NKA NII

NKA NII
Negara Karunia Allah Negara Islam Indonesia

Rabu, 08 Februari 2012

Kepada saudara Kami seiman yang dikasihi Maudhu’ taushiyah kita, “Ath Thaifah Al Manshurah” (I)


Kepada saudara Kami seiman yang dikasihi Maudhu’ taushiyah kita, “Ath Thaifah Al Manshurah” (I)



Ikhwan fillah, semoga antum dan kami serta seluruh ikhwatul mukminin khususnya mujahidin, semoga senantiasa dijaga dan dipelihara oleh Allah Subhaanahu wa ta’aala. Sehingga tetap sabar, dan istiqamahdan selalu memperoleh pertolongan-Nya dalam menghadapi musuh-musuh Islam dan kaum muskimin. Amiin.
Adalah merupakan nikmat dan rahmat Allah yang besar sekali yang Allah karuniakan bagi umat-umat Nabi Muhammad # terutama bagi yang benar-benar beriman lebih husus lagi bagi ara mujahidin yang mana Allah Ta’aala akan menjaga tegaknya dienul Islam sampai hari kiamat.
Jika kita telaah ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Nabi # yang berkenaan dengan tipu daya dan makar musuh-musuh Islam, lalu kita sesuaikan dengan kejadian di alam nyata baik yang kita baca dalam sejarah maupun yang kita dengar dan yang kita lihat dengan mata kepala kita sendiri. Sungguh begitu dahsyat da hebatnya permusuhan tipu daya dan makar mereka terhadap Islam sampai Allah firmankan “Sehingga gunung-gungnu dapat lenyap karenanya” (14:46), merek musuh-musuh Islam baik luar maupun dalam. Musuh luar maksudnya orang-orang kafir tulen yatitu Zeonis, salibis, komunis, ,ajusi dan sebagainya. Sedangkan musuh dalam adalah antek-entek mereka dari golongan orang-orang zindiq, para munafiqin, para murtaddin dangan segala jenisnya. Mereka tidak ada henti-hentinya berencana jahat dan berusaha keras untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin dengan berbagai cara. Dalam sebuah hadits, Rasulullah # menggambarkan bahwa kaum muslimin akan dikeroyok oeh musuh-musuhnya dari sebgala penjuru, bagaikan hidangan makanan yang dikerumuni oleh para penyantapnya, dan hal ini jelas berlaku pada masa kini dan diantara dampak negatifnya telah terjadikemurtadan yang luar biasa boleh dikatakan yang terbesar yang belum pernah terjadi dalam sepanjang sejarah kaum muslimin sebelumnya, yang mana kemurtadan kali ini terjadi dan merebak dalam segala aspek kehidupan kaum muslimin kenuali rang dirahmati Allah, baik dalam aqidah, syari’at hukum akhlak, politik, ekonomi, sosial, budaya, militer maupun fikrah dan tashawwuf dan tidak ketinggalan jugu ilmu pengetahuan dan teknologi.. benar-benar pemurtadan telah mencapai puncaknya. Betul-betul islam sedang digerogoti dari dalam maupun luar. Sekarang yang menjadi pertanyaan dalam keadaan Ad-Dien seperti ini masih adakah hamba-hamba Allah yang siap menjadi Anshornya, siap menjadi hawariyyin dan siap menjadi mujahid-mujahid-Nya? As Syaikh Abu Hasan An Nadawi *, dalam salah satu bukunya yang berjudul  (Kemurtadan terjadidan tidak ada Abu Bakar yang dapat mengatasinya). Judul ini kelihatannya membuat kita pesimis namun sebenarnya tidaklah demikian, justeru beliau mengharapkan agar segera bermunculan pemuda-pemuda yang seperti Abu bakar Ash-Shiddiq * yang dapat mengatsi arus deras kemurtadan-kemurtadan ini.
Tetapi perlu kita ingat bahwa hal ini merupakan Sunatullah. Sudah menjadi suratan taqdir dan menjadi kehendak-Nya. Allah Ta’aala menentukan keadaan seperti ini semata-mata untuk menguji hamba-hamba-Nya. Betapapun seluruh manusiaseisi bumi melakukan tipu daya memusuhi dan berencana jahat untuk memberangus dan menghancurkan Islam, namun Allah akan senantiasa menjaga dan menegakkan hingga hari kiamat dengan mentaqdirkan wujudnya sekelompok dari kaum muslimin yang siap berjihad dan erperang untuk membela agama-Nya. Dan mendapat pertolongannya sesuai dengan hadits berikut:

Artinya: dari Jabir bin Samrah * berkata Rasulullah # bersabda: Dien ini akan senantiasa tegak, yang mama tetap ada sekelompok dari kaum muslimin yang berperang membelanya hingga hari kiamat” H.R. ImamMuslim.
Nah kelompok itulah yang disebut,sungguh berbahagia dan beruntung orang yang dipilih oleh Allah dapat menyertai kafilah tersebut. Mudah-mudahan kami dan antum semua terdaftar dalam buku induknya. Amiin ……
Selanjutnya marilah kita perhatikan dengan seteliti mungkin, siapakah At Thoifah Al Manshurah itu? Bagaimana sifat-sifatnya? Seperti apa tauhid dan aqidahnya? Dan apa pula rogram dan aktivitasnya? Dan sebagainya. Hal ini sangat penting untuk kita ketahui, agara supaya kita tidak keliru dan salah. Sebab pada masa kini semua kelompok mengaku sebagai At Thoifah Al Manshurah, keadaan ini benar-benar sebagaimana yang terkandun dalam satu bait syair arab sebagai berikut:

Semua mengaku sebagai kekasih lalia . Sedang lalia tidak mengakui hal itu
Semua kelompok mengaku sebagai At Thoifah Al Manshurah . Sedangkan At Thoifah Al Manshurah berlepas diri dari kelompok-krlompok itu.
Selanjutnya mari kita perhatikan hadits Rasullulla # di bawah ini:
Artinya: ”Dari Salamah bin Nafil Al Kindi berkata: adalah aku duduk-duduk bersama Rasulullah # lalu ada seorang lak-laki berkata: wahai Rasulullah! Manusia telah meremehkan kuda, mereka telah meletakkan senjata dan mereka berkata: Tidak ada jihad, perang telah usai. Maka Rasulullah menghadapkan wajahnya (kepadanya) seraya berkata: Mereka telah dusta, sekarang telah tiba giliran perang dan senantiasa akan ada dari ummatku, satu ummat yang berperang membela kebenaran dan Allah menjadikan condong kepada kesesatan untuk mereka (para mujahidin) hati-hati kaum (kuffar) dan memberi rizki kepada mereka (para mujahidin) dari mereka (harta benda orang-orang kafir) hingga hari kiamat dan sehingga datang janji Allah. Dan kuda telah terikat pada ubun-ubunnya ada kebaikan sampai hari kiamat. Dan sesungguhnya Ia telah mewahyukan kepadaku bahwasanya sebentarlagi aku akan diwafatkan, dan kamu akan menyusulku kelompok demi kelompok, yang mana sebagian kamu akan memukul tengkuk-tengkuk sebagian yang lain, dan tempat tingggal negeri kaum muslimin di Syam…”H.R. Imam An-Nasa’I dan yang lainnya dengan sanad yang shahih.
Hadits tersebut menjelaskan kepada kita tentang dua sifat dari sifat-sifat At Thoifah Al Manshurah dengan penjelasan yang sangat jelas dan gamblang. Dua sifat tersebut adalah sebagai berikut:
Sifat pertama: kalau kita lihat sebab wurud(datang)nya hadits tersebut adalah karena adanya sekelompok orang yang mengistirahatkan dan mengumumkan akan terhentinya jihad mereka mencuaikan kuda artinya tidak ambil peduli, tidak berlatih dan tidak mentadrib kudanya. Mereka telah meletakkan senjata dan mengatakan bahwa perang telah selesai dan tiada lagi. Jadi sebab wurud hadits itu adalah adanya pengumuman akan hentinya dan tidak adanya perang.maka datanglah bantahan dan sanggahan yang jelas lagi nyata, tidak perlu ditakwil-takwil lagi bahwa Rasulullah # membantah dengan sabdanya “ mereka bohong dan sekarang ini tiba giliran perang “. Jadi perang tidak terhenti, tidak suatu sebabpun yang mewajibkan berhentinya perang atau pengumuman usainya perang. Bagaimana perang berhenti sedangkan di muka bumi masih ada kaum-kaum yang hatinya sesat dan menyimpang condong kepada kesesatan.
Kemudian Rasulullah # memuji kaum-kaum yang melaksanakn perang, yang tidak meremehkan kuda, tidak meletakkan senjata dan senantiasa menjadi muqatil dan muharib pada setip saat, dengan sabdanya yang artinya ((dan senantiasa akan adadari ummatku satu ummat yang berperang membela kebenaran)). Dengan demikian jelaslah bahwa diantara sifat At Thoifah Al Manshurah adalah berperan terus menerus untuk membela kebenaran mak kelompok manapun juga meskipun mengaku imannya setaraf malaikat Jibril * , aqidahnya seperti Abu Bakar Ash-Shidiq * , akan tetapi jihad dan perang bukan menjadi program utama hidupnya, maka dengan demikian batallah pengakuannya sebagai Thoifah Manshurah.
Sifat ke dua: kita suka atau tidak suka, kita heran atau tidak heran, kita terperanjat atau tidak terperanjat, dinyatakan dalam hadits tersebut bahwa sumber ekonomi utama Thoifah Manshurah, makanan, harta benda, dan lainsebagainya adalah diperoleh dari musuh-musuhnya, dalam fiqh antara lain disebut ghanimah, fa’i, salab dan lain sebagainya
Perhatikan sekali lagi hadits:

Artinya: “dan Allah menjadikan hati-hati kaum (orang-orang kafir) condong kepada kesesatan untuk mereka (para mujahidin), dan Allah memberikan rizki kepada mereka (para mujahidin) dari mereka (orang-orang kafir).
Bandingkan hadits tersebut dengan hadits berikut ini:

Artinya: “ dari Abdullah bin Umar * berkata, Rasulullah # bersabda: Aku diutus mendekati hari kiamat dengan pedang, sehingga Allah disembah satu-satu-Nya tiada sekutu bagi-Nya, dijadikan rizkiku di bawah naungan tombakku, dan dijadikan hina dan kerdil terhadap orang yang menyelisihi perintahku, dan barang siapa yang menyerupai dengan suatu kaum ia termasuk mereka” H.S.R Imam Ahmad dan dishahkanoleh Al Bani.
Rasulullah # sebelum diangkat menjadi nabi dan rasul bekerja menggembala kambing, berdagang dan lain sebagainya. Sesudah diankat menjadi nabi dan rasul tidak sibuk berdagang lagi. Sumber ekonomi utamanya adalah dari harta istri beliau Khadijah Al Kubra * selama di Makkah. Sesudah berhijrah ke Madinah, dan berjihad, maka seumber ekonomi utama beliau dan keluarganya adalah fa’i dan ghanimah. Sehingga sebagian dari bagian fa’i beliau yang yang diperoleh dari Yahudi Bani Nadhir cukup satu tahun untuk membiayai keperluan-keperluan dan keluarganya – Subhanallah – Beliau dan keluarganya diharamkan makan zakat, shadaqah, infaq dan lain sebagainya. Hadiah dan hibah dihalalkan. Begitulah gagahnya Nabi kita.
Harun Al Rasyid * , salah seorang khalifah dari Bani Abbasiyyah, beliau terkenal dengan kaya rayanya, memiliki berkarung-kerung emas, perak, mutiara dan sejenisnya. Dari mana harta benda itu beliau dapatkan? Kebanyakkannya dari tangan-tangan orang-orang kafir. Sebab kekuasaan beliau terbentang luas boleh dikatakan takterhinggapada saat kekhalifahannya, dan program pribadi beliau yang sangat terpuji adalah satu tahun pergi haji dan tahun berikutnya pergi berjihad (berperang) demikian seterusnya bergantian setiap tahun tetapi kalau kita baca dalam sejarah-sejarah **** yang ditulis oleh musuh-musuh Islam, beliau ditampilkan sebagai sosok manusia yang serba tama’, rakus, mengumbar syahwat dan seterusnya.
Kita kembali kepada kedua sifat Thoifah Manshurah tersebut diatas. Sekarang yang menjadi pertanyaan kita, keompok manakah yang secara kongkritnya yang menyandang kedua sifat tersebut pada masa sekarang ini? Hal ini perlu kita jawab agar masalah ini tidak sekedar teori dan konsep belaka. Ingat, bahwa Islam itu dien yang menegakkan amali bukan nazhari saja.mari kita lihat berbagai kelompok yang ada pada masa kini, kemudian kita kita cocokkan dua sifat Thoifah Manshurah tersebut dengan sifat-sifat kelompok-kelompok itu, mana yang paling sesuai menyandangnya?
A.    Ada beberapa kelompok atau jamaah yang menurut hemat ana tidak patut dan tidak sesuai untuk menyandang gelar Thoifah Manshurah. Sebab baik dengan lisan maupun dengan maqal telah mengatakan ”, tidak ada jihad atau belum masanya berjihad atau mengganti jihad (berperang) dengan jihad bermakna lain mengikuti seleranya, dengan alasan yang bermacam-macam. Adapun kelompok yang dimaksud adalah sebagai berikut:
(1).    Kelompok-kelompok Sufi dengan berbagai nama dan sebutan, kita ambil contoh yang masyhur pada saat ini yang bertaraf antar bangsa, yaitu Jama’ah Tabligh. Secara prinsip yang sangat mendasar bahwa dalam sufi tidak ada jihad yang berarti perang. Maka sebenarnya tidak perlu kita perdulikan lagi alasan mereka tidak mau berjihad, tetapi karena alasan batilnya selalu mereka gembor-gemborkan, maka tidak ada salahnya kita bahas sekilas pandang. Biasanya alasan yang mereka bangga-banggakan minimal ada dua yaitu sebagai berikut:
         a.      Memilih jihad akbar itu jihadunnafs (jihad melawan hawa nafsu)
         b.      Berupaya mengantarkan semua manusia termasuk orang-orang kafir masuk ke dalam surga.
Alasan pertama adalah batil dari segala segi
1.      Jihad melawan hawa nafsu adalah akbar bertentangan dengan A-Qur’an dan As-Sunnah dan bertentangan pula dengan seluruh pendapat-ulama-ulama yang muktabar dalam semua mazhab
2.      Pernyataan tersebut bukan dari hadits atau hadits maudhu’ yaitu hadits yang diada-adakan aias palsu.
3.      Salah seorang Tabi’in yang bernama Ibrahim bin ‘Ablah * , pernah mengatakan kepada para sahabat-sahabatnya ketika kembali dari medan pertempuran melawan pasukan salibis yang kata-katanya hampir serupa dengan yang dipegangi oleh para sufi selama ini yaitu:

Artinya: “ Kita telah kembali dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar. Ditanyakan, dan apakah jihad yang besar itu? Yaitu jihad melawan hawa nafsu.” (Selengkapnya rujuk jami’ul ‘ulum wal haikan – Ibnu Rajab * ) dengan kata-kata tersebut Ibrahim bin ‘Ablah * ingin memberikan tazhirah kepada para mujahidin bahwa godaan nafsu di kota atau di kampung itu jauh lebih besar dari pada yang ada di jabbah (medan perang). Agar para mujahidin waspada dan siap-siap menghadapinya dan jangan sampai terpedaya oleh godaan nafsu dan syaithan. Maka dalam kata-kata tersebut dimulakan dengan” (kita telah kembali). Tetapi orang-orang sufi memanipulasi tazkirah tersebut, tidak memahami secara utuh, mereka penggal sebagiannya saja yaitu jihad yang akbar adalah jihad nafsu. Kalau mereka benar-benar jujur mengikuti Ibrahi bin ‘Ablah * mereka mesti pergi berperang dahulu baru berhak mengatakan banwa jihad nafsu adalah jihad yng besar dan perang adalah jihad yang kecil. Namun keadaan mereka tidak demikian , mereka duduk-duduk menghitung tasbih, belum pernah kakinya menyentuh medan perang bahkan merah birunya medan perang belum pernah melihat selama hidupnya, tiba-tiba dengan sombongnya mereka mengatkan bahwa jihad (perang) itu adalah jihad yang kecil betul-betul tidak sesuai dengan akal sehat maupun syara’.
      Alasan ke dua tidak kurang batilnya, mereka beranggapan bahwa aktivitas mereka antaralain berdakwah, mengajak orang kafir masuk islam itu jauh lebih afdhal dan lebih terpuji daripada berjihad memerangi dan membunuh mereka. Sebab berdakwah menganatarkan mereka ke surga dan berjihad mengantarkan mereka ke neraka. Maka mereka lebih afdhal daripada para mujahidin. Begitulah pikiran mereka yang diilhami oleh iblis, seolah-olaah mereka lebih afdhal dan lebih pintar daripada Rasulullah # sebab beliau dalam 10 tahun saja operasi perangnya sebanyak 77 kali.
(2)   kelompok-kelompok dan jamaah –jamaah “Ikhwani” atau Al Ikhwanul Muslimin atau yang menginduk kepadanya meskipun menjadikan  (Jihad adalah jalan kami) sebagai ajarannya, tetapi jika dilihat dari segi pelaksanaannya jihad yang dimaksud adalah terbatas artinya jihad yang berarti perang hanya terhadap musuh aasing misalnya pada masa Ustadz Hasan Al-Bana * , sebagai pendiri jama’ah tersebut yaitu jihad Mesir melawan penjajah kafir Inggris, Jihad Palestina melawan Yahudi, Afghanistan melawan kafir Rusia dan sebagainya. Jama’ah Ikhwani tidak menjadikan jihad sebagai manhaj untuk mencapai target yang dicanangkan yaitu tegaknya dakwah dan khilafah, dalam upaya mencapai target tersebut kebanyakannya – kecuali yang dirahmati Allah – memilih dengan cara ikut pesta demokrasi yang syirik itu. Bagaimana tidak syirik, menyembah suara, suara rakyat katanya sama dengan suara Tuhan. Bahkan suara terbanyak lebih tinggi daripada firman Tuhan. Anggota perlemen sebagai hasil dari pesta demokrasi dalam pemilihan umum merupakan musyari’ atau pembuat undang-undang atau hukum. Sedangkan menurut tauhid yang benar bahwa satu-satunya yang berhak membuat undang-undang hanyalah Allah Rabbul’alamin. Maka jika ada manusia yang menganggap dirinya berhak mencipta hukum atau undang-undang, berarti telah merampas hak otoritas Allah dan telah menyekutukan dirinya dengan Allah. Prinsip demokrasi menyatakan bahwa kekuasaan di tangan rakyat. Maka segalanya terserah rakyat. Mau islam, mau sekuler, mau sosialis, mau komunis dan sebagainya teserah kepada rakyat. Berbeda dengan prinsip Islam, bedanya antara langit dan bumi. Prinsip islam menyatakan bahwa kekuasaan di tangan Allah Azza wa Jalla satu-satunya. Andaikan parlemen dalam salah satu negara membuat undang-undang larangan minum khamr maknanya sama dengan hukum Islam. Tetapi asasnya karena suara mayoritas menghendaki begitu atau karena tuntutan rakyat bukan atas dasar karena perintah rakyat. Maka meskipun sama-sama melarang khamr, tetapi nilainya berbeda, yang atas dasar perintah Allah tauhid, sedang yang berdasar suara terbanyak atau kehendak rakyat syirik. Apalagi kalau kita berbicara tentang menang dan dapat mencapai target yang diidam-idamkan yaitu tegaknya daulah dan khilafah. Itu hanya merupakan fatamorgana dan mimpi di siang bolong belaka. Tunggulah sampai burung gagak menjadi putih, anda tidak akan menang dan mencapai target. Sebab orang-orang kafir dan musuh-musuh Islam mereka-reka sistem itu diantara tujuan utamanya justru agar Islam tidak berkuasa. Jadi jelas berjuang melalui cara ini adalah sia-sia belaka. (88:7)”. Tidak mendapat ridho Allah dan pahalanya sebab bertentangan dengan sunnah bahkan terlibat dengan syirik dan kufur dan tidak pula mendapatkan kemenangan di dunia. Akhirnya paling banter para wakilnya mendapatkan gaji besar tiap bulannya dan wasilah untuk berdakwah. Betulkah wasilah untuk berdakwah? Serta dapat menyampaikan aspirasi rakyat yang memilihnya.
Meskipun ana menyampaikan bahwa demokrasi itu sistem syirik dan kufur, tetapi ana tidak memvonis bahwa setip orang Islam yang terlibat di dalamnya berarti musyrik atau kafir. Karena mungkin saja ia melibatkan diri karena kebodohannya sebab keterangan belum sampai kepadanya, atau ada alasan lain yang dibenarkan oleh syar’iy jika ada. Jika tidak ada alasan yang dibenarkan oleh syara’ dan iapun sudah mengerti bahwa amalan itu terlibat syirik dan kufur, lalu ia masih juga melibatkan diri di situ karena alasan maslahat duniawi, maka fikirkanlah hukumnya yang paling tepat – wallahu a’lam –
Disamping alasan di atas, kelompok “Ikhwani” memang tidak sesuai menyandang predikat Thoifah Manshurah, sebab menyelisihi sifatnya yaitu berperang sedangkan kelompok ini melalui lisan-lisan pemimpinnya – kecuali yang dirahmati Allah – menyatakan penentangannya dan keengganannya untuk menempuh jalan jihad dengan qital atau dengan bahasa mereka biasa disebut dengan “kekerasan”. Hujah mereka semata-mata aqli bukan syar’iy. Katanya, “kalau dengan cara jihad atau qital atau kekerasan musuh mempunyai alasan untuk memukul dan menghancurkan kelompok tersebut. Lagi pula ada yang beralasan di antara pimpinannya, tidak mau mengorbankan darah-darah pengikutnya dan orang awan dengan sia-sia. Kalaulah alasan itu benar, maka sunatullah bahwa antara alhaq dan albatil dan pendukung keduanya adalah berlawanan selama-lamanya, menjadi terhapus dan tidak ada, dan tidak akan ada yang disebut syuhada’. Sebab gugur di jalan kekerasan yang belum tentu hasi perjuangannya dikatakan sia-sia - akhirnya mereka memilih jalan yang dianggap selamat tiada korban yaitu dengan kompromi dan jalan damai, jalan bid’ah dan batil.
Selain itu mereka enggan berjihad karena menurtnya pada masa kini belum tiba masanya untuk berjihad sebab marhalah kelompoknya belum sampai marhalah jihad. Mereka mematok marhalahnya dengan marhalah tarbiyah. Sehingga bila diseru kepada jihad, maka jawabannya, “ya akhi! Marhalatunna marhalatut tarbiyyah” inilah yang disebut bid’atut tarbiyah (bid’ahnya tarbiyah). Insya Allah ana akan jelaskan pada pembahasan berikutnya.
Dengan beberapa alasan diatas dan sebenarnya masih banyak lagi, maka kelompok “Ikhwani” tidak layak menyandang gelar Thoifah Manshurah yang memiliki dua sifat sebagaimana yang disebutkan dua hadits di atas.
(3)  kelompok-kelompok, yang mengaku, mengklaim dan menyebut dirinya sebagai “As Salafi”
Sebelum kita mambahas apakah ada dua sifat Thoifah Manshurah tersebut pada kelompok ini, nampaknya ada baiknya jika kita secara singkat mengetahui perkembangan kelompok ini. Adapun sejarah perkembangan kelompok ini yang ana ketahui – wallahu a’lam bishshowab – adalah sebagai beikut:
Pencetus[1] istilah As Salafi adalah para masyayikh khususnya yang ada di jazirah Saudi Arabia dan sekitarnya, antara lain adalah As Syaikh Abdul Aziz bi Baaz * . penceusan istilah ini tentunya dengan mksud dan tujuan yang baik, antara lain yaitu menggantikan istilah “Ahlu Sunnah Wal Jama’ah” yang pernah dicetuskan oleh para ulama ahlus sunnah pada masa Imam Ahmad bin Hambal * , termasuk beliau sendiri, yaitu dengan tujuan untuk membedakan dan menyelisihi kelompok-kelompok ahlul bid’ah dan ahlul hawa’ seperti: Khawarij, Syi’ah, Murji’ah, Mu’tazilah, Jabariyah, Qadariyah, Jahmiyah dan lain sebagainya.
Demikian juga para masyayikh, mencetuskan istilah “As Salafi” di tambah dengan ya’ nisbah, dinisbahkan kepada manhaj dan mazhabkhoirunnas yaitu pada tiga abad hijrah pertama (Shahabat, Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in dengan maksud untuk membedakan dan mengistimewaan dari seluruh kelompok yang dianggap sebagai ahlul bid’ah dan ahwa’ termasuk golongan Asya ‘irah atau Asy’ariyah, terutama dalam masalah tauhid Asma’ dan Sifat.
Tokoh-tokoh masyayikh As Salafi yang termasyhur adalah As Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, As Syaikh Muhammad Shalih Utsaimin, As Syaikh Nasirudin Al Albani, As Syaikh Muqbil Al Wadi’i, dan lain-lain.
Kemudian perkembangan berikutnya terjadilah krisis dalaman maksudnya di kalangan “As Salafi” dari perselisihan yang buruk yang tiada pihak yang paling beruntung selain iblis dan syaitan dan antek-anteknya. Musibah ini bermula dari peristima invasi Iraq ke Kuwait pada tahun 1990 M. Dipicu dari ketamakan Sadam terhadap minyak Jabir. Jabirpun lari ke Romawi minta bantuan kafir Salibis barat – kecuali yang dirahmati Allah – maka datanglah berbondong-bondong tentara kafir salibis dan zeonis baratdengan penuh semangatsebab peluang emas seperti ini mereka sudah menunggu puluhan tahun karena hanya dengan cara inilah mereka dapat menguasai Arab. Tentara kafir yang datang tidak kurang dari datusan ribu bahkan mencapai jutaan. Kedatangan mereka mendapat takniah dari para pengasa untuk salibis dan tentaranya. Akhirnya bersatulah dalam satu barisan antara pasukan kafir salibis, zeonis dengan tentara-tentara yang mengaku beragama Islam. Untuk apa? Untuk menyerang dan memerangi kaum muslimin. Mereka menggempur Irak habis-habisan. Dan tidak berhenti sampai di situ saja. Seterusnya pasukan kafir salibis dan zeonis itu mendirikan basis-basis kekuatan militernya di seluruh tempat-tempat yang dianggap setrategis di tanah arab termasuk di Saudi Arabia, hampir di seluruh wilayah seperti di Yarmuk, Thaif, Dhahran, Riyadh dan sebagainya. Dan tentunya ini merupakan kesepakatan dan persetujuan antara kedua belah pihak antara kafir salibis dan zeonis barat dengan penguasa-penguasa setempat. Lalu setelah perang teluk I selesai, mereka kafir barat, enggan beranjak dan meninggalkan bumi-bumi yang sudah mereka duduki, apalagi kembali ke negeri mereka.
Tindakan batil dan tercela para penguasa yang mana mereka telah berwala’ kepada para salibis barat, mengambil mereka sebagai wali, penolong, pemimpin, teman setia, berkasih sayang dengan mereka, beerjasama dengan mereka untuk memerangi kaum muslimin , untuk menguasai negeri mereka, ekonomi mereka, merusak segala aspek kehidupan mereka, bahkan negeri sendiri diserahkan kepada orang-orang kafir demi langgengnya kekuasaannya. Tindakan ini benar- benar menunjukkan tidak adanya izzah dan harga diri sebagai seorang beriman pada diri para penguasa tersebut.
Dalam keadaan negara-negara Arab khususnya Saudi Arabia tertimpa musibah seperti ini, maka pngikut “As Salafi” secara garis besarnya bisa dikelompokkan sebagai berikut:
1.      Kelompok yang mengambil sikap “diam”. Di antara para masyayikh mengambil sikap ini. Artinya tidak secara terang-ternangan mendukung atau menentanga kebijaksanaan dan tindakan penguasa. Dan ada di antara merekayang dengan kelemahannya terpaksa mengeluarkan fatwa mengikuti keinginan penguasa.
2.      Kelompok yang mengambil sikap mendukung sang penguasa 100%. Tanpa berbelah bagi, maksudnya meskipun sang penguasa melakukan seribu satu dosa dan maksiat, hatta yang akbar, dianggap tidak dapat menggugurkan wilayah kepemimpinannya selama tidak disertai juhud dan istihlah dan masih melakukan sholat. Maka semua rakyat wajib tetap menta’atinya. Yang tidak ta’at dan menentang dilabelkan sebagai golongan ahlul bid’ah, ahlul ahwa’ dan khawarij.
Bersumber dari kelompok inilah, dsb yang akhirnya tersebar seribu satu fitnah dan hujah-hujah yang nyleneh-nyleneh di seluruh dunia Islam termasuk di Asia tenggara (Indonesia, Malaysia, Singapura dsb). Yang mana itu dilakukan untuk membenarkan sikapnya dan membatilkan sikap pihak lain yang berseberangan denganya. Dan sikap yang seperti itu bukan terhadap penguasa Saudi saja. Bahkan yang lebih aneh bin ajaib lagi digeneralisasikan untuk seluruh penguasa yang mengaku beragama Islam apakah seorang sosialis atau komunis atau sekuler atau ba’ats dan sebagainya tidak menjadi masalah yang penting beragama Islam.
3.      Kelompok yang mengambil sikap menentang tindakan penguasa bara’ terhadap dosa-dosa dan maksiat yang dilakukan bahkan tidak sedkit yang bara’ dari kepemimpinannya  karena dianggap telah gugur wilayahnya sebab telah melakukan kufron bawwahan (kufur yang jela lagi gamblang)seperti berwala’ kepada oran kafir, bekerjasama dengan orng kafir untuk memerangi Islam dan kaum muslimin, tidak berhukum dengan hukum Allah mengenakan salib dan lain sebagainya.
Di antara tokoh yang telah menentang tindakan penguasa dan bara’ terhadap perbuatannya adalah Asy Syaikh afar hawali dan Asy Syaikh Salman Al Audah, yang zhahir seperti itu shalihnya – Wallahu a’lam-  beliau berdua sempat dipenjara dan akhirnya dibebaskan. Beliau dan para pendukungnya dilabelkan oleh kelompok 2 sebagai khawarij.
Adapun yang menyatakan bara’ terhadap kepemimpinannya tentunya termasuk perbuatannya juga, yaitu Asy Syaikh Usamah bin Ladin dan semisalnya. – Wallahu a’lam –
Kelompok ke tiga ini ada yang menyebut dengan sebutan As-Salafi Al-Jihadi untuk membedakan dengan kelompok yang mengaku As-Salafi tetapi sufi (tidak mau berjihad) atau as Salafi tetapi irja’i berpaham seperti murji’ah.

Untuk kelompok As Salafi di Mesir lain lagi. Di samping mungkin terdapat kelompok 1 dan 2 dan 3 yang sudah disebutkan. Terdapat kelompok salaf yang lebih solid dari itu, ditinjau dari segi ilmu dan juga jihadnya. Kelihatannya kelompok ini tidak terpengaruh sama sekali dengan masyayikh jazirah Arab dan sekitarnya termasuk kibar masyayikh. Bahkan mereka menilai bahwa banyak pendapat masyayikh tersebut yang keluar dari manhaj salaf dan ahlus sunnah, dan masuk dalam perangkap ahlul bid’ah dan ahlul ahwa’ seperti sufi dan murji’ah dan sebagainya. Di antara mereka ini ada yang bergabung dalam satu jama’ah yang disebut jama’atut tauhid wal jihad, jama’ah inilah yang melaksanakan operasi-operasi jihadi di Mesir seperti membunuh Anwar Sadad dan lain sebagainya. Bukan Ikhwanul Muslimin yang melakukan operasi-operasi jihad tersebut. Bahkan jama’ah ini paling anti dan berseberangan dengan Ikhwanul Muslimin. Di antara tokoh alim yang dimunculkan oleh jama’ah ini adalah Asy Syaikh Umar Abdurrahman * , yang sekarang dipenjara di Amerika. Lalu perkembangan berikutnya jama’ah ini terbagi menjadi dua kelompok 1. Al Jama’ah Al Islamiyah yang dipimpin oleh: Asy Syaikh Umar Abdurrahman * dan 2. Jama’atul Jihad yang dipimpin oleh: Asy Syaikh Aiman Adh Dharwahiri * orang yang paling di wanted oleh kafir salibis Amerika dan antek-anteknya di samping Asy Syaikh Usamah dan Mullah Muhammad Umar * .
Adapun kelompok-kelompok yang mengaku As Salafi di Indonesia bisa dikelompokkan sebagai berikut:
1.                  Kelompok yang banyak mengacu kepada Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz * , dan Muhammad Al Utsaimin * .
2.                  Kelompok yang banyak mengacu kepada Asy Syaikh Nasirudin Al Albani *.
3.                  Kelompok yang banyak mengacu kepada Asy Syaikh Muqbil Al Wadi’i  *, dan Asy Syaikh Rabi’ Al Madkholi.
4.                  kelompk yang mengacu kepada Masyayikh secara keseluruhan. Artinya, pada lahirnya tidak kelihatan kecenderungan kepada salah satu di antara masyayikh yang ada.
5.                  Ada juga kelompok yang mengaku As Salafi yang bersikap toleran terhadap kelompok-kelompok lain termasuk Ikhwani, dan sebagainya.
Kelompok-kelompok yang mengaku Salafi dengan masing-masing tokohnya termasuk yang ada di Indonesia yang sampai hari ini masih di uji saling bersikut-siktuan antara satu denagan yang lain, masing-masing kelompok ada kelebihan dan kekurangannya, ada persamaannya dan perbedaannya. Tetapi secara ushul dan  prinsip mendekati kesamaan. Sebab rujukan utamanya sama, yaitu Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz * , Asy Syaikh Muhammad Shalih Utsaimin * ,Asy Syaikh Nasirudi Al Albani *, Asy Syaikh Muqbil Al Wadi’i  *, dan para masyayikh yang manhaj dan fikrahnya sama dengan  “Kibar Masyayikh” tersebut. Dan kebanyakanya – kecuali yang dirahmati Allah – pantang merujuk apa lagi merujuk, mnyentuh bukunya saja tidak mau ulama-ulama yang berjihad, atau ulama-ulama yang menentang penguasa-penguasa yang mustabdil, atau ulama-ulama yang bertandhim dan sebagainya. Bahkan dari awal-awal lagi mereka telah menutup hatinya, matanya, dan telinganya dari ilmu, hujjah dan bayan ulama-ulama tersebut dan memvonis mereka sebagai ahlul bid’ah, ahlul ahwa’, khawarij dan segala gelaran  buruk yang lain.
Sebenarnya perlu ada muhasabah dan evaluasi. Memang besar jasa-jasa syaikh-syaikh dan ustadz-ustadz Salafi ini. Mereka telah berjaya mengeluarkan orang awam khususnya para pengikutnya dari ta’ashub, fanatik, dan taqlid kepada ulama-ulama yang besar lagi agung terdahulu, seperti Imam Muhammad bin Idris Asy Syaikh-Syafi’I*, Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit *, Imam Malik bin Anas *, Imam Ahmad bin Hambal *, dan ribuan yang lain lagi. Tetapi pada masa yang sama, anehnya – Wallahu a’lam – dengan sadar atau tidak, orang awam dan para pengikutnya tersebut dibawa kepada ta’ashub, fanatik dan taqlid kepada Ibnu Baaz, kepada Al-Abani, kepada Ibnu Utsaimin, dan sebagainya.
Anda bisa buktikan, coba sampaikan satu masalah kepada para pengikut Salafi, lalu katakan kepada mereka bahwa menurut pendapat Imam Asy-Syafi’i * begini ……., maka mereka tidak akan puas menerima pendapat Imam tersebut apalagi tanpa dalil, sudah ada dalilnya pun belum puas. Namun sebaliknya jika anda katakan menurutBin Baaz begini ……, menurut Ibnu Utsaimin begini ……, menurut Asy Syaikh Al Albani begini ……., akan mereka terima dengan “mantuk-mantuk”, apakah ada dalil atau tidak, menurut mereka masalah kedua, yang penting pendapat Kibarul Masyayikh.
Ada satu kejadian dalam majelis ta’lim, yang mana pada saat itu salah seorng dari ustadz Salafi yang boleh dibilang termasuk ustadz yang berpengaruh bukan ustadz kelas teri. Ustadz tersebut menyampaikan fatwa atau pendapat Asy Syaikh Abdul Aziz Bin Baaz * , lalu ada salah seorang dari pengikut majelis yang tidak puas dengan kandungan fatwa atau pendapat Bin  Baaz yang disampaikan itu, maka bertanyalah ia kepada ustadz tersebut dengn dalil-dalil yang mendasari fatwa itu. Lalu ustadz pun dengan nada keras mengatakan yang kurang lebih sebagai berikut:


Artinya: Jangan bertanya tentang dalil, fatwa-fatwa ini dari syaikh-syaikh yang agung.
Begitulah ya akhi! Yang terjadi, ibarat seseorang yang diselamatkan dari mulut ular tetapi malah dicampakkan ke dalam mulut buaya. Kasihan!
Dan menurut ana, tidak sedikit pendapat masyayikh yang perlu dikoreksi, namun ditelan begitu saja oleh para pengikutnya, seolah-olah ada sifat ushmah pada diri para masyayikh itu. Padahal, para masyayikh itupun manusia biasa sebagaimana para ulama yang terdahulu apalagi para masyayikh sekarang hidup pada masa yang penuh dengan fitnah. Mereka semua melarang para pengikutnya untuk berta’ashum dan bertaqlid. Tetapi ternyata iblis dan syaitan tidak pernah putus asa untuk menyesatkan manusia dengan bersikap ghuluw kepada para masyayikhnya. Ingatlah berapa banyak kaum yang hancur dan binasa karena ghuluw kepada ulama dan masyayikhnya. Mudah-mudahan kita dijauhkan oleh Allah dari sifat yang tercela dan berbahaya itu.
Kita kembali kepada persoalan pokok, kita sudah terlalu jauh berkeliling-kaliling ini, tapi tak apa, mudah-mudahan bermanfaat. Persoalannya apakah kelompok-kelompok yang mengaku Salafi memiliki dua sifat yang ada dalam hadits tersebut. Jawabannya mudah, tidak. Bahkan termasuk juga yang terlibat mengatakan. Kenapa demikian? Mari kita lihat bukti-buktinya antar lain sebagai berikut:
a.       Mereka menyeru kepada At Tasfiyah dan At Tarbiyah.
Pencetus manhaj At Tasfiyah dan At Tarbiyah antara lain adalah Asy Syaikh Al Albani * , kemudian diikuti dan dibenarkan oleh mayoritas pengikut As Salafi. Dilihat dari segi istilah dan bahasa sepertinya indah, namun jika dikaji dan diteliti secara mendalam, kandungan dan maksud istilah itu dimunculkan, sungguh tidak akan ada orang yang menyetujuinya dan menganggap sesuai, melainkan orang-orang sufi, atau orang yang bermanhaj sufi, atau orang yang terjangkit pemahaman sufi.
Makna bahasa dari kata At Tasfiyah adalah menjernihkan atau membersihkan, bisa juga diartikan penjernihan dan pembersihan sedang At Tarbiyah berarti mendidik atau pendidikan.
Menurut kesimpulan ana yang ana sandarkan pada ceramah Asy Syaikh Al Albani dalam kaset dan beberapa buku yang dikeluarkan oleh jama’ah-jama’ah jihadi dalam menanggapi beberapa pendapat Asy Syaikh tersebut, minimal istilah itu mengandung dua maksud:
1.      Bahwa untuk merubah keadaan kaum muslimin seperti sekarng ini adalah dengan At Tasfiyah dan At Tarbiyah bukan dengan cara lain, apa lagi dengan jihad melawan penguasa-penguasa dzolim, beliau tidak setuju sama sekali bahkan mengatakan bid’ah modern. Jadi yang penting kaum muslimin membersihkan dirinya dari segala penyakit hati baik yang akbar maupun yang Ashghor dan menjernihkan amalnya dari segala syirik, bid’ah, khurafat dan takahyul dan sebagainya serta mendidik dirinya dengan pendidikan yang baik dalam segala aspek kehidupannya.
Beliau menambahkan “jika setiap muslim berbuat demikian, dengan sendirinya keadaan mereka akan berubah lalu beliau menyitir sebuah ayat: (Q.S. 13:11)

Artinya: Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
Pada masa lain beliau menyampaikan satu ungkapan yang ada hubungannya erat dengan masalah ini. Hanya saja sampai hari ini ana tidak mengetahui secara pasti dari mana sebenarnya ungkapan itu bermuara. Adapun ungkapannya sebagai berikut:

Artinya: “ Tegakkanlah negara Islam dalam hatimu ia akan tegak untukmu di atas bumimu.”[2]
Ungkapan tersebutadalah bid’ah yang sesat dari segi nylenehnya mirip-mirip dengan syiar-syiar sufi yang sukar difahami dan sulit dipraktekkan dalam dunia nyata. Misalnya diantara syiar mereka yang paling penting yaitu: artinya: aku menghendaki agar aku tidak menghendaki.
Sungguh sulit difahami apa maunya dan berpuluh-puluh lagi syiar-syiar mereka sejenis itu. Maka benarlah apa yang dikatakan oleh Imam Asy Syafi’i * :

Artinya: Tidaklah seseorang yang berakal menjadi sufi pada siang hari dan sholat asar datang kepadanya melainkan melainkan ia sudah dalam keadaan gila.
Dan ternyata manhaj dan syiar kelompok yang mengaku Salafi banyak yang menyerupai manhaj dan syi’ar sufi, misalnya:
1. Dalam hal siasah atau politik. As Sufi syiarnya: As siyasah tiyasah  siyasah (politik) adalah kebodohan. Syiar As Salafi: : bagian dari politik adalah meninggalkan politik (ceramah As Salafi dalam kaset).
2.   Syiar As Sufi pembicaraan kita adalah sesuatu yang ada di atas langit dan sesuatu yang ada dalam bumi (kubur). Maksudnya tidak perlu membicarakan dunia dan As Salafi syiarnya
3.   Syiar Salafi: “Tinggalkan hak kaisaruntuk kaisar dan hak Allah untuk Allah” (kata-kata Muhammad Syaqrah As Salafi dalam bukunya As Salafiyah)
      Dan Sufi menyebarkan slogan pada umat ini:

      “Kaisar adalah naungan Allah di bumi, barang siapa yang menghinakan penguasa Allah, Allah akan menghinakannya.”
      Oleh karena itu orang-orang sufi selalunya menjilat penguasa.
      Ungkapan di atasselain mirip dengan syiar sufi, terkandung di dalamnya dua bid’ah yang sesat, 1. Bid’ah Irja’i atau Murji’ah, 2. Bid’ah Jabar atau Jabariyah. Bid’ah Irja’i ada pada paroh pertama dari ungkapan tersebut yaitu  yang mana yang diperintah untuk menegakkan daulah Islam adalah sebatas hati, sedangkan menurut syara’ berdasarkan dalil-dalil Al Kitab dan As Sunnah kewajiban yang di bebankan kepada kita adalah menegakkan daulah di alam nyata dengan anggota badan kita bukan hati saja. Inilah di antara aqidah murji’ah yang sesat lagi menyeleweng dari syara’ yang mana iman danggapnya hanya sebatas amalan hati adapun amalan anggota badan pada hakikatnya tidak termasuk iman. Maka aqidah murji’ah selamanya hanya mendorong para pengikutnya mengamalkan sesuatu dari segi keyakinan hatiadapun amalan anggota badan tidak begitu diperhatikan.
Kemudian paroh berikutnya:

Ungkapan ini jelas bid’ah sesat jabariyah yang mana meyakini bahwa berdirinya daulah semata-mata taqdir Allah tidak ada hubungan sama sekali dengan usaha manusia.
      Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa slogan atau manhaj At Tasfiyah dan At Tarbiyah adalah manhaj dan cara sufi yang bertentangan dengan sunnah. Sebab sunnah telah memandu kita bahwa untuk merobah keadaan adalah dengan dakwah, amar ma’ruf nahi munkar dan jihad fii sabilillah.
      Catatan: Meskipun pencetus manhaj sufi “At Tasfiyah At Tarbiyah” di antaranya adalah Asy Syaikh Al Albani *, ana tidak mengatakan dan memvonis bahwa Asy Syaikh Al Albani * adalah seorang sufi. Beliau manusia biasa tentu ada kesalahan dan kekeliruannya dan yang benar kita ikuti.
2.      Maksud yang lain dari slogan “At Tasfiyah dan At Tarbiyah”
Menurut fikiran kelompok yang mengaku As Salafi bahwa seseorang yang telah dianggap memenuhi syarat untuk berjihad adalah jika telah bersih dirinya dari segala kufur, syirik, nifaq yang akbar maupun yang asghar, dari segala kabair (dosa-dosa yang besar), dari segala bentuk bid’ah, khurafat dan takhayyul dan dari segala maksiat dan kemunkaran yang lain. Di samping itu dia mesti telah ditarbiyah dan dididik dengan pendidikan yang sempurna menurut ukuran mereka.
Pemahaman fikiran dan manhaj ini mengandung banyak syubhat, bid’ah dan kesesatan bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah, bertentangan dengan amalan salaf serta merupakan angan-angan dan khayalan yang tidak akan bisa terealisir sampai hari kiamat.
Sekarang mari kita perhatikan syubhat-syubhat dan kesesatan-kesesatannya:
a.   Mereka menganggap bahwa syari’at ibadah jihad itu istimewa, berdiri sendiri, lain dari pada yang lain, berbeda dengan sholat, puasa, zakat, haji, berdakwah, amar makruf, nahi munkar dan sebagainya. Jelas anggapan ini adalah bid’ah dan sesat karena tidak ada secuilpun dalil syar’I yang menunjukkan adanya perbedaan.
b.      Mereka beranggapan bahwa syari’at jihad itu hanya disyari’atkan dan dibebankan kepada orang-orang yang imannya setaraf sahabat * . Adapun bagi orang awam dan orang yang aqidahnya belum beres, atau orang yang tidak berilmu, atau orang yang ibadahnya belum baik, atau orang yang masih banyak dosa, atau orang yang masih suka berbuat maksiat dan kemungkaran, mereka tidak layak atau tidak ada tempatatau tidak perlu atau belum berkewajiban atau tidak berkewajiban uantuk pergi berjihad dan pergi ke medan perang.
Bukti-buktinya antara lain:
-          Adnan Ar’ar yang mengaku Salafi ditanya, kurang lebih pertanyaannya begini, Kapan jihad yang berarti perang itu disyari’atkan kepada kita? Jawabnya jika derajat kita telah mencapai seperti sahabat *, yang siap menyerahkan istrinya dengan hati yang tulus kepada orang lain. Lalu ia menyebutkan hadits shohih Al Bukhari yang menceritakan tentang sifat Muhajirin dan Anshar.[3]
-          Orang yang mengaku Salafi atau murid-murid yang mengaku Salafi, tatkala sampai di bumi jihad Afghanistan atau mengikuti jihad di Afghanistan, mereka terheran-heran apabila melihat ada di antara mujahidin yang sholatnya cepat, malas sholat, tidak bisa membaca Al Qur’As Sunnah, ada yang berbuat maksiat dan lain sebagainya. Seolah-olah hal-hal ini tidak masuk akal dilakukan oleh orang-orang yang bergelar mujahidin bahkan ada di antara mereka yang ifrath dan melampaui batas dengan kebodohannya, karena melihat beberapa mujahidin yang membawa wafa’ atau rajah 9tulisan-tulisan yang dibungkus dalam kain kecil yang berfungsi sebagai jimat). Maka begitu mereka meninggalkan Afghanistan melontarkan tuduhan bahwa yang ada di afghanistan bukan jihad tetapi perang antara musyrikin melawan mulhidin. Yang dimaksud musyrikin adaah mujahidin karena membawa azimat, sedangkan mulhidin adalah komunis rusia dan antek-anteknya.
-          Sebagian masyayikh as Salafi – kecuali yang dirahmati Allah – apabila diberitahu atau dimintai restu atau dimintai izin oleh murid-muridnya untuk pergi berjihad ke medan perang, maka sebelum menyampaikan restu, menyampaikan beberapa pertanyaan misalnya: apakah anda sudah hafal Alqur’As Sunnah? Berapa juz yang sudah hafal? Apakah anda sudah hafal hadits arbain As Sunnah Nawawiyah? Apakah anda sudah memahami aqidah salaf, tauhid asma’ wa sifat?apakah anda sudah betul-betul ikhlas? Apakah anda sudah biasa qiyamul lail? Apakah anda sudah membaca buku ini dan itu? Dan sebagainya dan sebagainya.
-          Dan lain sebagainya. Ada juga seorang syaikh Salafi yang mengatakan, “Jika yang memimpin jihad Asy Syaikh Bin Baaz dan yang setaraf dengannya saya akan siap berjihad”. Syaikh tersebut terlupakan dengan qoidah dan prinsip Ahlus Sunnahyang diajarkan selama ini yaitu:

“Ahlus Sunnah berpendapat bahwa Jihad fii sabilillah berlangsung terus bersama orang baik maupun orang jahat sampai hari kiamat”
Tanggapan: Sebenarnya banyak sekali hujjah-hujjah untuk membatilkan anggapan-anggapan tersebut di atas. Jika disampaikan semuanya tentu memerlukan berlembar-lembar kertas. Maka ana rasa cukup satu hadits saja. Ana yakin bahwa hadits yang ana akan sampaikan ini, seluruh orang yang mengaku Salafi mesti pernah mengenalnya dan mempelajarinya, sebab termaktub dalam “Kitab Tauhid” yang ditulis oleh Imam Mujadid Muhammad bin Abdul Wahab * , pada bab:

Adapun haditsnya sebagai berikut:


Artinya: Dari Abu Waqid Al Laitsi * berkata: Kami keluar (pergi perang) bersama Rasulullah # ke Hunain, sedang kami waktu itu baru saja meninggalkan kekufuran, dan kaum musyrikin mempunyai pohon bidara, mereka beri’tikaf di sisinya dan menggantungkan senjata-senjata mereka dengannya. Pohon itu disebut “dzatu anwath” (yang mempunyai gantungan-gantungan). Maka kami pun melewati pohon bidara, lalu kami mengatakan: Wahai Rasulullah! Buatkan untuk kami dzatu anwath sebagaimana dzatu anwath yang dipunyai mereka. Maka Rasulullah # berkata: ((Allauhu Akbar)) sesungguhnya itu adalah sunan, kamu telah mengatakan – demi dzat yang jiwaku berada di tangannya – sebagaimana ucapan Bani Israil kepada Musa * ,”Buatkanlah untuk kami Tuhan sebagaiman mereka punya tuhan-tuhan (berhala)”. Musa menjawab, “Sesunguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui“ (7:138) Sungguh kamu benar-benar akan mengikuti sunnah-sunnah orang-orang yang sebelummu.” H.S.R. Imam At Tirmidzi.
Dari kandungan hadits ini sanad maupun matannya bisa kita simpulkan bahwa pasukan Rasulullah # itu bukan seluruhnya imannya sebagaimana iman malaikat Jibril *, tetapi ternyata bertingkat-tingkat, ada yang kuat sekali, ada yang kuat, ada yang pertengahan, dan ada yang lemah, demikian juga ilmu pengetahuannya. Bahkan dalam hadits itu, dinyatakan sebagiannya belum memahami syirik, maka mereka minta dibuatkan berhala berupa pohon bidara seperti yang dipunyai kaum musyrikin.
Kalu kita buka Shirah, perang hunain adalah terjadi sesudah fathu makkah pada bulan Syawal, tahun 8 Hijriyah. Yang mana setelah Rasulullah # menakhlukkannya dan membereskan urusannya dan mayoritas pendduuknya masuk Islam. Beliau mendengan informasi bahwa Hawazin yang dipimpin oleh Malik Bin Auf An Nadhari beserta sekutu-sekutunya, Tsaqif keseluruhannya, Bani Jasym, Bani Sa’ad Bin Bakar, dan sekelompok dari Bani Hilal serta beberapa orang dari Bani Amru Bin Amin dan sebagainya, telah mengumpulkan kekuatan mereka untuk memerangi Rasulullah #. Maka beliau pun segera mengkoordinir pasukan kaum muslimin dan mengumpulkan mereka seluruhnya berjumlah 12000 orang, yang 10000 orang adalah pasukan fathu Makkah yang dibawa dari Madinah, terdiri dari kaum muhajirin dan Anshar, dan beberapa Qabilah Arab. Sedangkan yang 2000 orang adalah penduduk Makkah yng dibebaskan oleh Rasulullah # dan telah masuk Islam.[4]
Coba bayangkan pasukan Rasulullah # yang berjumlah 12000 orang itu sengan akal yang waras. Apakah semuanya memenuhi kriteria yang diada-adakan oleh yang mengaku As Salafi itu? Misalnya yang 10000 orang, pasukan Fathu Makkah yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar dan Qabilah-qabilah Arab. Untuk sahabat Muhajirin dan Anshar jelas tidak perlu kita persoalkan lagi, tetapi pasukan yang dari qabilah yang jumlahnya juga banyak tidak sedikit, apakah semuanya memenuhi syarat tesebut? Apalagi yang 200 orang yang berasal dari penduduk Makkah yang baru masuk Islam atau baru meninggalkan kekufuransebagaimana pengakuan mereka sendiri seperti yang terdapat dalam hadits di atas, tentu masih jauh sekali dari memenuhi syarat-syarat bid’ah yang dibuat oleh yang mengaku Salafi itu.
Seterusnya yang perlu ditanyakan, kenapa Rasulullah # mengajak atau mengikutkan dan menyertakan atau mengizinkan orang-orang yang boleh dikatakan imannya belum kuat, ilmunya belum cukup bahkan baru saja masuk Isalm dalam ibadah Jihad atau perang? Kenap Rasulullah # tidak membuatkan pondok pesantren untuk mereka terlebih dahulu padahal beliau mampu, sebab pada waktu itu banyak sekali dari kalangan sahabat Muhajirin dan Anshar para Fuqaha dan Asatidz yang hebat-hebat dengan demikian para sahabat *, yang baru masuk Islam tadi ditarbiyah di ponpes terlebih dahulu sebelum diberangkatkan ke medan jihad sehingga nantinya kalau menjadi seorang Mujahid benar-benar mujahid sebagaimana yang dikehendaki oleh Salafi? Kenapa beliau tidak berbuat demikian? Kok malah ujug-ujug menyertakan mereka berangkat ke medan perang padahal syirik saja belum paham!!! Jawabannya: Begitulah Rasulullah # berbuat berdasarkan wahyu, bukan berdasarkan pikiran sufi seperti angan-angan Salafi. Beliau adalah manusia yang paling pakar tentang tarbiyah dan pendidikan, maka sangat memahami bahwa Jihad dan medan jihad atau perang atau medan perang adalah merupakan sarana yang paling efektif untuk mentarbiyah iman, ilmu dan amal. Di medan peranglah seseorang akan dapat dengan mudah menggapai akhlak-akhlak mulia lagi tepuji seperti yakin dan tawakal, syukur dan sabar, zuhud terhadap dunia, itsar kepada kehidupan akhirat, cinta mati syahid dan sebagainya. Di medan jihad pulalah seseorang bisa dinilai apakah benar-benar sebagai seorang beriman atau munafiq.
c.       Sybhat-Syubhat dan Bid’ah Salafi dalam Memahami Tarbiyah.
Tarbiyah dalam pemikiran sebagian Salafi adalah suatu marhalah atau tahapan yang perlu dilalui sebelum melaksanakan suatu perintah, maka setiap orang mesti ditarbiyah terlebih dahulu sampai pada satu tahapan dimana seseorang itu sudah dinilai tertarbiyah baru setelah itu berhak memasuki perintah Allah dan melaksanakannya.[5]
Coba gambarkan seandainya pemahaman tarbiyah seperti ini dipraktekkan dalam kehidupan, apakah tidak berantakan syari’at Allah. Sebab seseorang tidak boleh berwudlu tidak boleh menunaikan sholat, tidak boleh puasa, tidak boleh bayar zakat, tidak boleh menunaikan haji, tidak boleh berdakwah, tidak boleh menikah, tidak boleh bisnis, tidak boleh mengajr dan sebagainya sebelum melalui tahapan tarbiyah.
Dalam Islam misalnya ada seseorang mualaf masuk Islam, sepuluh menit sebelum Adzan Dzuhur, maka ia berhak untuk mengikuti jamaah sholat dzuhur meskipun belum bisa mengucapkan apapun selain lafadz “Allah”. Apa lagi tertarbiyah dan bukan saja berhak bahkan sudah berkewajiban sholat meskipun belum mengetahui syarat dan rukunnya dengan sempurna.
Maka pemahman tarbiyah yang benar adalah “praktek pelaksanaan perintah Allah itulah tarbiyah”. Oleh karena itu jika ada seseorang hendak mentarbiyah dirinya, maka ia wajib melaksanakan perintah-perintah Allah, seperti menunaikan sholat, shoum, zakat, dakwah, jihad dan lain sebagainya. Karena pada masing-masing ibadah yang disyari’atkan oleh Allah itu jika dilaksanakan oleh seseorang akan membawa pengaruhatau memberikan bekasan tarbiyah kepada dirinya. Yang mana pengaruh dan bekasan tarbiyah dari masing-masing bentuk syari’at itu berbeda-beda. Bekasan tarbiyah yang dihasilkan dari menunaikan sholat berlainan dengan yang ada pada shoum, zakat, haji, dakwah, jihad dan sebagainya. Bekasan pada jihad tidak ada pada haji begitu pula sebaliknya beksan pada haji tidak ada pada jihad, dan seterusnya.
Jadi bisa kita tarik kesimpulan bahwa semua bentuk syari’at Allah adalah merupakan saran auntuk mentarbiyah hamba-hambanya. Apa targetnya? Menjadi seorang hamba yang mentauhidkannya dan hanya beribadah kepadanya saja.


Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melinkan supaya beribadah kepadaku
Maka dalam hal ini tidak ada perbedaan antara sholat, puasa, zakat, haji, dakwah, jihad dan sebagainya. Semuanya sebagai sarana untuk mengabdikan diri kepada Allah Ta’aala.
Akan tetapi, menurut pemahaman As Salafi begitu juga Ikhwani dan sebagainya, seolah-olah ibadah jihad itu tersendiri lain dari pada yang lain. Dan sebenarnya pemahaman tarbiyah di atas tadi muncul ketika dihadapkan kepada syari’at jihad. Untuk syari’at lain tidak begitu. Tidak kita dapati seroang syaikh pun dari Salafi, Ikhwani, maupun yang lain mengatakan kepada pengikutnya. Ya Akhi! Jangan sholat dulu, atau shoum dulu, haji dulu, atau berdakwah dulu, melainkan setelah tertarbiyah terlebih dahulu.
Dengan pemahaman seperti itu, maka tanpa disadari telah menjadikan jihad sebagai target bukan sarana lagi, artinya kelompok tersebut akan mentarbiyah para pengikutnya dengan berbagai macam bentuk tarbiyah dan apabila sudah diangap mencapai tahapan yang dikehendaki, (menurut Adnan Ar’ar sederajat dengan sahabat *) maka barulah akan dikerahkan untuk berjihad fii sabilillah.
Yang perlu ditanyakan, kira-kira sampai tidak tahapan yang diimpikn itu? Jawabnya, tunggulah sampai gagak beruban atau unta masuk lubang jarum, baru akan tercapai lamunan anda.
Kalaupun misalnya target tarbiyah itu tidak terlalu muluk-muluk sederajat dengan sahabat *, maka apa ukuran konkritnya bahwa seseorang itu dikatakan telah tertarbiyah sehingga layak pergi berjihad? Jawabnya sukar dan sulit untuk menentukan. Memang manhaj sufi serba nyleneh dan sukar dipahami.
Kesimpulannya, dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kelompok-kelompok yang mengaku Salafi dalam rangka menegakkan dienullah, tidak menempuh dengan jihad. Jika ada sekelompok Salafi yang berjihad sebagaimana yang terjadi di Ambon, maka sebenarnya itu merupakan letupan jihad semasa saja (itupun banyak kelompok Salafi lain yang tidak setuju). Cerita singkatnya, begitu terjadi pembantaian kaum muslimin di Ambon, maka salah seorang ustadz Salafi meminta fatwa kepada syaikhnya yang ada di Yaman. Lalu syaikh tersebut * , memfatwakan wajib berjihad (dalam hal ini adalah jihad difai, mempertahankan serangan musuh) dengan fatwa itu –Alhamdulillah – berbondong-berbondong pengikut Salafi berhaluan syaikh Muqbil * , yang dipimpin oleh Ustadz Ja’far Umar Thalib berdatangan ke bumi Ambon untuk berjihad. Kemudian perkembangan berikutnya karena di anggap Ambon sudah damai, orang kafir sudah tidak menyerang lagi. Maka ustadz pun minta fatwa lagi kepada masyayikh dan yang ana dengar – Wallau a’lam bish showab – fatwanya agar segera meninggalkan Ambon bahkan meninggalkan segala hal yang berurusan dengan jihad dan agar segera kembali ke lapangan dakwah dan tarbiyah lagi. Fatwa itupun dilaksanakan dengan sempurna maka keadaannya persis dengan cerita dalam hadits yang sedang kita bahas ini. (lihat lagi sanad hadits Imam An Nasa’I pada halaman 2)
Dengan demikian jelaslah bahwa pada kelompok-kelompok yang mengaku “As Salafi” tidak ada dua sifat At Thaifah Al Manshurah yang dimaksudkan.
(4) Sebenarnya masih banyak lagim kelompok-kelompok yang menyisihkan dan menyingkirkan jihad dai manhajnya, tetapi ana pandang kurang begitu penting untuk disampaikan – Insya Allah – yang telah disebutkan sudah cukup untuk sementara sebagai perbandingan dan pelajaran.

B.        Adapu kelompok yang mempunyai dua sifat yang ada pada Thoifah Manshurah tersebut, menurut ana – Wallahu a’lam – ialah jama’ah-jama’ah dan kelompok-kelompok jihad yang ada di manapun juga yang pada masa kini oleh musuh-musuh Islam (Zeonis, Salibis, Komunis, Majusi dan musyrikin lainnya serta antek-anteknya sebagai teroris, termasuk di antaranya adalah “Al Qaidah”

Jama’ah-jama’ah jihad As Salafiyah yang menjadikan jihad diantara program utamanya. Jama’ah-jama’ah inilah yang paling berhak menyadang sifat-sifat Thoifah Manshurah yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam As Sunnah Nasa’i tersebut
Berpuluh-puluh hadits lebih dari seratus jika kita kumpulkan dari “Kutubut Tis’ah” yang menguatkan hadits Imam Nasa’i bahwa syarat yang mesti ada pada Thoifah Manshurah adalah qital antara lain hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di bawah ini:


Artinya: “Dari Jabir bin Abdullah * , berkata: Rasulullah # bersabda: Akan senantiasan ada segolongan dari umatku yang berperang membela kebenaran dan mendapat pertolongan Allah hingga datangnya hari kiamat. Beliau berkata: Kemudian akan turun Isa putera Maryam * , lalu pemimpin mereka berkata: kemarilah silakan anda mengimami kami sholat. Lalu Nabi Isa * menjawab: Tidak, sesungguhnya sebagian kalian adalah pemimpin sebagian yang lain, sebagi penghormatan dari Allah kepada umat ini” (H.R. Imam Muslim)
Musuh kelompok ini banyak sekali antara lain sebagai berikut:
1.                  Yahudi (Zeonis) Internasional (yang wujud negaranya adalah negara Israel).
2.                  Nasrani (Salibis) Amerika dan Eropa(Inggris, Prancis, Itali, Yunani, Spanyol, Belanda, Portugis dan lain sebaginya) termasuk Australia.
3.                  Negara-negara komunis (Rusia, Cina dan sebagainya)
4.                  Negara-negara majusi dan musyrikin (India, Jepang dan sebagainya)
5.                  Pemerintahan-pemerintahan murtadin.
6.                  Dan lain-lain terutama yang memusuhi.
Dahulu setelah Rasulullah # berjaya mendirikan pemerintahan Islam di Madinah musuhnya juga banyak antara lain:
1.                  Kaum musyrikin Mekah.
2.                  Yahudi di sekitar Madinah.
3.                  Musyrikin qabilah-qabilah Arab.
4.                  Nasrani di Rum.
5.                  Majusi di persi.
Dalam menyikapi musuh yang beragam ini Rasulullah # mengambil kebijaksanaan bahwa kaum musyrikin Mekah diprioritaskan utama sebagi musuh yang mesti dilawan dan diperangi adapun yang lain diusahakan untuk diikat perjanjian sebab kekuatan tidak cukup untuk menghadapi secara keseluruhan.maka di antara yang diikat perjanjian adalah yahudi-yahudi yang ada di sekitar Madinah meskipun akhirnya semuanya menghianati perjanjian. Demikian juga beberapa qabilah yang setuju untuk mengadakan perjanjian dipenuhi oleh Rasulullah #. Musuh nasrani di Rum awal-awal dibiarkan namun akhirnya juga diperangi, bahkan kaum muslimin dimobilisasi secara umum untuk memerangi mereka dalam perang Tabuk.adapun musuh majusi di Persi pada masa Rasulullah # belum sempat diperangi dan akhirnya ditaklukan pada masa Khulafaur Rasyidin *.
Kelompok-kelompok jihad As Salafiah semula dalam menentukan skala priositas musuh yang harus dihadapi dan diperangi terlebih dahuluterdapat pandangan yang berbeda. Sebagian berpendapat hukumah-hukumah terlebih dahulu yang wajib diperangi sebab ibarat iblis ia merupakan modal utama baru setelah itu mencari keuntungan-keuntungan dengan memerangi musuh-musuh yang lain.dan sebagin yang lain berpendapat, yang harus didahulukan adalah kepala dari seluruh musuh yang ada, dalam hal ini adalah Amerika dan Israeldan berikutnya sekutu-sekutunya. Kenapa Amerika yang mesti didahulukan? Alasan syar’inya ia adalah pemimpin dan gembong kufur. Alasan setrateginya ibarat seekor ular naga yang jahat dan berbisa, jika hendak membunuhnya mestilah dipotong kepalanya terlebih dahulu. Dan terpotongnya kepala akan menjadi mudah untuk mengatasi yang lainnya.
Kemudian perkembangan berikutnya menurut hemat ana – Wallahu a’lam – yaitu pasca kebrutalan Amerika dan sekutunya di mana-mana, di pelestina, Irak, Afghanistan dan lain sebagainya, nampaknya kelompok-kelompok tersebut sepakat menjadikan Amerika dan sekutu-sekutunya sebagai musuh-musuh utama dengan tanpa membiarkan musuh-musuh yang lainnya.
Semua musuh-musuh Islam pada masa kini tidak ada stupun yang bisa di i'tirafkan atau diakui sebagai ahlul ‘aqd atau ahlul ‘ahd (orang kufur yang ada ikatan  perjanjian dengan pemerintahan Islam)dan ahludz dzimah (orang kafir yang membayar jizyah sebagai jaminan keamanan darah dan harta mereka dari pemerintahan Islam). Seluruhnya adalah kafir harbi, sebab semuanya memerangi Islam dan kaum muslimin baik secara langsung maupun tak langsung.
Menurut syara’ asal hubungan orang Islam dengan orang kafir adalah kebencian dan permusuhan bukan perdamaian (60:4) dls. Jika orang kafir mengajak damai orang Islam mesti memenuhinya (8:61). Tetapi orang Islam dilarang mengajak damai karena merasa hina dan kalah (47:35).orang islam diizinkan dan diperbolehkan oleh Allah untuk berbuat baik dan berbuat adil kepada orang kafiryang tidak memusuhi Islam dan kaum muslimin beik secara langsung maupun tak langsung. Menghalangi untuk melaksanakan syari’at Islam secara kaffah adalah termasuk kategori memusuhi. Dan sebaliknya dilarang dan haram hukumnya bagi orang Islam menjadikan orang kafir yang memusuhi Islam dan kaum muslimin sebagai teman da kawan (60:8,9).
Segala aktivitas dan tindakan yang masyru’ yang membangkitkan amarah orang-orang kafir dan menipakan suatu bencana kepada musuh adalah amal sholeh (9:120). Termasuk ightiyalat, ikhtithaf, khathfus syaklis, khathfuth thoirot, tadmir marakizihim asykariyan, siyasiyan, iq tishadiyan, takhrib fasilitas-fasilitas fital mereka, menyebarkan propaganda yang membuat mereka takut dan lemah, salbu wa akhdzu amwalihim, awwaluhum halalan thayyiba bagi mujahidin (8:64).
Adapun operasi jihad yang sasarannya orang awam dari kalangan musuh yang tidak terlibat dalam suatu misi apapun, benar-benar mereka tidak mengerti apa-apa selain sebagai rakyat musuh-musuh Islam, maka bentuk jihad seperti ini disebut jihad pembalasan, karena mereka telah dengan biadabnya membantai kaum muslimin, maka perlu dibalas yang setimpal agar mereka menghentikan kebiadabannya terhadap kaum muslimin atau minimal mereka merasakan penderitaan sebagaimana derita yang dialami kum muslimin akibat dari ulah mereka.
Jihad pembalasn ini didasarkan pada firman Allah (16:126), (42:40), dan (2:194).

Artinya: “Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu”

Artinya: “Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa”

Artinya: “Maka barang siapa yang menyerang kamu , maka seranglah ia seimbang dengan serangannya terhadapmu”
Ayat-ayat tersebut jika kita perhatikan dan kita rujuk dalam tafsir adalah merupakan petunjuk dan panduan bagi kaum muslimin dalam hal hhubungan timbal balik dengan orang-orang kafir yaitu memberikan balasan yang setimpal dengan perbuatan mereka yang telah mereka lakukan terhadap kaum muslimin.
Dalam tafsir Ibnu Katsir, bahwa Allah  Subhaanahu wa ta’aala memerintahkan agar berbuat adil dalam membalas dan semisal dalam menuntut dan mengambil hak, jika ada seseorang yang mengambil sesuatu dari kamu, maka ambillah sesuatu darinya semisal dengan sesuatu yang diambil dari kamu dan seterusnya dan seterusnya.[6]
Dari situ bisa kita simpulkan bahwa jika orang-orang kafir telaha membunuh orang-orang awam dari kaum muslimin termasuk wanita-wanita dan anak-anak tak berdosa, maka kaum mukminin boleh memberikan balasan yang setimpal yaitu membunuh orang-orang mereka baik wanita-wanita dan anak. Perlu diingat bahwa hukum asalnya darah mereka tidak terpelihara sebab mereka dari kalangan kafir harbi. Namun jika tidak ada alasan syara’, mereka (wanita dan anak-anak) yang tidak berdosa (tidak terlibat memusuhi) tidak boleh dibunuh.
Adapunoperasi alasannya bukan sekedar pembalasan, lebih dari itu, sebab yang menjadi sasaran bukan benar-benar orang awam sebagaimana yang telah disebutkan di atas.mereka membawa misi, mereka adalah tourist, minimal misi mereka merusak agama, sosial, budaya dan sebagainya, setempat bahkan boleh diyakini di antara mereka misinya lebih dari itu misalnyasebagai jasus atau orang-orang yang terlibat organisasi-organisasi musuh-musuh Islam misalnya masoni, syahood, yahoa, rotary, lion dan klub-klub lain yang dipunyai oleh zeonis, salibis, komunis internasionaldan sebagainya. Ini bukan sekedar pembalasan sebab dengannya juga dimaksudkan untuk memporak-porandakan jaringan-jaringan berbisa musuhyang ada di mana-mana. Di samping itu untuk irhab terhadap mereka dan sebagainya – Wallahu ‘alam –
Kemudian jika operasi-operasi tersebut mengenai sasaran yang tidak disengajakan, banyak beristighfar, jangan sampai berniat sedikitpun untuk membunuh muslim sebab haram hukumnya dan di sisi Allah besar urusannya. Kecuali jika telah diketahui dengan jelas bahwa mereka sudah murtad –Wallahu a’lam – (pembahasan selebihnya silakan merujuk kitab-kitab fiqhul jihad, kami hanya memberikan pandangan sekilas saja).
Dan jangan dilupakan bahwa “qatlul kafir” adalah termasuk minafdholil qurabat. Rasulullah # bersabda:

Artinya: Dari Abu Hurarirah * , berkata: Rasulullah # bersabda: Tidak berkumpul orang kafir dengan pembunuhnya di neraka selama-lamanya”

Kesimpulan
Telah jelas dan gamblang tidak ada kesamaran lagibahwa kelompok-kelompok jihad As Salafiyah inilah yang paling berhak menyandang dua sifat At Thoifah Al Manshurah tersebut, sebab kelompok-kelompok tersebut ibaratnya dengan jihad dan qital bagaikan ikan dengan air. Di mana saja ada jabhah atau medan perang mereka bersegera menyambutnya sesuai dengan kemampuan di palestina Afghanistan Khasmir, Chechnya, Bosnia, Kosovo, Pilipina, Ambon, Poso, dan lain sebagainya. Di samping itu mereka senantiasa melaksanakan I’dad, ribath dan qital untuk melawan musuh-musuh Islam sesuai dengan kemampuan dengan bebagai cara yang disyari’atkan.
Untuk sementara kita cukupkan dulu pembahasan kita sampai di sini. Insya Allah, kita akan sambung pada sesi taushiyah berikutnya. Masih melanjutkan pembahasan kita tentang At Thoifah Al Manshurah yaitu sebagai berikut:
- At Thoifah AL Manshurah adalah Ahlul Hadits
- Prinsip-prinsip At Thoifah Al Manshurah dalam berbagai masalah: tauhid, takfir dan lain sebagainya
mudah-mudahan bermanfaat, yang haq datangnya dari Allah, mari kita berusaha untuk mengamalkannya, yang batil dari ana sendiri dan syaitan (ana beristighfar jika ada) dan mari kita siap menjauhinya. Semoga Allah Ta’aala senantiasa menjauhkan kita dari segala yang batil.


[1] Bukan pencetus tetapi yang membudayakan penggunaan istilah tersebut di kalangan awam, sebab istilah “As Salafi” sudah ada sejak mula di kalangan ahlul ilmi. Oleh itu ganti dan cari bahasa yang lebih tepat.

[2] Ungkapan ini konon diungkapkan oleh Hasan Al Hudhaibi, salah seorang Mursyid ’Am Ikhwanul Muslimin.

[3] Al Jihad Wal Ijtihad, hal. 222.

[4] Lihat tafsir Ibnu Katsir 2/356-359

[5] Lihat Al Jihad Wal Ijtihad, hal. 222.

[6] Lihat Tafsir Ibnu Katsir 2/613-614.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar