cara tertentu maka dia telah menempati kedudukan
Imam Umum, yang mana ucapannya harus dituruti dan perintahnya harus ditaati.
Semenjak amirul Mu’minin Utsman bin Affan umat Islam mulai berpecah-pecah. Ibnu
Zubair di Hijaz, Ibnu Marwam di Syam Mukhtar bin Ubaid dan yang lainnya di
Iraq, umat terpecah, akan tetapi para imam (agama) Islam meyakini akan
loyalitas dan ketaatan kepada siapapun yang memerintah di tempat mereka
sekalipun bukan khalifah secara umum.
Hal
ini disebutkan oleh Imam Shan’ani yang punya kitab subulus Salaam, beliau
mengatakan : Sesungguhnya hal ini tidak mungkin untuk diterapkan sekarang ini,
dan itulah kenyataan sekarang. Negeri-negeri di suatu daerah kamu dapati mereka
mengadakan pemungutan suara dan terjadilah perebutan kekuasaan, terjadi suap
menyuap dan menjual suara dan seterusnuya. Maka jika suatu negeri tidak mampu
untuk memilih satu orang pemimpin kecuali dengan pemungutan suara (voting)
seperti ini, maka bagaimana dengan kaum muslimin secara umum. Ini suatu yang
tidak mungkin !
Abdullah
bin Umar Radhiallahu ‘anhum membai’at Abdul Malik bin Marwan dan membawa
anak-anaknya untuk menetapkan baiatnya karena beliau mendidik anak-anaknya
sesuai apa yang dipelajari dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan
wajibnya bai’at kepada penguasa muslim sekalipun kekuasannya didapat dengan
memenangkan perang (kudeta militer), dimana Abdul Malik mendapatkanya dengan
pedang. Dari Abdullah bin Dinar berkata Aku menyaksikan Ibnu Umar bersama
orang-orang yang membai’at Abdul Malik. Beliau berkata : Ia (Ibnu Umar) menulis
: Sesungguhhnya aku mengikrarkan untuk mendengar dan taat kepada hamba Allah
ta’ala Abdul Malik Amirul Mukminin di atas Sunnah Rasululah sesuai kemampuanku,
dan sesungguhnya anak-anakku juga telah mengikrarkannya. (HR. Bukhari7203).
Abdul
Walid Al Baaji mewasiatkan kepada dua anaknya dengan mengatakan : “Taatlah
kepada penguasamu selagi tidak mengajak kepada kepada maksiat, maka wajib
bagimu untuk menahannya dari maksiat dan curahkanlah ketaatan selain dalam
maksiat. (Wasiat Abdul Walid Al Baaji kepada kedua anaknya, Cetakan Mua’sasah
Rayyan (40).
Telah
kita sebutkan di awal pasal ini tentang wajibnya menegakkan pemimpin seorang
muslim yang mengendalikan urusan kaum muslimin.
Berkata
imam Syaukani dalam Nailul Authar (6/62) : Telah berkata Imam Nawawi dan yang
lainnya ….Mereka Ijma’ tentang wajibnya menegakkan seorang khalifah dan
kewajibannya adalah berdasarkan syari’at bukan akal. Dan telah menyelisihi mereka
Al Asham dan sebagian orang-orang Khawarij, mereka mengatakan : Tidak wajib
menegakkan khalifah. yang diselisihi oleh orang-orang Mu’tazilah
yang mereka mengatakan : Wajib menegakkan khalifah dengan akal dan tidak dengan
syari’at, kedua-duanya adalah batil.
Demikian
telah kami jelaskan akan wajibnya bai’at dan ancaman dari meninggalkannya.
Abu
a’la Maududi mengatakan : Sesungguhnya masalah kepemimpinan dan kekuasaan tidak
lain adalah satu di antara masalah kehidupan manusia dan salah satu dasarnya.
Kemudian dia berkata : Tujuan agama yang hakiki adalah menegakkan undang-undang
imamah shalihah dan rasyidah.
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan
Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku,
maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”.(Al Anbiya:25)
Kemudian beliau berkata : Sesungguhnya tujuan agama yang hakiki
dan maksud dari penciptaan jin dan manusia serta tujuan diutusnya para Rasul
dan diturunkannya kitab-kitab adalah agar beribadah kepada Allah ta’ala dan
mengikhlaskan agama hanya untuk-Nya.
Muhammad Hasan berkata dalam buku bahaya di Jalan dakwah (58) :
Berkata Syaikh Abbul ‘ala Maududi dalam kitabnya Manhajul Inqilab Al islami :
Negara itu tidak akan tertata kecuali tersedia padanya unsur-unsur
pemikiran, akhlak dan materi dalam masyarakat seperti apa yang saya
katakan, sebagaimana tidak mungkin sebuah pohon dari semenjak tumbuhnya sampai
sempurna menjadi sebuah pohon seperti buah atau limun melainkan kemudian jika
tiba waktunya buahnya maka akan berubah menjadi pohon apel atau delima!
Demikian pula daulah islamiyah maka tidak akan mungkin menjadi daulah islamiyah
dengan cara-cara yang keluar dari kebiasaan, namun harus diadakan dan di
wujudkan dengan menampakkan yang pertama gerakan yang menyeluruh yang dibangun
di atas wawasan Islam dan pemikirannya dan di atas pilar-pilar akhlak dan
amaliyah yang sesuai dengan ruh Islam serta yang dihasung oleh orang-orang yang
menampakkan kesiapan mereka yang sempurna untuk masuk dalam celupan kemanusiaan
yang khusus ini dan berusaha untuk menebarkan akal islamnya, untuk mencurahkan
upayanya untuk menghembuskan ruh Islam dalam masyarakat….Inilah cara inqilab
(revolusi) Islam dan jalan yang fitrah untuk merealisasikan pemikiran akan
adanya sebuah Negara Islam.
Dari uraian diatas setidaknya ada beberapa kesimpulan yang harus
diperhatikan.
- Terjadinya perselisihan dua Imam dalam satu negri islam wajib diselesaikan diantara keduanya melalui ahlu hali wal aqdi, jika pembai’atan adalah berdasarkan kesamaan waktu. Jika tidak bersamaan maka Imam awalah yang seharusnya diikuti.
- Kesempurnaan Imam dalam perselisihan dapat terjadi dengan dikuasainya territorial lainnya oleh Imam tersebut.
- Berbilangnya Imam di territorial yang berbeda tidak menggugurkan sahnya Imam tersebut, dan al Jama’ah yang mereka pimpin. Sedangkan berbilangnya Imam di negri yang sama tidak boleh secara Ijma’
- Jika kepemimpinan Islam didapatkan oleh satu orang, maka jika ada Imam berikutnya di territorial yang sama maka wajib dibunuh.
- Berbilangnya Imam yang berarti secara realita berbilangnya Negara/Daulah Islamiyah tidak menjadikan syari’at wajibnya ta’at kepada Imam Negara Islam menjadi terhapus (karena berbilangnya itu) akan tetapi tidak boleh menghentikan perjuangan untuk tegaknya kembali Jama’ah yang satu untuk seluruh kaum Muslimin. Dan jika tidak ada Imam Jama’ah Muslimin, wajib kiranya memilih melalui ahlu hali wal aqdi, dan jika tidak ada jama’ah Muslimin atau Jama’ah yang ada belum berdaulat, maka wajib kiranya kaum muslimin untuk memperjuangkan kembali kedaulatan bagi Jama’ah Muslimin hingga terselenggaranya kembali syari’at islam melalui Inqilab Islam (Revolusi)
E. Syari’at
Jama’ah di Indonesia, Darul Islam/Negara Islam Indonesia/Madinah Indonesia
dalam Tinjauan Hukum
Tanggal 12 – 13 Februari 1948 telah diselenggarakannya oleh
362 Ulama dan Pemimpin Organisasi Sipil dan Militer satu Kongres Umat islam
yang pertama di Indonesia, bahkan yang pertama di Dunia yang berhasil
menghasilkan satu keputusan paling penting dalam sejarah kaum Muslimin. Yaitu
didirikannya kembali institusi politik bagi Umat Islam di Indonesia yang hampir
menghilang ratusan tahun setelah dikuasainya negri-negri Islam di Nusantara
oleh kaum Naserani dari Belanda. Pertama kalinya al Jam’ah dalam ruang lingkup
Daulah islamiyah kembali didirikan, bahkan bukan hanya itu, satu pernyataan
bersama didalamnya tentang tekad untuk kembali mendirikan Khilafah Islamiyah
yang telah dibubarkan oleh kaum Sekuler. Inipun adalah yang pertama di Dunia
dimana pendirian Khilafah menjadi program resmi satu pergerakan islam, bahkan
ditetapkan dalam satu Kongres Besar. Secara lengkap hasil Kongres tersebut
adalah :
1. Mendidik rayat agar cocok menjadi warga negara islam
2. Memberikan penerangan bahwa Islam tidak bisa di menangkan dengan Flebisit (referendum).
3. Membentuk daerah basis.
4. Memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia.
5. Memperkuat NII kedalam dan keluar, kedalam: Memberlakukan Hukum Islam dengan seluas-luasnya dan sesempurna-sempurnanya, keluar: Meneguhkan identitas internasionalnya, sehingga mampu berdiri sejajar dengan negara lain.
6. Membantu perjuangan muslim di negara negara lain,sehingga mereka segera bisa melaksanakaan wajib sucinya, sebagai hamba Alloh yang menegakan hukum Alloh di bumi Alloh.
7. Bersama negara–negara Islam yang lain, membentuk Dewan Imamah Dunia untuk memilih seorang kholifah, dan tegaklah KHILAFAH di muka bumi.
Pada akhir zaman Belanda, tidak
lagi ada satu kerajaan islam di Indonesia kecuali hanya bersifat simbolis dan
itupun mereka sudah dikuasai penuh oleh Belanda, mereka telah menjadi bagian
dari pemerintahan Belanda. Maka, Kongres Cisayong tersebut adalah Jembatan Emas
bagi Umat Islam Bangsa Indonesia untuk kembali mempunyai pemerintahan sendiri,
mempunyai Ulil Amrinya sendiri, dengan satu pemerintahan yang mengikuti Manhaj
Rosulullah SAW. Kongres tersebut diwakili oleh Para Ulama dan Pimpinan
Organisasi dan Laskar Militer yang mempunyai kesamaan ideology, kesamaan visi
dan misi Islam, dan kesamaan pandangan dalam menghadapi Penjajah, untuk tidak
pernah kooperatif dan tunduk pada keinginan Mereka (penjajah). Mereka memandang
bahwa Republik Indonesia yang dibuat oleh kaum Nasionalis bukanlah Ulil Amri
yang sesuai dengan Kaidah Islam, sehingga layaklah untuk dibangun satu lembaga
pemerintahan yang sesuai dengan Kaidah Islam, Ulil Amri yang melaksanakan keta’atan
kepada Allah dan RosulNya. Dan melaksanakan hukum-hukum Negara berdasarkan
syari’at islam. Dengan demikian, diproklamasikannya Negara Islam Indonesia
sebagai bagian dari amanah Kongres tersebut menjadi tonggak sejarah, dimana
telah berdiri Daulah Islamiyah berdasarkan manhaj Rosulullah, bukan Negara
Monarki seperti di TImur Tengah, tapi Negara Jumhuriyah dimana Rosulullah telah
menegakan sendi-sendi prinsip politik ketika mendirikan Negara di Madinah.
Tidaklah seharusnya ada
pandangan lain bagi Umat Islam Bangsa Indonesia terhadap Daulah yang telah
didirikan ini, kecuali untuk mempertahankan dan memperjuangkannya hingga tegak
berdiri. Terlaksananya kedaulatan Negara sebagai syarat berlakunya syari’at
Allah dan RosulNya. Tidak ada di tiap tiap jiwa Umat islam Bangsa Indonesia,
kecuali mereka harus mendukung Daulah Islamiyah sebagai bentuk dukungannya
kepada Allah dan RosulNya. Tidak mendukungnya berarti melemahkannya.
Apalagi jika kemudian memeranginya. Tidak ada kewajiban lain bagi Umat Islam
Bangsa Indonesia ketika Daulah ini kemudian diperangi oleh siapapun, kecuali
Mereka wajib mempertahankannya dengan seluruh jiwa dan raga, dengan seluruh
kemampuan yang ada. Dan ini akan menjadi wajib sucinya sebagai jalan Jihad Fii
Sabilillah li ‘I la ‘I Kalimatillah.
NII diproklamasikan di tanah tak bertuan, Nusantara adalah
daerah tak bertuan. Tidak ada satu
pemerintahpun didalamnya kecuali Penjajah Belanda dan Republik Indonesia yang
dibuat di Soekarno. Tapi RI saat itu mempunyai territorial hanyalah sebatas
Jogjakarta. Territorial yang diakuinya sendiri pada perjanjia Renvile. NII sah
secara hukum syari’at ataupun hukum internasional ‘ala Eropa. Dan ketika
teritorialnya mulai dijarah oleh RI melalui TNI, maka wajiblah bagi setiap
elemen rakyat NII untuk mempertahankannya. Inipun jelas sebagai kewajiban bagi
Umat Islam dan Pemerintahan Islam.
Qs 2 Al Baqarah 190. Dan perangilah di jalan Allah
orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas,
karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
Bahkan peperangan ini tidak boleh berakhir hingga tegaknya
Daulah sebagai manifestasi tegaknya Diin.
Dan perangilah mereka itu, sehingga
tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk
Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan
(lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.
(QS: Al-Baqarah Ayat: 193)
(QS: Al-Baqarah Ayat: 193)
F. Bagaimana mesikapi
Negara Islam Indonesia paska kekalahan tempur ?
Eksistensi Negara Karunia Allah dibawah kepemimpinan SM
Kartosuwirjo tidak bisa dipungkiri. Memberlakukan Hukum Islam, melaksanakan
wajib suji Jihad Fii Sabilillah, mempertahankan Kedaulatan Negara, di wilayah
yang notabene bukan hanya di wilayah Jawa Barat dimana NII diproklamasikan,
tapi juga wilayah Jawa Tengah dan Timur, wilayah Aceh dan sekitarnya,
Kalimantan bagian selatan, Sulawesi, sebagian wilayah Indonesia bagian Timur.
Akan tetapi kekalahan bertempur menjadikan wilayah-wilayah NII diakuisisi oleh
NKRI. Beberapa komandan Perwira Tinggi syahid atau menyerah. Maka dalam situasi
chaos didalam internal kepemimpinan Negara, munculah independensi pergerakan
dimana-mana. Muncul kelompok-kelompok yang mencoba melanjutkan perjuangan,
tidak hanya satu kelompok, akan tetapi beberapa kelompok, dan diantara kelompok
tersebut tanpa berkomunasi diantara mereka, berjalan melakukan aktifitas dengan
ekstra rahasia. Kondisi semacam ini mulai menguak paska tahun 90-an. Bahkan
setelah 90-an satu kelompok bisa terpecah beberapa lagi setelah pimpinan
kelompok awal wafat atau tertangkap oleh NKRI. Akan tetapi mereka semua tidak
berhenti memperjuangkan kedaulatan Negara Islam Indonesia. Mereka bersama-sama
memperjuangkan konstitusi Negara. Hingga mereka pada akhirnya akan menyatu
kembali dalam satu shaff besar, shaff para Mujahidin yang iklas membela Diin
Islam dan memperjuangkan eksistensinya.
Konstitusi NII memenuhi syarat sebagai dasar pendirian
Daulatul Islamiyah, seperti halnya konstitusi Madinah yang menjadikan dasar
Rosulullah mendirikan Daulah di Yastrib (Madinatul Munawarah) sehingga NII
adalah Al Jama’ah yang di syari’atkan Rosulullah, dan bagi Umat Islam Bangsa
Indonesia NII adalah Jama’atul Muslimin dimana setiap umat harus ber shaff
didalamnya. Dasar Konstitusi NII menegaskan bahwa NII hanyalah sebagai Negara
Basis menuju Kekhalifahan Islam. Sehingga bisa dikatakan bahwa NII akan
menyempurnakan kedaulatannya hingga Jama’atul Muslimin menjadi satu-satunya
Daulah dan Imammah bagi Umat Islam di seluruh dunia.
Ketika kondisi Al Jama’ah dalam kekalahan dan keterpurukan,
maka bagi para Mujahidin tidak ada yang lebih wajib disegerakan dalam langkah
perjuangannya kecuali membelanya dan memerangi siapapun yang memeranginya. Jika
ada sekelompok Mujahidin membentuk firqoh menolak eksistensi Daulah, maka tidak
bedanya mereka seperti Tentara yang sedang meruntuhkan Benteng Perang. Allah
membencinya…
Ash Shaff:1-4
G. Bagaimana Mesikapi Kelompok
Mujahidin NII yang menolak Revolusi dan tidak memberlakukan Konstitusi Negara ?
Konstitusi Negara merujuk kepada Maklumat Komandemen
Tertinggi Nomor 11 menyatakan bahwa para Mujahidin wajib melaksanakan Revolusi
Total, Perang Totaliter. Yang berarti setiap jiwa Mujahid harus mempersiapkan
diri untuk melaksanakan Jihad Fii Sabilillah
(I’dad wa Qital). Struktur pemerintahanpun wajib merujuk kepada system
komandemen dengan bentuk sapta palagan (struktur berdasarkan 7 medan tempur).
Maka dengan demikian, seluruh kelompok Mujahidin di NII wajib mempersiapkan
struktur dan pola gerak berdasarkan MKT (Maklumat) tersebut tanpa terkecuali.
Sebagian kelompok ternyata tidak melaksanakannya. Mereka meninggalkan konstitusi seperti anak
panah meninggalkan busurnya.
Maka wajiblah kiranya setiap jiwa mujahid tersebut
dikembalikan kembali Ruhul Jihadnya sesuai dengan syari’at Allah dan RosulNya, sesuai dengan konstitusi
Negara. Jikalau Kelompok tersebut tidak bisa lagi untuk diajak kembali kepada
ideology gerakan yang telah ditetapkan (jalan Revolusi), maka kelompok tersebut
wajib ditinggalkan. Dan Mujahidin yang meninggalkan kelompok tersebut harus
bergabung dengan kelompok lainnya yang masih menjalankan Roda Revolusi
berdasarkan konstitusi Negara. Dan jika tidak menemukannya, wajiblah para
Mujahidin tersebut membentuknya agar konstitusi Negara tetap berjalan
semestinya. Hingga bertemu kelompok lainnya yang masih menjalankan dan
menggabungkan diri kembali diantara kelompok-kelompok tersebut untuk membentuk
shaff Mujahidin yang lebih besar lagi. Hingga kembali sempurna struktur Negara
berdasarkan MKT no:11 tersebut, dari KPSI (Komando Perang Seluruh Indonesia)
hingga Baris (Barisan Islam).
H. Bagaimana
Mesikapi Kelompok Mujahidin yang Meninggalkan al Jama’ah (NII)
Ada kesalah fahaman yang berakibat fatal bagi
berlangsungnya Revolusi ketika muncul fenomena baru diantara kelompok Mujahidin
yang kecewa terhadap kepemimpinan salah satu kelompok lainnya akhirnya membuat
keputusan dengan meninggalkan al Jama’ah (NII). Sebagian beralasan tentang
Leadership, sebagian berbicara permasalahan Manhaj, sebagian lain bahkan hanya
berkisar permasalahan personal conflict.
Apapun alasanya, tidak sepantasnya permasalahan parsial menjadikan satu alasan
untuk meninggalkan al Jama’ah (NII), baik permasalahan syar’I apalagi
berkisaran masalah personal. Karena al Jama’ah adalah syari’at itu sendiri.
Bagaimana bisa ada pemahaman yang bertendensi membentuk firqoh padahal membentuk
firqoh keluar dari Jama’ah adalah dilarang baik didalam Al Qur’an ataupun
hadits-hadits Rosulullah? Sebagian kelompok Mujahidin menuduh dengan tuduhan
keji bahwa NII hanyalah “Jama’ah Minal Muslimin” sehingga tidak ada dosa keluar
atau menyempal dari Jama’ah, padahal tidak pernah ada legitimasi dari
Rosulullah tentang adanya Jama’ah Minal Muslimin. Kalaulah ada Jama’ah Minal
Muslimin, maka mereka bukanlah Firqoh yang menyempal, tapi “firqotun najiyah”,
firqoh yang konsisten didalam Jihad, tapi tetap konsisten didalam al Jama’ah,
tidak pernah menanggalkan Bai’at.
Rosulullah
SAW bersabda, “Akan senantiasa ada sekelompok umatku yang tegar di atas al-haq,
yang tidak akan terkena mudharat dari orang yang enggan menolong atau menentang
mereka, sehingga datanglah keputusan Allah sedangkan mereka tetap dalam keadaan
begitu” (Al-Bukhari dengan lafazhnya dari Mughirah RA, IV/187 dan Muslim
III/1523.)
Mereka adalah
al firqoh an najiyah wal mansuroh sekelompok mu’min yang selalu mendapatkan
keselamatan dan pertolongan Allah. Mereka yang senantiasa menolong DiinNya
(berjuang di jalan Allah)
Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia
akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.
(QS: Muhammad Ayat: 7)
(QS: Muhammad Ayat: 7)
Mereka yang hijrah karena menghendaki semurni-murninya
Tauhid, yang menolak secara total eksistensi Thoghut, menolak secara total
kepemimpinan Thoghut.
(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman
mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami
hanyalah Allah". Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian
manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara
Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang
di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang
yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha
Perkasa,
(QS: Al-Hajj Ayat: 40)
Mereka adalah yang konsisten diatas Jihad Fii Sabilillah,
tapi konsisten pula dalam manhaj Nubuwah, konsisten didalam al Jama’ah. Konsisten
memperjuangkan Daulah dalam kondisi apapun. Kondisi seburuk apapun, tidak
meninggalkannya, tidak membentuk firqoh baru, tidak berkhianat (menanggalkan
bai’at) apapun alasannya, konsisten menegakan Diin didalam Ad Daulatul
Islamiyah (Imammah). Tetap memperjuangkannya meski dalam kondisi terdesak,
kalah, hancur, dan lemah.
I. Bersatu
Kembali dibawah Konstitusi Negara, Diatas Jalan Revolusi (Jihad Fii Sabilillah),
didalam Shaff Mujahidin Angkatan Perang Negara Islam Indonesia.
Sudah saatnya seluruh komponen Umat Islam Bangsa Indonesia
yang menghendaki terlaksananya Hukum Allah di Bumi Nusantara merapatkan barisan
didalam shaff Mujahidin. Apa yang mampu mempersatukan mereka? Siapakah yang
mampu mempersatukan mereka?
Jika ada yang mempunyai pemahaman bahwa yang mampu berkuasa
dan menyatukan seluruh komponen di territorial Yastrib adalah Muhammad bin
Abdullah, maka mereka (yang mempunyai pemahaman) tersebut telah lalai memahami
siroh nubuwah. Sesungguhnya yang menyatukan mereka adalah Konstitusi Negara
(Suhuf Madinah), ketetapan yang ditetapkan oleh Rosulullah sebagai Imam dari
Imammah (kepemimpinan) yang disepakati oleh rakyat Madinah. Seluruh rakyat
wajib tunduk sesuai dengan apa yang telah mereka sepakati bersama itu, termasuk
seluruh golongan lainnya meski mereka tidak ikut serta dalam kesepakatan awal,
tetapi sepanjang dibawah kekuasaan Imammah Rosulullah, mereka harus turut serta
menyepakatinya.
Negara Karunia Allah Negara Islam Indonesia sebagai Madinah
Indonesia sebagai Imammah dan Daulah, sebagai al Jama’ah, bukanlah milik
Kartosuwirjo dan siapapun personal yang memimpin di masa lalu, sekarang, atau
masa kemudian. NII adalah milik Umat Islam Bangsa Indonesia, dimana
perwakilannya pada masa awal menyepakati sebuah konstitusi bagi Bangsa ini
(dalam Kongres Cisayong), siapapun mereka Umat Islam Bangsa Indonesia pada
dasarnya harus tunduk dan patuh pada konstitusi ini, dimasa lalu, sekarang,
atau masa yang akan datang. Konstitusi inilah yang menjadikan Jama’ah ini ada,
maka Konstitusi NII adalah yang paling layak untuk menjadi pemersatu para Mujahidin
untuk kembali memperjuangkan Jama’ahnya ini. Hanya jama’ah inilah milik
satu-satunya Umat Islam dan para Mujahidin di Indonesia. Jama’ah yang sesuai criteria
Allah dan RosulNya.
Janganlah pernah bermimpi untuk mendirikan Daulah baru,
bermimpi untuk menjadikan firqoh sebagai Jama’ah. Karena yang melakukannya berarti
telah berkhianat terhadap kesepakatan awal, kepada Bai’at awal, kepada
Konstitusi yang telah ditetapkan. Jika memaksa melakukannya, berarti mereka
telah mencoba melemahkan dan membentuk perpecahan. Mereka yang melakukannya
seolah sedang mengubur dirinya sendiri. Dan membiarkan Umat Islam tetap dalam
keterpurukan dan penjajahan.
Jika seandainya Negara ini (NII) hancur, mari kita bangun
kembali, jika seandainya Negara ini runtuh, mari kita tegakan kembali, jika seandainya
Negara ini terpuruk dalam kekalahan, mari kita bersama memenangkannya kembali, jika
seandainya Negara ini terpecah belah, mari kita persatukan kembali, jika seandainya
Negara ini lemah, mari kita perkuat kembali, jika Rakyat Negara ini dalam kondisi takut perang dan tidak
berani menjalankan Jihad dan Revolusi….mari kita bangkitkan semangat mereka,
latih mereka, beri mereka kesempatan kembali untuk memperlihatkan jatidiri
mereka sebagai Mujahidin yang Istiqomah berjalan di jalanNYa. TAPI JANGAN
PERNAH KITA MENINGGALKAN MEREKA, MENOLAK EKSISTENSI NEGARA, DAN MEMULAI
PERPECAHAN DENGAN MENCOBA MENDIRIKAN NEGARA BARU DAN KONSTITUSI BARU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar