NKA NII

NKA NII
Negara Karunia Allah Negara Islam Indonesia

Rabu, 08 Februari 2012

BAI'AH


SEBUAH AMALAN UMAT MUSLIM YANG PERNAH TERLUPAKAN
Amalan yang nilainya teramat tinggi dimata Allah
Ikrar yang pernah menggentarkan Kaum Kuffar
Ikrar yang juga pernah di simpangkan oleh beberapa kelompok sempalan
Ikrar yang saat ini telah ditinggalkan oleh sebagian besar umat muslim di seluruh dunia
========================================================

Bai’ah
Kita mulai pembahasan ini dengan definisi bai’ah secara etimologi maupun terminologi. Bai’ah secara bahasa ialah berjabat tangan atas terjadi jual beli, dan untuk berjanji setia dan taat. Bai’ah juga mempunyai arti : janji setia dan taat. Dan kalimat “qad tabaa ya’uu ‘ala al-amri” seperti ucapanmu (mereka saling berjanji atas sesuatu perkara). Dan mempunyai arti : “shofaquu ‘alaihi” (untuk perjanjian dengannya). Kata-kata “baaya’tahu” berasal dari kata “al-baiy’u” dan “al-baiy’atu” demikian pula kata “al-tabaaya’u”.
Bai’at Secara Istilah (Terminologi) : Berjanji untuk taat”.

Makna bai’ah dalam Al Qur’an :
1. Bermakna jual beli.
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar. (QS At Taubah ayat 111)

2. Bermakna Janji Setia
Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar. (QS. al-Fath (48) : 10)
Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya). (QS. al-Fath (48) : 18)

Bai’ah berdasarkan Sunnah yang pernah dilaksanakan oleh Rasulullah, diantaranya :
1. Bai’ah Aqobah I
Abdullah bin Rawahah berkata kepada Rasulullah , pada malam Perjanjian Aqobah (Bai’at Aqobah), “Tentukanlah syarat sesukamu yang harus kami penuhi untuk Robbmu dan untuk dirimu yaa Rasulullah”. Maka Beliau Saw bersabda: “Aku menentukan syarat untuk Robbku agar kalian menyembahnya dan agar kalian tidak menyekutukan sesuatu apapun dengannya dan aku menentukan syarat untuk diriku agar kalian melindungiku sebagaimana kalian melindungi jiwa dan harta kalian”. Para sahabat bertanya: “apa imbalannya jika kami menepatinya ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab “SYURGA”. Merekapun berseru: “Betapa menguntungkan jual beli ini, kami tidak mau mengganti dan tidak ingin diganti”. Maka turunlah ayat ini (QS. 9 :111) artinya mereka sudah puas dengan harga syurga yang Allah tawarkan untuk membeli diri dan harta mereka sehingga tidak akan pernah menerima tawaran lain sebagai penggantinya bahkan mereka tidak pernah mau mendengar tawaran lain berupa apapun yang ditawarkan kepada mereka untuk memalingkan mereka dari Jihad Fiesabilillah. Yang dapat membatalkan syurga yang dijanjikan Allah itu, meskipun dengan seluruh isi dunia. Selama hayat dikandung badan, mereka bersungguh sungguh menjaga perjanjian mereka itu, bersiap siaga kapan saja untuk menepatinya, untuk mendapatkan keuntungan yang tiada tara, yang mereka yakin sekali akan kebenarannya, bahwa Allah pasti menepati janjinya.

2. Bai’ah Aqobah II
Setelah membaca Al-Qur'an dan mendorong kecintaan pada Islam, Rasulullah saw. menjawab, "Saya membaiat kalian untuk melindungi saya dari apa yang kalian melindungi istri-istri dan anak-anak kalian dari sesuatu itu."
Lalu al-Barra' mengulurkan tangan untuk memberikan baiatnya kepada Rasulullah saw. seraya berkata, "Kami membaiatmu, wahai Rasulullah. Demi Allah, kami adalah anak-anak perang [sering mengalami peperangan yang seolah-olah dirinya dilahirkan dari peperangan] dan penduduk lingkaran kancah yang penuh peperangan. Kami mewarisinya dari orang besar dan dari orang besar." Namun, belum menyelesaikan pernyataannya, al-Barra' sudah disela (interupsi) oleh Abu al-Haitsam bin al-Tiihan dengan mengatakan, "Ya Rasulullah, di antara kami dan orang-orang Yahudi ada tali perjanjian. Kami berniat memutuskannya. Jika kami melakukan itu, kemudian Allah memenangkanmu, apakah engkau akan kembali pada kaummu dan meninggalkan kami?"
Rasul agung itu tersenyum. Beliau menatap mereka sejenak, kemudian berkata, "Bahkan, darah dibalas darah, hantaman dibalas hantaman! Sesungguhnya saya bagian dari kalian dan kalian bagian dari saya. Saya akan memerangi orang yang kalian sedang berperang dengannya dan berdamai dengan orang yang kalian berdamai dengannya."

3. Bai’atur Ridwan
Pada bulan Zulkaidah tahun keenam Hijriyyah Nabi Muhammad s.a.w. beserta pengikut-pengikutnya hendak mengunjungi Mekkah untuk melakukan ‘umrah dan melihat keluarga-keluarga mereka yang telah lama ditinggalkan. Sesampai di Hudaibiyah beliau berhenti dan mengutus Utsman bin Affan lebih dahulu ke Mekah untuk menyampaikan maksud kedatangan beliau dan kamu muslimin. mereka menanti-nanti kembalinya Utsman, tetapi tidak juga datang karena Utsman ditahan oleh kaum musyrikin kemudian tersiar lagi kabar bahwa Utsman telah dibunuh. karena itu Nabi menganjurkan agar kamu muslimin melakukan bai’ah (janji setia) kepada beliau. merekapun Mengadakan janji setia kepada Nabi dan mereka akan memerangi kamu Quraisy bersama Nabi sampai kemenangan tercapai. Perjanjian setia ini telah diridhai Allah sebagaimana tersebut dalam ayat 18 surat ini, karena itu disebut Bai’atur Ridwan. Bai’atur Ridwan ini menggetarkan kaum musyrikin, sehingga mereka melepaskan Utsman dan mengirim utusan untuk Mengadakan Perjanjian damai dengan kaum muslimin. Perjanjian ini terkenal dengan Shulhul Hudaibiyah. Orang yang berjanji setia biasanya berjabatan tangan. Caranya berjanji setia dengan Rasul ialah meletakkan tangan Rasul di atas tangan orang yang berjanji itu. Jadi maksud tangan Allah di atas mereka ialah untuk menyatakan bahwa berjanji dengan Rasulullah sama dengan berjanji dengan Allah.

Pengertian Bai’ah.
Dari keterangan ayat dan shirah yang diterangkan diatas, maka Bai’ah mempunyai pengertian sebagai berikut :
Yang pertama, yaitu sebuah ikrar Jual Beli antara Hamba dengan Rabbnya. Kita ketahui bahwa Jual Beli dimasa itu, yang menyatakan bahwa yang dijual itu adalah diri dan harta, mengindikasikan bahwa ini adalah Jual Beli dalam rangka perbudakan. Maka, bai’ah adalah sebuah Ikrar seseorang yang siap menghambakan (Membudakkan) dirinya hanya kepada Allah. Maka bagi seseorang yang telah berbai’ah dikatakan sebagai Hamba (Budak) Allah.
Yang kedua, berdasarkan QS Al Fath ayat 10, bahwa bai’ah adalah sebuah janji setia kepada Allah, karena meskipun secara prosedural bai’ah itu dihadapan seseorang (dalam hal ini pemimpin) tapi pada hakikatnya bai’ah itu adalah kepada Allah (tangan Allah diatas tangan mereka). Ikrar inilah yang akan dipertanggungjawabkan nanti di Yaumul Hisab (apakah konsisten atau tidak terhadap janji setianya tersebut).

Fungsi Bai’ah
Maka dari itu, fungsi bai’ah adalah jelas sebagai satu ikrar penetapan diri, mempersembahkan diri untuk berjual beli dengan Allah, dalam artian sebuah ikrar diri untuk siap menjadi Budak/Abdi Allah. Dan ikrar ini tidak berhenti pada pelafatannya saja, karena itu kesetiaan atas ikrar tersebut hingga akhir hayatnya yang nanti akan dipertanggungjawabkannya di hadapan Allah.

Bai’ah itu kepada Siapa?
Dari keterangan2 diatas, terang menunjukkan bahwa bai’ah itu bukan kepada seseorang ataupun kepada Khalifah. Melainkan Bai’ah itu adalah kepada Allah. Karena tidak mungkin seorang Muslim Menghambakan dirinya selain kepada Allah. Juga tidak mungkin seorang Muslim mengikrarkan Janji setianya selain kepada Allah. Sebab seorang Manusia punya kemungkinan untuk menyimpang dari kebenaran, jika janji setia itu diikrarkan untuk orang/khalifah maka bagaimana jika seseorang tersebut keluar dari jalan kebenaran? (Adapun Bai’ah itu dihadapan pemimpin/khalifah, akan diterangkan nanti).

Tujuan Bai’ah
Dari Sunnah yang telah dijalankan oleh Rasul dan para Shahabat, Bai’ah memiliki beberapa tujuan bagi yang mengikrarkannya.
Yag pertama, sebagai penetapan diri untuk siap menerima Hukum2 Allah. Siap untuk diatur dengan tatanan Ilahiyah. Siap mengaplikasikan Ketentuan2 Allah.
Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anaka-naknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka, dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka. (QS Mumtahanah [60]: 12).
Yang kedua, satu ikrar untuk siap membela Allah dan para Waliyullah. Bahkan hingga sebuah kata ”DARAHMU-DARAHKU”.
Yang ketiga, memperkuat dan memperteguh ikatan, melalui sebuah janji ikatan bersama dalam rangka memenangkan Agama Allah.

Konsekuensi dan Hasil dari Bai’ah
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar. (QS At Taubah ayat 111)
Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji, yang melawat, yang ruku’, yang sujud, yang menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah berbuat Munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu. (QS At Taubah ayat 112)

Di ayat 111 telah jelah menerangkan konsekuensi dari Bai’ah, bahkan sampai siap untuk dibunuh dan membunuh. Sementara, di ayat 112nya, bisa bermakna dua. Yang pertama bahwa orang yang telah berbai’ah, mempunyai konsekuensi sebagaimana yang diterangkan dalam ayat tersebut. Tapi bisa juga berakna bahwa apa yang telah diterangkan dalam ayat tersebut hanya berlaku bagi mereka2 yang telah melakukan/mengikrarkan Bai’ah, dengan arti bahwa taubat, memuji, melawat ruku’ dan semuanya itu hanya legal dimata Allah bagi mereka2 yang telah berbai’ah, bukan bagi mereka2 yang belum berbai’ah. Sehingga Hadits yang menerangkan bahwa ”sesiapa yang meninggal tanpa ada bai’ah dilehernya, maka matinya dalam kondisi Jahiliyah” sesuai dengan ayat diatas.

Prosesi Bai’ah.
Setelah memahami bahwa Bai’ah itu adalah kepada Allah, maka bagaimana prosesi bai’ah kita terhadap Allah tersebut? Sunnah menerangkan dan menjelaskan Bagaimana prosesi bai’ah tersebut.

Yang pertama bahwa Tangan Allah diatas tangan mereka, dalam hal ini tentu melalui wakil Allah dimuka bumi. Dalam penjelsan saya mengenai Khalifah, telah saya terangkan bahwa setiap manusia yang ada dimuka bumi ini adalah khalifah (wakil) Allah, apabila mereka berpegang teguh kepada aturan2 Allah. Sementara, Khilafah adalah kesatuan dari para khalifatullah yang tergabung dalam satu kelembagaan (Kepemimpinan). Maka bai’ah akan syah apabila dilakukan didepan mereka2 yang memangul amanah Allah dimuka bumi ini.

Yang kedua, siapakah yang dimaksud mereka yang memanggul amanah2 Allah dimuka bumi? Bahwa tujuan bai’ah adalah sebagai penetapan diri untuk siap menerima Hukum2 Allah. Siap untuk diatur dengan tatanan Ilahiyah. Siap mengaplikasikan Ketentuan2 Allah. Bagaimana kesiapan berhukumnya seseorang kepada Hukum Allah, telah Allah terangkan melalui ayat2-Nya. Yaitu QS An Nisaa (4) dari ayat 58 s/d 70. Ayat2 tersebut jelas menerangkan bahwa penerapan Hukum Allah itu di laksanakan oleh kepemimpinan Islam (Ulil Amri) yang merupakan manifestasi dari kepemimpinan Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, kesiapan seseorang untuk terikat dengan Hukum2 Allah adalah berbai’ah kepada Allah melalui para pemimpin (Ulil Amri) yang mereka itu menjalankan penghukuman berdasarkan Hukum Allah. Hal ini lebih diperkuat oleh Sunnah, bahwasanya setelah Bai’ah Aqobah II, Rasulullah mengangkat 12 pemimpin dari kalangan Aus dan Khazraj. Sehingga setelah itu, dari kalangan Aus dan khazraj yang masuk Islam kemudian berbai’ah, tidak lagi langsung melalui Rasulullah, melaikan melalui para pemimpin yang telah diangkat tersebut. Begitu juga melalui Amir2 yang diutus Rasulullah di berbagai negeri yang telah ditaklukkan.

Bagaimana dengan pendapat umum bahwa Bai’ah adalah kepada Khalifah?
Dari keterangan diatas, jelas menyalahi syari’at kalo Bai’ah itu kepada Khalifah. Untuk menerangkan hal diatas, mari kita kembalikan arti dan makna khalifah berdasarkan arti dan makna sesungguhnya sebagaimana disaat masa hidup Rasullah. Muhammad Husein Haikal dalam karyanya Khalifah Rasulullah ”Abubakar Assyidiq” menerangkan bahwa arti dari Khalifah adalah pengganti. Awalnya, masyarakat muslim yang telah berbai’ah dengan mengangkat Abubakar Assyidiq sebagai pemimpin, menggelarinya dengan Khalifahtullah, akan tetapi Abubakar tidak menyetujuinya. Selanjutnya dia menyebut dirinya dengan Khalifah Rasulullah yang berarti adalah pengganti Rasulullah. Setelah berganti kepemimpinan kepada umar bin Khattab s/d Ali bin Abu Thalib, kata Khalifah Rasulullah sudah tidak dipakai lagi, melainkan yang dipakai adalah Amirul Mu’minin. Kata Khalifah ini kembali dipakai pada masa Mu’awiyah dan seterusnya. Yang kemudian makna Khalifah ini mengalami pergeseran makna menjadi Pemimpin kaum Muslimin, sebagaimana yang dikenal oleh umumnya umat muslim saat ini.

Daripada itu, maka sesungguhnya semua hadits yang memuat kata Khalifah, semua itu bermakna Pengganti, meskipun maksud dari kata tersebut mempunyai fungsi sebagai Pemimpin kaum Muslim. Sebagaimana hadits berikut : Dari Abu Hazim, dia berkata: “Selama lima tahun aku berkawan dengan Abu Hurairah, dan aku pernah mendengar dia menceritakan suatu hadis dari Rasulullah saw, beliau bersabda: “Orang-orang Bani Israil itu selalu diatur oleh para Nabi. Seorang Nabi meninggal dunia akan digantikan oleh seorang Nabi yang lainnya. Tetapi sesungguhnya tidak akan ada Nabi sama sekali sesudahku. Dan kelak akan bermunculan para Khalifah.” Para sahabat bertanya: “Lantas apa yang Anda perintahkan kepada kami?” Rasulullah saw menjawab: “Penuhilah pembai’atan yang pertama kemudian seterusnya. Penuhilah hak-hak mereka. Sesungguhnya Allah akan minta pertanggungan jawab terhadap kepemimpinan mereka.” (HR Muslim). Khalifah dalam hadits tersebut bermakna pengganti, meskipun yang dimaksud mempunyai fungsi sebagai Amirul Mukminin. Dan mengapa Rasulullah tidak menggunakan kata Amirul Mu’minin? Hal ini dikerenakan istilah Amirul Mu’minin baru dikenal setelah pengangkatan Umar Bin Khattab sebagai pengganti Abubakar.

Proses/Cara Pengangkatan Amirul Mu’minin
Dari itu semua, maka tidak benar keterangan yang menerangkan bahwa Pengangkatan Amirul mu’minin itu melalui Bai’ah. Karena sudah jelas salah kaprah. Karena jelas2 fungsi Bai’ah bukanlah untuk mengangkat seorang Amirul Mu’minin. Dari shirah para Khulafa’urrasyidin juga tidak ada nash yang menerangkan bahwa pengangkatan mereka itu melalui Bai’ah. Abubakar diangkat sebagai Pemimpin melalui pengajuan yang dilakukan oleh Umar bin Khattab, yang kemudian di sepakati oleh seluruh hadirin yang hadir di mimbar Syaqifa. Umar bin Khattab diangkat sebagai khalifah melalui penunjukan yang dilakukan oleh Abubakar As Syidiq. Utsman bin Affan diangkat sebagai Khalifah melalui musyawarah yang dilakukan oleh shhabat2 utama yang telah ditunjuk oleh Umar. Begitu juga Ali, diangkat melalui musyawarah shahabat2 utama. Jadi jelas bahwa pengangkatan Amirul Mu’minin tidak melalui Bai’ah.

Bai’ah adalah untuk melanjutkan kehidupan Islami.
Telah diterangkan sebelumnya bahwa tujuan Bai’ah adalah untuk menghukumkan diri kepada Hukum Allah, dimana yang melaksanakannya adalah Ulil Amri. Maka, ketika bergantinya kepemimpinan umum umat Muslim Bai’ah adalah untuk memperkokoh dan memperkuat kembali ikatan, untuk rela berhukum kepada hukum Allah dibawah kepemimpinan orang yang telah ditunjuk sebagai Ulil Amri. Sebagaimana Ali Bin Abi Thalib yang terlambat Bai’ah terhadap Abubakar Assyidiq, Bai’ah disitu bukan untuk mengangkat Abubakar Sebagai Ulil Amri, karena memang Abubakar telah terpilih sebagai Ulil Amri. Akan tetapi Bai’ah tersebut sebagai ikrar memperkokoh kembali kesediaan mengabdikan diri kepada Allah dibawah kepemimpian Abubakar. Bai’ah terhadap Ulil Amri, ini dilakukan oleh mereka2 yang berada langsung dibawah kepemimpinannya, yaitu orang2 yang berada dalam lingkup terdekatnya. Terhadap mereka yang jauh berada diluar lingkup dekatnya, tapi masih dalam wilayah kekuasaannya, maka tidak ada bai’ah sebagai pemerkokoh, melainkan ia cukup berpegang atas bai’ah sebelumnya yang telah ia lakukan terhadap Pemimpimnya yang terdekat. Inilah yang dimaksud dengan hadits yang berbunyi “Penuhilah pembai’atan yang pertama kemudian seterusnya. Penuhilah hak-hak mereka. Sesungguhnya Allah akan minta pertanggungan jawab terhadap kepemimpinan mereka.”

Bagaimana dengan Imam Mahdi?
Banyak sekali simpang siur keterangan mengenai Imam Mahdi ini baik melalui artikel2 maupun buku2 yang telah dikarang oleh berbagai macam orang, juga dari berbagai kelompok. Untuk mengupas sedikit akan halnya ini maka kita harus siap mengoreksi berdasarkan landasan2 Syar’i. Bahwasanya apabila ada tafsir hadits yang bertentangan dengan Al Qur’an maka sudah pasti tafsir tersebut batal. Juga apabila ada hadits yang bertentangan dengan Qur’an, hadits tersebut juga jelas batal/maudhu. Oleh karena itu, mari kita timbang keberadaan Imam Mahdi ini melalui nash yang Hakq.

Yang pertama bahwa telah diyakini melalui petunjuk Allah (Al Qur’an) bahwa tidak ada Nabi lagi setelah Nabi Muhammad. Artinya disini, bahwa tidak ada lagi manusia dibumi ini yang bakalan mendapatkan berita dari Allah melalui malaikat-Nya. Nabi, asal katanya adalah naba yang berarti berita. Dari situ jelas bahwa tidak ada satu manusiapun sampai akhir zaman yang dapat meng klaim dirinya sebagai Imam Mahdi. Bagaimana mungkin seseorang akan mengklaim dirinya sebagai Imam Mahdi tanpa berita/petunjuk dari Allah? Sementara, tidak mungkin lagi ada manusia yang dapat menerima berita dari Allah setelah wafatnya Nabi Muhammad. Oleh karena itu, barang siapa yang mengklaim dirinya sebagai Imam Mahdi, sudah pasti dia Bohong. Sehingga, tidak ada seseorangpun yang dapat memastikan si ini atau si itu sebagai Imam Mahdi, melainkan hanya praduga berdasarkan petunjuk Rasulullah melalui Hadits2. Hal ini juga membantah keterangan bahwa Khalifah itu Allah sendiri yang mengangkatnya.

Yang kedua, bahwasanya masa kepemimpinan imam mahdi adalah antara 7 s/d 9 tahun. Sementara, tidak ada seseorangpun yang dapat mempredeksikan kekuasaan seseorang itu bakalan berlangsung selama 7 s/d 9 tahun. Orang mengetahuinya adalah ketika sang Imam Mahdi tersebut telah meninggal. Ini artinya, tidak ada yang bisa mengklaim atau mempredeksikan si ini atau si itu sebagai Imam Mahdi melainkan setelah dia meninggal. Sehingga, munculnya imam mahdi ini tidak ada yang bisa mempredeksi dan mengklaimnya (yang artinya dalam masalah yang belum jelas) kecuali setelah meninggalnya dia, dan diyakini oleh orang setelahnya.
Pada saat ini banyak orang yang terkungkung oleh paradigma akan hadirnya Imam Mahdi, sementara tidak ada satupun manusia yang dapat mempredeksi dan mengklaim akan keberadaannya. Juga sebuah pernyataan untuk mempersembahkan Bai’ah-nya hanya untuk Imam Mahdi. Padahal tidak ada nash yang menyatakah bahwa Bai’ah itu adalah kepada Imam Mahdi. Sementara menjadi nash yang jelas bahwa Bai’ah itu merupakan ketetapan syara’ dalam Islam yang wajib dipenuhi oleh setiap muslim, bahkan Rasulullah mengancam mereka yang belum ada bai’ah di leher mereka apabila mati, maka matinya dalam kondisi mati jahiliyah.

Wallahua'lam Bisshowab

**Diambil dari berbagai sumber, dan ditulis oleh saudaraku Abu Idzharulhakq**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar