NKA NII

NKA NII
Negara Karunia Allah Negara Islam Indonesia

Kamis, 09 Februari 2012

PENGGABUNGAN LASYKAR-LASYKAR MUSLIM DI LUAR JAWA-BARAT


PENGGABUNGAN LASYKAR-LASYKAR MUSLIM DI LUAR JAWA-BARAT



    Pimpinan Pimpinan Amir Fatah Wijaya Kusumah dan beberapa Batalyon TNI. Semasa perjanjian Renville di Jawa Tengah khususnya daerah Tegal-Brebes kesatuan TNI pimpinan Wongso Atmojo membentuk sub wehrkreise III disingkat menjadi SWKS III, sebagai bagian dari struktur komando Tentara Republik. Kedalam kesatuan inilah didatangkan seorang yang bernama Bapak Amir Fatah W untuk menjabat sebagai ketua Koordinator kepala keamanan SWKS III. Disini Bapak Amir Fatah W membawahi 3 kompi:
1. Kompi Irfan Mustafa 
2. Kompi Dimyati
 
3. Kompi Syamsuri
Mereka adalah dari batalyon V Brig. IV Div. III (pasukan bekas Hisbullah) skup Bataliyon daerah Pekalongan yang tidak bersedia di TNI kan. Sementara di Tegal - Brebes telah ada organisasi Masyumi. Bapak Amir Fatah W pun ikut aktif didalamnya dan ternyata dia mampu memegang peranan hingga tingkat desa lengkap dengan program pemerintahannya. Dalam suatu rapat para pemimpin MI memutuskan untuk membentuk kekuasaan daerah yang bernama Darul Islam, memberlakukan Hukum Islam sebagaimana yang terselenggara di Jawa Barat, maka pasukan MI (peleburan Hisbullah dan GPII) dirubah menjadi TII, BKN dan PADIsetelah ada kontak dengan Pemerintah Negara Islam Indonesia NII Jawa Barat.

16 Pebruari 49 Kunjungan utusan Pemerintah NII yang bernama Kamran Cakra Buana Panglima Divisi I/Syarif Hidayatullah TII Jawa Barat ke Jawa Tengan untuk bertemu dengan Bapak Amir Fatah W dalam rangka memadukan azzam atau kebulatan tekad dengan kesepakatan:
1. melanjutkan (mempertahankan) proklamasi 17 Agustus 1945 dengan sistem NII 
2. NII pekalongan dan Banyumas ditugaskan untuk menjalankan organisasi serta alatnya sebagai persiapan NII

Akhir april 49 Proklamasi NII Jawa Tengah yang merupakan bagian dari NII. juga diangkat Bapak Amir Fatah W sebagai panglima NII wilayah Jawa Tengah.

5 Mei 49 Penyerbuan pertama TII Jateng ke markas komandan Wongso Atmojo SWKS III (bekas komandan dan kesatuan Bapak Amir Fatah W) di desa bantar sari. Dalam waktu yang relatif singkat markas ini dapat dikuasai, namun sayang tak lama kemudian terjadi pengkhianatan 2 orang Kapten, yaitu Kapten Suja’i dan Kapten Mustafa. Kebocoran informasi dengan ditangkapnya seorang kurir istimewa yang membawa amanat tentang diumumkannya tentang permakluman jihad keseluruh MI didaerah SWKS III yaitu Banyumas, Majenang, Probolinggo dan Kroya. Namun demikian penyebaran perjuangan Islam ini terus menjalar dalam masyarakat juga organisasi AUI serta pasukan Batalyon 423 dan batalyon 426 namun batalyon 423 gagal ditarik untuk bergabung. Penggabungan batalyon TNI diatas, diawali dengan pemberontakan Kapten Sofyansetelah komandan batalyon 426 Mayor Munawar ditarik. Penarikan ini spontan menjadikan Kapten Sofyan memegang pimpinan terhadap 3 kompi di asrama jati kudus dan 2 kompi dibawah pimpinan Kapten Muhammad Alit Cs, yang waktu itu menempati asrama Depo Pendidikan (DODIK) Magelang. Namun kabur dan menggabungkan diri dengan induknya Batalyon 426 namun pemberontakan ini gagal, untuk selanjutnya Yon 426 menggabungkan diri pada NII wilayah Jawa Tengah sekitar akhir tahun 1952, maka pertempuran di Jawa Tengah semakin menggelora hingga pada tahun 1954. Kemudian terjadi kemunduran-kemunduran hingga menurut suatu kabar terjadi pembunuhan terhadap beberapa komandan III termasuk panglima Amir Fatah W yang dilakukan oleh pengkhianat.

Secara singkat perjalanan perjuangan NII Jawa Tengah sbb: 1952 - 1954 Merupakan tahap konsolidasi kekuatan konfrontasi fisik 1954 - 1955 Merupakan taraf konsolidasi taktik menghindari benturan 1955 - 1961 Merupakan tahap konsolidasi teritorial melebur dengan massa



SISA-SISA LASYKAR AUI KEBUMEN

11 September 45 Berdiri AUI (Angkatan Umat Islam) di Kebumen yang diketuai oleh seorang ulama pondok pesantren, bernama Kyai Somalangu. Pada dekade awalnya AUI sangat akrab dengan TNI dalam menghadapi penjajah dan sangat terkenal sekali akan kesatriaan para lasykarnya.

Oktober 45 AUI menyatakan dirinya menjadi satu partai yang beraliran islam dimana kerjasama dengan organisasi-organisasi lainnya cukup terjalin dengan baik. Namun pada kelanjutannya AUI melepaskan diri dari komitmen terhadap RI , kemudian menyusun badan-badan kelasykaran bersenjata sendiri yang dinamakan lasykar AUI untuk mewujudkan cita-cita moyangnya Kyai Somalangu yang berasal dari Yaman bernama Syekh Abdul Kahfi Awwal (ratusan tahun yang silam) yaitu untuk mempertahankan dan menegakkan Indonesia menurut jalan Allah yang ditunjukkan oleh utusannya, maka tujuan AUI yang sekarangpun adalah berusaha keras untuk memperjuangkan desa Somalangu kepada Pemerintah RI setempat agar dapat dijadikan tanah “Keputihan”, yaitu suatu daerah yang bebas dari pajak RI dan mempunyai peraturan pemerintahan sendiri. Namun hal ini tercetusnya masih ditengah-tengah perang mempertahankan kemerdekaan 17 Agustus 45 melawan Belanda, maka untuk sementara waktu segala sesuatunya masih terkonsentrasikan pada hal itu

15 Pebruari 50 Berangkat dari kasus Perjanjian Renville, AUI mengirimkan surat terbuka kepada Pemerintahan RIS, isinya menyatakan:” ..... bahwa kemerdekaan itu artinya bebas dan bersih dari campur tangan bangsa asing pada kepentingan masyarakat suatu bangsa yang lain dalam segala hal mengenai perhubungan luar negeri, pertahanan, keuangan, ekonomi, budaya dll. Sebaliknya bilamana lain bangsa dapat campur tangan pada masyarakat bangsa lain maka kemerdekaan itu adalah kemerdekaan yang tidak ada artinya ......”. Jelaslah disini politik AUI sekarang adalah menentang KMB dan menghendaki terwujudnya suatu negara yang utuh bahkan menurut Islam. Melihat gelagat seperti yang demikian maka, Pemerintah RIS mengajak kepada AUI untuk mengadakan kerjasama dengan penarikan seluruh lasykar AUI digabungkan kedalam tubuh TNI. Kyai Somalangu menolak pengangkatan ini namun adiknya yang bernama Haji Nur Syadiq menerima peleburan ini, maka H Nur Syadiq pun beserta pasukannya dileburkan kedalam pasukan TNI Surengpati dan pasukannya diberi nama Batalyon Lemah Lanang.

27 Mei 50 Kyai Somalangu membentuk pasukannya dalam satu batalyon dengan nama batalyon Khimayatul Islam.

1 Agustus 50 Batalyon Khimayatul Islam mengadakan pemberontakan, terjadilah pertempuran diseluruh kota Kebumen.

26 Agustus 50 Setelah pertempuran berjalan H. Nur Syadiq yang memimpin batalyon Lemah Lanang akhirnya bergabung dengan kakaknya karena batalyon Lemah Lanang lasykarnya akan dilebur untuk masuk Diklat Militer, hal ini tidak bisa diterima oleh H Syadiq Namun penggabungan ini boleh dikatakan terlambat, maka pemberontakan di Kebumen dapat dipatahkan oleh pasukan kafir TNI. Terjadilah pengejaran-pengejaran lasykar AUI yang hendak mundur untuk mengatur strategi.

26 September 50 Dipegunungan Srandil (Kroya) terjadi pertempuran habis-habisan. Dan akhirnya Kyai Somalangupun gugur pada awal bulan Oktober. Sepeninggalan pemimpinnya lasykar AUI tetap mendapat pengejaran-pengejaran, namun dengan takdir Allah banyak lasykar AUI yang dapat bertemu dengan para Mujahid NII kemudian mereka meleburkan diri kedalam TII/NII. Setelah mereka sampai ke daerah-daerah basis Cilacap, Tegal dan Jawa-Barat.


SULAWESI PIMPINAN KAHAR MUZAKAR

Bulan Oktober 50 Setelah pengakuan kemerdekaan dan pembentukan RI yang bersifat federal (Desember 50) telah timbul berbagai ketegangan di Sulawesi Selatan. Salah satunya ialah pertentangan yang ditimbulkan oleh para gerilyawan menuntut penggabungan secara menyeluruh dengan tentara Nasional, namun Kolonel Kawilarang sebagai komandan disana hanya menerima sedikit karena pada kebanyakan terkena seleksi dan selebihnya dibubarkan. Hal ini yang menjadi awal permasalahan. Untuk menyelesaikan masalah ini ada seorang teman Bapak Kahar Muzakar yang bernama Bahar Mattaliu mengajukan usulan kepada Presiden di Jakarta lewat surat yang isinya menjelaskan bahwa yang akan dapat menyelesaikan kerusuhan itu hanyalah Bapak Kahar Muzakar karena dialah yang telah membentuk mereka. Usulan tersebut diterima Presiden, maka diutuslah bakak Kahar Muzakar ke Sulawesi. Sampai disana Bapak Kahar Muzakar mulai menemui para gerilyawan dan sebagai hasilnya Bapak Kahar Muzakar mengusulkan kepada Kolonel Kawilarang bahwa untuk menanggulangi dan mengendalikan para gerilyawan adalah dengan cara mereka dikoordinir dan dijadikan pasukan berupa satu brigade dibawah pimpinan Bapak Kahar Muzakar secara langsung. Usulan itu ditolak oleh Kolonel Kawilarang, maka Bapak Kahar Muzakar meninggalkan Makasar tanggal 5 Juli 50; kemudian bergabung dengan gerilyawan di hutan untuk berhadapan dengan TNI. Dengan para gerilyawan inilah Bapak Kahar Muzakar leluasa membentuk dan mengarahkan pasukan kepada suatu arahan jelas menurut prinsip yang beliau anut yaitu prinsip-prinsip Islam. Dalam kurun waktu yang singkat terbentuk suatu pasukan yang kuat dan terus berkembang dengan cepat. Perjuangan di Sulawesipun mendapat tembusan dari Jawa Barat yang mengajak bergabung dalam suatu naungan yang sama yaitu dibawah bendera perjuangan Negara Islam Indonesia.

20 Januari 50 Bapak Kahar Muzakar menulis jawaban kepada Bapak Imam SMK yang menyatakan bahwa Bapak Kahar Muzakar menerima pengangkatan sebagai Panglima TII untuk Sulawesi dan pelantikan para gerilyawan menjadi TII pada tanggal 7 Agustus 53 juga sebagai ulang tahun proklamasi NII dan dinyatakan bahwa Sulawesi merupakan bagian dari NII. Peristiwa ini terjadi didaerah sekitar Maklus (sulsel) dari sini lahirlah “piagam Maklus”.


BEBERAPA PIAGAM MAKLUS YANG TERKUMPUL 

Pasal 12 : Partai PNI, Murba dan PKI adalah munafik dan tidak bertuhan dan karena itu harus dihancurkan.
 

Pasal 13 : Partai-partai Islam seperti Masyumi, NU dan PSII dinilai kontra revolusioner dan harus ditiadakan.
 

Pasal 16 : Semua orang feodal yang gemar memakai gelar dan perkataan seperti Opu, Karaeng, Andi, Daeng, Haji, Gede, Bagus, Sayyid, Teuku atau Raden harus ditawan
Beberapa pasal disediakan untuk mengatur santunan bagi korban revolusi (para janda, anak yatim piatu dan penyandang cacat)

Pasal 44 : pembatasan biaya perkawinan 

Pasal 45 : Peraturan tentang perkawinan poligami, bagi mereka yang menentang akan diadili. Peraturan ini adalah merupakan bentuk pemecahan masalah penanggulan janda korban perang.
 

Pasal 49 : Pembelian dan pemilikan ternak dan tanah, demikian pula kedai, pabrik, kedaraan sewaan, perahu layar dilarang kecuali dengan izin organisasi Revolusioner.
 

Pasal 50 : Dilarang memiliki atau memakai emas dan permata, mengenakan pakaian yang terbuat dari bahan mahal seperti wall atau sutra, menggunakan minyak rambut, pemerah bibir dan bedak, makanan-makanan atau minuman yang dibeli dari kota yang dikuasai musuh, seperti: susu, coklat, mentega, keju, daging atau ikan kaleng, biscuit, gandum gula, tebu dan teh.
 

Pasal 52 : Bila barang-barang ini dengan syah telah dalam penguasaan pemilik yang sekarang, maka Organisasi Revolusioner akan membeli atau meminjamnya; bila sebaliknya barang-barang ini diperoleh melalui “penipuan moral”, maka barang-barang ini akan disita.

Jadi untuk daerah yang dikuasai oleh Panglima Kahar Muzakar telah diberlakukan Hukum Islam sebagaimana mestinya; tegasnya Hukum Islam ini mendapat dukungan kuat dari masyarakat lingkungannya apalagi mengingat citra kepemimpinan didalam Islam merupakan Uswatun Hasanah . Begitupun dengan Panglima Kahar Muzakar dapatlah kiranya beliau mewakili Islam dan Imam di Sulawesi khususnya. Namun akhirnya keagungan yang ada di Sulawesi mengalami kemunduran dan kerusakan dengan berkhianatnya seorang rekannya yang sebagai wakilnya juga ialah Bahar Mattaliu. Dia membelot ke TNI karena faktor ketidak setujuan akan beberapa putusan Panglima Kahar Muzakar, padahal keputusan tersebut bernafaskan syari’at Islam. Panglima Kahar Muzakar tertangkap oleh pasukan TNI di sungai Laslo, menurut kabar beliau ditembak ditempat.


SUMATRA (ACEH) PIMPINAN TEUKU DAUD BEUREUH

Tahun 46 Sejak semula di Aceh ada kekuatan yang merupakan dwi-tunggal, yaitu antara para ulama yang memegang dan memerankan Hukum Islam dan Ulee Balang (Hulu Balang) sebagai pemegang Hukum Adat. Ada seorang Sultan yang mampu memadukan dua kekuatan ini menjadi satu. Namun sejak tanggal 10 Januari 1903 Sultan tertawan, maka Dwi-tunggal pun terpecah dengan ditariknya Ulee Balang pada pemerintahan sipil Kolonial. Senantiasa terjadi pertikaian antar ulama dan Ulee Balang hingga tahun 1939. Para Ulama bersatu dalam PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) dan diakhiri tahun 1945; singkatan tersebut menjadi singkatan slogan “Pembasmian Uleebalang-Uleebalang Seluruh Aceh”, maka pada awal tahun 46 terjadi pembantaian sebahagian besar Uleebalang, keluarganya dibunuh dan sisanya ditawan PUSA dipimpin oleh 4 Ulama dan sebagai Ketuanya ialah Teuku Muhammad Daud Beureuh. Organisasi perjuangan PUSA seperti halnya perujangan yang terdapat di pulau-pulau lainnya, yaitu perang sabil melawan Belanda.

Tahun 50 Sekembali nya Yogya ke tangan Sukarno Hatta maka PBB menuntut dikembalikannya akan segala sesuatu mengenai De Facto dan De Jure RIS begitupun De Factonya propinsi Aceh. Namun hal ini mendapatkan penentangan dari orang-orang Aceh sendiri akan rencana peleburan kedalam kekuasaan RIS dengan daerah lainnya. Sikap Aceh ini dijadikan oleh orang-orang komunis sebagai sasaran empuk untuk difitnah. Disukan bahwa Aceh sedang mempersiapkan pemberontakan untuk memisahkan diri dari RIS, maka Pemerintah Pusat mengambil Langkah. Awalnya adalah dengan pengangkatan seorang Panglima untuk daerah Sumatra Timur dan langkah berikutnya, tepatnya Bulan Oktober 50 Pemerintah pusat di Jakarta memutuskan tentang penyatuan Aceh dengan Tapanuli dan Sumatra Timur menjadi satu propinsi yaitu menjadi Propinsi Sumatra Utara; Dengan pelebuaran ini otomatis Abu Daud menjadi tidak berfungsi lagi. Untuk lebih menguasai lagi kekuasaan/keadaan, Pemerintah Pusat menawarkan jabatan yang ada di Jakarta tapi Abu Daud menolak dan mengundurkan diri dari pemerintahan hal ini menimbulkan ketegangan disemua pihak terutama para pendukung PUSA. Adapun yang diangkat menjadi Panglima di Sumatra Utara oleh Pemerintah RI bernama Nazir seorang Aceh juga namun dikhabarkan dia telah menaruh simpati pada komunisme. Pribadi Abu Daud sendiri dalam menghadapi konflik ini nampak tenang-tenang saja beliau punya prinsip akan tetap sabar selama Pemerintahan dipimpin oleh Muslim atau orang-orang Masyumi yang memegang peranan.

Awal Tahun 53 Orang-orang sayap kiri (komunis) kembali menyebarkan desas-desus bahwa Aceh benar-benar sedang mempersiapkan pemberontakan, maka Pemerintah di Jakarta menyusun perencanaan penangkapan kepada 190 orang tokoh Aceh yang terkemuka, namun rencana tersebut bocor mengakibatkan putus sama sekali hubungan Aceh dengan Jakarta memang Abu Daud sendiri akhir-akhir ini telah banyak bersikap meremehkan penguasa karena boneka-boneka RI di Aceh semakin hari semakin terlihat belangnya. Abu Daud mawas diri dalam menghadapi kecurangan penguasa, maka rencana penguasa RI yang akan mengadakan penangkapan terhadap 190 orang tokoh Aceh tidak terjadi, namun yang timbul adalah bentrokan karena terjadinya perlawanan dari tokoh tadi yang dipimpin oleh Abu Daud. Dalam penangguhan dan pemantapan pergerakan yang di pimpinnya, Abu Daud mengadakan kontak dengan Imam SMK (jawa Barat) dengan cara tidak langsung atau lewat utusan. Pada waktu ada rencana pengadaan penggabungan wilayah Aceh untuk menjadi bagian NII haruslah dilaksanakan oleh KUKT (Kuasa Usaha Komandemen Tertinggi), cuma tidak dapat dilaksanakan karena mengingat kesibukan di Pusat yang kurang memungkinkan untuk ditinggalkan. Disodorkanlah kepada Bapak Imam SMK seorang yang dapat mengganti/mewakili KUT KT dalam mengemban tugas ini, yaitu bernama Mustafa Rasyid atau Abdul Fatah Wirananggapati yang dikenal sebagai seorang Anshar yang sudah terbiasa berkeliaran di kota dan dapat dipercaya oleh Panglima Agus Abdullah tetapi Bapak Imam SMK sendiri baru kali itu saja bertemu dan langsung diberi mandat untuk mengadakan pembai’atan sekaligus menyampaikan kebakuan kebijaksanaan yang sedang berlangsung. Akhirnya berangkatlah AFW ke Aceh.. Namun sangat sayang sewaktu hendak kembali dari Aceh ia tertangkap pada Bulan Mei 1953 yang belum sempat melaporkan hasil tugasnya pada waktu itu pula seorang utusan Abu Daud dilaporkan tertangkap juga akibatnya rencana pergerakan yang akan dilaksanakan tanggal 7 Agustus 53 diundurkan, bahkan menurut informasi terjadi penyerangan dari TNI secara mendadak, maka semakin gagal saja rencana penggabungan kekuatan dengan Jawa Barat, padahal disana telah ada kekuatan kapal terbang walau begitu dengan rahmat Allah kekuatan di Aceh dapat dipulihkan kembali.

Tanggal 19 September 53 Diawali dengan proklamasi Aceh dan daerah-daerah sekitarnya menjadi bagian dari NII diserukanlah komando dimulainya pergerakan seluruh Aceh. Kemenangan-kemenangan diraih selain persiapannya yang juga mapan juga adanya dukungan dari masyarakat pada umumnya. Juga hubungan Diplomatik dengan luar negeri dengan negara-negara Islam maupun dengan fihak PBB sendiri terjalin baik. Yang menjadi konsultannya adalah Hasan Muhammad Tiro yang berdomisili di Amerika.

Tahun 53 Pemilu RI yang pertama, Masyumi menang mutlak, maka di Pemerintahan Pusat semakin gencar pengajuan penyelesaian masalah di Aceh dengan cara perundingan.

Antara 55 - 56 Kebusukan tentara Republik: 1. Perlakuan tak senonoh (asusila) prajurit TNI Minangkabau yang masuk ke sebuah desa dekat Banda Aceh dan mengumpulkan seluruh wanitanya. Kemudian para prajurit itu semua memperlihatkan kemaluannya kepada para wanita tadi juga beberapa tawanan dari Aceh (prajurit NII) dipaksa untuk sama-sama memperlihatkan kemaluannya. Para prajurit RI mengatakan kepada para wanita bahwa dia dengan orang Aceh tidak ada perbedaan, yaitu telah sama-sama disunat, karena itu agar tidak dicap kafir. 2. Perampokan dan pembakaran rumah-rumah penduduk yang dicurigai pro Panglima Daud 3. Di desa Cot Jeumpa dan Pulot Leupang pasukan Republik mengumpulkan semua penduduk tak terkecuali anak-anak, perempuan dan orang tua renta yang kemudian tanpa ragu dan belas kasihan mereka dibantai semuanya.

Tahun 59 Didalam penyelesaian konflik Aceh maka Pemerintah Pusat RI di Jakarta mengadakan pertemuan-pertemuan dengan Pemerintah NII di Aceh guna perundingan yang juga dihadiri oleh antek-antek Aceh yang pro penguasa RI hal ini sebenarnya adalah rencana Thaghut memasang politik mengadu domba seperti sebelumnya (1956). Aceh sendiri telah diakui dan disetujui sebagai propinsi tersendiri. Hasil pertemuan ini diangkatlah Hasymi sebagai Gubernur dan Syamaun Gaharu sebagai Panglimanya. Hal ini setelah adanya ide yang disampaikan kepada Pemerintah RI dari Syamaun Gaharu, bahwa untuk penyelesaian Aceh adalah mesti dengan orang Aceh, dengancara Aceh pula, karena Aceh adalah daerah yang memiliki adat yang benar-benar eksklusif. Kemudian pada tanggal 26 Mei 1959 Aceh diakui sebagai daerah Istimewa dengan otonomi khususnya dalam masalah keagamaan, adat dan pendidikan, namun dengan catatan tidak bertentangan dengan UUDS RI.

Tanggal 15 Maret 59 Bagi orang-orang yang berjuangnya karena kesukuan dan ambisi, dengan adanya pengakuan dan hak otonomi dari penguasa RI dianggap sebagai sesuatu alternatif yang baik untuk diambil sehingga terjadilah perpecahan dalam tubuh NII Aceh, banyak orang terasnya yang mengundurkan diri untuk bergabung dengan antek thaghut dan ada juga yang membentuk Pemerintahan sendiri dengan nama Gerakan Revolusioner Islam Indonesia (GRII), diketuai oleh Abdul Ganu Utsman dan wakilnya Hasan Saleh. GRII selanjutnya mengumumkan penghentian pemberontakan dan menyatakan berunding dengan Pemerintah RI, maka diadakanlah perundingan GRII, Gubernur Aceh RI dan seorang Panglima utusan dari Pemerintah Pusat RI dengan keputusan memberikan peluang yang semakin besar pada otonomi Aceh, walaupun Panglima Daud dan Hasan Ali tetap melakukan pemberontakan nemun pada akhirnya beliau menghentikan sikap frontal mengingat suasana Aceh sudah banyak berubah dengan banyaknya perundingan yang dilakukan oleh para pembelot dengan thaghut yang mengakibatkan kesamaran pemandangan masyarakat Aceh hingga sulitnya mereka untuk diarahkan pada cita-cita penegakkan Islam yang murni maka Panglima Daud mengambil sikap diam. Terlebih dengan adanya kegagalan salah satu pecahan PRRI yang dipimpin Natsir dan Burhanuddin Harahap memproklamasikan diri menjadi bagian NII.


KALIMANTAN PIMPINAN IBNU HAJAR

Bermula dari kehadiran kelompok-kelompok kecil orang-orang asal Kalimantan yang ada di Pulau Jawa juga kelompok-kelompok kecil di Kalimantan itu sendiri yang bergerilya melawan Belanda yang perjuangannya jelas sempalan dan tak terkoordinir, maka Pemerintah RI membentuk ALRI Div. IV untuk mempersatukan gerilyawan tadi dalam mempertahankan Republik di Kalimantan serta hendak menjadikan Kalimantan sebagai wilayah republik ALRI Div. IV dipimpin oleh Hasan Basri dan wakilnya Gusti Aman.

Tahun 1947 Pelantikan ALRI Div. IV resmi menjadi bagian dari jajaran militer Pemerintah RI setelah terjadinya Perjanjian Linggar Jati, maka hal ini sebenarnya untuk pengendalian ALRI Div. IV yang senantiasa mengadakan aksi yang merepotkan Belanda hingga kewalahan. Sementara Pemerintah buatan Belanda yang bernama daerah Otonomi Kalimantang Tenggaradan Banjar tak dapat berkutik juga menghadapi massa yang dikendalikan oleh ALRI Div. IV. Padahal kalau melihat Perjanjian linggar Jati ALRI Div. IV harus tunduk kepada penjajah Belanda karena Kalimantan merupakan De Facto Belanda, hal ini berlarut hingga 2 tahun lamanya.

25 November 1949 ALRI Div. IV dirubah namanya menjadi Divisi Lembu Mangkurat yang mulai berada dibawah yuridisi Dewan Banjar dengan banyaknya campur tangan Pemerintah Pusat RI yang didominasi oleh orang-orang Jawa hingga banyak sekali penjahat-penjahat dari Jawa mengambil alih peranan orang-orang Kalimantan sendiri. Kenyataan seperti ini membawa dampak cukup tajam ditengah-tengah ketidak setujuan pengintegrasian ALRI Div. IV pada TNI, juga meningkat antipati kesukuan karena keserakahan pejabat-pejabat Jawa dan orang-orang Kalimantan sendiri sangat dilecehkan padahal mereka adalah bekas gerilyawan sejati. Melihat kenyataan ini Pemerintah Pusat RI semakin khawatir, maka ALRI Div. IV semakin dirobek-robekkesatuan orang-orangnya dilumatkan sama sekali dari arena yang ada dengan alasan arena yang ada dengan alasan penyebaran atau menempati bagian lain di Indonesia dengan ditariknya 40 s.d 50 orang para perwira bekas ALRI Div. IV untuk menempati krusus-kursus khusus Akademi Nasional di Yogyakarta. Padahal di Yogya sendiri sebetulnya telah ditutup setahun silam pendidikan ini. Maka sebagian besar masuk ke Surabaya dan ikut pendidikan disana namun ternyata cuma satu orang yang menyelesaikan pendidikannya, selebihnya kembali ke Kalimantan sebagian lagi bergabung dengan Divisi Lembung Mangkurat dan sebagian lagi bergabung kembali dengan para gerilyawan dihutan untuk melawan tentara Republik sendiri. Dihutan itulah para gerilyawan membentuk KRIyT (Kesatuan Rakyat Indonesia Yang tertindas) yang memang penduduk desa-desa disana mendapat perlakuan yang menindas dari Pemerintah Republik dan yang terutama tujuannya adalah untuk membela keutuhan Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 Pemerintah Kolonial. KRIyT dirintis dan dipimpin oleh Bapak Ibnu Hajar (bekas Letnan Dua ALRI Div. IV), dimana ALRI Div. IV sejak semula terkenal dengan kepribadiannya yang baik dengan kekonsekwenannya terhadap ajaran Islam yang begitu tinggi hingga pengaruhnya melahirkan kekuatan massa yang besar di Kalimantan. Maka dengan berdirinya KRIyT warna Islam semakin nampak sebagai yang melandasi perjuangannya. Sering terjadi berbagi pertempuran melawan pasukan-pasukan TNI pimpinan Hasan Basri sebagai kepercayaan Pemerintah RI untuk mengadakan penumpasan KRIyT, padahal Hasan Basri dulunya pimpinan ALRI Div. IV. Namun berbagai harapan dan impian jabatan dan kekayaan yang membawa dia menjual akherat untuk dunia. Upaya-upaya Hasan Basri tidak begitu banyak membawa hasil, maka diganti oleh Sitompul seorang Batak untuk memimpim penyerangan terhadap pemberontak KRIyT. Sementara Hasan Basri sendiri ditarik ke Jakarta kemudian oleh Pemerintah RI diberikan bea siswa untuk sekolah ke Mesir memperdalam ilmu agama Islam dan kemiliteran selama 4 tahun (1951 - 1955).

Pebruari 54 Konsolidasi erat terjalin antara Pemerintah NII dengan Pimpinan KRIyT dengan hadirnya seorang utusan utama dari Pemerintah NII yang bernama Sanusi Partawijaya, dalam perbincangannya membicarakan upaya-upaya tentang penggabungan Kalimantan kedalam wilayah De Facto Negara Islam dan membentuk komando Teritorial VI TII

Akhir 54 Proklamasi NII Kalimantan dan pelantikan Ibnu Hajar sebagai Panglima Komando Teritorial VI TII. Mulai saat inilah nama KRIyT menjadi APTI (Angkatan Perang Tentara Islam) yang markas besarnya di Hulu Sungai, maka muncullah para pejuang Kalimantan ini dengan identitas kemusliman dan kemujahidannya, terlebih dengan telah ditetapkannya beberapa kebijaksanaannya yang menghapus ciri-ciri sekuler pada sistem dan operasionalnya baik dibidang sipil ataupun dibidang militer. Berbagai upaya dilancarkan oleh Pemerintah Pusat RI baik secara militer ataupun secara politis hingga Sukarno turun ke Kalimantan dengan propaganda akan memberikan amnesti umum kepada semua pemberontak yang menyerah pada akhir tahun 55, namun hasilnya Nol besar karena kegiatan APTI tidak berkurang, maka Pemerintah pusat RI membuat planning baru yang sifatnya mengulang kembali politik yang sudah baku yaitu politik adu domba dengan mengandalkan ras kesukuan untuk menjadikan transparan kekuatan religius dengan kembali menarik Hasan Basri sepulang dari Mesir untuk diberi kepercayaan dan mandat untuk memimpin pasukan untuk menumpas APTI yang dipandang semakin kuat, karena daerah teritorialnya makin luas. Langkah awalnya Hasan Basri melakukan teror mental dan bujuk rayu dengan menggunakan potensi para Ulama yang pro pada penguasa hingga mengakibatkan 2 komandan APTI membelot, juga menyerahkan 400 orang gerilyawan namun hal ini tidak berkelanjutan karena Ibnu Hajar dapat memanfaatkan situasi umum yang sedang terjadi berupa konflik kesukuan antara Jawa dan Kalimantan. Maka Panglima Ibnu Hajar dapat memulihkan bahkan mengembangkan lebih jauh lagi pasukannya hingga mampu mempertahankan perjuangannya sampai 7 tahun. Namun akhirnya terjadi kemunduran-kemunduran dengan terjadinya pengkhianatan-pengkhianatan dan kepandaian penguasa yang senantiasa memakai politik adu domba serta kesulitan menjalin kerjasama dengan kekuatan lainnya yang juga dalam kondisi sulit.

Awal September 65 Ibnu Hajar tertangkap kemudian disidangkan pada pengadilan militer dengan vonis dihukum mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar