NKA NII

NKA NII
Negara Karunia Allah Negara Islam Indonesia

Rabu, 08 Februari 2012

JANGANLAH ENGKAU BERSEDIH SUNGGUH ALLAH BERSAMA KITA


JANGANLAH ENGKAU BERSEDIH SUNGGUH ALLAH BERSAMA KITA


Penulis
Abu Muhammad Al Maqdisiy


Alih Bahasa
Abu Sulaiman Aman Abdurrahman

Mimbar At Tauhid Wal Jihad

Jama’atut Tauhid Wal Jihad

Muqaddimah
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji hanya milik Allah swt Rabbul ‘Alamin, sholawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Khatamul Anbiya Wal Mursalin.
Wa Ba’du:
Ketahuilah semoga Allah membimbing engkau kepada setiap kebaikan bahwa di penghujung bulan Rajab tahun ini kami dan sebagian ikhwan muwahhidin telah dipanggil menghadap oleh aparat thaghut, terus di antara ikhwan ada yang mereka tangkap dan di antaranya ada yang melarikan diri, maka mereka memberikan pesan di keluarganya yang berisi perintah agar dia datang menghadap mereka. Dan sesungguhnya telah terjadi sedikit perselisihan pendapat di antara ikhwan yang dicari-cari itu tentang hukum memenuhi panggilan orang-orang kafir itu.
Di antara ikhwan ada yang berpendapat bolehnya memenuhi panggilan orang-orang kafir itu. Dan di antara mereka ada yang berpendapat tidak boleh, dan mereka ini terbagi dua kelompok, pertama mengatakan: Kita tidak boleh pergi menghadap mereka dengan keinginan kita sendiri dan tidak memenuhi permintaan dan perintah mereka kecuali bila kita mengetahui jelas bahwa masalahnya tidak ada fitnah di dalamnya atau kita diciduk dalam kondisi dipaksa, kelompok satu lagi mengatakan: Kita tidak memenuhi panggilan mereka selamanya, dan andaikata mereka menggrebeg kita maka kita melawan mereka hingga selamat atau kita terbunuh.
Maka saya ingin – sebagai bentuk kepedulian yang sangat terhadap ikhwan saya – menuntaskan masalah ini dengan dalil syar’iy agar al haq di dalamnya nampak bagi saya dan bagi ikhwani.
Maka saya katakan seraya memohon taufiq dan pelurusan dari Allah Sang Pelindung.




Pertama
Tentang Penjelasan Disyariatkannya Dan Dibolehkannya Lari Dari
Orang-Orang Kafir Serta Bersembunyi Dari Mereka Saat
Ketertindasan

Al Bukhari meriwayatkan dalam shahihnya pada Kitabul Iman (Bab: Minad Dieni Al Firar Minal Fitani) Dari Abu Sa’id Al Khudriy bahwa ia berkata: Rasulullah saw berkata: “Hampir terjadi di mana sebaik-baiknya harta orang muslim adalah kambing-kambing yang dia giring di lereng-lereng gunung dan tempat-tempat turun hujan, dia melarikan diri dengan agamanya dari fitnah.”
Dan dalam kitab Al Fitan beliau meriwayatkan juga (Bab: Akan terjadi fitnah di mana orang yang duduk di dalamnya lebih baik daripada yang berdiri) dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah saw bersabda: “Akan terjadi fitnah, orang yang duduk di dalamnya lebih baik daripada yang berdiri, dan yang berdiri di dalamnya lebih baik daripada yang berjalan, dan orang yang berjalan di dalamnya lebih baik daripada yang berlari kecil, siapa yang menghampirinya maka fitnah itu menguasainya, maka siapa yang mendapatkan tempat pelarian atau tempat berlindung maka berlindunglah dengannya.”
Di dalam hadits-hadits ini terdapat Faidah yang agung lagi besar yaitu disyariatkannya lari dari fitnah dan tidak berjalan atau menghampirinya.
Dan faidah lain di dalamnya bahwa hal itu tergolong dien dan iman, dan bukan tergolong sikap penakut dan pengecut sebagaimana yang diduga oleh banyak orang. Bagaimana mungkin lari dari fitnah atau menyembunyikan diri darinya termasuk sikap penakut dan pengecut, sedangkan ia adalah dienul anbiya dan ash Shalihin di masa istidl’af (ketertindasan).
Ini buktinya khatamul anbiya wal mursalin (Rasulullah saw) setelah beliau mengumumkan dan menjaharkan dakwahnya serta menampakkan kekafiran dan bara’ahnya dari orang-orang kafir dan tuhan-tuhan mereka yang batil, beliau dan sekelompok dari sahabatnya menyembunyikan diri sementara waktu, setelah orang-orang kafir menekan mereka dan menyakiti sebagian mereka.
Dan dalam Al Bukhari ada kisah keislaman Abu Dzar dan beritanya bersama Ali dan jalan menyampaikannya kepada Nabi saw dan apa yang menunjukkan kepada hal ini.
Dan di antara hal itu apa yang diriwayatkan Al Imam Ahmad 3/322-329 dalam Musnad beliau dan yang lainnya dari Jabir tentang kejadian Bai’at ‘Aqabah, dan di dalam teksnya ada (sehingga tidak tersisa satu pun dari rumah-rumah Al Anshar melainkan di dalamnya ada beberapa orang dari kaum muslimin yang menampakkan Al Islam): kemudian mereka bersepakat seluruhnya, dan kami mengatakan: (sampai kapan kita membiarkan Rasulullah saw di usir di gunung-gunung Makkah dan dalam kondisi takut?) maka berangkatlah menuju beliau dari kami tujuh puluh orang, mereka mendatanginya dalam musim (haji), terus kami janjian dengan beliau (untuk kumpul) di lembah ‘Aqabah, maka kami kumpul-kumpul kepada beliau dengan cara datang satu-satu dan dua-dua sampai akhirnya jumlah kami lengkap….(hingga akhir hadits).
Dan dalam Al Bukhari dari Abdullah Ibnu Mas’ud, berkata: (Tatkala kami bersama Nabi saw di suatu gua, tiba-tiba turun kepada beliau “Wal Murasalaat” maka sungguh beliau membacanya dan sesungguhnya saya talaqqi hal itu dari mulut beliau, dan sesungguhnya mulut beliau basah dengannya, tiba-tiba seekor ular menyambar ke arah kami, maka Nabi saw berkata: “Bunuhlah dia” maka kamipun mengejarnya dan diapun pergi, maka Nabi saw berkata: Dia dilindungi dari perlakuan jahat kalian sebagaimana kalian dilindungi dari kejahatannya.”)
Dan hal-hal semacam ini adalah banyak.
Dan Allah tabaraka wa ta’ala telah berfirman: “Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir mengeluarkannya (dari Makkah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita”. Maka Allah menurunkan ketenanganNya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan Tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (At Taubah: 40).
Dan dalam berita Hijrah ada pelajaran dalam hal itu.
Dan ini Nabiyullah Musa – semoga sholawat dan salam dilimpahkan kepadanya dan kepada Nabi kita – Allah Tabaraka wa ta’ala berfirman: “Dan datanglah seorang laki-laki dari ujung kota bergegas-gegas seraya berkata: “Hai Musa, sesungguhnya pembesar negeri berunding tentang kamu untuk membunuhmu, sebab itu keluarlah (dari kota ini) sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memberi nasehat kepadamu.” (Al Qashash: 20). Maka Musa keluarlah dari kota itu dengan rasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir, dia berkata: “Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim itu.” (21)
Bila ada yang mengatakan: itu kan terjadi sebelum ia menjadi Nabi?
Maka kami berkata: Musa as tidak mengingkari hal itu setelah kenabiannya, bahkan ia mengiakan dan membenarkannya sebagaimana Allah ta’ala kabarkan tentangnya: “lalu aku lari meninggalkan kamu ketika aku takut kepadamu, kemudian Tuhanku memberikan kepadaku ilmu serta Dia menjadikanku salah seorang di antara rasul-rasul.” (Asy-Syu’ara: 21)
Dan Allah ta’ala berfirman tentangnya setelah itu: “Dan Kami wahyukan kepada Musa dan saudaranya: “Ambillah olehmu beberapa rumah di Mesir untuk tempat tinggal bagi kaummu dan jadikanlah olehmu rumah-rumah itu tempat shalat dan dirikanlah olehmu shalat serta gembirakanlah orang-orang yang beriman.” (Yunus: 87).
Dalam itu ada sikap mereka sembunyi-sembunyi dan shalat di rumah mereka, dan seputar ayat ini Sayyid Quthub memiliki ungkapan indah yang bisa dirujuk dalam Adh-Dhilal (hal 1816).
Dan para pemuda Ashhabul Kahfi setelah mereka menampakkan ketauhidannya dan mereka diancam dan diteror oleh kaumnya maka mereka berlindung ke gua, sebagaimana yang telah Allah kabarkan: “Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menjadikan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu.” (Al Kahfi: 16).
Dan Allah swt berfirman tentang mereka: “Berkata (yang lain lagi): “Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah dia membawa makanan itu untukmu, - dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorang pun. Sesungguhnya jika mereka dapat mengetahui tempatmu, niscaya mereka akan melempar kamu dengan batu, atau memaksamu kembali kepada agama mereka, dan jika demikian niscaya kamu tidak akan beruntung selama-lamanya.” (Al Kahfi: 19-20).
Dan Begitulah selain mereka dari kalangan orang-orang soleh saat mereka pada kondisi istidl’af, seandainya engkau menelusuri khabar-khabar tabi’in dari kalangan salaf umat ini tentulah engkau mendapatkan contoh-contoh yang banyak dari hal itu.
Dan untuk contoh saya cukupkan dengan tiga orang yang dikatakan Ibnul Jauzi tentang mereka dalam muqaddimah kitabnya “Manaqib Al Imam Ahmad Ibnu Hanbal”: (namun sesungguhnya saya meneliti tentang orang-orang yang meraih tingkat kesempurnaan dalam dua hal ini, yaitu – ilmu dan amal – dari kalangan At Tabi’in dan yang sesudahnya, ternyata saya tidak mendapatkan orang yang sempurna dua hal itu padanya pada level puncak yang macam kesempurnaannya tidak tercoreng oleh suatu kekurangan, selain tiga orang: Al Hasan Al Bashri, Sufyan Ats Tsauri dan Ahmad Ibnu Hanbal). Hal: 5.
Adapun Al Hasan Al Bashri, maka beliau telah keluar, dan ada yang mengatakan beliau dikeluarkan bersama orang-orang yang khuruj terhadap Al Hajjaj zaman fitnah Abdirrahman Ibnul Asy’ats(1), di mana Ibnul Asy’ats khuruj dan khuruj bersamanya sekelompok dari kalangan qurra’ dan fuqaha sebagai bentuk pemberontakan atas kezaliman dan kedurjanaan Al Hajjaj. Dan setelah kekalahan Ibnul Asy’ats, Al Hasan Al Bashri tetap menyembunyikan diri dari Al Hajjaj sampai-sampai saat putri beliau meninggal dunia, ia tidak bisa mendatanginya, terus ia mewakilkan hal itu kepada Ibnu Sirin(2).
Adapun Sufyan Ats Tsauri, maka beliau melarikan diri ke Bashrah tatkala Al Khalifah Al Mahdiy menawarkan jabatan kepadanya, dan Beliaulah orang yang berkata: “Bukan penghinaan mereka yang saya takutkan, namun justru pemuliaan mereka yang saya takutkan, sehingga saya tidak memandang keburukan mereka sebagai keburukan, saya tidak melihat bagi penguasa suatu perumpamaan kecuali perumpamaan lewat lisan musang, berkata, saya mengetahui anjing itu memiliki tujuh puluh sekian tipu muslihat yang tidak ada daringa satu tipu muslihat pun yang lebih baik dari keberadaan saya tidak ada darinya anjing dan anjing pun tidak melihat saya.”(3)
Adapun Al Imam Ahmad, maka sungguh beliau telah bersembunyi pada masa-masa Al Watsiq, dan itu setelah beliau menjaharkan keyakinannya tentang Al Qur’an dan dalam hal ini beliau mendapatkan ujian yang besar, maka beliau bersembunyi di sisa hidup Al Watsiq, beliau selalu berpindah-pindah pada banyak tempat, kemudian beliau kembali ke rumahnya setelah beberapa bulan, dan di dalamnya beliau bersembunyi sampai Al Watsiq meninggal dunia. Ibrahim Ibnu Hani berkata Ahmad Ibnu Hanbal bersembunyi di saya selama tiga hari, kemudian berkata: “Carikan tempat buat saya supaya saya pindah ke sana.” Saya berkata: “Saya khawatir keamananmu Wahai Abu Abdillah” maka beliau berkata: “Lakukanlah! Bila kamu sudah melakukannya saya akan memberimu faidah ilmu,” dan saya pun mencarikan tempat untuk beliau, kemudian tatkala beliau keluar, beliau berkata kepada saya: Rasulullah saw bersembunyi di gua tiga hari terus beliau berpindah, tidak selayaknya Rasulullah saw diikuti dalam kondisi lapang dan ditinggalkan pada kondisi sulit) Selesai.(4)
Dan dalam satu riwayat Hanbal tentang perihal sikap bersembunyi Al Imam Ahmad di masa Al Watsiq hidup, berkata: (Abu Abdillah terus bersembunyi di tempat yang dekat, kemudian beliau kembali ke rumahnya setelah beberapa bulan atau setahun tatkala sudah reda bertanya, dan beliau masih terus berada di rumah bersembunyi lagi tidak keluar untuk shalat dan yang lainnya sampai Al Watsiq mati).
Bila seseorang menjaharkan dakwahnya sesuai tuntunan para Nabi, di mana dia berlepas diri (bara’) dari syirik dan kaum musyrikin, kemudian kaum kuffar mencarinya dalam kondisi istidl’af serta kurangnya daya dan anshar maka bukanlah hal aib bila ia lari dari mereka atau bersembunyi, karena ini adalah tergolong keadaan pada Nabi dan orang-orang saleh serta metode mereka saat istidl’af sebagaimana yang engkau lihat.
Catatan kaki:
(1)   Lihat Siyar A’lam An Nubala karya Adz Dzahabiy 4/583.
(2)   Ibid 4/610
(3)   Ibid 7/262
(4)   Manaqub Al Imam Ahmad karya Ibnul Jauzi hal 349
Catatan kaki selesai.

Kedua
Lari dari Orang-Orang Kafir saat Istidl’af Apakah Ia Itu Wajib
atau Dianjurkan atau apa?

Bila yang lalu telah jelas dan engkau mengetahui disyari’atkannya al firar (lari) dari kuffar (orang-orang kafir) saat kondisi istidl’af (ketertindasan), maka tinggallah saatnya engkau mengetahui hukumnya. Maka kami katakan dengan memohon taufiq Allah:
Sesungguhnya hal itu kembali kepada kondisi orang yang mencari dan yang dicari.
Bila yang dicari (mathlub) itu orang yang memiliki kedudukan atau keluarga besar atau kekuatan (kelompok/jama’ah) dan ia mengetahui atau memiliki dugaan kuat bahwa ia tidak akan dihinakan atau terkena fitnah dengan sebab ia pergi mendatangi mereka, maka bolehlah hal itu baginya, bahkan bisa jadi dianjurkan bila ia mampu menampakkan diennya di tengah mereka dan ia memperdengarkan kepada mereka apa yang tidak mereka sukai berupa tauhid, celaan terhadap tuhan-tuhan mereka dan sembahan-sembahan mereka, serta dari kebatilan dan syirkiyyat mereka.
Bila yang dicari itu orang yang lemah dan kuat dugaan padanya bahwa mereka akan menghinakannya atau menindasnya atau mereka memperdengarkan kepadanya dari kekafiran yang nyata dan kemusyrikan yang jelas suatu yang mana dia tidak kuasa untuk membantahnya bahkan bisa saja dia menampakkan pengakuan terhadapnya dan keridlaannya terhadapnya dalam rangka taqiyyah, setelah dia pergi menghampiri mereka dengan kedua kakinya dengan keinginan sendiri, maka seperti ini tidak halal baginya pergi kepada mereka dengan tanpa ikrah lagi tanpa diciduk selama-lamanya. Karena itu adalah berjalan dan bergegas dengan kedua kaki menghampiri fitnah, sedangkan telah lalu larangan Nabi saw dari hal seperti itu dalam hadits-hadits yang lalu. Dan orang yang dicari dalam hal ini memiliki suri tauladan yang baik pada al anbiya dan ash-shalihin dan para pengikut mereka yang saleh yang lari menyelamatkan dien mereka dari kuffar.
Dan dalam hijrah kaum muhajirin pertama ke Habasyah ada pelajaran untuk hal ini. Karena telah hijrah ke sana orang yang takut dan khawatir penindasan dan fitnah kaum musyrikin, dan adapun orang-orang terpandang seperti Abu Bakar, Umar dan yang lainnya maka sesungguhnya mereka tidak hijrah sehingga mereka diperintahkan hijrah ke Madinah.
Dan tidak boleh dikatakan bahwa orang dicari dalam keadaan ini adalah mukrah sehingga boleh baginya memenuhi panggilan dan pergi, dan dari sana ia memakai taqiyyah di hadapan mereka.
Sebagaimana yang terjadi pada banyak orang yang pergi menghadapi auliya thaghut dengan keinginan mereka, tatkala mereka ditanya tentang kami dan tentang kajian kami, sebagian mereka berkata: “Andaikata kami tahu bahwa kajian Abu Muhammad mengganggu keimanan negara atau sesuatu yang seperti ini tentulah kami orang yang pertama kali melaporkannya.” Sungguh ini adalah penampakan muwalah terhadap mereka dan (penampakan) mu’adah (sikap permusuhan) terhadap orang yang mengganggu keimanan negara kafir tanpa dlarurat dan tanpa ikrah.
Bila orang itu berkata: Kami saat mengatakan ini di hadapan mereka dan dalam kekuasaan mereka.
Maka kami katakan: “Tapi kalian pergi dan masuk dengan diri kalian di hadapan mereka dan dalam kekuasaan mereka pada awalnya dalam keadaan ikhtiyar (keinginan sendiri) tidak diciduk dan tidak dipaksa.
Oleh sebab itu, alangkah serupanya keadaan mereka itu – yaitu orang yang menampakkan kesejalanan dengan kuffar dan ridla yang nampak terhadap kekafiran dan kemusyrikan mereka terus dia berasalan dengan alasan taqiyyah dan ikrah padahal sebelum itu dia mampu untuk hijrah dan kabur – (saya katakan alangkah serupanya mereka itu) dengan keadaan orang yang masuk Islam di Makkah namun ia tidak hijrah dan tidak bergabung dengan Nabi saw ke Madinah karena merasa berat dengan tempat tinggal, istri, atau tanah air, sehingga saat yaumul furqan yaumal taqal jam’an (perang Badr) mereka dipaksa ikut keluar untuk berperang oleh kaum musyrikin dan mereka dijadikannya di barisan terdepan, kemudian kaum muslimin bila sebagian mereka menembakkan panah-panahnya, maka panah itu mengenai salah satu seorang di antara mereka, maka kaum muslimin berkata: “Kita membunuh ikhwan kita”, maka Allah tabaraka wa ta’ala menurunkan firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri (kepada mereka) Malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?” mereka menjawab: Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekkah). Para Malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu? “Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An Nisa: 97).
Kenapa Allah ‘azza wa jalla tidak mengudzur mereka padahal mereka itu beralasan dengan istidl’af dan mereka dikeluarkan dalam barisan kaum musyrikin dengan kondisi ikrah?!
Jawab: karena mereka tidak dipaksa saat duduk di tengah mereka pada awal mulanya, bahkan mereka mampu untuk lari dan hijrah di awal dulu, kemudian tatkala mereka taqshir dalam hal itu mereka tidak diudzur dengan sebab penguasaan orang-orang musyrik atas diri mereka dan istidl’af mereka setelah itu, karena mereka itu sebab dalam istidl’af dan penguasaan kaum musyrikin itu.
Syaikh Sulaiman Ibnu Abdillah Muhammad Ibnu Abdil Wahhab berkata dalam risalah “Hukmu Muwalati Ahlil Isyrak” yang terkenal di kalangan orang Najd dengan nama “Ad-Dala-il” karena di dalamnya beliau menyebutkan lebih dari dua puluh dalil atas kekafiran orang yang tawalli kepada Ahlusy Syirki, beliau berkata tentang ayat yang lalu: (Bila ada yang berkata: Kenapa ikrah untuk ikut keluar tidak menjadi udzur bagi orang-orang yang terbunuh di hari Badr? Jawabnya: Itu tidak menjadi udzur karena mereka pada awalnya tidak diudzur saat muqim bersama kuffar, sehingga setelah itu mereka tidak diudzur dengan sebab ikrah, karena Merekalah sebab dalam hal itu, di mana mereka muqim bersama mereka dan meninggalkan hijrah). Selesai.
Maka orang yang berakal hendaklah mengamati hal ini, dan memahaminya, serta hendaklah dia mengetahui bahwa ia bila mengetahui kelemahan dari dirinya dan bahwa ia tidak akan mampu menampakkan diennya di hadapan orang-orang kafir, namun sebaliknya ia malah bakal menampakkan tawalli kepada mereka dan ridla terhadap kekafiran, kemusyrikan dan kebatilan mereka, maka dalam keadaan seperti ini tidak halal baginya pergi kepada mereka saat mereka Memintanya dalam keadaan tidak dipaksa selamanya, kecuali mereka memaksanya sembari menangkapnya, kemudian bila mereka memaksanya setelah itu terhadap sesuatu dari kekafiran dengan paksaan yang syar’iy yang dikenal di kalangan ahlul ilmi dengan batasan dan syaratnya maka inilah yang diudzur(1). Adapun dia berjalan dan menghampiri fitnah dengan kedua kakinya kemudian ia diajak untuk masuk ke dalamnya, terus dia pun masuk ke dalamnya secara ikhtiyar kemudian beralasan dengan ikrah, padahal di sana tidak ada ikrah, maka hati-hatilah orang seperti ini dari murka Allah, karena Allah tabarak wa ta’ala setelah melarang muwalah terhadap orang-orang kafir kemudian mengecualikan orang yang jatuh di bawah ikrah terus dia melakukan taqiyyah dari (kejahatan) mereka, Dia tabaraka wa ta’ala berfirman: “Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (Ali Imran: 28).
Kemudian bagi tujuan yang karenanya sang muwahhid dicari dalam hal ini dipertimbangkan pula.
Tidak masuk akal bila saudara muwahhid dipinta datang untuk hal sepele yang tidak ada penghinaan di dalamnya, tidak ada fitnah dan tidak ada mendengar kekafiran dia lari atau melawan atau hal serupa itu. Dan begitu juga andai ia diminta untuk memberikan kesaksian haq di dalamnya diajukan pengaduan kezaliman atau dengannya hak dikembalikan kepada pemiliknya sedang di sana tidak ada kehinaan dan keterjatuhan dalam kekafiran, maka sesungguhnya terkadang wajib hal itu atasnya dalam sebagian keadaan bila masalahnya berkaitan dengan dia sedang tidak ada saksi selain dia atau yang serupa itu, jadi harus ada rincian dan mempertimbangkan masalah-masalah ini.
Dan begitu juga keadaan orang yang mencari (thalib) diperhitungkan juga. Dan bila pembicaraan kita adalah tentang orang-orang kafir dan auliya mereka, maka sesungguhnya di antara kuffar ada orang yang dikenal bahwa ia itu tidak menyukai kezaliman, sebagaimana yang ada tentang sifat An Najasyi sedang ia masih nasrani belum masuk Islam, dan inilah yang mengundang sahabat tatkala mereka berada di negerinya dan datang dua utusan Quraisy Abdullah Ibnu Abi Rabi’ah Ibnu Mughirah dan ‘Amru Ibnul ‘Ash untuk mengembalikan mereka ke Makkah, terus An Najasyi meminta mereka datang agar ia melihat keadaan mereka dan apakah ia menyerahkan mereka kepada Quraisy atau membiarkan mereka tinggal di negerinya.
Saya katakan: Sesungguhnya di antara hal yang mendorong sahabat untuk memenuhi panggilan An Najasyi dan mendatanginya dengan sukarela padahal di sana banyak kelapangan dan kesempatan untuk melarikan diri adalah keberadaan mereka memiliki dugaan kuat bahwa dia tidak akan menzalimi mereka. Dan silakan rujuk dalam khabar mereka dan kisah mereka yang diriwayatkan Ummu Salamah istri Nabi saw dan dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad dengan sanad yang baik 1/201 – 5/290 dan di dalamnya ada ucapan Ja’far ra tentang Quraisy: (Tatkala mereka memaksa kami dan menzalimi kami serta bersikap keras terhadap kami dan menghalangi kami dari agama kami, maka kami keluar menuju negeri engkau, kami memilih engkau atas selain engkau dan kami menginginkan perlindunganmu dan kami mengharap untuk tidak dizalimi di sisimu wahai raja).
Seandainya perbuatan mereka ini keliru atau kemungkaran tentulah Nabi saw tidak mendiamkannya dan tidak mengakuinya, akan tetapi tentu beliau mengingkarinya, sedangkan telah ada dalam sifat beliau saw, bahwa beliau itu “memerintahkan mereka dengan hal yang ma’ruf dan melarang mereka dari hal munkar, beliau menghalalkan bagi mereka thayyibat dan mengharamkan atas mereka khabaits”.
Bila hal ini telah jelas, kemudian bila orang yang dicari itu memiliki dugaan kuat bahwa orang kafir yang mencarinya tidak akan menzaliminya atau memalingkan dari diennya, maka boleh bagi dia memenuhi panggilan dan pergi menghadap mereka karena takut atau khawatir dari pembesaran masalah. Dan hal seperti itu ada di banyak negara yang mendengung-dengungkan kebebasan, HAM, demokrasi dan sistem-sistem kafir masa kini lainnya. Dan ini bukan dukungan atau tahakum kepada falsafah-falsafah, sistem-sistem, dan pemikiran-pemikiran ini, akan tetapi mengambil faidah atau memanfaatkan dari kondisi-kondisinya yang diterapkan dan ada secara paksa. Dan ini seperti memanfaatkan dari fanatik kesukuan atau marga bila para pengusungnya bangkit untuk membela muwahhid dari kabilah mereka sedangkan kabilah itu di atas kekafiran, maka hal seperti ini: yaitu keberadaan fanatik kesukuan jahiliyyah menolong saudaranya sedangkan kaum suku itu tidak membela aqidahnya tidaklah membayahakan si muwahhid dan tidak mencoreng ketauhidannya atau dinilai dukungan terhadap jahiliyyah atau tahakum kepadanya‼ dengan dalil bahwa Allah tabaraka wa ta’ala menyebutkan karunia-Nya terhadap Nabi saw dengan memberikan perlindungan-Nya kepada pamannya yang kafir serta pembelaan pamannya terhadapnya, Dia swt berfirman: “Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu.” (Adl Dluha: 6), yaitu melindungimu kepada pamanmu yang kafir. Dan hal serupa adalah keluarga Syu’aib yang melindungi dari orang-orang kafir, Allah tabaraka wa ta’ala berfirman seraya mengabarkan tentang musuh-musuh Nabi-Nya. “Kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami telah merajammu.” (Hud: 91) sedangkan keluarganya itu orang-orang kafir.
Dan begitu juga wali Nabiyullah Shslih as yang mana orang-orang kafir khawatir terhadapnya: Mereka berkata: “Bersumpahlah kamu dengan nama Allah, bahwa kita sungguh-sungguh akan menyerangnya dengan tiba-tiba beserta keluarganya di malam hari, kemudian kita katakan kepada warisnya (bahwa) kita tidak menyaksikan kematian keluarganya itu, dan sesungguhnya kita adalah orang-orang yang benar.” (An Naml: 49).
Keberadaan seseorang mengetahui atau memiliki dugaan kuat bahwa orang kafir yang mencarinya diikat dengan batasan-batasan undang-undang atau adat atau fanatisme atau kejahiliyyahan yang mencegahnya dari berbuat dzalim atau aniaya terhadapnya, maka hal ini adalah hal yang membolehkan dia untuk pergi menghadap kepadanya bila ia takut fitnah yang lebih besar atau pembengkokan masalah. Dan Allah ta’ala A’lam. Dan meminta pendapat serta istikharah dalam hal ini adalah terpuji.
Berbeda seandainya si muwahhid itu memiliki dugaan kuat bahwa orang kafir itu bakal menyiksanya bila ia datang kepadanya atau menahannya terus memenjarakannya dengan waktu yang lama atau selamanya maka ini adalah haram, karena ia adalah melemparkan dirinya kepada kebinasaan, sedangkan Allah ta’ala telah berfirman: “Dan janganlah kalian menjerumuskan diri kalian kepada kebinasaan.”(2).
Atau besar dugaannya bahwa ia mengetahui bahwa ia bakal didzalimi maka tidak boleh dia berangkat menuju orang yang mendzaliminya, kecuali bila ia takut kezaliman dan kemungkaran yang lebih besar.
Catatan kaki:
(1)   Lihat Millah Ibrahim hal 50
(2)   Dan tidak boleh dikatakan bahwa ayat itu turun tentang tahdzir dari meninggalkan jihad dan infaq fi sabilillah dan bahwa ia khusus dalam hal itu. Karena yang diperhitungkan itu adalah keumuman lafadh bukan kekhususan sebab, dan kami tidak berhujjah dengannya untuk meninggalkan jihad, tetapi terhadap sikap tidak pergi menghadap dengan tidak dipaksa kepada orang kafir bila kuat dugaan dia bakal dibunuh atau penjara selamanya dan yang lainnya, di mana ia termasuk dalam firman-Nya tabaraka wa ta’ala: “Dan janganlah kalian membunuh diri kalian, karena sesungguhnya Allah Maha Penyayang terhadap kalian.” Ini adalah satu hal, sedangkan qital dan jihad adalah hal lain.
Catatan kaki selesai.
Dan begitu juga bila ia mengetahui bahwa orang kafir itu akan memperdengarkan kepadanya kekafiran, kemusyrikan dan kebatilan, sedangkan si mathlub itu tidak akan mampu menolak dan membantahnya atau idhharuddien, maka sungguh Allah tabaraka wa ta’ala telah mengharamkan duduk di sisi orang yang seperti ini keadaannya, maka bagaimana boleh berjalan menghampirinya dengan kedua kakinya secara ikhtiyar, Dia swt berfirman: “Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kami dalam Al Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olok (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kami duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian) tentulah kami serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam.” (An Nisaa: 140).
Maka dia tidak boleh berangkat dalam keadaan ikhtiyar untuk duduk di majelis orang yang keadaannya seperti ini, sedang dia telah mengetahui dari dirinya bahwa ia tidak mampu melakukan pengingkaran saat itu dan tidak bisa mufaraqah, berbeda halnya andaikata dia mengetahui dari dirinya bahwa ia mampu untuk mengingkari, menampakkan dirinya dan keyakinannya, serta aman dari fitnah, pembunuhan dan hal lain yang serupa.
Ini tentang berangkat menghadap kepada orang kafir, adapun bila dia dikepung orang-orang kafir dari setiap sudut dan tidak ada peluang untuk melarikan diri dan saudara muwahhid tidak mengetahui apa yang akan mereka lakukan terhadapnya, maka dia boleh berijtihad sesuai dengan dugaan kuat dia, apa dia menerima ditawan bila ia memperkirakan bahwa ia bisa selamat atau dia melawan sampai selamat atau terbunuh, bila ia menduga atau memiliki dugaan kuat bahwa mereka itu bakal menipunya. Dan disyariatkannya hal ini ditunjukkan oleh hadits Abu Hurairah tentang kasus sepuluh orang yang diutus Rasulullah saw yaumarraji’, kemudian mereka dikepung oleh dua ratus orang yang semuanya mengerahkan panah, kemudian para pengepung itu memberikan janji kepada mereka bahwa mereka tidak akan membunuh seorang pun dari mereka, maka di antara sahabat ada yang tidak rela menerima jamuan orang kafir karena takut berkhianat terus mereka malah membunuhnya, dan di antara mereka ada yang menerima ditawan, kemudian mereka berkhianat setelah itu, dan di antara mereka itu Khubaib ra dan dalam khabar itu ada kisah dia. Namun demikian tidak diriwayatkan dari Nabi saw bahwa beliau menyalahkan salah seorang dari mereka dalam ijtihadnya karena kondisi adalah kondisi keterkepungan dan tidak ada peluang untuk kabur atau menang melawan.
Wallahu a’lam.


Ketiga
Penjelasan Bahwa Tidak Berangkatnya Saudara Muwahhid Kepada Orang Kafir itu Dan Sikap Dia Tidak Memenuhi Panggilannya Tidaklah Berarti Kontak Senjata Atas Setiap Keadaan

Pembicaraan ini tentang muwahhid saat kondisi istidl’af dan sempitnya daya upaya dia, dan ini adalah keadaan tidak mesti dilakukan di dalamnya qital dan kontak fisik. Ya kami meyakini bahwa di sana ada nash-nash yang umum yang menunjukkan terhadap penyari’atan perang atau jihad seorang diri atau bersama sebagian ikhwannya terhadap kuffar, dan itu adalah boleh menurut kami dan disyari’atkan walaupun tidak ada imam. Ini adalah hal yang telah kami rinci dan kami jelaskan dalam risalah kami (Naz’ul Husam) akan tetapi pertimbangan mafasid dan mashalih syar’iyyah diperhitungkan dalam hal ini.
Sedangkan perbuatan bila menimbulkan mafsadah atau kemungkaran yang lebih besar maka sesungguhnya ia tidak disyari’atkan.
Sedangkan muwajahah (kontak) yang merealisasikan mashlahat yang besar dan haqiqiyyah bagi islam dan kaum muslimin adalah membutuhkan kepada I’dad yang serius dan bukan sekedar reaksi balik yang mana kita diseret kepadanya oleh kuffar dan merekalah yang menentukan waktunya, karena seyogyanya atas orang muslim yang cerdik lagi pandai agar bergerak dari hasil rancangannya dan persiapannya, bukan dia dipancing dan didorong untuk bergerak dari hasil strategi dan rancangan musuh. Ini bila saudara muwahhid tergolong orang yang menginginkan kemenangan haqiqiy yang besar bagi islam dan mempersiapkan untuk peperangan yang menentukan melawan thaghut. Dan begitu juga bila ia tergolong orang yang memandang jihad dan qital sebagai operasi-operasi menculik pentolan-pentolan kekafiran dan auliyanya, maka sesungguhnya hal seperti ini mesti dilakukan dengan pukulan-pukulan yang terfokus dan terencana bila maksudnya adalah memberikan sebesar-besarnya hantaman terhadap musuh-musuh Allah, dan atas dasar ini maka ia juga tidak seyogyanya tergusur untuk melakukan kontak senjata yang serabutan akibat pancingan-pancingan musuh.
Dan siapa yang berdalil dengan kisah Abu Bashir dan perang dia melawan kuffar bersama kelompok kecil dari kaum muslimin yang tertindas lari dari Quraisy, maka seyogyanya ia memperhatikan sebenar-benarnya gambaran yang ia berdalil dengannya bila memang ia pencari kebenaran, karena sesungguhnya Abu Bashir dan sikap dia memerangi dan membegal kafilah-kafilah Quraisy tidaklah dinisbatkan kepada Nabi saw dan beliau (saw) tidaklah memikul tanggung jawab dan tuntutan-tuntutannya, karena kelompok itu menurut kuffar tidaklah terhitung dalam perwalian jama’ah muslimah, sehingga perbuatan mereka itu tidaklah menimbulkan efek negatif atau menyeret mafsadah atau bahaya terhadap jama’ah msulimah atau katakanlah terhadap dakwah bila engkau mau.
Bila orang yang berdalil dengannya memperhatikan hal ini dalam hal mafsadah dan mashlahat, maka istidlalnya shahih dan amalnya disyari’atkan, oleh sebab itu tatkala Abu Bashir membunuh seorang laki-laki ‘amiriy itu yang mana ia adalah salah seorang dari dua laki-laki yang bersama keduanya Nabi saw mengembalikan Abu Bashir kepada Quraisy, maka Quraisy tidak menuntut diyatnya dari Rasulullah saw, dan Quraisy juga tidak mengingkari hal itu terhadap Nabi saw atau hal itu berpengaruh pada nota perjanjian tersebut, karena Abu Bashir saat itu perbuatan-perbuatannya tidaklah dipikulkan atau dinisbatkan kepada jama’ah muslimah, sebab ia belum masuk di bawah perwalian dan hukum jama’ah muslimah itu, oleh karenanya ia tidak terikat dengan perjanjian yang terjalin antara jama’ah muslimah dengan Quraisy. Maka hendaklah engkau memahami ini baik-baik, karena tindakan-tindakan serabutan yang tidak terkontrol dengan dalil syar’iy bisa menghantarkan kepada kebinasaan.
Bila ada yang mengatakan: Bukankah disyari’atkan menghadang orang yang menyerang, sedangkan ini termasuk jenisnya?
Maka kami katakan: Ya memang bila terbukti bahwa si penyerang ingin membunuhmu atau menindasmu atau melukaimu maka saat-saat itu tidak ada jalan pilihan dan dugaan kuat kecuali melarikan diri atau membela diri sesuai kemampuan dan kemungkinan.
Namun seyogyanya diperhatikan bahwa tidak setiap permintaan datang dari orang-orang kafir atau auliyanya keadaannya seperti keadaan orang yang menyerang yang ingin membunuhmu atau menganiayamu. Maka hukum asalnya adalah menempatkan keadaan-keadaan itu dengan volume yang sebenarnya dan menimbangnya dengan timbangan syar’iy, dan tidak tergusur dan terseret di belakang semangat dan perasaan yang tidak terkontrol dengan timbangan syari’at. Dan seseorang lebih mengetahui akan keadaannya serta keadaan dakwah dan ikhwannya, maka hendaklah ia mencari ikhwan dan bermusyawarah dengan mereka serta istikharah kepada Rabbnya. Orang yang musyawarah tidak akan kecewa dan orang yang istikharah tidak akan menyesal.
Dan terakhir:
Tidak ada kontradiksi antara apa yang telah kami jelaskan ini di sini dengan firman Allah ta’ala dalam surat Al Ahzab: “Katakanlah: lari itu sekali-kali tidaklah berguna bagimu, jika kamu melarikan diri dari kematian atau pembunuhan, dan jika (kamu terhindar dari kematian) kamu tidak juga akan mengucap kesenangan kecuali sebentar saja”. Sungguh engkau telah mengetahui bahwa ucapan kami tentang larinya orang mu’min dari kuffar atau dia bersemunyi saat kondisi lemah dan tidak ada persiapan, bila ia diminta thaghut atau auliayanya. Adapun ayat itu, maka ia berbicara tentang qital saat sudah wajib ‘ain dan qital fardlu di mana barisan telah berhadap-hadapan, maka lari saat itu dari peperangan tergolong dosa besar. Dan ayat itu turun tentang kaum munafiqin yang mana mereka itu meminta izin kepada Nabi saw untuk meninggalkan qital pada perang Ahzab saat pasukan koalisi mengepung Madinah dan kedua pasukan telah berhadap-hadapan: “Mereka berkata: Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka (tidak ada penjaga). Dan rumah-rumah itu sekali-kali tidak terbuka, mereka tidak lain hanyalah hendak lari.”

Penutup
Anjuran Untuk Teguh Di Atas Al Haq dan Dorongan Untuk Bersikap Terang-Terangan Dengannya Dan Tidak Takut Dari Wali-Wali Thaghut

* Maka jangan takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku
bila kalian memang beriman *

Ketahuilah bahwa teguh di atas sikap menyatakan ucapan al haq di hadapan auliyauth thaghut serta memperdengarkan kepada mereka apa yang mereka benci berupa tauhid, celaan terhadap tuhan-tuhan mereka serta bara’ darinya dan dari budak-budaknya, auliyanya dan ansharnya, ia adalah yang paling utama bagi orang yang ingin menjadi bagian dari ansharu dienillahi ta’ala dan bagian dari thaifah yang menegakkan dienullah ta’ala yang mana mereka itu tidak terganggu oleh orang yang menyelisihi mereka dan tidak pula oleh orang yang menggembosi mereka sampai datang urusan Allah swt sedang mereka seperti itu. Pembicaraan di sini adalah tentang tauhid dan dakwah, bukan tentang pengakuan akan rincian-rincian, nama-nama dan hal-hal yang membahayakan ikhwanmu al muslimin.
Bila dikatakan: Sesungguhnya situasi pengintegrasian bukanlah tempat untuk menjelaskan kalimatul haq dan terang-terangan dengannya, karena auliyauth thaghut tidaklah menginginkan ma’rifatul haq dan mencarinya pada tempat ini, tapi mereka ingin mengetahui arah fikrah dan Aqidah kamu untuk mempermasalahkanmu dan memejahijaukanmu atas dasarnya.
Maka kami katakan: Ya ini adalah haq, namun demikian tidak ada halangannya andaikata kalimatul haq itu mengena pada jiwa seseorang dari mereka dengan pengaruh yang baik dan menggetarkannya dengan getaran yang sangat dahsyat sehingga tembus ke hatinya. Dan bagaimana pun kondisi pada tempat ini bisa berbeda dengan sebab perbedaan orang dan keadaan.
Bila orang yang ditawan itu melihat pada dirinya kelemahan dan bahwa ia tidak akan mampu menanggung resiko akibat terang-terangan ini, maka ia boleh menyembunyikan keyakinannya dan melakukan taqiyyah dengan syarat tidak menyatakan ucapan kekafiran kepada mereka tanpa ikrah yang sebenarnya, karena banyak orang terlalu memperluas rukhshah di sini, dan mengucapkan kalimat-kalimat kekafiran dengan dalih istidl’af padahal mereka tidak memaksanya, tidak memukulnya dan tidak menyakitinya untuk mengucapkannya, padahal dalam sindiran dan jawaban dengan bentuk pertanyaan atau mengaku tidak tahu atau bertameng dengan alasan takut dari berfatwa dan hati-hati dari berbicara dalam dienullah tanpa dasar ilmu terkandung jalan yang cukup dari menyatakan kebatilan atau kekafiran, talbis al haq dengan al batil atau menampakkan ridla terhadap kekafiran-kekafiran mereka dan tuhan-tuhan mereka yang batil tanpa ada ikrah, sedang telah ada dalam hadits “siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah mengatakan yang baik atau diam” atas setiap keadaan. Di banyak negara mereka tidak ambil peduli dengan apa yang kami yakini atau kamu ucapkan dan fikrah kamu, tetapi yang penting bagi mereka adalah apa yang kami katakan di jalan atau masjid, serta di hadapan orang-orang dan di depan khalayak berupa celaan terhadap thaghut, dan provokasi orang-orang untuk menentangnya, dan bahkan di sebagian negara tidak membahayakanmu apa yang kami katakan di hadapan para penyidik sampai kamu menandatanganinya di berkas penyidikan. Jadi mungkin saja mengucapkan kalimatul haq dan terang-terangan dengannya namun tidak menandatangani berkas itu. Dan saudara muwahhid bisa juga menjawab dengan bentuk umum tanpa mengkhususkan thaghut tertentu dengan namanya, jadi setiap kondisi ada ucapannya yang pas dan setiap negara memiliki keadaan, dan saudara muwahhid menakar hal itu dengan takaran yang tepat. Akan tetapi yang lebih utama bagi saudara muwahhid terutama bila dia tergolong orang yang tampil mendakwahi manusia dan menyampaikan kalimatul haq adalah dia teguh di atasnya di hadapan thaghut walau ia dipukul atau disakiti dan mendengar dari mereka apa yang ia dengar, karena ia bukanlah orang pertama dan terakhir yang meniti jalan yang agung ini. Ia telah didahului oleh para nabi, para shadiqin dan syuhada. Berapa banyak para rasul yang disakiti sampai sebagiannya di bunuh, dan begitu juga orang-orang saleh dari kalangan pengikut mereka digotong di atas kayu dan dipotong dengan gergaji, namun itu tidak menambah mereka kecuali keimanan dan pemasrahan (kepada Allah).(1) Dan telah tsabit dari Nabi saw bahwa beliau berkata: “Penghulu para syuhada adalah Hamzah dan orang yang mendatangi penguasa yang aniaya, terus dia memerintah dan melarangnya, kemudian penguasa itu membunuhnya.” Janganlah kamu mencari ridla manusia dengan murka Allah, akan tetapi buatlah manusia murka dalam ridla Allah tentulah engkau memegang hati mereka dan mengalahkan mereka serta Allah memercikkan rasa segan terhadapmu dalam hati mereka. Hal itu telah dicoba oleh banyak ikhwan kami al muwahhidin di kondisi yang sangat kelam, maka hal itu tidak menambah bagi mereka kecuali penghormatan, penghargaan, pengagungan dan rahbah di hati musuh-musuh Allah. Al Imam Ahmad dan yang lainnya meriwayatkan dari Abu Sa’id Al Khudriy bahwa Rasulullah saw berkata: “Ketahuilah, jangan sekali-kali rasa takut kepada manusia menghalangi seseorang di antara kalian dari mengucapkan dengan kebenaran bila dia melihatnya atau menyaksikannya, karena mengucapkan kebenaran itu atau menyebutkan hal besar itu tidak mendekatkan ajal dan tidak menjauhkan dari rizqi.” Kemudian saudara muwahhid engkau jangan lupa bahwa kondisi-kondisi ini disaksikan Malaikat-malaikat tertinggi serta dilihat dan disaksikan Allah tabaraka wa ta’ala dan dicatat, maka daftarkan buat dirimu suatu sikap yang menjauhkanmu dari musuh-musuh Allah dan mendekatkan dirimu dari Tuhanmu dan Pelindungmu, dan engkau membanggakan diri dengannya di suatu hari di mana tidak manfaat harta dan anak kecuali yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih.
Itu adalah peperangan, siapa yang absen dari pertempurannya
Untuk cari selamat, maka setelahnya ia diketuk tahun orang yang menyesal.
Catatan kaki:
(1)   Dan lihat Manaqib Al Imam Ahmad karya Ibnul Jauziy hal 342-343, sungguh di sana beliau telah menyebutkan pendahulu Imam Ahmad dari kalangan Ahlul Ilmi yang dipukul dan disakiti di jalan keteguhan di atas kalimatul haq……. dan contoh adalah banyak.
Catatan kaki selesai.
Al Imam Ibnul Qayyim rh berkata dalam kitabnya Ighatsatulluhfan: (Termasuk tipu daya musuh Allah ta’ala adalah dia menakut-nakuti kaum mu’minin dari Tentara dan auliyanya, kemudian mereka tidak menjihadi bala tentara musuh itu dan tidak memerintahkan mereka dengan hal yang ma’ruf dan tidak melarangnya dari hal yang munkar. Dan ini tergolong tipu daya terbesar dia terhadap ahlul iman, sedangkan Allah swt telah mengabarkan kita akan hal ini tentangnya, Dia berfirman: “Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syetan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya, karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Ali Imran: 175). Makna ayat ini menurut semua ahli tafsir: dia membesar-besarkan mereka di hati kalian” oleh sebab itu Dia tabaraka wa ta’ala berkata: “karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman” Dan semakin kuat keimanan seorang hamba maka lenyaplah dari hatinya rasa takut kepada kawan-kawan syetan, dan semakin lemah imannya maka kuat pula rasa takut dari mereka). Selesai.
Ya, sesungguhnya rasa takut kepada Allah ta’ala bila telah memenuhi hati seorang hamba maka tidak ada tempat di hati ini untuk rasa takut kepada selain-Nya ta’ala. Dan bila seseorang menghadirkan selalu rasa akan keagungan Allah ta’ala dan bahwa Dia Subhanahu Dzat Yang Maha Kuat lagi Maha Kokoh, Yang Menguasai, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Sombong, yang memegang semua ubun-ubun hamba-hamba-Nya serta Dia menghadirkan kebersamaan-Nya, maka mengecil dan terasa enteng serta ringan pada dirinya semua kekuatan di bumi ini, dan ia tidak ambil peduli dengannya. Dan bila tawakkal dan yaqin mengakar di dadanya serta dia mengetahui bahwa apa yang Dia taqdirkan meleset darinya tidak akan menimpa dirinya dan apa yang Dia taqdirkan menimpa dirinya tidak akan meleset darinya, dan bahwa andaikata jin dan manusia bersepakat untuk menimpakan bahaya terhadap dirinya tentu mereka tidak akan mampu menimpakan bahaya itu kepadanya kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasnya, maka Allah pasti meneguhkan dia dan mengokohkan hatinya. Sehingga seandainya saat itu seluruh elemen kekuatan bumi berkumpul (untuk menentangnya) tentulah hal itu tidak akan menggeser dia dari jalannya dan tidak membuat dia urung dari keyakinannya yang haq, dan hal itu tidak menambah dia kecuali keimanan dan penyerahan diri “(yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang (pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan.” (Al Ahzab: 39).
Sesungguhnya termasuk metode para thaghut dan musuh-musuh Allah dalam sikap perang mereka terhadap kaum muslimin adalah metode takhwif (menakut-nakuti) dan terror, inilah yang mereka dapatkan dari imam pertama mereka iblis, sebagaimana dia – semoga Allah mengutuknya – selalu berupaya membesar-besarkan auliyanya dalam jiwa orang mu’min dan menakut-nakutinya dari mereka dalam rangka mengkerdilkannya dan mengembalikannya dari al haq al mubin, maka begitu juga mereka melakukannya. Mereka berupaya memamerkan kekuatannya serta merasa bangga dengan koalisi mereka, tentara mereka, persenjataan mereka, sarana-sarana penyiksaan mereka, aparat keamanan mereka serta badan intelejen mereka. Mereka sering memujinya, mengagungkannya dan menyanjungnya, serta bahwa intelejen mereka itu mengawasi dan mengetahui setiap hal kecil dan besar di negeri ini – dan bahwa ia…….. dan bahwa ia ………, sebagaimana Allah ta’ala kabarkan tentang mereka dalam kitab-Nya, Dia berfirman: “Dan siapa yang disesatkan Allah maka tidak seorang pun pemberi petunjuk baginya.” (Az Zumar: 36).
Metode-metode ini tidak berpengaruh kecuali pada kalangan lemah iman yang rasa takut kepada Allah dan pengagungan terhadap-Nya belum bercokol di hati mereka, sehingga mereka takut dari manusia melebihi rasa takut kepada Allah tabaraka wa ta’ala. Dan bahaya orang-orang macam mereka itu adalah sangat besar atas kaum mu’minin, karena mereka itu adalah faktor penggembos dan pematah semangat serta penebar isu di basisan muslim, sehingga seyogyanya menyingkirkan mereka dari tempat-tempat yang berpengaruh dan tidak menilai mereka atau mempertimbangkan mereka serta terpukau dengan mereka saat menilai barisan. Allah ta’ala berfirman tentang orang macam mereka: “Jika mereka berangkat bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas-gegas maju ke muka di celah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan di antaramu, sedang di antara kamu ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka.” (At Taubah: 47).
Irjaf (penyebaran isu) dalam kondisi-kondisi yang sangat sulit ini, pengaruhnya terhadap jiwa sangat besar, karena jiwa dalam kondisi-kondisi seperti ini membutuhkan terhadap orang yang menyemangatinya untuk teguh dan memantapkan hatinya dengan cara mengingatkannya dengan sikap-sikap kaum mu’minin mujahidin dan ulama rabbaniyyin ‘amilin, oleh sebab itu Allah swt telah mencela irjaf dalam kondisi seperti ini, Dia swt berfirman: “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antara kamu).” (An Nisaa: 83).
Sesungguhnya ia adalah tempat-tempat dan kondisi-kondisi yang agung yang dengannya Allah menguji hamba-hamba-Nya untuk menyaring barisan-barisan mereka, sehingga yang buruk terpisahkan dari yang baik, sungguh Allah ta’ala berfirman setelah firman-Nya: “Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya, maka janganlah kamu takut kepada mereka……..” Dia tabaraka wa ta’ala berfirman sesudahnya: “Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafiq) dari yang baik (mu’min).” (Ali Imran: 179).
Orang-orang mu’min yang menepati apa yang mereka janjikan kepada Allah tidaklah terpengaruh dengan cara-cara thaghut semacam ini dan hal itu tidak mempengaruhi sikap-sikap mereka atau menggoncangkan mereka, serta hal itu tidak menambah mereka kecuali keimanan dan keteguhan.” (yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka.” Maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” Maka mereka kembali dengan ni’mat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridlaan Allah. Dan Allah memiliki karunia yang besar. Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya, karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Ali Imran: 173-175).
Dan Allah swt sebelumnya telah menyebutkan sikap-sikap munafiqin dalam takhdzil dan takhwif kaum mu’minin, terus Dia membantah mereka dalam hal itu: “Orang-orang yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka tidak turut pergi berperang: “Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh.” Katakanlah: “Tolaklah kematian itu dari dirimu, jika kamu orang-orang yang benar.” (Ali Imran: 168).
Kemudian Allah subhanahu menuturkan tempat tinggal para syuhada yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah untuk menunjukkan kaum mu’minin akan jalan mereka serta membuat kaum mu’minin cinta dan ingin mendapatkannya, Dia tabaraka wa ta’ala berfirman: “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rizqi.” (Ali Imran: 169 dst)…. Sampai Dia swt berfirman: “(Yaitu) orang-orang yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerangmu, karena itu takutlah kepada mereka.” Maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka mengatakan: “Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik penolong.” (Ali Imran: 173).
Dan begitu juga Allah tabaraka wa ta’ala memberikan arahan nabi-Nya saw untuk mengatakan: “Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku.” Kepada-Nyalah bertawakal orang-orang yang berserah diri.” Setelah firman-Nya: “Dan mereka menakut-nakutimu dengan (sembahan-sembahan) yang selain Allah.” (Az Zumar: 36).
Bila saja setiap individu dalam wujud ini adalah selain Allah yang mana kepada-Nya bertawakal orang-orang yang berserah diri, dan masuk di dalamnya apa yang mana kaum musyrikin menakut-nakuti kaum mu’minin dengannya, bila semua mereka itu selain Allah ‘azza wa jalla, maka dari mana dan bagaimana takut kepada mereka orang mu’min yang tawakal sebenar-benarnya kepada Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Dahsyat. Dan kita memiliki pelajaran dalam sejarah, sedangkan sejarah yang paling agung adalah sejarah para Nabi bersama kaum mereka, maka silahkan rujuk kepadanya dan perhatikan sikap-sikap mereka yang abadi bersama kaumnya yang membangkang, dan bagaimana kaum musyrikin itu menakut-nakuti para nabi dengan tuhan-tuhan mereka, mereka mengancamnya dengan jumlah mereka yang banyak dan dengan kekuatan mereka, dan lihat di sisi lain kepada sikap-sikap para nabi dan keteguhan sikapnya, minumlah darinya dan mendulanglah dari sumbernya yang bersih, karena di dalamnya demi Allah terdapat bekal, dan bekal apa.
Lihatlah sebagai contoh Nabiyullah Nuh di masa lalu, dan dengarkanlah kepadanya saat beliau mengkhithabi kaumnya sendiri, akan tetapi ia menghadirkan kebersamaan Allah yang mana ia tawakkal kepada-Nya serta ia merasakan keagungan-Nya subhanah, ia mengkhithabi mereka seraya tidak khawatir terhadap kekuasaan mereka atau kepongahannya, dia berkata: “Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, maka kepada Allah-lah aku bertawakkal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutu (untuk membinasakanku). Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku.” (Yunus: 71).
Kumpulkanlah urusan kalian dan kekuatan yang kalian miliki, serta apa yang ada pada kalian berupa kekuasaan dan kepongahan, kalian dan sekutu-sekutu yang kalian bangga dengannya, kemudian lakukan apa yang kalian suka dan jangan beri saya tangguh. Ia tidak mengatakan hal itu sekedar ngawur, semangat dan perasaan yang kosong yang cepat lenyap dan redup, namun ia mengatakannya sedang ia mengetahui bahwa bersamanya ada kekuatan yang tidak akan kalah, serta ia mengetahui bahwa Allah tabaraka wa ta’ala bersamanya, dan mereka tidak akan mampu menyentuhnya dengan keburukan selama ia tawakkal kepada-Nya lagi berpegang kepada tali-Nya yang kokoh kecuali sesuai kehendak Allah. Bila Dia swt menghendakinya maka itu bukan sebagai pembiaran terhadap hamba-Nya, namun ujian, cobaan dan saringan.
Dan lihat kepada Hud as bagaimana ia berdiri di tengah kaumnya sendirian padahal mereka adalah penduduk bumi yang paling kuat dan paling sadis, mereka menakut-nakutinya dengan sembahan-sembahan dan tuhan-tuhan mereka yang palsu yang mereka agung-agungkan, mereka berkata: “Kami tidak mengatakan melainkan bahwa sebagian kami telah menimpakan penyakit gila atas dirimu.” (Hud: 54). Terus beliau berdiri di hadapan mereka seraya tawakkal kepada Allah dengan keteguhan sekokoh gunung atau dahsyat, dan ia berkata dengan perkataan orang mu’min yang tidak takut kecuali kepada Allah: “Sesungguhnya aku jadikan Allah sebagai saksiku dan saksikanlah olehmu sekalian bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kami persekutukan dari selainnya, sebab itu jalankanlah tipu dayamu semuanya terhadapku dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku. Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus.” (Hud: 54-56).
Dan perhatikan ucapan Ibrahim Khalilurrahman, saat ia mendebit kaumnya dan menghadapi mereka, kemudian ia memberitahukan kepada mereka bahwa ia tidak peduli dengan mereka dan dengan tuhan-tuhan mereka yang palsu yang mana mereka menakut-nakuti Ibrahim dengannya. Jadi rasa aman, tenang, dan keteguhan hanyalah bagi ansharullah yang mentauhidkan-Nya dengan sebenar-benarnya di mana mereka tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya. Adapun kaum musyrikin maka mana mungkin mereka mendapatkan keamanan dan ketenangan sedangkan mereka telah menyekutukan dengan Allah suatu yang mana Dia tidak menurunkan dalil tentangnya, akan tetapi mereka itu tidak mendapatkan kecuali rasa takut, cemas, dan keterpurukan: “Dan dia dibantah oleh kaumnya. Dia berkata: “Apakah kamu hendak membantah tentang Allah, padahal sesungguhnya Allah telah memberi petunjuk kepadaku. Dan aku tidak takut kepada (malapetaka dari) sembahan-sembahan yang kamu persekutukan dengan Allah, kecuali di kala Tuhanku menghendaki sesuatu (dari malapetaka) itu. Pengetahuan Tuhanku meliputi segala sesuatu. Maka apakah kamu tidak dapat mengambil pelajaran (dari padanya)? Bagaimana aku takut kepada sembahan-sembahan yang kamu persekutukan (dengan Allah), padahal kamu tidak takut mempersekutukan Allah dengan sembahan-sembahan yang Allah sendiri tidak menurunkan hujjah kepadamu untuk mempersekutukan-Nya. Maka manakah di antara dua golongan itu yang lebih berhak mendapat keamanan (dari malapetaka), jika kamu mengetahui?” (Al An’am: 80-81).
Dan datanglah jawaban dengan penuh ketegasan, kejelasan, dan kegamblangan yang memekakkan pendengaran mereka bagaikan halilintar: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampurkan keimanan mereka dengan kezaliman (syirik) maka mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al An’am: 82).
Dan lihat pula Musa Kalimullah dalam kondisi ujian dan penyaringan yang paling genting, di mana beliau dikejar Fir;aun dan tentaranya dengan segenap kekuatan mereka dan senjatanya, sedang mereka saat itu adalah penguasa, pemilik kekuatan dan kekuasaan, sedangkan Musa as bersama jumlah kecil yang tertindas yang sama sekali tidak memiliki pasukan dan senjata, dan ia telah lari menyelamatkan diennya dari thaghut, terus terhadang laut, tidak ada jalan sama sekali, sehingga para sahabatnya tatkala melihat Fir’aun muncul dengan kekuatannya, pasukannya dan kepongahannya mereka berkata: “Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul.” (Asy Syu’ara: 61).
Akan tetapi Musa as dalam kondisi yang paling genting dan keadaan yang paling terdesak serta paling menentukan, menjawab dengan penuh pemasrahan, keyakinan, dan keteguhan yang tidak bisa dilakukan oleh gunung yang keras lagi padat: “Sekali-kali tidak akan tersusul, sesungguhnya Tuhanku bersamaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (Asy Syu’ara: 62).
Dan ternyata apa hasil dari keyakinan akan kebersamaan Allah tabaraka wa ta’ala ini serta keteguhan dan tawakkal itu, “lalu Kami wahyukan kepada Musa: “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.” Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar. Dan di sana Kami dekatkan golongan yang lain. Dan Kami selamatkan Musa dan orang-orang yang besertanya semuanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar merupakan suatu tanda yang besar (mu’jizat) dan tetapi adalah kebanyakan mereka tidak beriman. Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” (Asy Syu’ara: 63-68).
Dan begitu juga silahkan lihat para tukang sihir Fir’aun setelah iamn bersarang di hati mereka, bagaimana mereka tidak peduli dengan ancaman si thaghut, terornya dan wa’idnya terhadap mereka dengan siksaan yang pedih, saat Fir’aun berkata: “Berkata Fir’aun: “Apakah kamu telah beriman kepadanya (Musa) sebelum aku memberi izin kepadamu sekalian. Sesungguhnya ia adalah pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu sekalian, maka sesungguhnya aku akan memotong tangan dan kaki kamu sekalian dengan bersilang secara bertimbal balik dan sesungguhnya aku akan menyalib kamu sekalian pada pangkal pohon kurma dan sesungguhnya kami akan mengetahui siapa di antara kita yang lebih pedih dan lebih kekal siksanya.” (Thaha: 71).
Dengarkan mereka bagaimana mereka menjawabnya dengan penuh kekuatan, keteguhan serta dengan tawakkal yang sangat besar kepada Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa, mereka tidak takut kepada kekuatan fir’aun yang dengannya ia mengancam mereka, mereka tidak gentar dengan siksa yang dengannya ia menakut-nakuti mereka, dan mereka tidak cemas dengan kebengisan atau kediktatorannya yang dengannya dia pongah, karena telah terpancang dalam hati mereka setelah keimanan mereka bahwa Allah adalah Dzat yang memiliki kekuatan lagi kokoh dan bahwa adzab-Nya lah adzab yang pedih lagi terus menerus, serta bahwa Dia swt adalah Sang Penguasa Yang Terdahulu, sungguh jauh bandingan kekuatan Al Khaliq dibandingkan kekuatan makhluk dan jauh bandingan siksa Sang Tuan dibandingkan siksa budak, dan jauh kekuasaan Dzat Yang Maha Kuasa lagi Maha Kokoh dibandingkan kekuasaan makhluk-makhluk yang lemah lagi kerdil. Sungguh dahulu mereka bersandar pada kekuatan si thaghut dan mentaati perintahnya, akan tetapi Iman kepada Allah tabaraka wa ta’ala lah yang membuat mu’jizat-mu’jizat itu, di mana mereka berdiri tegar seraya menjawab ucapan si thaghut dengan segenap kejelasan dan tanpa takut atau khawatir: “Mereka berkata: Kami sekali-kali tidak akan mengutamakan kami daripada bukti-bukti yang nyata (mu’jizat) yang telah datang kepada kami dan daripada tuhan yang telah menciptakan kami, maka putuskanlah apa yang hendak kami putuskan. Sesungguhnya kamu hanya akan dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini saja. Sesungguhnya kami telah beriman kepada Tuhan kami, agar Dia mengampuni kesalahan-kesalahan kami dan sihir yang telah kamu paksakan kepada kami melakukannya. Dan Allah lebih baik (pahala-Nya) dan lebih kekal (siksa-Nya).” (Thaha: 72-73).
Dan contoh-contoh adalah sangat banyak.
Dan sungguh Khatamul Anbiya wal Mursalin adalah teladan tertinggi dalam hal ini. Perhatikan beliau dalam hadits ‘Amr Ibnu ‘Ash yang diriwayatkan Al Imam Ahmad dan yang lainnya dengan isnad shahih, perhatikan sikap beliau saat beliau berdiri di tengah kumpulan kuffar di Mekkah di mana mereka mengelilinginya pada masa istidl’af, salah seorang dari mereka menjambak baju lehernya seraya mereka bertanya dan berkata: “Kamu orangnya yang mengatakan ini dan itu.” Ini tatkala sampai kepada mereka berita tentangnya, bahwa ia mencela tuhan-tuhan dan dien mereka. Maka beliau saw menjawabnya dengan penuh ketegasan dan kejelasan dan tanpa takut atau khawatir: “Ya, sayalah orangnya yang mengatakan hal itu” dan sebelum itu beliau berkata: Kalian dengar wahai Quraisy, Demi Dzat Yang Jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, sungguh aku datang kepada kalian untuk menyembelih” Maka ucapan beliau ini mengagetkan mereka sampai semua orang diam seribu bahasa, sampai orang yang paling jahat kepada beliau sebelumnya berupaya membujuk beliau dengan ungkapan yang paling indah.(1)
Dan beliau juga meneguhkan sahabatnya dengan Al Qur’an yang turun kepada beliau dan mengingatkan mereka dengan sikap-sikap kaum yang teguh dari kalangan umat terdahulu, beliau berkata: “Sungguh di antara umat sebelum kalian, seseorang ditangkap terus dibuatkan lubang di tanah buatnya kemudian dia dimasukkan ke dalamnya, terus dibawakan gergaji dan diletakkan di atas kepalanya, kemudian dia dibelah dua dan daging dan tulangnya dicabik-cabik dengan sisir besi, tapi itu tidak membuat dia berpaling dari diennya. Demi Allah, sungguh Allah ta’ala akan menyempurnakan urusan ini sampai pengendara berjalan dari Syria ke Hadramaut, dia tidak takut kecuali kepada Allah, dan khawatir terhadap serigala menyerang kambing-kambingnya, akan tetapi kalian adalah orang-orang yang tergesa-gesa.” HR Al Bukhari dan yang lainnya.
Dan setelah itu semuanya, maka sesungguhnya di sana ada hakikat yang wajib tidak dilalaikan oleh kaum mu’minin serta jangan sampai hal itu lepas dari mata dan benak mereka, yaitu: Bahwa kebatilan itu kerdil lagi lemah bagaimanapun ia pongah dengan perhiasannya atau congkak dengan dekorasinya, dan walaupun ia pura-pura menampakkan kekuatan, kedigjayaan, dan kepiawaian, maka sesungguhnya ia demi Allah lebih rendah di sisi Penguasa langit dan bumi daripada lalat. Dan semoga Allah merahmati Ibnul Qayyim saat beliau berkata dalam Nuniyyah-nya:
Jangan takut jumlah besar mereka karena mereka itu sampah manusia
Dari lalatnya, apa kamu takut dari lalat?
Ya, demi Allah mereka itu seperti lalat, bahkan mereka lebih hina dari lalat “Dan jika lalat merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlan yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah.” (Al Hajj: 73).
Dan bila Ahlul Bathil memiliki satu kemenangan dan keterdepanan maka sesungguhnya al haq memiliki banyak kemenangan dan keterdepanan. Hakikat-hakikat mereka telah terbongkar dan kepalsuan kekuatan mereka telah nampak sepanjang sejarah, akan tetapi di tangan orang-orang yang jujur (menepati apa yang mereka janjikan kepada Allah, kemudian di antara mereka ada yang meninggal dunia dan di antara mereka ada yang masih menunggu dan mereka sama sekali tidak merubah. Kebatilan dan pelakunya tidak pongah dan ia tidak sombong dan bangga dengan kekuatannya yang palsu kecuali saat medan laga kosong dari macam orang-orang tadi itu. Pedih sekali, sungguh kita butuh sekali terhadap macam orang-orang itu.
Dan terakhir:
Sesungguhnya Al Qur’an memalingkan pandangan kita kepada nasib akhir para pembangkang itu dari kalangan umat-umat terdahulu yang melampaui batas di negeri ini dan mereka banyak melakukan kerusakan di dalamnya, yang padahal mereka itu orang yang paling dahsyat kekuatan dan siksa serta bekas-bekas peninggalannya di bumi ini.
“Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat kepada Kaum ‘Ad? (yaitu) penduduk Iran yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi. Yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain, dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah dan kaum Fir’aun yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak, yang berbuat sewenang-wenang di dalam negeri, lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu, karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti adzab. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi.” (Al Fajr: 6-14).
“Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk hancurkan Ka’bah) itu sia-sia.” (Al Fiil: 1-2).
Al Qur’an memalingkan pandangan dan pendengaran kita kepada akhir mereka dan kehancurannya. Ini dia peninggalan-peninggalan mereka dan rumah-rumahnya roboh menutupi atap-atapnya, Allah azza wa jalla telah membinasakan mereka dan memenangkan tentara-tentaranya yang bertauhid. Kekuatan yang dahulu mereka bangga dengannya tidaklah bisa menolong mereka, tidak pula jumlah besar mereka, persenjataan mereka dan kelompok besar mereka yang dahulu mereka pongah dan besar kepala dengannya. Allah swt membinasakan mereka, dan mereka sama sekali tidak memiliki seorang pun pelindung dan penolong, itu dikarenakan Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman dan bahwa orang-orang kafir tidak memiliki pelindung.
“Maka apakah mereka tiada mengadakan perjalanan di bumi lalu memperhatikan betapa kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. Adalah orang-orang yang sebelum mereka itu lebih hebat kekuatannya dan (lebih banyak) bekas-bekas mereka di muka bumi, maka apa yang mereka usahakan itu tidak dapat menolong mereka. Maka tatkala datang kepada mereka rasul-rasul (yang diutus kepada) mereka dengan membawa keterangan-keterangan, mereka merasa senang dengan pengetahuan yang ada pada mereka dan mereka dikepung oleh azab Allah yang selalu mereka perolok-olokan. Maka tatkala mereka melihat azab Kami mereka berkata: “Kami beriman hanya kepada Allah saja dan kami kafir kepada sembahan-sembahan yang telah kami persekutukan dengan Allah.” Maka iman mereka tiada berguna bagi mereka tatkala mereka telah melihat siksa Kami. Itulah Sunnah Allah yang telah berlaku terhadap hamba-hamba-Nya. Dan di waktu itu binasalah orang-orang kafir.” (Al Mu’min: 82-85).
Wa ba’du:
Ini adalah hakikat yang mesti selalu diingatkan dan diperhatikan secara seksama oleh kita dari musuh-musuh kita, supaya mereka kembali “Dan janganlah orang-orang yang kafir itu mengira, bahwa mereka akan dapat lolos (dari kekuasaan Allah). Sesungguhnya mereka tidak akan dapat melemahkan (Allah)” (Al Anfal: 59).

Al Allamah Ibnul Qayyim berkata dalam Nuniyyahnya:
Hai orang yang duduk yang nafasnya berjalan membawa dia
Perjalanan penuh lambat dan tidak cepat
Sampai kapan tidur ini sedang telah berjalan
Utusan kecintaan bersama orang-orang baik
Jaharkan dengan perintah Allah dan jangan takut manusia
Di jalan Allah, dan takutlah kepada-Nya tentu engkau berhasil dalam keamanan
Belalah Kitabullahdan Sunnah yang
Datang dari orang yang diutus dengan Al Qur’an
Dan pukulan mujahid di atas setiap jemari
Dan lakukan serangan dengan penuh kejujuran dengan serangan
Orang yang ikhlas lagi tulus karena Allah lagi tidak takut
Dan teguhlah dengan kesabaranmu di bawah panji-panji petunjuk
Kemudian bila kami tepat (sasaran) maka (itu) dalam ridla Ar Rahman
Jadikanlah Kitabullah dan Sunnah yang tsabit
Sebagai senjatamu kemudian buktikan dengan anggota badan
Siapa yang tampil menentang, maka majukan dirinya atau
Siapa yang mengajak ke depan tentu nampak di medan laga
Jaharkan apa yang dikatakan Rasul dan jangan takut
Dari sedikit penolong dan kawan
Allah-lah yang menolong dien-Nya dan kitab-Nya
Dan Allah-lah yang mencukupkan hamba-Nya dengan keamanan
Jangan takut dari tipu daya musuh dan makar mereka
Karena perang mereka adalah dengan dusta dan mengada-ada
Pasukan pengikut Rasul adalah Malaikat
Sedangkan pasukan mereka adalah lascar Syetan
Jauh berbeda antara dua lascar, kemudian siapa yang
Bimbang maka hendaklah dua kelompok itu dilihat
Teguhlah dan berperanglah di bawah panji-panji petunjuk
Dan sabarlah karena pertolongan Allah Tuhanmu telah dekat
Allah membela dien dan kitab-Nya
Juga Rasul-Nya dengan ilmu dan kekuasaan
Al Haq itu pilar yang tidak mampu untuk menghancurkannya
Seorang pun walau dikumpulkan jin dan manusia untuknya
Bila lawan makin banyak dan sesumbar
Maka teguhlah, karena sesumbar mereka bagaikan asap
Ia naik ke puncak yang tinggi dan setelahnya
Ia melayang turun ke dasar jurang yang rendah
Jangan takut jumlah banyak mereka, karena mereka itu sampah manusia
Dan lalatnya, apa kamu takut dari lalat
Janganlah rela dengan kepemimpinan sapi yang
Pimpinannya tergolong kalangan banteng
Bila mereka geram maka mereka menyerangmu, maka jangan kamu
Cemas karena serangan mereka dan juga jangan takut
Teguhlah dan jangan menyerang tanpa ada pasukan, karena ini
Bukan hal terpuji di kalangan para pemberani
Inilah, sungguh hizbullah adalah
Dengan amalan bukan dengan battalion para pendekar
Demi Allah mereka tidak menaklukkan negeri-negeri dengan jumlah besar
Mana mungkin sedangkan musuh-musuh mereka tanpa terhitung
Bila engkau melihat pasukan Islam telah
Berbarengan laskarnya dengan seorang pemimpin
Maka di sana (kamu bergabung), kemudian tembus barisan dan jangan
Engkau lemah yang kerdil dan jangan cemas
Al Haq itu dimenangkan dan diuji
Maka janganlah heran karena ini sunnaturrahman
Dan dengan itu akan nampak pendukungnya dari para penyerangnya
Dan karena itu pula manusia terbagi dua kelompok
Serta karena itu peperangan di antara para rasul
Dengan kuffar itu peperangan di antara para rasul
Dengan kuffar semenjak ada manusia adalah tanding
Namun kemenangan akhir adalah bagi ahlul haq, bila lepas
Di sini maka kemenangan, di sisi Sang Pemberi Balasan


Tamat Bihamdillah
Ditulis oleh Abu Muhammad Al Maqdisiy
12 Sya’ban 1414 dari Hijrah Mushthafa saw


Catatan kaki:
(1)   Lihat hadits ini secara lengkap dalam Musnad Ahmad dengan Tahqiq Ahmad Syakir (7036).
Catatan kaki selesai

Penterjemah berkata: Selesai akhir Sya’ban 1426 H. LP Karawang BIII 6.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar